You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN

A Latar Belakang
Proses menua merupakan proses yang terus menerus berlanjut secara
alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya di alami pada semua makhluk
hidup. Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan
bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan
dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik
dan tingkah laku yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat
mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini
merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang dapat
diobservasi di dalam satu sel dan berkembang pada keseluruhan sistem.
Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda, di dalam
parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak tertandingi. Menua
bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan
tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh.
Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang
sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai
berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan
terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain
sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem
integument, endokrin, pencernaan dan perkemihan dan lain-lain.
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang
sering ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia
urin berkisar antara 15 – 30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien
geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan
kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur
65-74 tahun. Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau
inkontinensia jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap
sesuatu yang biasa, malu atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun
pada dokter, dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia

1
urine bukan penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan gangguan
kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup.

B Tujuan
1 Mengetahui dan memahami gangguan biologis sistem perkemihan pada
lansia.
2 Mengetahui dan memahami konsep inkontinensia.
3 Mengetahui dan memahami serta dapat membuat asuhan keperawatan
pada lansia dengan masalah sistem perkemihan (inkontinensia).

2
BAB II
PEMBAHASAN

A Definisi Inkontinensia Urine


Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang
bersifat sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra
eksterna. Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit-
sedikit. Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin merupakan
ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau menetap untuk
mengontrol ekskresi urin.

B Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada
anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul
akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk
kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu,
adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga
walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin
berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan
gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan (diuretik),
produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke
toilet.

C Klasifikasi
1 Inkontinensia urine sementara (Transient)
Penyebab dari Inkontinensia urine sementara adalah infeksi saluran
kencing yang menyebabkan iritasi sehingga menimbulkan dorongan
berkemih yang kuat.
2 Inkontinensia urine menetap (Established)
Inkontinensia urine menetap disebabkan oleh masalah fisik seperti
kelemahan otot dasar panggul atau otot kandung kemih, penyakit

3
saraf, dan sumbatan pada saluran kencing. Yang termasuk
Inkontinensia urine menetap yaitu :
a. Inkontinensia stres
Tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes dengan
peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan berkemih, dan
sering miksi. Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot
spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya urin yang
disebabkan meningkatnya tekanan di abdomen secara tiba-tiba.
Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu batuk,
bersin, mengangkat benda yang berat, tertawa.
b. Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence)
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi
keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya
dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor
overactivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan
dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit
Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien
mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul
keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa
inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan
penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun.
Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor
dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami
kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung
kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti
inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh karena
itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat
menyerupai ikontinensia urin tipe lain sehingga penanganannya
tidak tepat.
c. Inkontinensia urin luapan / overflow (overflow incontinence)
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi
kandung kemih yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh

4
obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor
neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang
menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung
kemih, dan faktor-faktor obat-obatan.
d. Inkontinensia urin fungsional
Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya
pengeluaran urin akibat faktor-faktor di luar saluran kemih.
Penyebab tersering adalah demensia berat, masalah
muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan
kesulitan untuk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis.
Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan
berbagai gejala dan gambaran urodinamik lebih dari satu tipe
inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan
identifikasi semua komponen.

D Patofisiologi
Pada lanjut usia inkontinensia urin terjadi karena adanya perubahan
anatomi dan fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan
lingkungan. Pada tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh
reflek yang berpusat di pusat berkemih disacrum. Jalur aferen membawa
informasi mengenai volume kandung kemih di medulla spinalis.
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung
kemih melalui penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher
kandung kemih yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang
mempersyarafi otot dasar panggul.
Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik
parasimpatis yang menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek
simpatis kandung kemih berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat
penghambatan, akan merangsang timbulnya berkemih. Hilangnya
penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena usia sehingga lansia
sering mengalami inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat
mengganggu kondisi antara kontraksi kandung kemih dan relaksasi uretra

5
yang mana gangguan kontraksi kandung kemih akan menimbulkan
inkontinensia.

E Manifestasi Klinis
1 Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin
dengan gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.
2 Inkontinensia urin luapan / overflow : aliran urin buruk atau lambat.
3 Adanya desakan berkemih disertai ketidakmampuan ke kamar mandi
untuk berkemih.

F Pemeriksaan Diagnostik
1 Urinalisis : digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan
glukosa dalam urine.
2 Uroflowmeter : digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan
menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan
mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
3 Cysometry : digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular
kandung kemih dengan mengukur efisiensi refleks otot destrusor,
tekanan dan kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih
terhadap rangsangan panas.

6
4 Kateterisasi residu pasca kemih : digunakan untuk menentukan
luasnya pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa
dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.

G Penatalaksanaan
Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi.
Akan tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi
konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling
populer, selain itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi dan pemakaian alat
mekanis. Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah
mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol
inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan
pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan hal-hal
sebagai berikut :
1 Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah
urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar
karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis
minuman yang diminum.
2 Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih,
diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat
dilakukan adalah :
a) Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval
waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga
frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat
menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya.
Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu,
mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap
sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.

7
b) Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah
ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.
c) Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia
mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan
petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini
dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif
(berpikir).
d) Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan
otot dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara
mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan
cara : Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam
keadaan terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan
ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali, dan berputar
searah dan berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali. Gerakan
seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar
dilakukan ± 10 kali. Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul
menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.
3 Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia adalah
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine,
flavoxate, Imipramine.
4 Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe urgensi, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan
pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps
pelvic (pada wanita).
5 Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat

8
bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya
adalah pampers dan kateter.

H Asuhan Keperawatan
1 Pengkajian Pola Gordon
a) Pola Persepsi Kesehatan
Pada Inkontinensia urine pola ini tidak terganggu. Tetapi perlu
dikaji lebih lanjut.
b) Pola Nutrisi – Metabolik
Pada Inkontinensia urine pola ini tidak terganggu. Tetapi perlu
dikaji lebih lanjut.
c) Pola Eliminasi
Pada Inkontinensia urine pola ini terganggu karena pada lansia
terjadi penurunan fungsi otot sfingter eksternal sehingga lansia
tidak dapat mengontrol untuk berkemih.
d) Pola Aktivitas – Latihan
Pada Inkontinensia urine pola ini tidak terganggu. Tetapi perlu
dikaji lebih lanjut.
e) Pola Istirahat dan Tidur
Pada Inkontinensia urine pola ini tidak terganggu. Tetapi perlu
dikaji lebih lanjut.
f) Pola Kognitif – Persepsi
Pada Inkontinensia urine pola ini tidak terganggu. Tetapi perlu
dikaji lebih lanjut.
g) Pola Persepsi Diri – Konsep Diri
Pada Inkontinensia urine pola ini tidak terganggu.Tetapi perlu
dikaji lebih lanjut.
h) Pola Seksualitas – Reproduksi
Pada Inkontinensia urine pola ini tidak terganggu.Tetapi perlu
dikaji lebih lanjut.
i) Pola Koping – Toleransi Stres

9
Pada Inkontinensia urine pola ini tidak terganggu.Tetapi perlu
dikaji lebih lanjut.
j) Pola Peran – Hubungan
Pada Inkontinensia urine pola ini tidak terganggu.Tetapi perlu
dikaji lebih lanjut.
k) Pola Nilai – Kepercayaan
Pada Inkontinensia urine pola ini tidak terganggu. Tetapi perlu
dikaji lebih lanjut
2 Diagnosis
a) Inkontinensia urinarius fungsional b.d kelemahan struktur
panggul
b) Inkontinensia urine aliran berlebih b.d obstruksi aliran keluar
kandung kemih
c) Inkontinensia urine refleks b.d gangguan neurologis
d) Inkontinensia urine stress b.d tekanan intraabdomen tinggi
3 Analisis Data
No Analisa Data Etiologi Problem
1. 1 Tidak dapat kelemahan struktur Inkontinensia
mengontrol berkemih panggul urinarius fungsional

2. 1 Terlihat rembesan obstruksi aliran Inkontinensia urine


involunter sedikit urine keluar kandung aliran berlebih
kemih
3. 1 Tidak ada sensasi gangguan neurologis Inkontinensia urine
penuhnya kandung reflex.
kemih
2 Tidak ada sensasi
dorongan untuk
berkemih
3 Tidak ada sensasi
berkemih
4. 1 Adanya dorongan tekanan Inkontinensia urine
berkemih ketika batuk, intraabdomen tinggi stress

10
tertawa dan bersin.

4 NOC dan NIC


No Diagnosis NOC NIC
1 Inkontinensia Setelah dilakukan tindakan Urinary Elimination
urinarius keperawatan diharapkan Management
fungsional b.d pasien mampu mengontrol 1 Monitor eliminasi urin
kelemahan berkemih. meliputi frekuensi,
struktur panggul Urinary Continence konsistensi, volume
Kriteria Hasil : dan warna.
1 Mampu ke kamar mandi 2 Identifikasi faktor yang
secara mandiri. menyebabkan episode
2 Mampu mengosongkan inkontinensia
kandung kemih secara 3 Jelaskan pasien tentang
komplit. tanda dan gejala infeksi
3 Mampu merespon saluran kemih.
kandung kemih yang 4 Instruksikan pasien
penuh dengan tepat untuk berespons segera
waktu terhadap kebutuhan
eliminasi, jika perlu.
5 Kolaborasi dengan
dokter dalam mengkaji
efek medikasi dan
tentukan kemungkinan
perubahan obat, dosis /
jadwal pemberian obat
untuk menurunkan
frekuensi
inkontinensia.
2 Inkontinensia Setelah dilakukan tindakan Urinary Catheterization
urine aliran keperawatan diharapkan 1 Jelaskan prosedur
berlebih b.d pasien mampu mengontrol pemasangan kateter.

11
obstruksi aliran berkemih. 2 Monitor intake dan
keluar kandung Urinary Continence output.
kemih Kriteria Hasil : 3 Gunakan kateter yang
1 Mampu mengosongkan sesuai (ukuran).
kandung kemih secara
komplit.
3 Inkontinensia Setelah dilakukan tindakan Urinary Elimination
urine refleks b.d keperawatan diharapkan Management
gangguan pasien mampu mengontrol 1 Monitor eliminasi urin
neurologis berkemih. meliputi frekuensi,
Urinary Continence konsistensi, volume
Urinary Elimination dan warna.
Kriteria Hasil : 2 Identifikasi faktor yang
1 Mampu mengosongkan menyebabkan episode
kandung kemih secara inkontinensia
komplit. 3 Jelaskan pasien tentang
2 Melaporkan tanda dan gejala infeksi
inkontinensia berkurang saluran kemih.
atau hilang. 4 Instruksikan pasien
untuk berespons segera
terhadap kebutuhan
eliminasi, jika perlu.
5 Kolaborasi dengan
dokter dalam mengkaji
efek medikasi dan
tentukan kemungkinan
perubahan obat, dosis /
jadwal pemberian obat
untuk menurunkan
frekuensi
inkontinensia.
4 Inkontinensia Setelah dilakukan tindakan Urinary Elimination

12
urine stress b.d keperawatan diharapkan Management
tekanan pasien mampu mengontrol 1 Monitor eliminasi urin
intraabdomen berkemih. meliputi frekuensi,
tinggi Urinary Continence konsistensi, volume
Urinary Elimination dan warna.
Kriteria Hasil : 2 Identifikasi faktor yang
1 Mampu mengosongkan menyebabkan episode
kandung kemih secara inkontinensia
komplit. 3 Jelaskan pasien tentang
2 Melaporkan tanda dan gejala infeksi
inkontinensia berkurang saluran kemih.
atau hilang 4 Instruksikan pasien
untuk berespons segera
terhadap kebutuhan
eliminasi, jika perlu.
5 Kolaborasi dengan
dokter dalam mengkaji
efek medikasi dan
tentukan kemungkinan
perubahan obat, dosis /
jadwal pemberian obat
untuk menurunkan
frekuensi
inkontinensia.

13
BAB III
PENUTUP

A Kesimpulan
Inkontinensia merupakan salah satu gangguan sistem perkemihan
yang terjadi pada lansia. Inkontinensia urine pada lansia adalah
ketidakmampuan mengontrol kemih yang disebabkan penurunan fungsi otot
sfingter eksternal akibat proses penuaan. Inkontinensia dapat bersifat
sementara ataupun menetap. Inkontinensia ditandai adanya ketidakmampuan
menahan keluarnya air kencing. Seiring dengan bertambahnya usia, ada
beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain:
melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan
mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak
dapat menahan air seni.Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait
dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi
urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.

B Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan mahasiswa keperawatan dapat
mengetahui, mengerti dan memahami konsep dari gangguan biologis sistem
perkemihan seperti inkontinensia pada lansia sehingga kedepannya
mahasiswa keperawatan lebih mudah dalam membuat asuhan keperawatan
dan tentunya mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari saat memberikan
asuhan keperawatan kepada pasien lansia di Rumah Sakit.

14

You might also like