Professional Documents
Culture Documents
OLEH :
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017
BAB I
PENDAHULUAN
2.2 Struma
Struma adalah tumor (pembesaran) pada kelenjar tiroid Biasanya yang
dianggap membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal. Struma
diffusa adalah pembesaran yang merata dengan konsistensi lunak pada seluruh
kelenjar tiroid . Struma nodusa jika pembesaran kelenjar tiroid terjadi akibat
nodul, apabila nodulnya hanya satu maka disebut uninodusa, dan bila lebih
dari satu baik terletak pada hanya satu sisi lobus saja maupun pada kedua
lobus maka disebut multinodusa. Dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang
tugasnya memproduksi hormon tiroksin maka bisa kita bagi menjadi :
1. Hipertiroid sering juga disebut sebagai toksika (walaupun pada
kenyataannya pada penderita ini tidak dijumpai adanya toksin ), bila
produksi hormon tiroksin berlebihan.
2. Eutiroid bila produksi hormon tiroksin dalam batas normal.
3. Hipotiroid bila produksi hormon tiroksin kurang . Pada struma yang tanpa
tanda-tanda hipertiroid, kita sebut sebagai struma nontoksika.
Dari aspek histopatologi kelenjar tiroid, maka timbulnya struma bisa kita jumpai
akibat proses hiperplasia, keradangan /inflamasi, neoplasma jinak, neoplasma
ganas. Pembesaran kelenjar tiroid (struma) dapat disebabkan oleh: Hiperplasi
dan hipertrofi dari kelenjar tiroid, setiap organ apabila dipacu untuk bekerja lebih
berat maka akan kompensasi dengan jalan hipertrofi dan hiperplasi. Demikian
juga halnya pada kelenjar tiroid pada saat masa pertumbuhan atau pada kondisi
dimana membutuhkan hormon tiroksin lebih banyak maka akan diikuti dengan
pembesaran kelenjar tiroid, misalnya pada saat pubertas, gravid, sembuh dari sakit
parah.
2.4.2Klasifikasi Mallampati
Skor Mallampati adalah suatu perkiraan kasar dari ukuran relatif
lidah terhadap rongga mulut yang digunakan untuk memperkirakan
tingkat kesulitan intubasi. Skor Mallampati ditentukan dengan melihat
anatomi dari rongga mulut, khususnya berdasarkan visibilitas dari dasar
uvula, arkus tonsilaris anterior dan posterior, dan palatum mole.
Semakin tinggi skor mallampati, semakin tinggi pula tingkat kesulitan
untuk dilakukan intubasi
Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posteriororopharynk,
tonsilla palatina dan tonsillapharingeal
Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dindingposterior uvula
Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
Mallampati IV: palatum durum saja
2.4.3 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anesthesia diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar indusi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
Pemberian premedikasi dapat diberikan secara suntikan
intramuskuler diberikan 30-45 menit sebelum induksi, suntikan
intravena diberikan 5-10 menit sebelum induksi. Komposisi obat dan
dosis obat premedikasi yang akan diberikan kepada pasien serta cara
pemberiannya disesuaikan dengan masalah yang dijumpai pada pasien.
Tabel 1. Obat-obat yang dapat digunakan untuk premediksai
No. Jenis obat Dosis (Dewasa)
1 Sedatif :
Diazepam 5-10mg
Difenhidramin 1 mg/kgbb
Promethazin 1 mg/kgbb
Midazolam 0,1-0,2 mg/kgbb
2 Analgetik Opiat :
Petidin 1-2 mg/kgbb
Morfin 0,1-0,2 mg/kgbb
Fentanil 1-2 µg/kgbb
Analgetik non opiat Disesuaikan
3 Antikholonergik :
Sulfas atropine 0,1 mg/kgbb
4 Antiemetik :
Ondancentron 4-8 mg (iv) dewasa
Metoklorpamid 10 mg (iv) dewasa
5 Profilaksis aspirasi : Dosis disesuaikan
Cimetidine
Ranitidin
Antasida
2.4.4Intubasi Endotrakeal
Pengertian Intubasi Endotrakheal.
Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut
atau melaluihidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea.
Pada intinya, IntubasiEndotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa
endotrakha ke dalam trakhea sehinggajalan nafas bebas hambatan dan
nafas mudah dibantu dan dikendalikan. ETT dapat digunakan untuk
memberikan gas anestesi secara langsung ke trakea dan memberikan
ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan kekerasan ETT dapat
diubah dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara tergantung pada
diameter tabung, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang tabung dan
kurvatura. Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa diameter
internal 7-7.5 mm dengan panjang 24 cm. pada pria dewasa diameter
internal 7.5-9 mm dengan panjang 24cm.
Tujuan Intubasi Endotrakhea.
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah
untukmembersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan
nafas agar tetap paten,mencegah aspirasi, serta mempermudah
pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasienoperasi. Pada dasarnya,
tujuan intubasi endotrakheal :
Mempermudah pemberian anestesia.
Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaranpernafasan.
Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada
keadaan tidak sadar,lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
Mengatasi obstruksi laring akut.
Gambar 4. STATICS
2.4.6 Obat Anestesi Umum
Umumnya obat anestesi umum diberikan secara inhalasi atau
suntikan intravena.
1. Anestetik inhalasi
Nitrogen aksida yan stabil pada tekanan dan suhu kamar merupakan
salah satu anestetik gas yang banyak dipakai karena dapat digunakan
dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya. Halotan, enfluran,
isofluran, desfluran dan metoksifluran merupakan zat cair yang
mudah menguap. Sevofluran merupakan anestesi in halasi terbaru
tetapih belum diizinkan beredar di USA. Anestesi inhalasi
konvensional seperti eter, siklopropan, dan kloroform pemakaiannya
sudah dibatasi karena eter dan siklopropan mudah terbakar
sedangkan kloroform toksik terhadap hati.
2. Anestetik intravena
Beberapa obat anestetik diberikan secara intravena baik tersendiri
maupun dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya untuk
mempercepat tercapainya stadium anestesi atau pun sebagai obat
penenang pada penderita gawat darurat yang mendapat pernafasan
untuk waktu yang lama, Yang termasuk :
Barbiturat (tiopental, metoheksital)
Benzodiazepine (midazolam, diazepam)
Opioid analgesik dan neuroleptik
Obat-obat lain (profopol, etomidat)
Ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif
anestetik.
Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi,
intramuskular, atau rectal.
1. Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi
sudah terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi
intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan,
lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan
pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan
oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan
kepekatan 2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena
menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula digunakan dosis rendah
dan dewasa muda sehat dosis tinggi. Propofol (recofol, diprivan)
intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3 mg/kgBB.
Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
satu menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kgBB secara
intravena. Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB.
Pasca anestesi dengan ketamin sering menimbulkan halusinasi,
karena itu sebelumnya dianjurkan menggunakan sedativa seperti
midasolam (dormikum). Ketamin tidak dianjurkan pada pasien
dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah > 160 mmHg). Ketamin
menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.
Jenis Induksi intravena:
a) Tiopental (pentotal, tiopenton) (amp 500 mg atau 1000 mg)
sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai
kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk
intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan
dihabiskan dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan kecepatan
suntikan tiopental akan menyebabkan pasien berada dalam
keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi napas. Tiopental
menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan
intrakranial dan diguda dapat melindungi otak akibat kekurangan
O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesi.
b) Propofol (diprivan, recofol) Dikemas dalam cairan emulsi lemak
berwarna putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml
= 10 mg). Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg
intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan
untuk anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi
untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh
dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan
pada wanita hamil.
c) Ketamin (ketalar) Kurang digemari karena sering menimbulkan
takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia
dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi
buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg
intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin
0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10
mg. ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml =
10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).
d) Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) Diberikan dosis
tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan jantung. Untuk
anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mcg/kg
dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
2. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5
menit pasien tidur.
3. Induksi inhalasi
Obat yang digunakan adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat :
tidak berbau menyengat / merangsang
baunya enak
cepat membuat pasien tertidur.
Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran. Induksi
inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran.
Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum
terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut disuntik. Induksi
halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2.
Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran
N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol%
sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi
halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan
lagi sampai konsentrasi yang diperlukan. Induksi dengan sevofluran
lebih disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun langsung
diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. seperti dengan
halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan. Induksi dengan
enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang
dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi
lama.
a) N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida). Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi,
tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus
disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya
kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri
menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan
sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain
seperti halotan.
b) Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan
analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus
simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi
vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor.
Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat
pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.
c) Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran
lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih
kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia.
Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding halotan.
d) Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari
untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien
dengan gangguan koroner.
e) Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek
depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan
napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
f) Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disamping halotan. 9
4. Induksi per rektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam. Tandatanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks
bulu mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak
mata.
2.4.7 Rumatan Anestesi (Maintenance)
Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena
(anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran
intravena inhalasi. Rumatan anestesi biasanya mengacu pada trias
anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia
cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan
nyeri dari relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan intravena misalnya
dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 ug/kgBB.
Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup,
sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot.
Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa,
tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam.
Bedah lama dengan anestesi total intravena menggunakan opioid,
pelumpuh otot, dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan
inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan inhalasi biasanya
menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol%
atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4 vol%, atau sevofluran 2-4
vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted),
atau dikendalikan (controlled).
2.6 PEMULIHAN
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesiyang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room
yaitu ruangan untukobservasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar
merupakan batu loncatansebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif diICU. Dengan demikian pasien pasca
operasi atau anestesi dapat terhindar darikomplikasi yang disebabkan karena
operasi atau pengaruh anestesinya.Untuk memindahkan pasien dari ruang
pulih sadar ke ruang perawatan perludilakukan skoring tentang kondisi pasien
setelah anestesi dan pembedahan. Caraskoring yang biasa dipakai untuk
anestesi umum yaitu cara Aldrete.
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 40 tahun
Alamat : Desa Talaga Damsol
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Tanggal masuk RS : 19 Oktober 2017
Tanggal Operasi : 21 Oktober 2017
Berat badan : 40 kg
Tinggi Badan : 149 cm
Rumah Sakit : RSD Madani
II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama :
Benjolan pada leher
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk RSD Madani dengan keluhan benjolan pada leher sejak 4
tahun yang lalu dan tidak terasa nyeri. Awalnya pasien hanya merasakan
benjolan kecil dan lama kelamaan menjadi besar. Pasien tidak mengeluhkan
nyeri menelan, penurunan berat badan disangkal. Riwayat suara serak tidak
ada, sesak nafas tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, demam tidak
ada. Riwayat mulut berbau disangkal pasien. Riwayat hipertensi(-),
diabetes(-), alergi(-), asma(-), riwayat operasi sebelumnya (-)
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Darah Rutin : WBC : 5,7 x 103 μL
RBC : 4,1 x 106 μL
Hb : 12,1 g/dl
PLT : 209 x 103 μL
HCT : 37 %
CT : 8”
BT : 2”
FT4 : 0,99 ng/dl Cholesterol Total : 98 mg/dl
TSHs : 1,64 uIU/ml Trigliserida : 60 mg/dl
HbsAG : non reaktif HDL-CHOL : 21 mg/dl
Glukosa sewaktu : 73 mg/dl LDL-CHOL : 64 mg/dl
Asam urat : 4,5 mg/dl SGOT : 13 u/l
Kreatinin : 0,6 mg/dl SGPT : 16 u/l
Ureum : 20 mg/dl
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka dapat disimpulkan :
Diagnosis pre operatif : Struma
Status Operatif : ASA II, Mallampati I
Jenis Operasi : Tiroidektomi
Jenis Anastesi : General Anastesi
2. Di kamar Operasi
Assistant yang terlatih
STATICS:
Scope → stetoskop, laringoskop
Tubes → ETT (cuffed) size 6,0 mm
Airway → orotracheal airway
Tape → plester untuk fiksasi
Introducer → untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan
Connector → penyambung antara pipa dan ventilator
Suction → memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction
Peralatan monitor : tekanan darah, nadi, oksimetri berdenyut
Peralatan resusitasi dan obat-obatan emergensi : atropin sulfat, lidokain,
adrenalin, dan efedrin.
B. Premedikasi anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi, pasien diberikan Midazolam 3 mg
dan Fentanyi 60 mcg secara bolus IV.
C. Pemantauan Selama Anestesi
Melakukan monitoring terus menerus tentang keadaan pasien yaitu reaksi
pasien terhadap pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi
pernapasan dan jantung.
Kardiovaskular : Nadi setiap 5 menit, dan tekanan darah setiap 5 menit
Respirasi : Inspeksi pernapasan spontan pada pasien dan saturasi oksigen
Cairan : Monitoring input cairan
D. Monitoring Tindakan Operasi
Jam Tindakan Tekanan Nadi Saturasi
Darah (x/menit) O2 (%)
(mmHg)
08.35 Pasien masuk ke kamar operasi, 130/80 87 100
dandipindahkan ke meja operasi
Pemasangan monitoring tekanan
darah, nadi, saturasi O2
Infus RL terpasang pada tangan
kanan
Premedikasi : Midazolam 3mg
iv, Fentanyl 60mcg
08.45 Obat induksi dimasukkan secara 130/89 88 100
iv:
o Propofol 70 mg
o Atracurium Besylate 25 mg
Kemudian mengecek apakah
refleks bulu mata masih ada atau
sudah hilang.
Jika tidak ada, lalu dilakukan
tindakan face mask dengan
sungkup No.3, dan diberikan:
o O2 : 5 L
o Sevoflurane : 2,5 vol%
08.50 Dilakukan tindakan pemasangan 120/70 86 100
endotracheal tube No. 7 dengan
bantuan laringoskop kemudian
fiksasi.
Memasang goedel (oral airway)
Kedua mata pasien ditutup
dengan plester
Pernafasan spontan dengan
mantainance face mask Isofluran
2,5vol%
08.55 Operasi dimulai 100/60 80 100
Kondisi terkontrol
09.00 Kondisi terkontrol 100/60 84 100
Operasi sementara berlangsung
09.05 Kondisi terkontrol 100/70 78 100
Operasi sementara berlangsung
09.10 Kondisi terkontrol 120/70 80 100
Operasi sementara berlangsung
Dilakukan penggantian infus RL
500 cc
09.15 Kondisi terkontrol 100/70 88 100
Operasi sementara berlangsung
09.30 Kondisi terkontrol 110/60 78 100
Operasi sementara berlangsung
09.35 Kondisi terkontrol 120/80 84 100
Operasi sementara berlangsung
09.40 Kondisi terkontrol 110/70 84 100
Operasi sementara berlangsung
09.45 Kondisi terkontrol 110/70 84 100
Operasi sementara berlangsung
Struma berhasil diangkat dan
diligasi
10.00 Kondisi terkontrol 100/60 80 100
Operasi sementara berlangsung
10.05 Kondisi terkontrol 120/70 86 100
Operasi sementara berlangsung
10.10 Kondisi terkontrol 110/60 84 100
Operasi sementara berlangsung
10.15 Kondisi terkontrol 110/70 88 100
Operasi sementara berlangsung
10.20 Kondisi terkontrol 100/60 80 100
Operasi sementara berlangsung
10.25 Kondisi terkontrol 110/60 82 100
Operasi sementara berlangsung
10.30 Kondisi terkontrol 120/70 84 100
Operasi sementara berlangsung
10.35 Kondisi terkontrol 110/70 84 100
Memasukkan Ondancentron 4
mg iv, Ketorolac 30 mg
iv,Dexamethason 10 mg iv
10.40 Operasi selesai 110/60 88 100
Melakukan ekstubasi
Dilakukan suction , dan pelepasan
endotracheal tube
Gas Isoflurane dimatikan, dan gas
O2 dinaikkan menjadi 5 vol %
(Oksigenisasi) dengan
menggunakan face mask.
Gas 02 dihentikan
Dilakukan penggantian infus RL
500 cc + Fentanyl 50mg 20 tpm
Pelepasan alat monitoring
(saturasi dan tensimeter).
Pasien dipindahkan ke ruang
recovery room. Selanjutnya
dilakukan pemasangan O2 3 lpm
di recovery room
Pasien dapat dibangunkan dan
memonitoring keadaan pasien.
F. POST OPERATIF
- Pasien masuk ruang pemulihan dan setelah itu dibawa ke Bangsal
Nangka
- Observasi tanda- tanda vital dalam batas normal
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/60 mmHg
Nadi : 88x/min
Saturasi : 100%
Skor Total 10
≥ 9 : Pindah dari unit perawatan pasca anestesi
≥ 8 : Dipindahkan ke ruang perawatan bangsal
≥ 5 : dipindahkan ke ruang perawatan intensif (ICU)
Pada pasien ini didapatkan nilai aldrete skor 10, pasien dipindahkan ke ruang
perawatan bangsal untuk dilakukan observasi lebih lanjut.
G. Terapi Cairan
1. Berat Badan : 40 kg
2. Jumlah Cairan yang masuk : 1200 cc
- Preoperatif (RL 500 cc)
- Durante operatif (RL 700 cc )
3. Jumlah cairan keluar :
a. Darah = ±150 cc
- Perdarahan dari kasa uk 4x4 = 10 buah (15 x 10 = 150 cc)
4. Estimated Blood Volume (EBV) dengan BB pasien 40 kg
BB (Kg) x 70 ml/kgBB
= 75 cc/kg BB x 40 kg
= 3000 cc
% Perdarahan = Jumlah Perdarahan : EBV x 100%
= 150 : 3000 x 100%
= 0,05 x 100%
= 5 %.
5. Perhitungan Cairan
a. Input yang diperlukan selama operasi
1. Cairan Maintanance
(M) = (4x10) + (2x10) + (1x20)
= 40+ 20 + 20
=80 ml/jam
2. Cairan defisit pengganti puasa (P) :
Lama puasa x maintenance = 8 jamx 80
= 640 ml
3. Stress operasi (operasi sedang) :
= 6 cc x BB
= 6 x 40
= 240 ml/jam
4. Defisit darah selama 2 jam = 150 ml
- Jika diganti dengan cairan kolid atau darah 1:1
- Jika diganti dengan cairan kristaloid 3:1
5. Total kebutuhan cairan selama 2 jam operasi :
= (Cairan maintenance x 2 jam) + defisit pengganti puasa + Stres operasi
+ perdarahan
= 1190 ml
a. Keseimbangan kebutuhan:
= Cairan masuk – cairan dibutuhkan
= 1200 ml – 1190 ml
= 10 ml
BAB IV
PEMBAHASAN
Kesimpulan
3) Anestesi umum (General anesthesia) disebut juga Narkose Umum (NU)
adalahtindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran
dan bersifatreversible berdasarkan trias anesthesia yang ingin diperoleh yaitu
hipnotik,analgesia, dan relaksasi otot.
4) Prosedur anastesi umum dan monitoring pasien tidak hanya dilakukan pada
saatoperasi tetapi juga mencakap persiapan pra anastesia (kunjungan dan
premedikasi)dan pasca anastesia.
5) Pemilihan teknik intubasi pada anastesi umum didarkan pada jenis operasi
yangakan dilakukan, usia, jenis kelamin, status fisik pasien, keterampilan
pelaksanaanastesi, ketersediaan alat, serta permintaan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi
EdisiKedua. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI:
Jakarta.
2. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi
Intensif,FKUI. CV Infomedia: Jakarta.
3. Burton MJ, Towler B, Glasziou P. Tonsillectomy versus non-surgical
treatment forchronic/recurrent acute tonsillitis (Cochrane Review). In: The
Cochrane Library, Issue2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.
4. Pasternak LR, Arens JF, Caplan RA, Connis RT, Fleisher LA, Flowerdew R,
et al.Practice advisory for preanesthetic evaluation. A report by the American
Society ofAnesthesiologists Task Force on Preanesthesia Evaluation 2003.
5. Mangku, Gde dan Tjokorda Gde Agung S. 2010. Buku Ajar Ilmu Anastesi
danReanimasi. Indeks : Jakarta.
6. Ganiswara, Silistia G. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy
Pharmacology). AlihBahasa: Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta, 1995
7. Wrobel M, Werth M.2009. Pokok-pokok Anestesi. Edisi pertama. Jakarta.
PenerbitBuku Kedokteran EGC.
8. Omoigui S. 2012.Obat-obatan Anestesia. Edisi kedua. Jakarta. Penerbit
BukuKedokteran EGC.
9. Syarif,Amir,et al. 2009.Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima.
DepartemenFarmakologi dan Terapeutik FKUI: Jakarta