Professional Documents
Culture Documents
KEGAWATDARURATAN MEDIS
PRAKTIKUM OBAT-OBAT EMERGENSI
Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. dr. Sjarief Ismail, M.Kes selaku narasumber dalam proses praktikum
“Kegawatdaruratan Medis Obat-obat Emergensi” yang telah membimbing kami
dalam melaksanakan praktikum ini dengan baik.
2. Teman-teman kelompok IV yang telah mencurahkan pikiran, tenaga dan waktunya
sehingga laporan praktikum ini dapat berjalan dengan baik dan lancar.
3. Teman-teman mahasiswa kedokteran Universitas Mulawarman angkatan 2013
khususnya yang telah bersedia untuk sharing bersama mengenai materi praktikum
yang kita bahas.
Akhirnya, tak ada gading yang tak retak, tentunya laporan praktikum ini sangat jauh
dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penyusun
harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan hasil praktikum ini.
Hormat Kami,
Penyusun
ii
Kasus No. 2
Seorang penderita berumur 20 tahun datang ke UGD RSU A Wahab Sjahranie dengan
keluhan panas badan 3 hari. Setelah diperiksa oleh dokter UGD diputuskan untuk diberikan
injeksi xylomidon dan delladryl=2:1 secara intramuskular. Satu menit kemudian penderita
merasa gatal-gatal seluruh tubuh sesak nafas dan tidak sadarkan diri. Dokter kemudian
memeriksa dan diketahui tensi 50 mmHg palpasi dan ada wheezing di kedua paru, lalu di
diagnosa anafilaktik shok dan diberikan penanganan shock anafilasis. Setelah diberi
penanganan shock anafilasis selama 3 jam penderita tersebut diperbolehkan pulang.
Tugas :
1. Tulislah jenis-jenis obat-obat yang dapat menyebabkan shok anafilaksis.
2. Tulislah jenis-jenis obat yang dapat digunakan untuk penatalaksanaan shock
anafilaksis, bentuk sediaan obat dan dosis obat pada anak dan dewasa,
farmakodinamik dan Farmakokinetiknya.
3. Tulislah penatalaksanaan shock anafilalsis (dosis dan cara pemberian) untuk penderita
tersebut diatas.
4. Edukasi apa yang harus diberikan pada penderita.
Pembahasan Tugas :
1. Tulislah jenis-jenis obat-obat yang dapat menyebabkan shok anafilaksis
Jawab :
1. Obat Hormon : ( Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin )
2. NSAID (Ibuprufen, Diclofenac
3. Antibiotika ( Penicillin, Streptomisin, Cephalosporin, Tetrasiklin, Ciprofloxacin,
Amphotericin B, Nitrofurantoin.)
4. Zat pengelepas histamin secara langsung : ( opiat, vankomisin, kurare, dekstran,
fluoresens )
5. Anastesi : ( Lidocain, Procain, Althesin, Atracurium, Dextran 70)
6. Lain - lain : Codein, Asam Salisilat ,Barbiturat, Diazepam, Phenitoin, Protamine,
Aminopyrine, Acetil cystein , Prostagladin, Morfin, Tetracosactidum depot.
iii
2.Tulislah jenis-jenis obat yang dapat digunakan untuk penatalaksanaan shock anafilaksis,
bentuk sediaan obat dan dosis obat pada anak dan dewasa, farmakodinamik dan
farmakokinetiknya.
Jawab :
Obat-obatan yang digunakan dalam terapi anafilaksis umumnya ditujukan untuk :
Menghambat sintesis dan lepasnya mediator.
Blokade reseptor jaringan terhadap mediator yang lepas
Mengembalikan fungsi organ terhadap pengaruh mediator.
Jenis-jenisnya :
2. Obat-obat Vasopressor
Bila pemberian adrenalin dan cairan infuse yang dirasakan cukup adekuat tetapi
tekanan sistolik tetap belum mencapai 90 mmHg atau syok belum teratasi, dapat
diberikan vasopressor. Dopamin dapat diberikan secara infuse dengan dosis awal
0,3mg/KgBB/jam dan dapat ditingkatkan secara bertahap 1,2mg/KgBB/jam untuk
mempertahankan tekanan darah yang membaik. Noradrenalin dapat diberikan untuk
hipotensi yang tetap membandel.
3. Aminofilin
Sama seperti adrenalin, aminofillin menghambat pelepasan histamine dan mediator
lain dengan meningkatkan c-AMP sel mast dan basofil. Jadi kerjanya memperkuat
kerja adrenalin. Dosis yang diberikan 5mg/kg i.v pelan-pelan dalam 5-10 menit untuk
mencegah terjadinya hipotensi dan diencerkan dengan 10 ml D5%. Aminofillin ini
diberikan bila spasme bronkus yang terjadi tidak teratasi dengan adrenalin. Bila perlu
aminofillin dapat diteruskan secara infuse kontinyu dengan dosis 0,2 -1,2 mg/kg/jam.
iv
4. Kortikosteroid
Berperan sebagai penghambat mitosis sel precursor IgE dan juga menghambat
pemecahan fosfolipid menjadi asam arakhidonat pada fase lambat. Kortikosteroid
digunakan untuk mengatasi spasme bronkus yang tidak dapat diatasi dengan adrenalin
dan mencegah terjadinya reaksi lambat dari anafilaksis. Dosis yang dapat diberikan
adalah 7-10 mg/kg i.v prednisolon dilanjutkan dengan 5 mg/kg tiap 6 jam atau dengan
deksametason 40-50 mg i.v. Kortisol dapat diberikan secara i.v dengan dosis 100 -200
mg dalam interval 24 jam dan selanjutnya diturunkan secara bertahap.
Contohnya:hidrokortison, prednisolon, deksemetason
5.Antihistamin
Bekerja sebagai penghambat sebagian pengaruh histamine terhadap sel target.
Antihistamin diindikasikan pada kasus reaksi yang memanjang atau bila terjadi edema
angioneurotik dan urtikaria. Difenhidramin dapat diberikan dengan dosis 1-2mg/kg
sampai 50 mg dosis tunggal i.m. Untuk anak-anak dosisnya 1mg/kg tiap 4 -6 jam.
Contohnya : difenhidramin
6.Diazepam
Digunakan untuk mengatasi kejang-kejang, eklamsia, gaduh gelisah dan tetanus .
Efek samping dapat menyebabkan depresi pernafasan. Dosis dewasa 1 amp (10 mg)
intra vena dapat diulangi setiap 15 menit.
7.Sulfas Atropin
Merupakan antikolinergik, bekerja menurunkan tonus vagal dan memperbaiki sistim
konduksi AtrioVentrikuler. Indikasi : asistole atau PEA lambat (kelas II B), bradikardi
(kelas II A) selain AV blok derajat II tipe 2 atau derajat III (hati-hati pemberian
atropine pada bradikardi dengan iskemi atau infark miokard), keracunan organopospat
(atropinisasi) Kontra indikasi : bradikardi dengan irama EKG AV blok derajat II tipe
2 atau derajat III. Dosis 1 mg IV bolus dapat diulang dalam 3-5 menit sampai dosis
total 0,03-0,04 mg/kg BB, untuk bradikardi 0,5 mg IV bolus setiap 3-5 menit
maksimal 3 mg. dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali
dosis intra vena diencerkan menjadi 10 cc.
8.Morfin
Sebagai analgetik kuat, dapat digunakan untuk edema paru setelah cardiac arrest.
Dosis 2-5 mg dapat diulang 5 – 30 menit
9.Magnesium Sulfat
Direkomendasikan untuk pengobatan Torsades de pointes pada ventrikel takikardi,
keracunan digitalis.Bisa juga untuk mengatasi preeklamsia . Dosis untuk Torsades de
pointes 1-2 gr dilarutkan dengan dektrose 5% diberikan selama 5-60 menit. Drip 0,5-1
gr/jam iv selama 24 jam
v
10.Dopamin
Sebagai merangsang efek alfa dan beta adrenergic agar kontraktilitas miokard, curah
jantung (cardiac output) dan tekanan darah meningkat. Dosis 2-10 μg/kgBB/menit
dalam drip infuse. Atau untuk memudahkan 2 ampul dopamine dimasukkan ke 500 cc
D5% drip 30 tetes mikro/menit untuk orang dewasa
FARMAKODINAMIK
1.Kardiovaskular
Kerja utama adrenaline adalah pada sistem kardiovaskular. Senyawa ini memperkuat daya
kontraksi otot jantung (miokard) (inotropik positif: kerja β1) dan mempercepat kontraksi
miokard (kronotropik positif: kerja β1). Oleh karena itu, curah jantung meningkat pula.
Akibat dari efek ini maka kebutuhan oksigen otot jantung jadi meningkat juga. Adrenaline
mengkonstriksi arteriol di kulit, membrane mukosa, dan visera (efek α) dan mendilatasikan
pembuluh darah ke hati dan otot rangka (efek β2). Aliran darah ke ginjal menurun. Oleh
karena itu, efek kumulatif adrenaline adalah peningkatan tekanan sistolik bersama dengan
sedikit penurunan distolik. Pada jantung, adrenaline bekerja meningkatkan kekuatan
kontraksi dan frekuensi jantung. Curah jantung akan naik. Selama tekanan darah rata-rata
(harga rata-rata antara tekanan sistol dahn tekanan diastol) tidak naik, tidak terjadi pengaturan
lawan reflektrolik dari parasimpatis. Pada penggunaan adrenaline, harus pula
dipertimbangkan bahwa senyawa ini akan meninggikan pemakaian oksigen dan oleh karena
itu, walau terjadi dilatasi arteria koronaria, dapat timbul serangan angina pektoris.
vi
2.Respirasi
Adrenaline menimbulkan bronkodilatasi kuat dengan bekerja langsung pada
otot polos bronkus (kerja β2). Pada keadaan syok anafilaksis, obat ini dapat
menyelamatkan nyawa.
FARMAKOKINETIK
Adrenaline mempunyai awitan cepat tetapi kerjanya singkat. Pada situasi gawat, obat
ini diberikan secara intarvena. Untuk memperoleh awitan yang sangat cepat dapat pula
dberikan secara subkutan, pipa endotrakeal, inhalasi atau topikal pada mata. Pemberian
peroral tidak efektif, karena adrenaline dapat dirusak oleh enzim dalam usus.
ß2-adrenergic agonist, seperti solusion salbutamol (albuterol), 2.5 mg/3 mL atau 5 mg/3 mL
(dewasa), (2.5 mg/3 mL , untuk anak - anak) diberikan melalui nebuliser atau masker wajah.
ß2-adrenergic agonist bisa digunakan jika pasien mengalami bronkospasme terutama jika
bronkospasme ini tidak merespon terhadap epinefrin.
FARMAKODINAMIK
Salbutamol adalah agonis β2-adrenergik dan merangsang reseptor β2-
adrenegrik. Ikatan dengan β2 reseptor di paru-paru menghasilkan relaksasi dari
otot-otot polos bronkus. Dipercaya bahwa salbutamol meninngkatkan produksi
cAMP dengan mengaktivasi adenylate cyclase, dan mekanisme kerja salbutamol
dimediasi oleh cAMP. Konsentrasi cAMP intarseluler yang meningkat
memperbesar aktivasi cAMP-dependen protein kinase A, yang menginhibisi
fosforilasi myosin dan menurunkan kadar kalsium intraseluler. Pada akhirnya
terjadi relaksasi otot polos bronkus. Peningkatan kadar cAMP intrasel juga
disebabkan inhibisi dari pelepasan mediator mast cell di saluran nafas.
FARMAKOKINETIK
Interaksi ini terjadi bila salah satu obat memperngaruhi absorpsi, metabolisme atau
ekskresi obat lainnya sehingga kadar plasma obat tersebut akan meningkat atau
menurun. Akibatnya terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan efektivitas obat
tersebut. Interaksi farmakokinetik tidak dapat diekstarpolasikan ke obat lain yang
segolongan dengan obat yang berinteraksi, sekalipun struktur kimianya mirip,
karena anata obat-obat segolongannya terdapat variasi sifat-sifat fisikokimia yang
menyebabkan varian sifat farmakokinetikknya. Salbutamol dapat diabsorbsi di
saluran cerna secara cepat dan lebih cepat dengan inhalasi. Untuk distribusi
salbutamol, besarnya ikatan dengan protein serum belum diketahui dan
metabolismenya dihidrolisis oleh enzim esterase di darah dan jaringan menjadi
bentuk aktif colierol. Obat ini juga dikonjugasikan menjadi bentuk salbutamol 4’-
O-sulfate. Salbutamol pada akhirnya harus diekskresi melalui ginjal dalam waktu
paruhnya 1,6 jam.
Anti histamin H1 dapat diberikan secara infus I.V secara lambat seperti klorfeniramin 10 mg
untuk dewasa, 2,5 – 5 mg untuk anak – anak atau difenhidramin 25 – 50 mg untuk dewasa
dan 1 mg/kgBB, maksimum 50 mg untuk anak – anak.
vii
FARMAKODINAMIK
A. Blokade reseptor histamin
Antagonis reseptor H1 memblokade kerja histamin melalui antagonisme kompetitif
reversibel pada reseptor H1. Potensinya dapat diabaikan pada reseptor H2 dan
kecil pada reseptor H3. Sebagai contoh, kontraksi bronkioli dan otot polos
pencernaan yang diinduksi histamin dapat diblokade sepenuhnya oleh antagonis
reseptor H1, tetapi efek histamin pada sekresi asam lambung dan jantung tetap
tidak terpengaruh.
viii
7. Anestesi lokal---Beberapa antagonis H1 generasi pertama merupakan anestesi lokal
kuat. Antagonis H1 seperti prokain dan lidokain, memblokade kanal natrium
membran yang mampu tereksitasi. Difenhidramin dan prometazin sebenarnya
merupakan anestesi lokal yang lebih kuat dibandingkan prokain. Obat tersebut
terkadang digunakan untuk menghasilkan anestesi lokal pada pasien yang alergi
terhadap obat – obat anestesi yang konvensional.
FARMAKOKINETIK
Antagonis H1 dapat dibagi menjadi obat generasi pertama dan obat generasi kedua.
Kelompok ini dibedakan melalui adanya efek sedatif kuat pada kebanyakan obat
generasi pertama. Obat generasi pertama juga lebih cenderung memblokade
reseptor otonom. Ciri efek sedatif yang lebih ringan pada penyekat H1, generasi
kedua sebagian diakibatkan karena distribusinya yang kurang komplit pada
susunan saraf pusat.
Antagonis reseptor H1 mudah diabsorbsi sesudah pemberian oral, puncak
konsentrasinya dalam darah terjadi setelah 1 – 2 jam. Obat – obat ini mudah
didistribusikan ke seluruh tubuh, dan obat generasi pertama dengan cepat masuk
ke susunan saraf pusat. Beberapa dimetabolisasi secara luas, terutama oleh sistem
mikrosomal hati. Beberapa obat generasi kedua dimetabolisasi oleh sistem
CYP3A4 sehingga jika ada interaksi obat lain yang menghambat enzim P450
subtipe in, obat generasi kedua tersebut dapat ikut terpengaruh. Sebagian besar
obat memiliki durasi kerja efektif 4 – 6 jam setelah pemberian satu dosis tunggal,
tetapi meklizin dan beberapa obat generasi kedua bekerja lebih lama, durasi
kerjanya 12-24 jam. Obat oabat yang lebih baru kurang larut lemak dibandingkan
obat generasi pertama dan menjadi substrat transporter glikoprotein-P dalam
sawar darah ota; sebagai akibatnya obat – obat baru ini kesulitan atau malah tidak
dapat masuk ke susunan saraf pusat. Banyak antagonis H1 mempunyai metabolit
aktif.
Klorfeniramin
Mekanisme : bekerja sebagai antagonis reseptor H1 di pembuluh darah, traktus respiratorius
dan traktus gastrointestinal
Farmakokinetik :
Half life elimination : 10 – 13 jam (anak – anak), 14 – 24 jam (dewasa)
Durasi : 24 jam
Onset : 6 jam
Waktu plasma puncak : 2 – 3 jam
Pengikatan protein : 29 – 37%
Distribusi volume : 4 – 7 L/kg (anak – anak); 6 – 12 L/kg (dewasa)
Metabolisme : hepar (CYP2D6)
Metabolit : monodesmetilklorfeniramin, didesmetilklorfeniramin
Ekskresi : urin
Efek sedatif : rendah
Aktivitas antihistamin : sedang
Aktifitas antikolinergik : sedang
ix
Difenhidramin
Mekanisme aksi
Antagonis reseptor histamin H1 pada sel efektor di traktus respiratorius,
pembuluh darah dan otot polos gastrointestinal.
Antikolinergik dan antiemetik sedang hingga tinggi
Absorbsi
Bioavaibilitas : 42 – 62%
Onset : 15 – 30 menit
Durasi : ≤ 12 jam (histamine-induced flare supression); ≤ 10 jam (histamine-
induced wheal supression)
Waktu puncak serum : 2 jam
Distribusi
Pengikatan protein : 98.5%
Distribusi volume: 22 L/kg (anak – anak);17 L/kg (dewasa); 14 L/kg
(orangtua)
Metabolisme
Metabolisme melalui hepar
Eliminasi
Half life : 5 jam (anak – anak); 9 jam (dewasa); 13,5 jam (orang tua)
Ekskresi : urin (50 – 75%), terutama sebagai metabolit
Anti histamin H2 dapat diberikan secara infus IV, seperti ranitidin 50 mg (untuk dewasa) atau
1 mg/kgBB, maksimum 50 mg (untuk anak – anak). Baik antihistamin H1 maupun
antihistamin H2 dipertimbangkan sebagai terapi suportif, bukan untuk menggantikan
epinefrin. Antihistamin dapat diberikan setelah pemberian epinefrin untuk mengontrol
manifestasi kardiovaskular dan kutaneus.
FARMAKODINAMIK
Antagonis H2 menunjukkan inhibisi kompetitif di reseptor H2 sel parietal dan menekan
sekresi asam, baik sekresi asam basal maupun yang dirangsang oleh makanan, secara linear
dan bergantung pada dosis. Obat ini sangat selektif dan tidak mempengaruhi reseptor H1 dan
H3. Volume sekresi lambung dan kadar pepsin juga berkurang.
Antagonis H2 mengurangi sekresi asam yang dirangsang oleh histamin serta gastrin dan
agen kolinomimetik melalui 2 mekanisme. Pertama, histamin yang dilepaskan dari sel ECL
akibat perangsangan gastrin dan vagus disekat agar tidak berikatan dengan reseptor H2 sel
parietal. Kedua, perangsangan langsung sel parietal oleh gastrin atau asetilkolin
menyebabkan penurunan sekresi asam bila terjadi blokade reseptor H2. Tampaknya,
penurunan kadar cAMP sel parietal melemahkan aktivasi protein kinase dalam sel oleh sel
gastrin atau asetilkolin.
FARMAKOKINETIK
Terdapat empat antagonis reseptor H2 yang digunakan dalam klinis yaitu simetidin,
ranitidin, famotidin, dan nizatidin. Keempat agen tersebut cepat diserap oleh usus. Simetidin,
ranitidin, dan famotidin mengalami metabolisme lintas pertama di hati sehingga membuat
bioavaibilitasnya menjadi sekitar 50%. Hanya sedikit nizatidin yang mengalami metabolisme
lintas pertama di hati sehingga bioavaibilitasnya mencapai hampir 100%. Waktu paruh serum
berkisar dari 1 – 1,4 jam; namun, durasi kerjanya bergantung pada dosis yang diberikan.
x
Antagonis H2 mengalami bersihan oleh kombinasi metabolisme hati, filtrasi glomerulus dan
sekresi tubulus ginjal. Penurunan dosis diperlukan oleh penderita insufisiensi ginjal sedang
hingga berat (dan kemungkinan insufisiensi hati berat) Pada lansia, terjadi penurunan
bersihan obat sebesar 50% serta penurunan volume distribusi secara bermakna.
Ranitidin
Mekanisme aksi : antagonis reseptor H2 ; memblok reseptor H2 di sel parietal
lambung, mengarah ke inhibisi sekresi lambung
Absorbsi
a. Bioavaibilitas : 50% (peroral); 90 – 100 % (IM)
b. Onset : 1 jam (IV/PO)
c. Durasi : 4 – 5 jam (IV/IM)
d. Waktu puncak serum : 15 menit (IM); 2 – 3 jam (PO)
Distribusi
Pengikatan protein : 10 – 19%
Distribusi volum : 1.4 L/kg (fungsi renal normal)
Metabolisme
Metabolisme di hati
Metabolit : ranitidine N-oxide, desmetilranitidin, ranitidin S-oxide (inaktif)
Inhibisi enzim : tidak seperti simetidin, ranitidin tidak menginhibisi enzim
mikrosomal
Eliminasi
Half life : 2,5 – 3 jam (PO; meningkat hingga 4,8 jam denganCrCl 25 – 35
mL/min); 2 – 2,5 jam (IV)
Klirens renal : 25 l/jam
Total klirens tubuh : 1,29 – 1,44 l/jam/kg
Eksresi : urin (30% PO; 70% IV)
FARMAKODINAMIK
Efek glukokortikoid terhadap berbagai sistem antara lain, anti inflamasi yang berfungsi
menstabilisasi membran lisosom dan mencegah pelepasan enzim proteolitik selama proses
inflamasi. Glukokortikoid dengan norepineprin berfungsi untuk vasokostriksi, tanpa
glukokortikoid aksi vasokonstriksi menurun dan tekanan darah turun. Glukokortikoid juga
menurunkan protein di otot, meningkatkan asam amino plasma, meningkatkan aktifitas enzim
yang diperlukan untuk glukogenesis, dapat menyebabkan diabetes, dan menyebabkan resisten
insulin. Selain itu, menyebabkan penggunaan lemak sebagai energi dan menyebabkan
akumulasi cadangan lemak di tubuh, menyebabkan buffalo humb dan moon face. Pada
kondisi stres maka untuk proteksi, kortikosteroid dilepaskan. Kortikosteroid juga memiliki
efek untuk menimbulkan eksitasi neuron sehingga akan timbul efek euporia, kecemasan,
depresi, psikosis, dan meningkatkan aktifitas motor sebagian individu.
xi
FARMAKOKINETIK
Semua senyawa glukokortikoid merupakan senyawa yang mudah larut dalam lemak dan
diabsorbsi di usus kecil menuju plasma darah yang kemudian dimetabolisme di hati. Setelah
diabsorbsi, lebih dari 90% kortisol dalam plasma kembali ke protein dalam keadaan normal.
Setelah penggunaan oral, secara fisiologi steroid hidrokortison dan kortikosteron dibawa
dengan ikatan kuat oleh globulin plasma. Pada hal lain glukokortikoid alami dan sintetik
dibawa oleh albumin. Dua protein plasma di perhitungkan untuk hampir semua ikatan streoid,
kortikosteroid binding globulin (CBG dan transcortin) dan albumin. CBG adalah α-globulin
yang diseksresi oleh hati yang memiliki ikatn kuat dengan steroid dimana albumin
mempunyai ikatan yang rendah. Farmakokinetik glukokortikoid mungkin tidak
menggambarkan masa kerjanya, beberapa metabolitnya merupakan derivat aktif. Beberapa
steroid (dexametason) mungkin berefek 48-72 jam. Glukokortikoid juga diabsorbsi ke sistem
dari tempat suntikan pada penggunaan lokal, seperti ruang sinovial, konjungtiva, kulit, dan
saluran nafas.
3.Tulislah penatalaksanaan shock anafilalsis (dosis dan cara pemberian) untuk penderita
tersebut diatas.
Jawab :
xii
5.Awasi vital sign (Tekanan darah, respirasi, nadi). Bila tekanan darah tetap rendah, tekanan
darah systole kurang dari 100 mmHg diperlukan pemasangan jalur infus untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam
mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah
jantung serta mengatasi asidosis laktat.
6.Bila diperlukan rujuk pasien ke RSU terdekat dengan penanganan penderita di tempat
kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan
transportasi penderita harus didampingi oleh tenaga medis. Posisi waktu dibawa harus tetap
dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
7Jika syok sudah teratasi, pasien harus diawasi / diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam.
Sedangkan penderita yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2 – 3 kali suntikan,
harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi
Penanganan Tambahan :
1. Jika timbul urtikaria dapat diberikan antihistamin : Difenhidramin injeksi 50 mg.
2. Untuk mencegah reaksi berulang dapat diberikan kortikosteroid : Hydrokortison
injeksi 7 – 10 mg / kg BB, dilanjutkan 5 mg / kg BB setiap 6 jam atau deksametason
2-6 mg/kgbb. Antihistamin dan Kortikosteroid tidak untuk mengatasi syok
anafilaktik.
3. Pemberian Aminofilin IV, 4-7 mg/kgbb selama 10-20 menit bila terjadi tanda – tanda
bronkospasme, dapat diikuti dengan infuse 0,6 mg /kgbb/jam, atau brokodilatator
aerosol (terbutalin, salbutamol ).
Anafilaksis adalah bentuk terberat dari alergi obat yang jarang terjadi. Tetapi
kejadiannya adalah tiba-tiba, tidak diduga, dan potensial berbahaya.Oleh sebab itu, perlu
kewaspadaan dan kesiapan dalam menghadapi keadaan tersebut. Pasien yang pernah
mengalami syok anafilaktik memiliki resiko untuk mengalaminya lagi bila terpajan oleh
pencetus yang sama. Pasien harus diberikan peringatan akan hal ini agar lebih waspada.
Sebaiknya pasien menghindari zat-zat pencetus yang diketahui menjadi pencetus.
Pasien yang mempunyai resiko anafilaksis juga dianjurkan tidak menggunakan obat-obat
penyekat beta karena pengobatannya sulit. Bagi mereka yang memiliki kecenderungan untuk
mengalami syok anafilaktik sebaiknya disarankan untuk membawa bekal adrenalin
kemanapun untuk mengantisipasi anafilaksis yang terjadi tidak terduga seperti sengatan
tawon atau anafilaksis idiopatik.
xiii
REFERENSI
xiv