Professional Documents
Culture Documents
HISTOLOGI GINJAL (nda yakin ini bener apa nda, tolong di cek lg)
Setiap ginjal memiliki margo medial yang cekung. Pada margo medial ini, terdapat suatu
area yang disebut hilum, di mana pembuluh darah, saraf, pembuluh limfa, dan ureter memasuki dan
keluar dari ginjal. Pelvis renalis adalah bagian atas dari ureter yang melebar, terbagi menjadi 2-3
calyx major. Setiap calyx major memiliki beberapa cabang kecil yang disebut calyx minor.
Setiap ginjal dapat dibagi menjadi lapisan luar yang disebut cortex dan lapisan dalam yang
disebut medulla. Pada manusia, medulla renalis terdiri atas 10-18 struktur berbentuk
kerucut/pyramidal yang disebut medullary pyramids. Dari setiap basis dari medullary pyramid,
terdapat garis-garis tubulus yang sejajar (medullary rays) yang menembus cortex.
Setiap ginjal tersusun atas 1-4 juta nephrons. Setiap nefron memiliki bagian yang melebar
yang disebut renal corpuscle; proximal convoluted tubule; thin dan thick limbs dari loop of henle,
distal convoluted tubule; dan collecting tubules and collecting ducts. Beberapa ahli tidak
memasukkan collecting tubules dan ducts sebagai bagian dari nefron. Nefron merupakan unit
fungsional dari ginjal.
Loop of henle
Loop of henle merupakan struktur berbentuk U yang terdiri atas thick descending limb, thin
descending limb, thin ascending limb dan thick ascending limb. Thick limbs sangat mirip dengan
struktur DCT. Pada medulla bagian luar, thick descending limb memiliki diameter 60 μm, kemudian
dengan cepat menyempit menjadi 12 μm dan berlanjut menjadi thin descending limb. Lumen dari
thin descending limb lebar karena dindingnya hanya tersusun atas epitel squamous yang nukleusnya
hanya sedikit menonjol ke arah lumen.
Kurang lebih 1/7 dari seluruh nefron terletak dekat dengan corticomedullary junction
sehingga disebut juxtamedullary nephrons. Nefron yang lain disebut cortical nephrons. Semua
nefron berperan dalam proses filtrasi, absorbsi, dan sekresi. Namun, juxtamedullary nephron
memiliki fungsi penting dalam menciptakan gradient hipertonisitas di dalam interstisium medulla,
yang merupakan dasar dari kemampuan ginjal untuk membentuk urine hipertonic. Juxtamedullary
nefron memiliki loop of henle yang sangat panjang, menjangkau bagian dalam medulla. Loop of
henle dari juxtamedullary nephron memiliki thick descending limb yang pendek, sementara thin
descending dan ascending limbnya panjang. Sebaliknya, cortical nephron memiliki thin descending
limb yang sangat pendek dan tidak ada ascending limb.
Faktor virulensi utama organism ini adalah Protein M. Protein ini mampu melekat pada
membran sel, melintasi, dan penetrasi ke dinding sel. Bagian proximal dari molekul ditemukan pada
grup A isolated, sedangkan bagian distalnya mengandung epitope tipe spesifik yg terletak pada
ujung fibril (fimbrae) yang menonjol dari permukaan sel. Kemampuan streptococcus grup A untuk
bisa menyebabkan penyakit tergantung pada protein M nya. Strain yang tidak mengandung protein
M biasanya nonpatoghenic. Menariknya, streptococcus yang diisolasi dari carrier pharyngeal kronis
(individu yang asympomatic tp terkolonisasi S.pyogens) mengandung sedikit protein M atau tidak
sama sekali dan juga secara relatif avirulensi.
Antigen dinding sel streptococcal lainnya berperan dalam patogenesis dan epidemiologi
S.pyogens. Kebanyakan strain diselubungi kapsul as.Hyaluronat yang merupakan vaktor virulensi
tambahan dengan menghambat fagositosis. Lipotheicoic acid dan Protein F pada dinding sel
memediasi perlekatan s.pyogens pada fibronectin pada permukaan sel epitel manusia, proses
penting yang menginisiasi terjadinya infeksi. Serum OF adalah lipoproteinase yang berhubungan
dengan protein M untuk mengidentifikasi strain yang tidak dapat diidentifikasi oleh M typing.
Protein streptococcal lainnya , Protein T, tidak nampak sebagai faktor virulensi tapi memiliki variasi
antigenic pada kuman yang terisolasi.
Isolasi Streptococcal grup A berhubungan dengan streptococcal TSS mengkode SPEs (misal
A,C,F) yang mampu berfungsi sebagai superantigen. Antigen-antigen ini menginduksi respon febrile
yang nyata, menginduksi proliferasi Limfosit T, serta menginduksi sintesis dan pelepasan berbagai
sitokin, termasuk Tumor Necrosis Factor, Interleukin-1 beta, dan interleukin-6. Aktivitas ini dikaitkan
dengan kemampuan superantigen untuk secara serempak berikatan pada V-beta region pada
receptor T-cell dan pada antigen histocompability major kelas II dari antigen-presenting
mononuclear cell, mengakibatkan proliferasi non-spesifik T cell dan meningkatkan produksi
interleukin 2 secara luas.
antibodi yang menyebabkan timbulnya protein ini (ASO titer), seringkali berguna dalam
serodiagnosis dari recent infection.
Produk ekstraseluler lain yang diurai S.pyogenes dapat berperan dalam kerusakan jaringan
dan penyebaran organisme melalui tissue planes. Produk-produk ini termasuk family DNAses
(seperti DNAses A-D), hyaluronidase dan streptokinase. Faktor virulensi lain Streptococcus meliputi,
NADase, proteinase, C5a-peptidase, amylase dan esterase, meskipun peran protein-protein ini
dalam pathogenesis kurang dimengerti.
Kemungkinan hasil positif dari kultur tenggorokan atau rapid antigen detection test
terentang dari 3% atau kurang pada pasien tanpa kriteria klinis sugestif (suggestive clinical criteria),
sampai 30-50% pada pasien dengan semua kriteria tersebut. (Clinical Scoring system and Likelihood
of Positive Throat Culture For Group A Streptococcal Pharyngitis).
Aturan prediksi klinis tersebut berdasar bahwa kriteria-kriteria tersebut telah divalidasi baik
pada orang dewasa maupun anak-anak untuk membantu mengidentifikasi pasien yang mana kultur
tenggrokan atau rapid antigen detection test telah terjamin. Sebagai contoh, pada keadaan tanpa
faktor resiko tertentu, seperti paparan terhadap orang dengan streptococcal pharyngitis, atau
riwayat demam rematik akut/penyakit jantung rematik, kultur tenggorokan atau rapid-antigen
detection test tidak diindikasikan pada pasien yang hanya memenuhi 1 kriteria atau tidak memenuhi
sama sekali kriteria di atas.
Laboratory tests: karena tidak spesifik, maka diagnosa dari streptococcal pharngitis harus
didasarkan pada hasil dari tes spesifik untuk mendeteksi adanya organisme: kultur tenggorokan
atau rapid-antigen detection test dari spesimen swab tenggorokan. Swab yang dilakukan pada
faring posterior, tonsil, dan tidak pada lidah, bibir maupun mukosa pipi, meningkatkan sensitivitas
kultur dan rapid-antigen detection test. Pengukuran serum antibodi terhadap Streptolysin O atau
DNase B, meskipun berguna pada diagnosis retrospektif infeksi Streptococcal untuk menyediakan
support terhadap diagnosis demam rematik akut dan poststreptococcal glomerulonefritis, tidak
berguna untuk manajemen dari faringitis, karena titernya tidak akan meningkat sampai 7-14 hari
setelah onset infeksi, dan memuncak dalam 3-4 minggu.
Case 2 Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis
Karena hasil dari kultur tenggorokan tidak tersedia dalam 1-2 hari, rapid-antigen detection
test telah dikembangkan untuk mendeteksi S.pyogenes secara langsung melalui swab
tenggorokan, umumnya dalam hitungan menit. Tes ini didasarkan pada ekstraksi asam dari antigen
karbohidrat dinding sel, dan deteksi antigen dengan menggunakan antibodi spesifik. Sebagai
pendekatan alternatif, yaitu identifikasi cepat dari sekuens DNA spesifik S.pyogenes, yaitu melalui
hibridasi dengan DNA probe (penyelidikan DNA), atau dengan real-time-polymerase-chain-reaction
assay. Sesitivitasnya yang bervariasi (secara umum 70-90%) telah dilaporkan pada rapid-antigen
detection test yang tersedia, dan sensitivitas yang terukur bergantung pada kemungkinan klinis dari
infeksi streptococcal pada populasi tes tersebut.
Spesifitas dari rapid-antigen detection test adalah 95% atau lebih, sehingga hasil positif
dapat dipertimbangkan sebagai hasil definitif/pasti dan tidak memerlukan kultur. Rapid-antigen
detection test kurang sensitif daripada kultur, sehingga sebagian besar pedoman merekomendasikan
untuk mendapatkan kultur tenggorokan jika tes deteksi rapid antigen negatif.
Komplikasi dapat mencakup Toxic shock syndrome (TSS) dan multiple-organ system disease.
Komplikasi jangka panjang (nonsuppurative sequelae) mencakup acute rheumatic fever (yang
mungkin termasuk salah satu manifestasi mayor dan minor yang melibatkan jantung, sendi, kulit,
dan CNS) dan Post Streptococcal Glomerulonephritis(PSGN)
Case 2 Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis
GLOMERULONEPHRITIS ACUTA
Karena curiga bahwa adanya edema ringan pada wajah dan perifer terkait dengan kondisi
sebelumnya (infeksi saluran pernapasan atas) yang tidak mendapat pengobatan yang efektif, dokter
di Rumah Sakit Angkatan Laut Departemen Rawat Jalan melakukan pemeriksaan fisik lebih dan
laboratorium, dan hasilnya
Karena kemungkinan menderita penyakit parah dan sebelum kondisi menjadi lebih buruk, oleh
dokter yang bertanggung jawab, ia dirujuk untuk rawat inap.
Solving Problem
Definisi APSGN
- Glomerulonefritis akut yang mengikuti infeksi dengan strain nephritogenic dari grup A
streptococcus β-hemolyticus.
- Contoh klasik dari sindrom nefritik akut.
Epidemiologi APSGN
Insiden menurun pada 3 dekade terakhir
Paling sering sporadic
epidemik dan kelompok kasus - di beberapa komunitas miskin atau pedesaan
kejadian puncak pada usia: 5-12 tahun (sangat penting untuk diingat untuk mengevaluasi
diagnosis)
tidak umum pada usia < 3 tahun
rasio laki-laki: perempuan = 2:1
Etiologi APSGN
Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis mengikuti infeksi tenggorokan atau kulit oleh beberapa
strain “nephritogenic” dari group A streptococcus β-hemolyticus. Faktor-faktor yang
memperbolehkan beberapa strain streptococci menjadi nephritogenic masih belum jelas.
Poststreptococcal glomerulonephritis seringkali mengikuti streptococcal pharyngitis selama musim
dingin dan streptococcal skin infection / pyoderma selama musim panas. Meskipun epidemic
nephritis berhubungan dengan infeksi tenggorokan (serotype 12) dan infeksi kulit (serotype 49),
penyakit ini lebih sering sporadic.
Typical features/manifestation
Berkembangnya sindroma nefritis akut 1-2 minggu setelah antecedent (riwayat sebelumnya)
dari Streptococcal pharyngitis atau
3-6 minggu setelah Streptococcal pyodermia
d. Oligouri: school child <400ml/hari, preschool child 300ml/hari, infant dan toddler
<200ml/hari; normal urine output pada anak-anak: 1-2ml/kg/jam
e. Gross hematuria
f. Hipertensi
Presentasi klinis dari APSGN berkisar dari asymptomatic microscopic hematuria sampai nephritic
syndrome yang terdiri dari hematuria, proteinuria, edema, hipertensi, dan peningkatan level serum
creatinine. Gross hematuria dapat terjadi pada 50% pasien. Edema terjadi karena retensi dari Na dan
cairan, yang dapat menyebabkan hipertensi sekunder. Penurunan Glomerular Filtration Rate dapat
meningkatkan konsentrasi serum creatinine; memungkinkan adanya gagal ginjal akut yang
membutuhkan dialisis.
Urinalysis menunjukkan adanya hematuria dengan atau tanpa cast sel darah merah, proteinuria,
dan sering pyuria. Nilai serum complement C3 rendah karena aktivasi dari jalur complement
alternatif. Kultur dari tenggorokan dan kulit seringkali negatif pada saat diagnosa, dapat
menunjukkan periode latent dari onset infeksi sampai onset nephritis.
Patofisiologi APSGN
Deposisi dari antigen nephritogenic GAS pada glomerular subendothelium dapat menyebabkan
pembentukan immune complex, yang memicu aktivasi complement dan inflamasi subsequent;
deposisi pada glomerular subepithelium dapat menyebabkan kerusakan sel epitel dan subsequent
proteinuria.
Case 2 Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis
Patofisiologi APSGN
Infeksi streptococcus
Immune injuries
Oliguria
Volume darah
Edema
Hipertensi
Diagnosis ASPGN
Diagnosis membutuhkan temuan klinis dari nefritis akut dengan adanya infeksi GAS yang
baru terjadi. Jika kultur tenggorok atau kulit negatif, konfirmasi adanya infeksi GAS yang baru terjadi
dapat diperoleh melalui test serologic. C3 rendah menunjukkan karakteristik PSGN, tapi tidak
spesifik. Biopsi renal biasanya tidak dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis PSGN.
Case 2 Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis
Diagnostik dengan:
Indikasi dari tes ini digunakan secara primer untuk menentukan apakah sebelumnya ada
infeksi Streptococcus, seperti glomerulonephritis, demam rematik, bacterial endocarditis, dan
demam scarlet. Level tertinggi terletak pada glomerulonephritis dan demam rematik.
ASO titer adalah prosedur serologis yang menunjukkan reaksi tubuh terhadap infeksi yang
disebabkan oleh Grup A Streptococcus β-hemoliticus. Organisme Streptococcus memproduksi
enzim yang disebut streptolysin O, yang dapat menghancurkan (lysis) eritrosit. Karena streptolysin O
bersifat antigenik, tubuh bereaksi dengan memproduksi ASO (antibody yang menetralisir). ASO
muncul pada serum dalam waktu 1 minggu – 1 bulan ( di buku lain 1-2 minggu, puncaknya 2-4
minggu dan kembali normal sekitar 6 bulan-1 tahun) setelah onset dari sebuah infeksi
streptococcus; titer yang tinggi tidak spesifik untuk beberapa tipe penyakit poststreptococcal (cth:
rheumatic fever vs glomerulonephritis) tetapi hanya mengindikasikan apakah infeksi streptococcal
sedang terjadi atau sudah ada. ASO tidak mempunyai nilai untuk mendiagnosa infeksi streptococcus
akut. Kultur dari streptococcus dibutuhkan untuk itu. Bagaimanapun kultur tidak berguna selama
periode laten dari poststreptococcal disease (sekitar 2-3 minggu setelah initial infection). ASO sangat
membantu pada tahap ini.
Serial ASO testing mungkin dapat dilakukan untuk mendeteksi perbedaaan antara sampel
darah dari pasien akut dan yang sedang dalam masa pemulihan (covalecence blood sample).
Peningkatan serial titer atau ASO selama lebih dari beberapa minggu, diikuti dengan penurunan
Case 2 Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis
titer yang lambat, lebih signifikan dalam mendiagnosa previous streptococcal infection daripada
single titer. Insiden tertinggi dari hasil yang positif adalah selama minggu ketiga setelah onset dari
gejala akut streptococcal disease. Selama 6 bulan, hanya sekitar 30% pasien yang memiliki titer
abnormal. Pada glomerulonephritis akut, sebanyak 50-75% tidak akan memiliki ASO titer yang tinggi.
Tes immunologis lainnya yaitu antideoxyribonuclease-B (anti DNase-B), juga mendeteksi
antigen yang diproduksi oleh grup A Streptococci. Ketika tes ASO dan anti DNase-B dilakukan
bersama-sama, 95% previous streptococcal infection dapat dideteksi. Jika keduanya hasilnya
negative berulang, tidak ada alasan untuk mensuspek gejala tersebut timbul karena disebabkan oleh
poststreptococcal disease.
Tes-tes yang paling sering digunakan adalah ASO dan anti DNase-B
Kadar normal: ≤ 160 todd unit/ml
Selama rawat inap, kondisi Mia tidak membaik dan ia menderita kejang (fits) dan koma. Pemeriksaan
funduscopy menunjukkan bilateral papilloedema. Krepitasi terdengar melalui lapangan paru.
Tekanan darah meningkat menjadi 190/150 mmHg. Haemoglobin menurun sampai 2,5 g/dl dan
hematokritnya 0,25. Dia dirujuk ke nephrologist, pulmonologist, cardiologist untuk konsultasi.
Karena kondisinya semakin memburuk, dia dibawa ke UGD, tetapi sayangnya dia meninggal setelah
24 jam dirawat.
Komplikasi APSGN
1. Gagal ginjal
2. Gagal jantung dengan atau tanpa hipertensi
3. Hypertensive encephalopathy (paling serius)
Karena faringitis streptococcal adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri pada banyak kasus,
pertanyaan yang rasional adalah apakah bermanfaat untuk melakukan test diagnostic dan
memberikan antibiotik pada kasus yang dicuragai (suspected cases) atau pada kasus yang sudah
pasti (confirmed cases). Meskipun poststreptococal glomerulonephritis tidak dapat dicegah dengan
Case 2 Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis
pengobatan antibiotic untuk faringitis streptococcal, beberapa keuntungan lain telah disarankan
untuk keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotic juga mengurangi resiko komplikasi supuratif dari
infeksi streptococcal.
Pengobatan untuk PSGN difokuskan pada manajemen pendukung dari manifestasi klinis
Loop diuretic seperti furosemide dapat diberikan pada hipertensi dan edema sebagai
tambahan dari restriksi intake air dan natrium. Hypertensi urgency dan emergency,
walaupun jarang, membutuhkan perhatian segera.
Beberapa pasien membutuhkan dialysis selama penyakit akut karena berkurangnya fungsi
ginjal. Terdapat bukti bahwa infeksi GAS yang persisten membutuhkan treatment antibiotic.
Hipertensi Encephalopathy
Management dari kejang adalah emergent, diazepam, midazolam
Obat yang efektif untuk menurunkan BP sangat dibutuhkan, seperti Sodium Nitroprusside,
Calcium channel antagonist.
Terapi diuretic dan steroid yang dapat meringankan encephaledema dianjurkan. Tetapi
mannitol, dextrose atau albumin dilarang (tidak dianjurkan).
- Saluran nafas harus dijaga tetap terbuka dan oksigen harus diberikan
- Sedasi (Phenobarbital, chloralhydrate)
Prognosis APSGN
Manifestasi klinik APSGN dapat diatasi dengan cepat. Biasanya diuresis dimulai dalam 1 minggu,
dengan konsentrasi serum kreatinin kembali ke kondisi awal dalam 3 atau 4 minggu dan hematuria
kembali normal dalam 3 sampai 6 bulan. Proteinuria kembali normal saat kondisi pasien mulai pulih,
tetapi lambat, dan dapat persisten hingga 3 tahun. Kegagalan untuk mengobati infeksi primer, jika
terus-menerus, mungkin menunda penyembuhan. Prognosis untuk kebanyakan anak-anak dengan
APSGN sangat baik. Meskipun jarang, proteinuria yang berulang, hipertensi, dan insuffciency ginjal
dapat berkembang hingga beberapa tahun setelah penyakit awal.
Tetapi sayangnya, pasien tersebut meninggal karena gagal ginjal dan gagal jantung dan yang paling
fatal: hypertensive encephalopathy. Mengapa fatal?