You are on page 1of 14

Case 2 Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis

HISTOLOGI GINJAL (nda yakin ini bener apa nda, tolong di cek lg)

Setiap ginjal memiliki margo medial yang cekung. Pada margo medial ini, terdapat suatu
area yang disebut hilum, di mana pembuluh darah, saraf, pembuluh limfa, dan ureter memasuki dan
keluar dari ginjal. Pelvis renalis adalah bagian atas dari ureter yang melebar, terbagi menjadi 2-3
calyx major. Setiap calyx major memiliki beberapa cabang kecil yang disebut calyx minor.
Setiap ginjal dapat dibagi menjadi lapisan luar yang disebut cortex dan lapisan dalam yang
disebut medulla. Pada manusia, medulla renalis terdiri atas 10-18 struktur berbentuk
kerucut/pyramidal yang disebut medullary pyramids. Dari setiap basis dari medullary pyramid,
terdapat garis-garis tubulus yang sejajar (medullary rays) yang menembus cortex.
Setiap ginjal tersusun atas 1-4 juta nephrons. Setiap nefron memiliki bagian yang melebar
yang disebut renal corpuscle; proximal convoluted tubule; thin dan thick limbs dari loop of henle,
distal convoluted tubule; dan collecting tubules and collecting ducts. Beberapa ahli tidak
memasukkan collecting tubules dan ducts sebagai bagian dari nefron. Nefron merupakan unit
fungsional dari ginjal.

Renal corpuscles dan filtrasi darah


Setiap renal corpuscles kira-kira berdiameter 200 μm dan terdiri atas anyaman kapiler
(glomerulus) yang dikelilingi oleh suatu kapsula epitel berdinding ganda yang disebut glomerular
(bowman’s) capsule. Lapisan dalam (visceral layer) dari kapsul membungkus kapiler-kapiler
glomerulus. Lapisan luar kapsula bowman membentuk batas luar dari renal corpuscle dan disebut
parietal layer dari bowman’s capsule. Celah di antara kedua lapisan bowman’s capsule disebut
urinary space, yang menerima cairan yang difiltrasi oleh dinding kapiler dan lapisan visceral kapsula
bowman. Setiap renal corpuscle memiliki sebuah vascular pole, dimana afferent arteriole memasuki
dan efferent arteriole meninggalkan renal corpuscle, dan sebuah urinary pole, di mana proximal
convoluted tubule berawal. Setelah memasuki renal corpuscle, afferent arteriole biasanya terbagi
menjadi 2-5 cabang primer, setiap cabang terbagi menjadi kapiler dan membentuk renal glomerulus.
Lapisan parietal dari kapsula bowman tersusun atas simple squamous epithelium yang
disupport oleh lamina basalis dan lapisan tipis sabut-sabut retikuler. Pada urinary pole, epitel ini
berubah menjadi simple cuboidal atau low columnar, suatu karakteristik dari epitel proximal tubule.
Selama perkembangan embrionik, epitel lapisan parietal relatif tidak berubah sementara lapisan
visceral menjadi sangat termodifikasi. Sel dari lapisan dalam ini disebut podocytes, memiliki sebuah
badan sel di mana dari badan sel ini muncul beberapa primary processes. Setiap primary process
menghasilkan sejumlah secondary processes yang disebut pedicels, yang membungkus kapiler
glomerulus. Pada setiap jarak 25 nm, secondary processes langsung berkontak dengan lamina
basalis. Namun, badan sel podocytes dan primary processes tidak menyentuh basement membrane.

Proximal convoluted tubule


Pada urinary pole dari renal corpuscle, epitel squamous dari lapisan parietal kapsula
bowman bersambungan dengan epitel kuboidal atau low columnar dari proximal convoluted
tubule. Tubulus ini lebih panjang dibandingkan DCT sehingga dengan demikian lebih sering terlihat di
dekat renal corpuscle di renal cortex. Sel epitel kuboidal ini memiliki sitoplasma asidofilik yang
disebabkan karena keberadaan banyak mitokondria memanjang. Apex sel banyak mengandung
mikrovilli, kurang lebih 1μm panjangnya, yang membentuk brush border. Karena sel-selnya besar,
pada potongan melintang dari PCT, hanya terlihat 3-5 nukleus bulat. Pada hewan yang masih hidup,
PCT memiliki lumen yang lebar dan dikelilingi oleh peritubular capillaries. Bagian apikal dari sel PCT
memiliki banyak canaliculi di antara dasar microvilli (bases of microvilli), di mana canaliculi ini
meningkatkan kapasitas absorbsi makromolekul dari PCT. Bagian basal dari PCT banyak memiliki
invaginasi membran dan lateral interdigitations. Na+/K+ ATPase yang berfungsi memompa ion keluar
dari sel berada pada bagian basolateral membrane. Mitokondria terkonsentrasi pada bagian base
dari sel dan tersusun sejajar dengan sumbu memanjang (long axis) dari sel.
Case 2 Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis

Loop of henle
Loop of henle merupakan struktur berbentuk U yang terdiri atas thick descending limb, thin
descending limb, thin ascending limb dan thick ascending limb. Thick limbs sangat mirip dengan
struktur DCT. Pada medulla bagian luar, thick descending limb memiliki diameter 60 μm, kemudian
dengan cepat menyempit menjadi 12 μm dan berlanjut menjadi thin descending limb. Lumen dari
thin descending limb lebar karena dindingnya hanya tersusun atas epitel squamous yang nukleusnya
hanya sedikit menonjol ke arah lumen.
Kurang lebih 1/7 dari seluruh nefron terletak dekat dengan corticomedullary junction
sehingga disebut juxtamedullary nephrons. Nefron yang lain disebut cortical nephrons. Semua
nefron berperan dalam proses filtrasi, absorbsi, dan sekresi. Namun, juxtamedullary nephron
memiliki fungsi penting dalam menciptakan gradient hipertonisitas di dalam interstisium medulla,
yang merupakan dasar dari kemampuan ginjal untuk membentuk urine hipertonic. Juxtamedullary
nefron memiliki loop of henle yang sangat panjang, menjangkau bagian dalam medulla. Loop of
henle dari juxtamedullary nephron memiliki thick descending limb yang pendek, sementara thin
descending dan ascending limbnya panjang. Sebaliknya, cortical nephron memiliki thin descending
limb yang sangat pendek dan tidak ada ascending limb.

Distal convoluted tubule


Thick ascending limb dari loop of henle menembus korteks, kemudian menjadi berkelok-
kelok dan disebut distal convoluted tubule. Tubulus ini sama seperti ascending limb, dilapisi oleh
simple cuboidal epithelium. Distal convoluted tubule berbeda dengan PCT karena mereka tidak
memiliki brush border dan apical canaliculi, serta selnya lebih kecil. Karena selnya lebih kecil dan
lebih flat dibandingkan PCT, maka lebih banyak nuclei yang terlihat pada DCT dibandingkan PCT.
DCT berkontak dengan vascular pole dari renal corpuscle dari nefron yang sama. Pada
tempat kontak ini, sel-sel pada DCT mengalami modifikasi sama seperti sel-sel afferent arteriole yang
juga mengalami modifikasi. Sel-sel DCT tersebut menjadi columnar dan nucleinya menjadi lebih
rapat. Kebanyakan sel-sel ini memiliki golgi apparatus pada bagian basal selnya. Karena sel-sel ini
terlihat lebih gelap pada sediaan mikroskopik akibat nucleinya yang tersusun rapat, maka bagian
DCT termodifikasi ini disebut macula densa. Sel-sel macula densa sensitif terhadap volume air dan
komposisi ion dari cairan tubulus. Sel-sel ini dapat memproduksi sinyal molekular yang mendorong
pelepasan enzim renin ke sirkulasi.

Collecting tubules and ducts


Urine berpindah dari DCT menuju collecting tubules yang kemudian akan bergabung dengan
collecting tubules lainnya untuk membentuk collecting ducts yang lebih besar, lurus, dan semakin
melebar seiring mereka berjalan menuju ujung dari medullary pyramid. Collecting tubules yang kecil
dilapisi oleh epitel kuboidal dan memiliki diameter kira-kira 40μm. Seiring mereka berjalan semakin
ke dalam medulla, sel-selnya menjadi semakin tinggi hingga mereka berubah menjadi epitel
columnar. Diameter dari collecting duct mencapai 200μm di dekat ujung medullary pyramid.
Sepanjang perjalanannya, collecting tubules and ducts tersusun atas sel-sel yang sedikit tewarnai
dengan pengecatan rutin. Mereka memiliki sitoplasma electron-lucent dengan sedikit organel. Pada
collecting tubules dan cortical collecting ducts, intercalated cell yang lebih gelap dapat terlihat,
namun fungsinya tidak diketahui.
Case 2 Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis

Glomerular Filtration Rate (GFR)


 Definisi: volume dari filtrate yang terbentuk di seluruh renal corpuscle dari kedua ginjal dalam 1
menit.
 Normal: 180L/hari (125ml/menit) pada orang dengan BB ±70kg
 Faktor penentu:
o keseimbangan antara daya osmotic koloid dan hidrostatik yang bekerja pada membrane
kapiler
o koefisien filtrasi kapiler (Kf), hasil permeabilitas dan filtrasi daerah permukaan kapiler
 Fraksi aliran plasma renal yang difiltrasi rata-rata sekitar 0,2; ini menandakan 20% plasma
yang mengalir melalui ginjal akan di filtrasi oleh kapiler glomerulus

Renal Blood Flow (RBF)


 Definisi: aliran darah yang menuju ginjal
 Normal: ±1100ml/menit (±22% dari curah jantung) padahal berat ginjal hanya 0,4% dari total
BB. Jadi ginjal menerima aliran darah yang sangat tinggi dibandingkan dengan organ lain.
 Tujuan: menyuplai nutrisi ke ginjal dan mengeluarkan produk sisa
 Tujuan lain: menyuplai cukup plasma untuk GFR yang tinggi; penting untuk pengaturan volume
cairan tubuh dan konsentrasi zat terlarut secara tepat.
 Mekanisme yang mengatur RBF berkaitan dengan pengaturan GFR dan fungsi ekskresi ginjal.

Kontrol Fisiologis terhadap GFR dan RBF


 Penentu GFR: tekanan hidrostatik glomerulus dan tekanan osmotic koloid di kapiler glomerulus.
 Selanjutnya, variabel ini dipengaruhi sistem saraf simpatis, hormone, dan autakoid (zat
vasoaktif yang dilepaskan dalam ginjal dan bekerja secara lokal), dan kontrol feedback
lainnya yang bersifat intrinsic terhadap ginjal.

Autoregulasi GFR dan RBF


 Mekanisme feedback intrinsic di ginjal normalnya menjaga GFR dan RBF tetap konstan,
meskipun ditemukan perubahan pada tekanan darah arteri. Mekanisme ini masih berfungi pada
perfusi darah di ginjal yang dikeluarkan dari tubuh, terlepas dari pengaruh systemic.
Kekonstanan GFR dan RBF ini mengacu sebagai autoregulasi.
 Fungsi utama dari autoregulasi aliran darah pada kebanyakan jaringan daripada di ginjal
adalah untuk mempertahankan transpor oksigen dan nutrisi pada level normal, serta
membuang produk sisa metabolisme, meskipun terjadi perubahan tekanan arteri. Di ginjal,
blood flow normal lebih tinggi daripada yang diperlukan untuk fungsi ini. Fungsi autorgeulasi di
ginjal adalah untuk mempertahankan GFR tetap konstan dan untuk memastikan ketepatan
eksresi air dan zat solute.
Case 2 Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis

Patogenesis dan patofisiologi dari acute streptococcal


pharyngitis
Bakteri mungkin langsung menginvasi mukosa pharynx dan menyebabkan respon
inflamasi lokal. Infeksi streptococcal dikarateristikan oleh invasi lokal dan pelepasan toksin
extraseluler dan unsur somatik seluler maupun extraseluler enzim dan toxin dari S.pyogenes
bertanggung jawab untuk banyak efek patogenik in vivo.

Faktor virulensi utama organism ini adalah Protein M. Protein ini mampu melekat pada
membran sel, melintasi, dan penetrasi ke dinding sel. Bagian proximal dari molekul ditemukan pada
grup A isolated, sedangkan bagian distalnya mengandung epitope tipe spesifik yg terletak pada
ujung fibril (fimbrae) yang menonjol dari permukaan sel. Kemampuan streptococcus grup A untuk
bisa menyebabkan penyakit tergantung pada protein M nya. Strain yang tidak mengandung protein
M biasanya nonpatoghenic. Menariknya, streptococcus yang diisolasi dari carrier pharyngeal kronis
(individu yang asympomatic tp terkolonisasi S.pyogens) mengandung sedikit protein M atau tidak
sama sekali dan juga secara relatif avirulensi.

Mekanisme molekuler bagaimana Protein M memediasi patogenesis cukup kompleks. Pada


host yang non-immune, Protein M memediasi sebuah efek anti-fagositik dengan menginhibisi
aktivasi jalur alternate complement. Imunitas didapat terhadap kuman ini berdasarkan
pengembangan opsonic antibody yang secara langsung melawan epitope anti-fagositik dari Protein
M. Meskipun beberapa antibodi melindungi tubuh dari infeksi dengan melawan homologous M
Protein type, tapi mereka tidak memiliki imunitas terhadap tipe M lainnya.

Antigen dinding sel streptococcal lainnya berperan dalam patogenesis dan epidemiologi
S.pyogens. Kebanyakan strain diselubungi kapsul as.Hyaluronat yang merupakan vaktor virulensi
tambahan dengan menghambat fagositosis. Lipotheicoic acid dan Protein F pada dinding sel
memediasi perlekatan s.pyogens pada fibronectin pada permukaan sel epitel manusia, proses
penting yang menginisiasi terjadinya infeksi. Serum OF adalah lipoproteinase yang berhubungan
dengan protein M untuk mengidentifikasi strain yang tidak dapat diidentifikasi oleh M typing.
Protein streptococcal lainnya , Protein T, tidak nampak sebagai faktor virulensi tapi memiliki variasi
antigenic pada kuman yang terisolasi.

Isolasi Streptococcal grup A berhubungan dengan streptococcal TSS mengkode SPEs (misal
A,C,F) yang mampu berfungsi sebagai superantigen. Antigen-antigen ini menginduksi respon febrile
yang nyata, menginduksi proliferasi Limfosit T, serta menginduksi sintesis dan pelepasan berbagai
sitokin, termasuk Tumor Necrosis Factor, Interleukin-1 beta, dan interleukin-6. Aktivitas ini dikaitkan
dengan kemampuan superantigen untuk secara serempak berikatan pada V-beta region pada
receptor T-cell dan pada antigen histocompability major kelas II dari antigen-presenting
mononuclear cell, mengakibatkan proliferasi non-spesifik T cell dan meningkatkan produksi
interleukin 2 secara luas.

S.pyogenes juga menguraikan 2 hemolysin berbeda. Protein-protein ini bertanggung jawab


pada zona hemolisis yang diamati pada blood agar plate dan juga penting dalam patogenesis
kerusakan jaringan dari host yang terinfeksi. Streptolysin O bersifat toksik terhadap berbagai macam
sel, termasuk myocardium. Streptolysin O sangat immunogenik, dan determinan/penentu respon
Case 2 Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis

antibodi yang menyebabkan timbulnya protein ini (ASO titer), seringkali berguna dalam
serodiagnosis dari recent infection.

Produk ekstraseluler lain yang diurai S.pyogenes dapat berperan dalam kerusakan jaringan
dan penyebaran organisme melalui tissue planes. Produk-produk ini termasuk family DNAses
(seperti DNAses A-D), hyaluronidase dan streptokinase. Faktor virulensi lain Streptococcus meliputi,
NADase, proteinase, C5a-peptidase, amylase dan esterase, meskipun peran protein-protein ini
dalam pathogenesis kurang dimengerti.

Diagnosis acute streptococcal pharyngitis


Diagnosis streptococcal pharyngitis secara klinis terkenal tidak dapat diandalkan. Sign dan
symptomnya bervariasi, dan keparahan penyakit terentang dari hanya ketidaknyamanan
tenggorokan ringan (mild throat discomfort alone) sampai classic exudative pharyngitis dengan
demam tinggi dan lemas. Diagnosisnya diperumit oleh fakta bahwa infeksi akibat agen-agen lain
tidak dapat dibedakan secara klinis dari streptococcal pharyngitis.

Clinical scoring system telah berkembang untuk memprediksi kemungkinan infeksi


streptococcus pada anak-anak dan orang dewasa dengan nyeri tenggorokan. Sistem ini didasarkan
pada pemeriksaan sugestif clinical finding: demam, pembengkakan atau eksudat tonsil, nyeri dan
pembesaran lymph node cervicalis anterior, dan tanpa batuk.

Kemungkinan hasil positif dari kultur tenggorokan atau rapid antigen detection test
terentang dari 3% atau kurang pada pasien tanpa kriteria klinis sugestif (suggestive clinical criteria),
sampai 30-50% pada pasien dengan semua kriteria tersebut. (Clinical Scoring system and Likelihood
of Positive Throat Culture For Group A Streptococcal Pharyngitis).

Aturan prediksi klinis tersebut berdasar bahwa kriteria-kriteria tersebut telah divalidasi baik
pada orang dewasa maupun anak-anak untuk membantu mengidentifikasi pasien yang mana kultur
tenggrokan atau rapid antigen detection test telah terjamin. Sebagai contoh, pada keadaan tanpa
faktor resiko tertentu, seperti paparan terhadap orang dengan streptococcal pharyngitis, atau
riwayat demam rematik akut/penyakit jantung rematik, kultur tenggorokan atau rapid-antigen
detection test tidak diindikasikan pada pasien yang hanya memenuhi 1 kriteria atau tidak memenuhi
sama sekali kriteria di atas.

Laboratory tests: karena tidak spesifik, maka diagnosa dari streptococcal pharngitis harus
didasarkan pada hasil dari tes spesifik untuk mendeteksi adanya organisme: kultur tenggorokan
atau rapid-antigen detection test dari spesimen swab tenggorokan. Swab yang dilakukan pada
faring posterior, tonsil, dan tidak pada lidah, bibir maupun mukosa pipi, meningkatkan sensitivitas
kultur dan rapid-antigen detection test. Pengukuran serum antibodi terhadap Streptolysin O atau
DNase B, meskipun berguna pada diagnosis retrospektif infeksi Streptococcal untuk menyediakan
support terhadap diagnosis demam rematik akut dan poststreptococcal glomerulonefritis, tidak
berguna untuk manajemen dari faringitis, karena titernya tidak akan meningkat sampai 7-14 hari
setelah onset infeksi, dan memuncak dalam 3-4 minggu.
Case 2 Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis

Karena hasil dari kultur tenggorokan tidak tersedia dalam 1-2 hari, rapid-antigen detection
test telah dikembangkan untuk mendeteksi S.pyogenes secara langsung melalui swab
tenggorokan, umumnya dalam hitungan menit. Tes ini didasarkan pada ekstraksi asam dari antigen
karbohidrat dinding sel, dan deteksi antigen dengan menggunakan antibodi spesifik. Sebagai
pendekatan alternatif, yaitu identifikasi cepat dari sekuens DNA spesifik S.pyogenes, yaitu melalui
hibridasi dengan DNA probe (penyelidikan DNA), atau dengan real-time-polymerase-chain-reaction
assay. Sesitivitasnya yang bervariasi (secara umum 70-90%) telah dilaporkan pada rapid-antigen
detection test yang tersedia, dan sensitivitas yang terukur bergantung pada kemungkinan klinis dari
infeksi streptococcal pada populasi tes tersebut.

Spesifitas dari rapid-antigen detection test adalah 95% atau lebih, sehingga hasil positif
dapat dipertimbangkan sebagai hasil definitif/pasti dan tidak memerlukan kultur. Rapid-antigen
detection test kurang sensitif daripada kultur, sehingga sebagian besar pedoman merekomendasikan
untuk mendapatkan kultur tenggorokan jika tes deteksi rapid antigen negatif.

Differensial diagnosis acute streptococcal pharyngitis


 Arthritis, Septic  Mitral valve insufficiency
 Bacteremia  Nephritis
 Bacterial Tracheitis  Osteomyelitis
 Empyema  Pneumonia
 Epiglottitis  Rheumatic fever
 Impetigo  Rheumatic heart disease
 Kawasaki Disease  Staphylococcus aureus infection
 Lymphadenitis  Streptococcal Infection Group A
 Lymphadenopathy  Toxic shock syndrome (TSS)

Komplikasi acute streptococcal pharyngitis

Komplikasi dapat mencakup Toxic shock syndrome (TSS) dan multiple-organ system disease.
Komplikasi jangka panjang (nonsuppurative sequelae) mencakup acute rheumatic fever (yang
mungkin termasuk salah satu manifestasi mayor dan minor yang melibatkan jantung, sendi, kulit,
dan CNS) dan Post Streptococcal Glomerulonephritis(PSGN)
Case 2 Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis

GLOMERULONEPHRITIS ACUTA

Karena curiga bahwa adanya edema ringan pada wajah dan perifer terkait dengan kondisi
sebelumnya (infeksi saluran pernapasan atas) yang tidak mendapat pengobatan yang efektif, dokter
di Rumah Sakit Angkatan Laut Departemen Rawat Jalan melakukan pemeriksaan fisik lebih dan
laboratorium, dan hasilnya

 Pulse rate: 80 kali per menit, Blood pressure: 150/100 mmHg


 Respiratory rate: 36 kali per menit, temperatur tubuh: 38,5 0C
 Paru-paru dan jantung normal
 Liver dan lien tidak teraba
 Warna urin berkarat, cylinder positive
 Ekskresi protein dari 24 jam urin tampung adalah 147 mg
 Creatine clearance 68,2 ml/min/1,73 mm2
 Total serum protein 7,0 g%, Albumin 3,5 g%, cholesterol serum: 139mg%
 BUN 30 mg%, creatine serum 0,8 mg% dan elektrolit normal
 Hemoglobin 8,5 g/dl dan hematokrit 0,25
 ASO titre 1 : 340
 Level Complement C3 : 21 mg%

Karena kemungkinan menderita penyakit parah dan sebelum kondisi menjadi lebih buruk, oleh
dokter yang bertanggung jawab, ia dirujuk untuk rawat inap.

Problem pada kasus

a. Adanya edema ringan pada wajah dan perifer


b. BP:150/100 mmHg(moderate hypertension)
c. Warna urin berkarat, cylinder positive
d. Total serum protein 7,0 g%, Albumin 3,5 g%(rendah)
e. cholesterol serum: 139mg% (tinggi)
f. Hemoglobin 8,5 g/dl dan hematokrit 0,25
g. Peningkatan pada ASO titre (ASO T> 100 Todd U)
h. Level complement C3 rendah 21 mg% (N: 43-200 mg%)

Solving Problem

a. Berdasarkan adanya hematuria, proteinuria, edema, hipertensi, dan peningkatan


nilai serum kreatinin, peningkatan ASO titre, level complement C3 rendah, serum
kolesterol tinggi, diagnosa: Acute Post-streptococcal Glomerulonephritis (APSGN)
b. Hemoglobin 8,5 g/dl dan hematokrit 0,25: Anemia
Case 2 Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis

Definisi APSGN

- Glomerulonefritis akut yang mengikuti infeksi dengan strain nephritogenic dari grup A
streptococcus β-hemolyticus.
- Contoh klasik dari sindrom nefritik akut.

Epidemiologi APSGN
 Insiden menurun pada 3 dekade terakhir
 Paling sering sporadic
 epidemik dan kelompok kasus - di beberapa komunitas miskin atau pedesaan
 kejadian puncak pada usia: 5-12 tahun (sangat penting untuk diingat untuk mengevaluasi
diagnosis)
 tidak umum pada usia < 3 tahun
 rasio laki-laki: perempuan = 2:1

Etiologi APSGN
Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis mengikuti infeksi tenggorokan atau kulit oleh beberapa
strain “nephritogenic” dari group A streptococcus β-hemolyticus. Faktor-faktor yang
memperbolehkan beberapa strain streptococci menjadi nephritogenic masih belum jelas.
Poststreptococcal glomerulonephritis seringkali mengikuti streptococcal pharyngitis selama musim
dingin dan streptococcal skin infection / pyoderma selama musim panas. Meskipun epidemic
nephritis berhubungan dengan infeksi tenggorokan (serotype 12) dan infeksi kulit (serotype 49),
penyakit ini lebih sering sporadic.

Typical features/manifestation
 Berkembangnya sindroma nefritis akut 1-2 minggu setelah antecedent (riwayat sebelumnya)
dari Streptococcal pharyngitis atau
 3-6 minggu setelah Streptococcal pyodermia

Manifestasi Klinis APSGN


a. Edema: pada 75% pasien; wajah, area periorbital (terutama pada pagi hari), ekstrimitas
bawah, generalized (ascites), efusi pleura  dypsneu, pada perkusi: stony dullness, pada
auskultasi: krepitasi
b. Proteinuri: biasanya kembali normal setelah 4 minggu
c. Tidak separah nephrotic syndrome (hanya <1/gram/m2/hari), sedangkan pada nephrotic
>1/gram/m2/hari
Case 2 Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis

d. Oligouri: school child <400ml/hari, preschool child 300ml/hari, infant dan toddler
<200ml/hari; normal urine output pada anak-anak: 1-2ml/kg/jam
e. Gross hematuria
f. Hipertensi

Presentasi klinis dari APSGN berkisar dari asymptomatic microscopic hematuria sampai nephritic
syndrome yang terdiri dari hematuria, proteinuria, edema, hipertensi, dan peningkatan level serum
creatinine. Gross hematuria dapat terjadi pada 50% pasien. Edema terjadi karena retensi dari Na dan
cairan, yang dapat menyebabkan hipertensi sekunder. Penurunan Glomerular Filtration Rate dapat
meningkatkan konsentrasi serum creatinine; memungkinkan adanya gagal ginjal akut yang
membutuhkan dialisis.

Urinalysis menunjukkan adanya hematuria dengan atau tanpa cast sel darah merah, proteinuria,
dan sering pyuria. Nilai serum complement C3 rendah karena aktivasi dari jalur complement
alternatif. Kultur dari tenggorokan dan kulit seringkali negatif pada saat diagnosa, dapat
menunjukkan periode latent dari onset infeksi sampai onset nephritis.

Patofisiologi APSGN
Deposisi dari antigen nephritogenic GAS pada glomerular subendothelium dapat menyebabkan
pembentukan immune complex, yang memicu aktivasi complement dan inflamasi subsequent;
deposisi pada glomerular subepithelium dapat menyebabkan kerusakan sel epitel dan subsequent
proteinuria.
Case 2 Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis

Patofisiologi APSGN

Infeksi streptococcus

pembentukan kompleks imun + terdeposit di GBM

sistem komplemen teraktivasi low serum complement

Immune injuries

Proliferasi seluler Fraktur GBM

Penyempitan lumen kapiler Hematuria


Proteinuria

Aliran darah glomerular

GFR Reabsorbsi sodium distal

Oliguria

Aktivasi R-A-A-S Retensi air dan sodium

Volume darah

Edema
Hipertensi

Diagnosis ASPGN
Diagnosis membutuhkan temuan klinis dari nefritis akut dengan adanya infeksi GAS yang
baru terjadi. Jika kultur tenggorok atau kulit negatif, konfirmasi adanya infeksi GAS yang baru terjadi
dapat diperoleh melalui test serologic. C3 rendah menunjukkan karakteristik PSGN, tapi tidak
spesifik. Biopsi renal biasanya tidak dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis PSGN.
Case 2 Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis

Diagnostik dengan:

 Riwayat sakit tenggorokan sebelumnya (mungkin oleh streptococcal)


 Edema periferal
 Meningkatnya ASO titre (karena infeksi streptococcal sebelumnya)
 Level complement C3 rendah (karena pembentukan kompleks antigen/antibodi yang
terdeposit pada glomeruli, hanya saat fase akut) kembali ke normal setelah 3-4 minggu
 Level serum IgA dan albumin dalam batasan normal
 Urine memperlihatkan granular cast

Abnormalitas pada pemeriksaan laboratorium


 Gross hematuria (red or ‘smoky’ urine)
 Urinary sediment
- Red cell cast
- Sel darah merah yang dismorphic
- Leukosit (kadang-kadang cast leukosit)
 Proteinuria subnephrotic
 Level complement C3 yang rendah
 Serum kreatinin sering meningkat ringan

Indikasi dan Anti-streptolysin O Titer (ASOT)

Indikasi dari tes ini digunakan secara primer untuk menentukan apakah sebelumnya ada
infeksi Streptococcus, seperti glomerulonephritis, demam rematik, bacterial endocarditis, dan
demam scarlet. Level tertinggi terletak pada glomerulonephritis dan demam rematik.

ASO titer adalah prosedur serologis yang menunjukkan reaksi tubuh terhadap infeksi yang
disebabkan oleh Grup A Streptococcus β-hemoliticus. Organisme Streptococcus memproduksi
enzim yang disebut streptolysin O, yang dapat menghancurkan (lysis) eritrosit. Karena streptolysin O
bersifat antigenik, tubuh bereaksi dengan memproduksi ASO (antibody yang menetralisir). ASO
muncul pada serum dalam waktu 1 minggu – 1 bulan ( di buku lain 1-2 minggu, puncaknya 2-4
minggu dan kembali normal sekitar 6 bulan-1 tahun) setelah onset dari sebuah infeksi
streptococcus; titer yang tinggi tidak spesifik untuk beberapa tipe penyakit poststreptococcal (cth:
rheumatic fever vs glomerulonephritis) tetapi hanya mengindikasikan apakah infeksi streptococcal
sedang terjadi atau sudah ada. ASO tidak mempunyai nilai untuk mendiagnosa infeksi streptococcus
akut. Kultur dari streptococcus dibutuhkan untuk itu. Bagaimanapun kultur tidak berguna selama
periode laten dari poststreptococcal disease (sekitar 2-3 minggu setelah initial infection). ASO sangat
membantu pada tahap ini.

Serial ASO testing mungkin dapat dilakukan untuk mendeteksi perbedaaan antara sampel
darah dari pasien akut dan yang sedang dalam masa pemulihan (covalecence blood sample).
Peningkatan serial titer atau ASO selama lebih dari beberapa minggu, diikuti dengan penurunan
Case 2 Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis

titer yang lambat, lebih signifikan dalam mendiagnosa previous streptococcal infection daripada
single titer. Insiden tertinggi dari hasil yang positif adalah selama minggu ketiga setelah onset dari
gejala akut streptococcal disease. Selama 6 bulan, hanya sekitar 30% pasien yang memiliki titer
abnormal. Pada glomerulonephritis akut, sebanyak 50-75% tidak akan memiliki ASO titer yang tinggi.
Tes immunologis lainnya yaitu antideoxyribonuclease-B (anti DNase-B), juga mendeteksi
antigen yang diproduksi oleh grup A Streptococci. Ketika tes ASO dan anti DNase-B dilakukan
bersama-sama, 95% previous streptococcal infection dapat dideteksi. Jika keduanya hasilnya
negative berulang, tidak ada alasan untuk mensuspek gejala tersebut timbul karena disebabkan oleh
poststreptococcal disease.
Tes-tes yang paling sering digunakan adalah ASO dan anti DNase-B
Kadar normal: ≤ 160 todd unit/ml

Differential diagnosis acute post-streptococcal


glomerulonephritis

Syndrome glomerulonephritis akut meliputi:


a. Penyakit-penyakit bacterial lainnya (eg. Streptococcus pneumonia, Staphylococcus
aureus dan S.epidermidis, Ricketsia rickettsiae, Mycoplasma species, Meningococcus
species, Leptospira species)
b. IgA- associated glomerulonephritis
c. Mesangiocapillary atau membranoproliferative glomerulonephritis (MPGN)
(Peningkatan serum creatinine)
d. Crescentic glomerulonephritis
e. Nephritis, Lupus
f. Cryoglobulinemia

Selama rawat inap, kondisi Mia tidak membaik dan ia menderita kejang (fits) dan koma. Pemeriksaan
funduscopy menunjukkan bilateral papilloedema. Krepitasi terdengar melalui lapangan paru.
Tekanan darah meningkat menjadi 190/150 mmHg. Haemoglobin menurun sampai 2,5 g/dl dan
hematokritnya 0,25. Dia dirujuk ke nephrologist, pulmonologist, cardiologist untuk konsultasi.
Karena kondisinya semakin memburuk, dia dibawa ke UGD, tetapi sayangnya dia meninggal setelah
24 jam dirawat.

Problem pada kasus


a. Dia menderita kejang (fits) dan koma
b. Pemeriksaan fundi menunjukkan bilateral papilloedema
c. Krepitasi halus terdengar melalui lapangan paru (efusi pleura)
d. Haemoglobin menurun sampai 2,5 g/dl (anemia berat) dan hematokrit 0,25
e. Tekanan darah meningkat 190/150 mmHg (hipertensi krisis)
mengapa bisa berakibat fatal? Karena pasien mengalami anemia parah, gagal ginjal dan hipertensi
encephalopathy
Case 2 Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis

Komplikasi APSGN
1. Gagal ginjal
2. Gagal jantung dengan atau tanpa hipertensi
3. Hypertensive encephalopathy (paling serius)

Penyebab yang sesuai pada APSGN


Penyebab yang sesuai adalah krisis hipertensi dan edema cerebral daripada peningkatan urea
darah.

Patofisiologi papilledema pada APSGN


Papilledema (atau papilloedema) adalah pembengkakan optic disc yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan intracranial. Pembengkakan ini biasanya bilateral dan dapat timbul dalam
beberapa jam sampai beberapa minggu. Penampakan unilateral sangat jarang. Papilledema paling
sering terlihat sebagai symptom yang dihasilkan dari proses patofisiological lain. Pada hipertensi
intracranial, papilledema paling sering tampak secara bilateral. Saat papilledema ditemukan pada
fundoscopy, evaluasi lebih lanjut dibutuhkan karena kehilangan pengelihatan dapat tejadi jika
kondisi yang mendasari tidak diobati. Evaluasi lebih lanjut dengan CT atau MRI dari otak dan/atau
spine biasanya dilakukan.

Patofisiologi anemia pada APSGN


Anemia pada APSGN terjadi karena peningkatan volume plasma / volume overload.
Bagaimanapun juga, autoimun hemolytic anemia (AIHA) seringkali dilaporkan pada pasien dengan
APSGN. AIHA adalah kondisi klinis dimana antibody IgG dan/atau IgM berikatan dengan antigen
permukaan sel darah merah dan menginisiasi destruksi sel darah merah melalui sistem komplemen
dan sistem reticuloendothelial.

Manajemen APSGN dan komplikasinya


Tujuan managemen dan treatment:
 Untuk menurunkan tekanan darah
 Penggunaan profilaxis penisilin jangka panjang tidak dianjurkan
 Serangan kedua dari akut glomerulonephritis jarang.
 Steroid tidak ada keuntungannya.

Pengobatan antiobiotik yang rasional

Karena faringitis streptococcal adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri pada banyak kasus,
pertanyaan yang rasional adalah apakah bermanfaat untuk melakukan test diagnostic dan
memberikan antibiotik pada kasus yang dicuragai (suspected cases) atau pada kasus yang sudah
pasti (confirmed cases). Meskipun poststreptococal glomerulonephritis tidak dapat dicegah dengan
Case 2 Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis

pengobatan antibiotic untuk faringitis streptococcal, beberapa keuntungan lain telah disarankan
untuk keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotic juga mengurangi resiko komplikasi supuratif dari
infeksi streptococcal.

 Pengobatan untuk PSGN difokuskan pada manajemen pendukung dari manifestasi klinis
 Loop diuretic seperti furosemide dapat diberikan pada hipertensi dan edema sebagai
tambahan dari restriksi intake air dan natrium. Hypertensi urgency dan emergency,
walaupun jarang, membutuhkan perhatian segera.
 Beberapa pasien membutuhkan dialysis selama penyakit akut karena berkurangnya fungsi
ginjal. Terdapat bukti bahwa infeksi GAS yang persisten membutuhkan treatment antibiotic.

Hipertensi Encephalopathy
 Management dari kejang adalah emergent, diazepam, midazolam
 Obat yang efektif untuk menurunkan BP sangat dibutuhkan, seperti Sodium Nitroprusside,
Calcium channel antagonist.

Terapi diuretic dan steroid yang dapat meringankan encephaledema dianjurkan. Tetapi
mannitol, dextrose atau albumin dilarang (tidak dianjurkan).

- Saluran nafas harus dijaga tetap terbuka dan oksigen harus diberikan
- Sedasi (Phenobarbital, chloralhydrate)

Prognosis APSGN
Manifestasi klinik APSGN dapat diatasi dengan cepat. Biasanya diuresis dimulai dalam 1 minggu,
dengan konsentrasi serum kreatinin kembali ke kondisi awal dalam 3 atau 4 minggu dan hematuria
kembali normal dalam 3 sampai 6 bulan. Proteinuria kembali normal saat kondisi pasien mulai pulih,
tetapi lambat, dan dapat persisten hingga 3 tahun. Kegagalan untuk mengobati infeksi primer, jika
terus-menerus, mungkin menunda penyembuhan. Prognosis untuk kebanyakan anak-anak dengan
APSGN sangat baik. Meskipun jarang, proteinuria yang berulang, hipertensi, dan insuffciency ginjal
dapat berkembang hingga beberapa tahun setelah penyakit awal.

Tetapi sayangnya, pasien tersebut meninggal karena gagal ginjal dan gagal jantung dan yang paling
fatal: hypertensive encephalopathy. Mengapa fatal?

Posterior reversible encephalopathy syndrome


Posterior reversible encephalopathy syndrome (PRES), juga dikenal sebagai reversible posterior
encephalopathy syndrome (RPES), adalah gangguan otak yang berhubungan dengan edema white-
matter, terutama di daerah posterior dari region parietal-temporaloccipital di otak. Namun, lesi
radiologis pada PRES jarang terisolasi ke area tersebut, dan seringkali melibatkan korteks, lobus
frontal, ganglia basalis dan batang otak.

You might also like