You are on page 1of 18

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ketuban pecah dini merupakan salah satu faktor resiko terjadinya infeksi
pada ibu maupun pada neonatus yang sangat besar dan potensiil, oleh karena itu,
tatalaksana ketuban pecah dini memerlukan tindakan yang rinci sehingga dapat
menurunkan kejadian persalinan prematuritas dan infeksi dalam rahim. Bila
persalinan tertunda sampai 24 jam kemungkinan terjadi infeksi sangat besar.
Insidensi ketuban pecah dini berkisar antara 6 – 19% dari seluruh
kehamilan. Ketuban pecah dini sering kali menimbulkan konsekuensi yang dapat
menimbulkan morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun bayi terutama kematian
perinatal yang cukup tinggi.
Menurut World Health Organization, memperkirakan Angka Kematian Ibu
(AKI) tahun 2010 lebih dan 300-400/100.000 kelahiran hidup, yang disebabkan
oleh perdarahan 28%, ketuban pecah dini 20%, eklampsia 12%, abortus 13%,
partus larna 18%, dan penyebab lainnya 2%. Angka kematian Ibu di Indonesia
masih yang tertinggi di ASEAN, yaitu 230/100.000 kelahiran hidup. Berdasarkan
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, AKI di Indonesia
melonjak sangat signifikan pada angka 359 per 100.000 kelahiran hidup atau setiap
jam terdapat 2 orang ibu bersalin meninggal karena berbagai sebab.. Sedangkan
jumlah AKI di Jatim pada tahun 2012 yaitu 97,47 per 100.000 turun menjadi 97,39
per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2013 ini.
Ketuban pecah dini (KPD) merujuk pada pasien dengan usia kehamilan
diatas 37 minggu dan mengalami pecah ketuban sebelum dimulainya proses
persalinan. Ketuban pecah dini preterm (KPDP) adalah pecahnya ketuban sebelum
usia kehamilan 37 minggu. Ketuban pecah dini spontan adalah pecahnya ketuban
setelah atau dengan dimulainya persalinan. KPD memanjang adalah pecahnya
ketuban yang terjadi lebih dari 24 jam dan sebelum dimulainya proses persalinan.
Membran yang mengelilingi kavum amniotik terdiri dari amnion dan korion, yang
merupakan lapisan yang melekat yang mengandung berbagai tipe sel, termasuk sel
epitel, sel mesenkim, dan sel trofoblas, tertanam dalam matriks kolagen. Membran
ini mempertahankan cairan amnion, mensekresikan substansi baik ke dalam cairan
amnion maupun ke uterus, dan melindungi janin dari infeksi yang melibatkan
saluran reproduksi. Pada usia kehamilan aterm, 8-10% wanita hamil mengalami
ketuban pecah dini, dan para wanita ini memiliki risiko infeksi intrauteri yang
meningkat bila interval antara pecah ketuban dan pelahiran semakin lama. KPDP
terjadi pada kira-kira 1% dari seluruh kehamilan dan berkaitan dengan 30-40%
kelahiran prematur. Hal ini kemudian menjadi penyebab utama yang teridentifikasi
dari kelahiran prematur dan komplikasinya, termasuk sindroma distress pernapasan,
infeksi neonatus, dan perdarahan intraventrikular.Setelah ketuban pecah dini aterm,
70% kasus memulai persalinan dalam 24 jam, dan 95% dalam 72 jam.9,10 Pada
kasus ketuban pecah dini preterm, periode laten sejak pecahnya ketuban hingga
persalinan menurun, berbanding terbalik dengan bertambahnya usia kehamilan.
Misalnya, pada 20-26 minggu kehamilan, rerata periode laten adalah 12 hari;
sedangkan pada 32-34 minggu, hanya 4 hari.
PEMBAHASAN

1. Air Ketuban
1.1 Ciri-ciri kimiawi air ketuban
Ruangan yang dilapisi oleh selaput janin (amnion dan karion)
berisi air ketuban (liquor amnii). Volume air ketuban pada kehamilan
cukup bulan kira-kira 1000 – 1500 cc. Air ketuban berwarna putih keruh,
berbau amis dan berasa manis. Reaksinya agak alkalis atau netral (pH 7,0-
7,5) dengan berat jenis 1,008. Komposisinya terdiri atas 98% air, sisanya
albumin, urea, asam urik, kreatinin, sel-sel epitel, rambut lanugo, verniks
kaseosa dan garam anorganik. Kadar protein kira-kira 2,6% g per liter,
terutama albumin.
Kadang-kadang pada partus, warna air ketuban ini menjadi
kehijau-hijauan karena tercampur mekonium (kotoran pertama yang
dikeluarkan bayi dan yang mengandung empedu). Berat jenis likuor
menurun dengan tuanya kehamilan (1,025 – 1,010). Peredaran air ketuban
dengan darah ibu cukup lancar dan perputarannya cepat, kira-kira 350 –
500 cc.

1.2 Fisiologi Air Ketuban


Fisiologi air ketuban adalah meliputi: air ketuban berfungsi untuk
melindungi janin terhadap trauma dari luar, mencegah perlekatan janin
dengan amnion, memungkinkan janin dapat bergerak bebas, melindungi
suhu tubuh janin, meratakan tekanan di dalam uterus pada partus sehingga
serviks membuka dan untuk membersihkan jalan lahir.

1.3 Asal Air Ketuban


Telah banyak teori dikemukakan mengenai dari mana air ketuban ini
berasal, antara lain bahwa air ketuban ini berasal dari lapisan amnion
terutama dari bagian plasenta.
Air ketuban ini dihasilkan selaput ketuban dan diduga dibentuk oleh
sel-sel amnion, ditambah air kencing janin, serta cairan otak pada
anensefalus. Pada ibu hamil, jumlah cairan ketuban ini beragam. Normalnya
antara 1 liter sampai 1,5 liter. Namun bisa juga kurang dari jumlah tersebut
atau lebih hingga mencapai 3-5 liter. Diperkirakan janin menelan lebih
kurang 8-10 cc air ketuban atau 1 persen dari seluruh volume dalam tiap
jam.
2. Ketuban Pecah Dini
2.1 Definisi
Ketuban pecah dini aterm atau spontaneous/early/premature
rupture of membrane (PROM) merupakan pecahnya selaput ketuban
secara spontan pada saat belum menunjukkan tanda-tanda
persalinan/inpartu. Keadaan inpartu didefinisikan sebagai kontraksi uterus
teratur dan menimbulkan nyeri yang menyebabkan terjadinya dilatasi
serviks atau bila satu jam kemudian tidak timbul tanda-tanda awal
persalinan. Periode laten merupakan interval waktu dari pecahnya ketuban
hingga mulainya persalinan.
Ketuban pecah dini preterm diartikan sebagai ketuban pecah dini
yang terjadi pada persalinan sebelum usia kehamilan 37 minggu.
Ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan berupa air dari vagina
setelah kehamilan berusia 22 minggu sebelum proses persalinan
berlangsung dan dapat terjadi pada kehamilan preterm sebelum kehamilan
37 minggu maupun kehamilan aterm. Sedangkan menurut Manuaba
(2012), ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat
tanda persalinan mulai dan ditunggu satu jam sebelum terjadi inpartu.
Sebagian besar ketuban pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu,
sedangkan di bawah 36 minggu tidak terlalu banyak. Selain itu, ada
beberapa teori yang menghitung beberapa jam sebelum inpartu misalnya 1
jam atau 6 jam sebelum inpartu.
Arti klinis ketuban pecah dini adalah:
1. Bila bagian terendah janin masih belum masuk pintu atas panggul maka
kemungkinan terjadinya prolapsus tali pusat atau kompresi tali pusat
menjadi besar.
2. Peristiwa ketuban pecah dini yang terjadi pada primigravida hamil
aterm dengan bagian terendah yang masih belum masuk pintu atas
panggul seringkali merupakan tanda adanya gangguan keseimbangan
feto pelvik.
3. Ketuban pecah dini seringkali diikuti dengan adanya tanda-tanda
persalinan sehingga memicu terjadinya persalinan preterm dengan
segala akibatnya.
4. Peristiwa ketuban pecah dini yang berlangsung lebih dari 24 jam
(prolonged rupture of membrane) seringkali disertai dengan infeksi
intrauterin dengan segala akibatnya.
5. Peristiwa ketuban pecah dini dapat disebabkan oligohidramnion dan
dalam jangka panjang kejadian ini akan dapat menyebabkan hilangnya
fungsi amnion bagi pertumbuhan dan perkembangan janin.
2.2 Etiologi
Penyebab ketuban pecah dini belum diketahui secara pasti,
namun kemungkinan terjadi karena pengurangan kekuatan selaput
ketuban, peningkatan tekanan intrauterine. Selaput ketuban ketuban dapat
kehilangan elastisitasnya karena bakteri maupun his. Bakteri penyebab
infeksi adalah bakteri yang merupakan flora normal vagina maupun
serviks. Mekanisme infeksi belum diketahui secara pasti, namun faktor
lain yang membantu penyebaran infeksi adalah incopentent serviks, VT
yang berulang-ulang.
Penyebab KPD meliputi:
1. Serviks inkompeten menyebabkan dinding ketuban paling bawah
mendapatkan tekanan yang semakin tinggi.
Inkompetensia serviks adalah istilah untuk menyebut kelainan pada
otot-otot leher atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah,
sehingga sedikit membuka ditengah-tengah kehamilan karena tidak
mampu menahan desakan janin yang semakin besar.
2. Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, kelainan
genetik).
3. Peninggian tekanan intra uterin
Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan
dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini. Misalnya:
a. Trauma
Hubungan seksual, pemeriksaan dalam, dan amniosintesis.
b. Gemelli
Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua janin atau lebih.
Pada kehamilan gemelli terjadi distensi uterus yang berlebihan,
sehingga menimbulkan adanya ketegangan rahim secara berlebihan. Hal
ini terjadi karena jumlahnya berlebih, isi rahim yang lebih besar dan
kantung (selaput ketuban ) relative kecil sedangkan dibagian bawah
tidak ada yang menahan sehingga mengakibatkan selaput ketuban tipis
dan mudah pecah.
c. Makrosomia
Makrosomia adalah berat badan neonatus >4000 gram kehamilan
dengan makrosomia menimbulkan distensi uterus yang meningkat atau
over distensi dan menyebabkan tekanan pada intra uterin bertambah
sehingga menekan selaput ketuban, manyebabkan selaput ketuban
menjadi teregang, tipis, dan kekuatan membrane menjadi berkurang,
menimbulkan selaput ketuban mudah pecah.
d. Hidramnion
Hidramnion atau polihidramnion adalah jumlah cairan amnion
>2000mL. Uterus dapat mengandung cairan dalam jumlah yang sangat
banyak. Hidramnion kronis adalah peningaktan jumlah cairan amnion
terjadi secara berangsur-angsur. Hidramnion akut, volume tersebut
meningkat tiba-tiba dan uterus akan mengalami distensi nyata dalam
waktu beberapa hari saja.
4. Pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban seperti infeksi genitalia
dan meningkatnya enzim proteolitik. Masa interval sejak ketuban pecah
sampai terjadi kontraksi disebut fase laten. Makin panjang fase laten,
makin tinggi kemungkinan infeksi. Makin muda kehamilan, makin sulit
upaya pemecahannya tanpa menimbulkan morbidiats janin dan
komplikasi ketuban pecah dini makin meningkat.
5. Multipara, grandemultipara. Pada kehamilan yang terlalu sering akan
mempengaruhi proses embriogenesis sehingga selaput ketuban yang
terbentuk akan lebih tipis yang akan menyebabkan selaput ketuban
pecah sebelum tanda-tanda inpartu.
6. Overdistensi uterus pada hidramnion, kehamilan ganda dan sefalopelvik
disproporsi. Hidramnion atau kadang-kadang disebut polihidramnion
adalah keadaan di mana banyaknya air ketuban melebihi 2000 cc.
Hidramnion dapat terjadi pada kasus anensefalus, atresia esophagus,
gemeli dan ibu yang mengalami diabetes mellitus gestasional (DMG).
Ibu dengan DMG akan melahirkan bayi dengan berat badan berlebihan
pada semua usia kehamilan sehingga kadar cairan amnion juga akan
berlebih.
7. Kelainan letak yaitu letak lintang sungsang.
8. Pendular abdomen (perut gantung).
9. Usia ibu yang lebih tua mungkin menyebabkan ketuban kurang kuat
daripada ibu muda.
10. Riwayat KPD sebelumnya sebanyak dua kali atau lebih.
11. Merokok selama kehamilan.

2.3 Patofisiologi
Mekanisme KPD antara lain :
1. Terjadi pembukaan prematur serviks.
2. Membran terkait dengan pembukaan terjadi :
a. Devaskularisasi
b. Nekrosis dan dapat diikuti pecah spontan
c. Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban makin
berkurang
d. Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan infeksi yang
mengeluarkan enzim proteolitik dan enzim kolagenase
Ketuban yang pecah berkaitan dengan tingginya insidensi infeksi.
Diperkirakan bahwa infeksi bakteri secara ascenden dari vagina memicu
peningkatan aktivasi sitokin terjadinya apoptosis pada membran selaput
ketuban, sehingga membuat selaput ketuban lebih rentan untuk pecah.
Mekanisme terjadinya ketuban pecah dini dapat berlangsung sebagai
berikut :
1) Selaput ketuban tidak kuat sebagai akibat kurangnya jaringan ikat dan
vaskularisasi. Bila terjadi pembukaan serviks maka selaput ketuban
sangat lemah dan mudah pecah dengan mengeluarkan air ketuban.
2) Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblas, jaringan
retikuler korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan
kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan inhibisi interleukin-1 (IL-
1) dan prostaglandin. Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi
peningkatan aktifitas IL-1 dan prostaglandin, menghasilkan
kolagenase jaringan, sehingga terjadi depolimerisasi kolagen pada
selaput korion / amnion, menyebabkan selaput ketuban tipis, lemah
dan mudah pecah spontan.
Perjalanan menuju infeksi neonatus dapat terjadi melalui rute
sebagai berikut:
1) Ascending infection, pecahnya ketuban menyebabkan adanya
hubungan langsung antara ruang intraamnion dengan dunia luar.
2) Infeksi intraamnion bisa terjadi langsung pada ruang amnion, atau
dengan penjalaran infeksi melalui dinding uterus, selaput janin,
kemudian ke ruang intraamnion.
3) Jika ibu mengalami infeksi sistemik, infeksi intrauterin bisa terjadi
menjalar melalui plasenta (sirkulasi fetomaternal).
4) Tindakan iatrogenik traumatik atau higiene buruk, misalnya
pemeriksaan dalam yang terlalu sering, dan sebagainya.
Pecahnya selaput ketuban intrapartum terjadi disebabkan
perlemahan keseluruhan karena kontraksi uterus dan peregangan yang
berulang. Daya regang selaput berkurang pada spesimen yang diambil
setelah persalinan dibandingkan dengan spesimen yang diperoleh setelah
persalinan dengan operasi sesar tanpa proses persalinan. Perlemahan
keseluruhan selaput ketuban sulit ditentukan bila KPD dibandingkan
dengan selaput yang dipecahkan dalam proses persalinan. Namun selaput
yang pecah prematur, tampaknya disebabkan terdapatnya defek fokal
daripada perlemahan keseluruhan. Area sekitar lokasi ruptur digambarkan
sebagai “zona terlarang perubahan morfologi ekstrim” yang ditandai oleh
pembengkakan nyata dan gangguan jaringan fibril kolagen didalam lapisan
padat (kompakta), fibroblast dan spongiosa. Karena zona ini tidak
termasuk seluruh lokasi ruptur, zona ini dapat timbul sebelum pecahnya
ketuban dan menunjukkan titik pecah awal. Meskipun karakteristik KPDP
berbeda dengan pecah ketuban intrapartum, ada sedikit bukti yang
menunjukkan bahwa mekanisme yang mempredisposisi para wanita
dengan KPD tidak identik dengan mekanisme yang biasanya mendahului
persalinan. Hal ini telah memberikan pandangan bahwa KPD
mempercepat atau mempresipitasi berlebihan proses pecah spontan selaput
ketuban selama persalinan.
a. Tekanan barometer
Telah diketahui bahwa perubahan tekanan barometer dapat mempercepat
pecahnya selaput ketuban. Literatur yang mendukung hal ini masih
terbagi. Milingos dkk. menemukan korelasi signifikan antara tekanan
barometrik dan KPD (r=0.44, p<0.05) pada hampir 1600 kasus yang
diulas. Polansky dkk. selanjutnya menunjukkan hubungan signifikan
antara insidensi KPD dan penurunan tekanan barometer 3 jam sebelumnya
(p=0.006) pada serial 109 pasien mereka. Di sisi lain, Marks dkk. tidak
dapat menunjukkan hubungan statistik antara tekanan barometer atau fase
bulan dengan KPD pada serial 117 pasien mereka. Efek tekanan barometer
pada pecahnya ketuban tetap menjadi subyek kontroversial, dan apakah
efek ini berkontribusi pada KPDP masih diselidiki.
b. Metabolisme kolagen
Pada tahun 1995, Draper dkk., melaporkan penemuan mengenai
peningkatan aktivitas protease pada selaput ketuban wanita yang
mengalami KPDP dibandingkan dengan merekan yang melahirkan bayi
prematur tanpa KPD. Pada studi penting ini, tercatat bahwa satu-satunya
inhibitor protease yang efektif adalah asam etilendiamintetrasetik,
mengesankan ini adalah metalloproteinase (MMP). MMP adalah enzim
zinc-dependent yang mendegradasi komponen matriks ekstraselular,
seperti kolagen, glikoprotein, dan proteoglikan. Enzim-enzim ini
disekresikan sebagai proenzim inaktif dan aktivitasnya tetap dikendalikan
oleh inhibitor yang disebut tissue inhibitors of metalloproteinase (TIMP).
MMP diklasifikasikan menurut spesifisitas substrat. Yang termasuk
kolagenase adalah MMP-1 dan MMP-8, yang mendegradasikan kolagen
tipe I, II, dan III. Yang termasuk gelatinase adalah MMP-2 dan MMP-
9,yang mendegradasi kolagen denaturasi, kolagen tipe IV dan V. Yang
termasuk stromalisin adalah MMP-3, MMP-7, dan MMP-10, yang
mendegradasi proteoglikan, fibronektin, dan komponen stromal lain. Pada
tahun 1996, Vadillo-Ortega dkk., membandingkan cairan amnion dari
empat kelompok pasien: (1) wanita dengan persalinan normal aterm, (2)
wanita aterm belum inpartu, (3) kehamilan preterm pada saat studi genetik,
dan (4) pasien KPDP. Wanita aterm inpartu dan wanita dengan KPDP
memiliki kadar aktivitas gelatinolitik yang lebih tinggi dalam cairan
amnionnya. Kebanyakan aktivitas ini memiliki karakteristik disebabkan
oleh MMP-9. Para penulis kemudian mengukur konsentrasi inhibitor
MMP-9, tissue inhibitor of metalloproteinase-1 pada sampel yang sama
dan menemukan bahwa sampel preterm dari pasien yang menjalani
amniosentesa genetik mengandung kadar yang tertinggi, sedangkan sampel
dari pasien KPDP mengandung kadar terendah. Para peneliti mencatat
bahwa penelitian mengenai MMP-1 sama menariknya seperti pemecah
kolagen fibril tipe 1. Mereka mencatat bahwa aktivitas ini tidak terdeteksi
dalam cairan amnion karena MMP-1 terikat kuat pada matriks
ekstraselular amniokorion.23 Temuan mengenai peningkatan MMP-9 dan
bukannya MMP-1 dalam cairan amnion pada wanita KPDP selanjutnya
dikonfirmasi dengan penelitian oleh Athayde dkk. Juga terdapat
regionalisasi perubahan tipe dan kandungan kolagen. Konsentrasi MMP-9
yang lebih tinggi ditunjukkan pada selaput yang dekat dengan serviks
daripada selaput di daerah tengah pada pasien aterm baik sebelum dan
sesudah dimulainya persalinan. MMP-9mendegradasi kolagen tipe V, yang
terlihat menurun pada KPDP. Kejadian yang menyebabkan hal ini belum
diketahui, namun terdapat beberapa bukti yang mengaitkannya pada
infeksi. Seperti diketahui sebelumnya, terdapat hubungan jelas antara
infeksi dengan KPDP. Protease yang diproduksi bakteri dapat merubah
kekuatan membran, atau secara alternatif mungkin merupakan derivate
lekosit yang diaktivasi sebagai respon invasi bakteri. Ditunjukkan pula
bahwa MMP-7, yang dihasilkan makrofag, meningkat dengan invasi
mikroba preterm ke kavum amnion. MMP-7 juga ditunjukkan dapat
mengaktivasi bentuk proenzim MMP lain, dengan efek kaskade.
c. Perubahan kandungan kolagen, struktur, katabolisme, dan faktor klinis
yang berkaitan.
Pemeliharaan daya regang selaput ketuban sepertinya melibatkan
keseimbangan antara sintesa dan degradasi komponen matriks
ekstraselular. Diduga bahwa perubahan dalam membran, termasuk
berkurangnya kandungan kolagen, perubahan struktur kolagen dan
aktivitas kolagenolitik yang meningkat, berhubungan dengan ketuban
pecah dini. Terdapat bukti tidak langsung bahwa infeksi traktus genitalia
mempercepat pecah ketuban pada manusia dan hewan. Identifikasi
mikroorganisme patologis pada flora vagina manusia segera setelah pecah
ketuban mendukung konsep bahwa infeksi bakteri mungkin berperan pada
patogenesa KPD. Data epidemiologi menunjukkan hubungan antara
kolonisasi traktus genitalia oleh streptokokus grup B, Chlamydia
trachomatis, Neisseria gonorrhoeae, dan mikroorganisme yang
menyebabkan bacterial vaginosis (anaerob vagina, Gardnerella vaginalis,
spesies mobiluncus, dan mycoplasma genital) dan suatu peningkatan risiko
KPDP. Terlebih lagi, pada beberapa studi penatalaksanaan wanita
terinfeksi dengan antibiotic menurunkan angka KPDP. Progesterone dan
estradiol menekan remodelingmatriks ekstraselular pada jaringan
reproduksi. Relaksin, suatu hormon protein yang meregulasi remodeling
jaringan ikat, diproduksi lokal pada plasenta dan desidua dan membalikkan
efek inhibisi estradiol dan progesterone dengan meningkatkan aktivitas
MMP-3 dan MMP-9 pada selaput ketuban. Walaupun penting untuk
mempertimbangkan peran estrogen, progesteron, dan relaksin pada proses
reproduksi, keterlibatannya pada proses pecah ketuban perlu dijelaskan.
Amnion dan korion manusia yang diperoleh setelah KPD aterm
mengandung banyak sel apoptosis pada daerah yang dekat dengan lokasi
ruptur dan sedikit sel apoptosis di daerah lainnya. Pada kasus-kasus
korioamnionitis, sel epitel amnion apoptotik terlihat pada persambungan
dengan granulosit pelekat, menunjukkan bahwa respon imun induk
mempercepat kematian sel pada selaput ketuban. Peregangan berlebihan
pada uterus karena polihidramnion dan kehamilan multijanin menginduksi
tegangan membran dan meningkatkan risiko KPD. Peregangan mekanik
selaput ketuban meningkatkan regulasi produksi beberapa faktor amniotik,
termasuk prostaglandin E2 dan interleukin-8. Peregangan juga
meningkatkan aktivitas MMP-1 dalam membran. Interleukin-8, yang
diproduksi oleh sel amnion dan korion, merupakan kemotaksis neutrofil
dan merangsang aktivitas kolagenase. Produksi interleukin-8, yang
berkonsentrasi rendah dalam cairan amnion selama trimester ke-dua tetapi
berkonsentrasi tinggi pada kehamilan lanjut, diinhibisi oleh progesteron.
Maka, produksi interleukin-8 dan prostaglandin E2 amniotik
menggambarkan perubahan biokimia pada selaput ketuban yang mungkin
dimulai oleh tekanan fisik (peregangan membran), menyatukan hipotesa
pecah ketuban akibat induksi-tekanan dan induksi biokimia. Pada suatu
penelitian oleh Park JC dkk. tahun 2003 yang membandingkan ketebalan
dan perubahan histopatologis pada selaput ketuban antara KPD dan selaput
ketuban utuh setelah pelahiran, mendapatkan hasil bahwa pada KPDP
ditemukan rerata ketebalan selaput ketuban yang lebih kecil daripada
persalinan preterm tanpa KPD, namun hasilnya tidak signifikan.
Sedangkan pada perbandingannya, selaput ketuban pada kehamilan usia
≥37 minggu dijumpai lebih tipis daripada kehamilan usia <37 minggu.

2.4 Manifestasi Klinis


Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes
melalui vagina. Aroma air ketuban berbau amis dan tidak seperti bau
amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, dengan
ciri pucat dan bergaris warna darah. Cairan ini tidak akan berhenti atau
kering karena terus diproduksi sampai kelahiran. Tetapi bila Anda duduk
atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya
“mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk sementara. Demam,
bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah
cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi.
2.5 Diagnosis
Diagnosis ketuban pecah dini yang tepat sangat penting untuk
menentukan penanganan selanjutnya. Oleh karena itu usaha untuk
menegakkan diagnosis ketuban pecah dini harus dilakukan dengan cepat dan
cermat.
1. Riwayat pengeluaran cairan dalam jumlah besar secara mendadak atau
sedikit demi sedikit pervaginam.
2. Diagnosis pasti pecahnya selaput ketuban ditegakkan jika cairan
amnion terlihat berkumpul di forniks pesterior atau cairan jernih keluar
dari kanalis servikalis. Jika belum juga tampak penderita diminta batuk,
mengejan atau mengadakan manuvover valsava. Jika diagnosis tetap
belum pasti, maka metode lain yang dilakukan dengan melibatkan
pemeriksaan pH cairan vagina dengan uji kertas nitrazin.
3. Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa: warna, konsentrasi, bau
dan pH-nya. Cairan yang keluar dari vagina ini kecuali air ketuban
mungkin juga urine atau sekret vagina. Sekret vagina ibu hamil pH 4-5,
dengan kertas nitrazin tidak berubah warna, tetap kuning.
a. Tes lakmus (tes Nitrazin), jika kertas lalkmus merah berubah
menjadi biru menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). pH air
ketuban 7 – 7,5, darah dan infeksi vagina dapat menghasilkan tes
yang positif palsu.
b. Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas
objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik
menunjukkan gambaran daun pakis.
c. Pemeriksaan USG berguna untuk menentukan usia kehamilan,
berat janin, volume cairan ketuban, letak janin, adanya kehamilan
ganda, dan sembarang malformasi janin.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


a. Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat mengindentifikasikan kehamilan ganda, anormaly
janin atau melokalisasi kantong cairan amnion pada amniosintesis.
b. Amniosintesis
Cairan amnion dapat dikirim ke laboratorium untuk evaluasi kematangan
paru janin.
c. Pemantauanjanin
Membantu dalam mengevaluasi janin
d. Protein C-reaktif
Peningkatan protein C-reaktif serum menunjukkan peringatan
korioamnionitis

2.7 Penatalaksanaan
Ketuban pecah dini pada kehamilan aterm atau preterm dengan atau
tanpa komplikasi harus dirujuk ke rumah sakit.
Dalam menghadapi ketuban pecah dini maka ada beberapa hal yang
harus dipertimbangkan, yaitu:
1. Fase laten:
a. Lamanya waktu sejak ketuban pecah sampai terjadi proses
persalinan.
b. Semakin panjang fase laten semakin besar kemungkinan
terjadinya infeksi.
c. Mata rantai infeksi merupakan ascendens infeksi, antara lain:
 Korioamnionitis, ciri-cirinya sebagai berikut:
 Ibu demam (>38°C)
 Ibu takikardi
 Abdomen terasa tegang
 Pemeriksaan laboratorium terjadi leukositosis
 Janin takikardi
 Protein C reaktif meningkat
 Kultur cairan amnion positif
 Cairan vagina berbau busuk atau mengandung darah.
2. Perkiraan berat badan janin dapat ditentukan dengan pemeriksaan USG
yang mempunyai program untuk mengukur berat badan janin, semakin
kecil berat badan janin maka semakin besar kemungkinan kematian dan
kesakitan sehingga tindakan terminasi memerlukan pertimbangan
keluarga.
3. Presentasi janin intrauterin. Presentasi janin merupakan petunjuk untuk
melakukan terminasi kehamilan. Pada letak lintang atau bokong, harus
dilakukan dengan jalan seksio sesarea.
Tiga kemungkinan tindakan yang dapat dilakukan pada ketuban
pecah dini, yaitu:
1. Konservatif
Tatalaksana konservatif, antara lain:
a.Tirah baring untuk mengurangi keluarnya air ketuban sehingga
masa kehamilan dapat diperpanjang.
b. Tirah baring dapat dikombinasikan denngan pemberian
antibiotik sehingga dapat menghindari infeksi. Antibiotik yang
dianjurkan adalah:
- Untuk Streptokokus grup B
 Penisilin G 5 juta unit IV dosis awal, kemudian 2,5 juta unit
IV setiap 4 jam msampai kelahiran, atau
 Ampisilin 2 g IV dosis awal, lalu 1 g IV setiap 8 jam sampai
kelahiran.
- Untuk Clamydia trachomatis.
 Azitromisin, 1000 mg per oral sebagai dosis tunggal,
 Eritromisin etilsuksinat 800 mg per oral empat kali sehari
selama 7 hari.
2. Tatalaksana aktif
Kehamilan >37 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal seksio
sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 25ug – 50 ug intravaginal tiap 6
jam maksimal 4 kali. Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotik dosis
tinggi dan persalinan diakhiri. Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan
serviks, kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan
seksio sesarea. Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan.
Dilakukan tindakan untuk memperpanjang usia kehamilan dengan
memberi kombinasi antara:
 Kortikosteroid untuk mematangkan paru
 Tokolitik untuk mengurangi atau menghambat kontraksi otot
uterus.
 Antibiotik untuk mengurangi peranan infeksi sebagai pemicu
terjadinya proses persalinan.
 Dalam keadaan terpaksa harus dilakukan terminasi kehamilan
untuk menyelamatkan bayi atau maternal.
Usia kehamilan kurang dari 26 minggu:
 Sulit mempertahankan kehamilan sampai aterm atau sampai usia
kehamilan sekitar 34 minggu.
 Bahaya infeksi dan keadaan oligohidramnion akan menimbulkan
masalah pada janin.
 Bayi dengan usia kehamilan kurang dari 26 minggu, sulit untuk
hidup dan beradaptasi di luar lingkungan.
Usia kehamilan 26 – 31 minggu:
 Persoalan tentang sikap dan komplikasi persalinan masih sama
seperti pada usia kehamilan kurang dari 26 minggu.
 Pada rumah sakit yang sudah maju mungkin terdapat unit
perawatan intensif neonatus untuk perawatan janin.
 Pertolongan persalinan dengan berat badan jnain kurang dari
2000 g dianjurkan dengan seksio sesarea.
Usia kehamilan 31 – 33 minggu:
 Dianjurkan untuk melakukan amniosentesis untuk menentukan
maturitas paru.
 Perhatikan tanda infeksi intrauterin.
 Umumnya berat badan janin sudah sekitar 2000 g sehingga sudah
sangat mungkin tertolong.
Usia kehamilan 34 – 36 minggu:
 Berat badan janin sudah cukup baik sehingga langsung dapat
dilakukan terapi induksi atau seksio sesarea.
Usia kehamilan di atas 36 minggu:
 Sudah dianggap aterm sehingga seharusnya dapat hidup di luar
kandungan dan selamat
3. Tatalaksana agresif
Tindakan agresif dilakukan jika ada indikasi vital sehingga tidak dapat
ditunda karena mengancam kehidupan janin atau maternal. Indikasi vital
yang dimaksudkan, yaitu:
a. Infeksi intrauterin.
b. Solusio plasenta.
c. Gawat janin.
d. Prolaps tali pusat.
e. Evaluasi detak jantung janin menunjukkan hasil gawat janin atau redup
f. Berat badan janin cukup mampu untuk dapat beradaptasi di luar
kandungan.
Seperti dikemukakan bahwa pemilihan sikap di antara tiga pilihan, akan
mengalami kesulitan jika berada pada pemilihan ketuban pecah dini dengan
janin yang prematur. Keadaan janin yang prematur akan menghadapi
berbagai kendala umum akibat ketidakmampuannya beradaptasi terhadap
kehidupan di luar kandungan. Ketidakmampuan untuk hidup di luar
kandungan tersebut semata-mata akibat organ vital yang belum siap untuk
menghadapi situasi yang sangat berbeda dengan keadaan intrauterin
sehingga menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Bila janin hidup dan terdapat prolaps tali pusat, pasien dirujuk dengan
posisi panggul lebih tinggi dari badannya, bila mungkin dengan posisi
bersujud. Kalau perlu kepala janin di dorong ke atas dengan 2 jari agar tali
pusat tidak tertekan kepala janin. Tali pusat di vulva dibungkus kain hangat
yang dilapisi plastic.
Bila ada demam atau dikhawatirkan terjadi infeksi saat rujukan atau
ketuban pecah lebih dari 6 jam, berikan antibiotic seperti penisilin prokain
1,2 juta IU intramuscular dan ampisilin 1 gram peroral. Bila pasien tidak
tahan ampisilin, diberikan eritromisin 1 gram peroral.
Bila keluarga pasien menolak dirujuk, pasien disuruh istirahat dalam
posisi berbaring miring, berikan antibiotic seperti penisilin prokain 1,2 juta
IU intramuscular tiap 12 jam dan ampisilin 1 gram peroral diikuti 500 mg
tiap 6 jam atau eritromisin dengan dosis yang sama.
Pada kehamilan kurang dari 32 minggu, dilakukan tindakan konservatif,
yaitu tirah baring, diberikan sedative berupa fenobarbital 3x30 mg. berikan
antibiotic selama 5 hari dan glukokortikosteroid, contoh dexametason 3x5
mg selama 2 hari. Berikan pula tokolisis. Bila terjadi infeksi, akhiri
kehamilan.
Pada kehamilan 33-35 minggu, lakukan terapi konservatif selama 24
jam lalu induksi persalinan. Bila terjadi infeksi, akhiri kehamilan.
Pada kehamilan lebih dari 36 minggu, bila ada his pimpin meneran dan
lakukan akselerasi bila ada insersia uteri. Bila tidak ada his, lakukan induksi
persalinan bila ketuban pecah kurang dari 6 jam dan skor pelvic kurang dari
5 atau ketuban pecah lebih dari 6 jam dan skor pelvic lebih dari 5, seksio
sesarea bila ketuban pecah kutrang dari 5 jam dan skor pelvic kurang dari 5.

2.8 Komplikasi
 Komplikasi paling sering terjadi pada KPD sebelum usia kehamilan
37 minggu adalah sindrom distress pernapasan, yang terjadi pada 10-
40% bayi baru lahir. Risiko infeksi meningkat pada kejadian KPD.
 Semua ibu hamil dengan KPD prematur sebaiknya dievaluasi untuk
kemungkinan terjadinya korioamnionitis (radang pada korion dan
amnion). Selain itu kejadian prolaps atau keluarnya tali pusar dapat
terjadi pada KPD.
 Risiko kecacatan dan kematian janin meningkat pada KPD preterm.
Hipoplasia paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada KPD
preterm. Kejadiannya mencapai hampir 100% apabila KPD preterm
ini terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23 minggu
 infeksi maternal dan neonatal
 persalinan prematur
 hipoksia karena kompresi tali pusat
 deformitas janin
 meningkatnya insiden seksio sesarea, atau gagal persalinan normal
(komplikasi yang timbul bergantung pada usia kehamilan).

2.9 Pengaruh ketuban pecah dini terhadap ibu dan janin


Pengaruh ketuban pecah dini terhadap ibu dan janin adalah meningkatnya
mortalitas dan morbiditas perinatal. Pengaruh Ketuban pecah dini yaitu:
1. Terhadap Ibu
Komplikasi primer yang terjadi pada ibu adalah resiko terjadinya
infeksi. Infeksi pada rongga amnion adalah komplikasi yang paling
umum setelah ketuban pecah dini. Risiko korioamnionitis klinis
meningkat dengan meningkatnya durasi pecah ketuban, dan menurun
dengan bertambahnya usia kehamilan pada ketuban pecah dini. Secara
keseluruhan, 9% dari ibu hamil dengan ketuban pecah dini akan
mengalami korioamnionitis. Risiko ini meningkat menjadi 24% dengan
ketuban pecah lebih dari 24 jam. Dengan ketuban pecah lama,
korioamnionitis terjadi pada 13-60% dari kehamilan, dan endometritis
terjadi pada sekitar 2-13% kasus.
2. Terhadap Janin
Walaupun ibu belum menunjukkan gejala-gejala infeksi tetapi janin
mungkin sudah terkena infeksi, karena infeksi intrauterine lebih dahulu
terjadi (amnionitis, vaskulitis) sebelum gejala pada ibu dirasakan. Jadi
akan meninggikan mortalitas dan morbiditas perinatal. Janin yang
mengalami takikardi mungkin mengalami infeksi intrauterine.

2.10 Prognosis
Prognosis umumnya bonam pada ibu, namun dubia ad bonam pada
janin.

DAFTAR PUSTAKA
Arthur, 2011. Manual of Obstetrics, Lippincott William & Wilkins, a Wolters Kluwer
business 530 Walnut Street, Philadelphia, pp. 141.

Bradley, 2011. The management of community-acquired pneumonia in infants and


children older than 3 months of age: clinical practice guidelines by the
pediatric infectious diseases society and the infectious diseases society of
america. Clin Infect Dis. Oct 2011;53(7):e25-76

Chan, Grace.J, dkk. 2013. Risk of Early-Onset Neonatal Infection with Maternal
Infection or Colonization: A Global Systematic Review and Meta-Analysis.
PloS Med. Aug 2013;10(8):e001502

Cunningham, F. G. dkk. 2013. Obstetri Williams edisi 23. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. h. 1276-1284

Davies, Mark. W, dkk. 2012. Catatan Saku Neonatologi Ed. 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. h. 148-155.
Leveno J. Kenneth, dkk. 2013. Obstetri Williams Panduan Ringkas. Edisi 21. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran ECG. h. 113-124

Lissauer dan Fanaroff. 2010. At a Glance Neonatologi. Jakarta: Erlangga. h.100-105.

Lowry, Adam. W, dkk. 2014. Texas Children’s Hospital: Buku Saku Pediatri dan
Neonatologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. h. 561-569.

Marcdante K. J, dkk. 2014. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak Esensial, Edisi keenam.
Singapore: Elsevier. h. 263-270.

Manuaba, I.B.G. 2012. Ilmu kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Keluarga Berencana,
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. h. 251-258.

Manuaba, I.B.G. 2012. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC. h. 456-467.

Mercer M. Brian, MD. 2007. Preterm Premature Rupture of the Membranes. The
American College of Obstetricians and Gynecologists Vol. 101, No.1

Mochtar, Rustam 2010. Sinopsis Obstetri I, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Morgan, Hamilton 2009. Obstetri Dan Ginekologi: Panduan Praktik. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC

Norwitz dan Schorge, 2011. At A Glance Obstetri Dan Ginekologi Edisi Kedua. Jakarta:
Erlangga. h. 119-123.

Prawirohadjo, Sarwono. 2010. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta:


Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Romero, Roberto M.D, dkk. 2013. The Role of Inflammation and Infection in Preterm
Birth. Semin Reprod Med. ;25(1):21-39

Saifuddin, A.B. 2011. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h. 241-244.

Soewarto, Soetomo. 2010. Ketuban Pecah Dini. Dalam: Ilmu kebidanan Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h. 677-
682.

WHO. 2013. Pocket Book of Hospital Care for Children: Guidelines For The
Management Of Common Childhood Illnesses. World Health Organization.

Wiknjosastro, 2014. Ilmu Kandungan, cetakan ke 7. Jakarta: Yayasan Bina pustaka


Sarwono Prawirohardjo. h. 246-265

You might also like