You are on page 1of 22

PERDARAHAN PADA

KEHAMILAN MUDA

Oleh :
Ulfa Triastuti
201110330311036
DM Clerk RS Bhayangkara Porong Pusdik Gasum
Kelompok D2

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2015

1
PERDARAHAN KEHAMILAN MUDA

A. Pendahuluan
Menjaga kehamilan disaat usia kehamilan masih muda merupakan hal yang
perlu dilakukan oleh setiap ibu hamil. Jika kehamilan ini tidak dijaga sebaik-baiknya
bisa saja akan menimbulkan pendarahan yang ujung-ujung berakhir dengan
keguguran. Salah satu komplikasi terbanyak pada kehamilan ialah terjadinya
perdarahan. Perdarahan dapat terjadi pada setiap usia kehamilan baik pada trimester
pertama, kedua, ataupun ketiga. Pada kehamilan muda sering dikaitkan dengan
kejadian abortus, misscarriage, early pregnancy loss. Perdarahan yang terjadi pada
umur kehamilan yang lebih tua terutama setelah melewati trimester III disebut
perdarahan antepartum.
Perdarahan pada kehamilan muda dikenal beberapa istilah sesuai dengan
pertimbangan masing-masing, tetapi setiap kali kita melihat terjadinya perdarahan
pada kehamilan kita harus selalu berfikir tentang akibat dari perdarahan ini yang
menyebabkan kegagalan kelangsungan kehamilan itu sendiri. Pendarahan saat hamil
muda terjadi ketika usia kehamilan pada trimester pertama. Ada beberapa jenis
pendarahan yang terjadi pada trimester pertama antara lain abortus, mola hidatidosa
dan kehamilan ektopik terganggu.

1.1 Abortus
1.1.2 Definisi
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi pada usia
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.

1.1.3 Etiologi
Abortus dapat terjadi karena beberapa sebab, yaitu :
a. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi, biasa menyebabkan abortus pada
kehamilan sebelum usia 8 minggu. Faktor yang menyebabkan kelainan ini
adalah
1. Kelainan kromosom, terutama trisomi autosom dan monosomi X
2. Lingkungan sekitar tempat implantasi kurang sempurna
3. Pengaruh teratogen akibat radiasi, virus, obat-obatan, tembakau,
dan alkohol
b. Kelainan pada plasenta, misalnya endarteritis vili korialis karena
hipertensi menahun
c. Faktor maternal, seperti pneumonia, tifus, anemia berat, keracunan, dan
toksoplasmosis
d. Kelainan traktus genitalia, seperti inkompetensi serviks (untuk abortus
pada trimester kedua), retroversi uteri, mioma uteri, dan kelainan bawaan
uterus.

1.1.4 Patogenesis

2
Pada awal abortus terjadi perdarahan desiduabasalis, diikuti nekrosis
jaringan
sekitar yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap benda asing
dalam uterus. Kemudian uterus berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing
tersebut.
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, vili korialis belum menembus
desidua secara dalam, jadi hasil konsepsi dapat dikeluarkan seluruhnya. Pada
kehamilan 8 ampai 14 minggu penembusan sudah lebih dalam hingga plasenta
tidak dilepaskan sempurna dan menimbulkan banyak perdarahan. Pada
kehamilan lebih dari 14 minggu, janin dikeluarkan lebih dahulu dari plasenta.
Hasil konsepsi keluar dalam berbagai bentuk, seperti kantong kososng amnion
atau benda kecil yang tak jelas bentuknya (blighted ovum), janin lahir mati,
janin masih hidup, mola kruenta, fetus kompresus, maserasi, atau fetus
papiraseus.
Faktor Risiko Maternal :
a. Penyakit infeksi
b. Gangguan nutrisi yang berat
c. Penyakit menahun dan kronis
d. Alkohol dan merokok
e. Anomali uterus dan serviks
f. Gangguan imunologis
g. Trauma fisik dan psikologis
1.1.5 Manifestasi Klinis
a. Terlambat haid atau amenore kurang dari 20 minggu
b. Pada pemeriksaan fisik :
1. Penilaian tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi, suhu)
2. Penilaian tanda-tanda syok
3. Periksa konjungtiva untuk tanda anemia
4. Mencari ada tidaknya massa abdomen
5. Tanda-tanda akut abdomen dan defans muskuler
6. Pemeriksaan ginekologi ditemukan :
a. Abortus iminens
1. Osteum uteri masih tertutup
2. Perdarahan berwarna kecoklatan disertai lendir
3. Ukuran uterus sesuai dengan usia kehamilan
4. Detak jantung janin masih ditemukan
b. Abortus insipiens
1. Osteum uteri terbuka, dengan terdapat penonjolan
kantong dan didalamnya berisi cairan ketuban
2. Perdarahan berwarna merah segar
3. Ukuran uterus sesuai dengan usia kehamilan
4. Detak jantung janin masih ditemukan
c. Abortus inkomplit
1. Osteum uteri terbuka, dengan terdapat sebagian sisa
konsepsi
2. Perdarahan aktif
3. Ukuran uterus sesuai usia kehamilan
d. Abortus komplit
1. Osteum uteri tertutup
2. Perdarahan sedikit
3. Ukuran uterus lebih kecil dari usia kehamilan
1.1.6 Pemeriksaan Penunjang

3
a. Tes kehamilan (BHCG): positif bila janin masih hidup, bahkan 2-3
minggu setelah abortus
b. Pemeriksaan darah perifer lengkap
c. Pemeriksaan Doppler atau USG untuk menentukan apakah janin masih
hidup
d. Pemeriksaan kadar fibrinogen darah pada missed abortion
Tabel 1.1 Macam-macam Abortus
DIAGNO PERDARAHA NYERI UTERUS SERVIKS GEJALA
SIS N PERUT KHAS
Abortus Sedang Sedang Sesuai usia Tertutup Tidak ada
iminens gestasi ekspulsi
jaringan
konsepsi
Abortus Sedang-banyak Sedang- Sesuai usia Terbuka Tidak ada
insipiens hebat kehamilan ekspulsi
jaringan
konsepsi
Abortus Sedang-banyak Sedang- Sesuai Terbuka Ekspulsi
inkomplit hebat dengan sebagian
usia jaringan
kehamilan konsepsi
Abortus Sedikit Tanpa/sedikit Lebih Terbuka/tert Ekspulsi
komplit kecil dari utup seluruh
usia jaringan
gestasi konsepsi
Missed Tidak ada Tidak ada Lebih Tertutup Janin telah
abortion kecil dari mati tapi
usia tidak ada
kehamilan ekspulsi
jaringan
konsepsi

4
Gambar 1.1 Macam-macam Abortus
1.1.7 Diagnosis Banding
a. Kehamilan ektopik
b. Mola hidatidosa
c. Missed abortion
1.1.8 Komplikasi
a. Perdarahan, perforasi, syok, dan infeksi.
b. Pada missed abortion dengan retensi lama hasil konsepsi dapat terjadi
kelainan pembekuan darah.
1.1.9 Penatalaksanaan
1. Abortus iminens
a. Istirahat baring agar aliran darah ke uterus bertambah dan rangsang
mekanik berkurang.
b. Periksa denyut nadi dan suhu badan dua kali sehari bila pasien
tidak panas dan tiap empat jam bila pasien panas
c. Tes kehamilan dapat dilakukan. Bila hasil (-) mungkin janin sudah
mati. Pemeriksaan USG untuk menentukan apakah janin masih
hidup.
d. Berikan obat penenang, biasanya fenobarbital 3x30 mg. Berikan
preparat hematinik misalnya sulfas ferosus 600-1000 mg.
e. Diet tinggi protein dan tambahan vitamin C
f. Bersihkan vulva minimal dua kali sehari dengan cairan antiseptik
untuk mencegah infeksi terutama saat masih mengeluarkan cairan
coklat
2. Abortus insipiens
a. Bila perdarahan tidak banyak, tunggu terjadinya abortus spontan
tanpa pertolongan selama 36 jam dengan diberikan morfin
b. Pada kehamilan kurang dari 12 minggu, yang biasanya disertai
perdarahan, tangani dengan pengosongan uterus memakai kuret
vakum atau cunam abotus, disusul dengan kerokan memakai kuret
tajam. Suntikkan ergometrin 0,5 mg IM.
c. Pada kehamilan dari 12 minggu, berikan infus oksitosin 10 IU
dalam dektrose 5 % 500 ml dimulai 8 tetes permenit dan naikkan
sesuai kontraksi uterus sampai terjadi abortus komplit.
d. Bila janin sudah keluar, tetapi plasenta masih tertinggal, lakukan
pengeluaran plasenta secara manual
3. Abortus inkomplit
a. Lakukan konseling
b. Bila disertai syok karena perdarahan, berikan infus cairan NaCl
fisiologis atau ringer laktat dan secepat mungkin ditransfusi darah
c. Setelah syok diatasi, lakukan kerokan dengan kuret tajam lalu
suntikan ergometrin 0,2 mg IM
d. Bila janin sudah keluar, tetapi plasenta masih tertinggal, lakukan
pengeluaran plasenta secara bimanual,
e. Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi
4. Abortus komplit
a. Bila kondisi pasien baik, berikan ergometrin 3x1 tablet selama 3
sampai 5 hari
b. Bila pasien anemia, berikan hematinik seperti sulfas ferous atau
transfusi darah
c. Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi
d. Anjurkan pasien diet tinggi protein, vitamin, dan mineral

5
5. Missed abortion
a. Bila kadar fibrinogen normal, segera keluarkan jaringan konsepsi
dengan cunam ovum lalu dengan kuret tajam
b. Bila kadar fibrinogen terlalu rendah, berikan fibrinogen kering atau
segar sesaat sebelum atau ketika mengeluarkan konsepsi
c. Pada kehamilan kurang dari 12 minggu, lakukan pembukaan
serviks dengan gagang laminaria selama 12 jam lalu dilakukan
dilatasi serviks dengan dilatator hegar. Kemudian hasil konsepsi
diambil dengan cunam ovum lalu dengan kuret tajam.
d. Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, berikan dietilstilbestrol 3x5
mg lalu infus oksitosin 10 IU dalam dekstrose 5% sebanyak 500
ml mulai 20 tetes per menit dan naikkan dosis sampai ada
kontraksi uterus. Oksitosin dapat diberikan sampai 100 IU dalam 8
jam. Bila tidak berhasil, ulang infus oksitosin setelah pasien
istirahat satu hari
e. Bila tinggi fundus uteri sampai 2 jari bawah pusat, keluarkan hasil
konsepsi dengan menyuntik larutan garam 20% dalam kavum uteri
melalui dinding perut.
6. Abortus septik
Abotus septik harus dirujuk ke rumah sakit. Penanggulangan infeksi :
a. Obat pilihan pertama : penisilin prokain 800.000 IU intramuskular
tiap 12 jam ditambah kloramfenikol 1g peroral selanjutnya 500 mg
peroral tiap 6 jam.
b. Obat pilihan kedua : ampisilin 1 g peroral selanjutnya 500 g tiap 4
jam ditambah metronidazol 500 mg tiap 6 jam
c. Obat pilihan lainnya: ampisilin dan kloramfenikol, penisilin dan
metronidazol, ampisilin dan gentamicin, penisilin dan gentamicin.
d. Tingkatkan asupan cairan
e. Bila perdarahan banyak lakukan transfusi darah
f. Dalam 24 jam sampai 48 jam setelah perlindungan antibiotik atau
lebih cepat lagi bila terjadi perdarahan, sisa konsepsi harus
dikeluarkan dari uterus
Pada pasien yang menolak dirujuk, beri pengobatan sama dengan yang
diberikan pada pasien yang hendak dirujuk, selama 10 hari.
Di rumah sakit :
a. Rawat pasien diruangan khusus untuk kasus infeksi
b. Berikan antibiotik intravena, penisilin 10-20 juta IU dan stretomisin 2g
c. Infus cairan NaCl fisiologis atau RL disesuaikan kebutuhan cairan
d. Pantau ketat keadaan umum, tekanan darah, denyut nadi, dan suhu
badan
e. Oksigenasi bila diperlukan, kecepatan 6-8 liter per menit
f. Pasang kateter folley untuk memantau produksi urin
g. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, hematokrit, golongan darah
serta reaksi silang, analisis gas darah, kultur darah, dan tes resistensi.
h. Apabila kondisi pasien sudah membaik dan stabil, segera lakukan
pengangkatan sumber infeksi

6
i. Abortus septik dapat mengalami komplikasi menjadi syok septik yang
tanda-tandanya adalah panas tinggi atau hipotermi, bradikardi, ikterus,
kesadaran menurun, tekanan darah menurun, dan sesak nafas.
1.1.10 Pencegahan
1. Pemeriksaan rutin antenatal
2. Makan makanan yang bergizi (sayuran, susu ikan, daging, telur)
3. Menjaga kebersihan diri, terutama daerah kewanitaan dengan tujuan
mencegah infeksi yang bisa mengganggu proses implantasi janin
4. Hindari rokok, karena nikotin mempunyai efek vasoaktif sehingga
menghambat sirkulasi uteroplasenta
5. Apabila terdapat anemia sedang berikan tablet sulfas ferous 600 mg/hari
selama 2 minggu, bila anemia berat maka berikan transfusi darah
1.1.11 Rencana tindak lanjut
1. Melakukan konseling untuk memberikan dukungan emosional
2. Menganjurkan penggunaan kontrasepsi pasca keguguran karena kesuburan
dapat kembali kira-kira 14 hari setelah keguguran.untuk mencegah
kehamilan , alat kontrasepsi dalam rahim umumnya dapat dipasang secara
aman setelah aborsi spontan atau diinduksi. Kontraindikasi pemasangan
AKDR pasca keguguran antara lain adalah infeksi pelvik, abortus septik,
atau komplikasi serius lain dari abortus.
3. Follow up dilakukan setelah 2 minggu
1.2 Mola Hidatidosa

Gambar1.2 Mola Hidatidosa


Pada umumnya setiap kehamilan berakhir dengan lahirnya bayi yang cukup
bulan dan tidak cacat. Namun, hal ini tidak selalu terjadi. Kadangkadang terjadi
kegagalan kehamilan (reproductive failure), tergantung pada Mola hidatidosa
merupakan salah satu penyakit trofoblas. Adalah suatu kehamilan yang berkembeng
tidak wajar dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami
perubahan hidropik menjadi massa gelembunggelembung bening. Dalam hal
demikian disebut mola hidatidosa atau complete mole, sedangkan bila perubahan
mola hanya fokal dan tidak berlanjut disertai janin atau bagian dari janin disebut
Mola parsialis atau Partial mole.
Secara makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembung-
gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih dengan ukuran bervariasi dari
beberapa millimeter sampai satu atau dua sentimeter. Gambaran histopatologik yang

7
khas dari mola adalah: edema, stroma vili, tidak ada pembuluh darah pada vili dan
proliferasi sel-sel epitel trofoblas, sedangkan gambaran sitogenik-nya pada umumnya
dapat berupa X 46. Mola parsial secara makroskopik, berupa gelembung mola yang
disertai janin atau bagian dari janin. Umumnya janin mati pada bulan pertama tapi
ada pula yang hidup sampai cukup besar dan aterm.
Pada pemeriksaan histopatologik tampak di beberapa tempat vili yang edema
dengan sel trofoblas yang tidak begitu berproliferasi, sedangkan di tempat yang lain
masih nampak vili yang normal. Molahidatidosa yang khas merupakan massa besar
dari vili khorionik yang mengalami pembengkakan. Kadangkadang mengalami
dilatasi kistik yang dilapisi oleh epitel korion dalam jumlah yang berbeda-beda dari
jinak sampai yang atipik. Akhir-akhir ini mola dibagi dalam 2 subtipe yang berbeda
yaitu mola hidatidosa komplet dan mola hidatidosa parsial. Mola hidatidosa komplet,
tidak pernah mengandung janin, umbilicus atau selaput amnion. Semua jonjot korion
dalam bentuk abnormal dan sel epitel korion biasanya memiliki kariotip 46 XX. Mola
hidatidosa parsial, mengandung janin, umbilicus, dan selaput amnion, memiliki jonjot
korion yang normal dan hampir selalu tripoid.
1.2.2 Definisi
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal dimana hampir seluruh
vili korialisnya mengalami perubahan hidrofik.
1.2.3 Etiologi
Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui, banyak faktor yang dapat
menyebabkan antara lain :
a. Faktor ovum: ovum sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat
dikeluarkan.
b. Umur di bawah 20 tahun dan di atas 40 tahun.
c. Imunoselektif dari trofoblas.
d. Keadaan sosioekonomi yang rendah dan defisiensi gizi; mola
hidatidosa banyak ditemukan pada mereka dengan status ekonomi
yang rendah serta diet rendah protein.
e. Paritas tinggi.
f. Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas.
1.2.4 Patogenesis
Mola hidatidosa berkembang dari trofoblas ekstraembrionik. Mola
hidatidosa terbagi menjadi :
1. Mola hidatidosa komplet
Secara histologis, mola komplet ditandai dengan :
a. Degenerasi hidropik dan pembengkakan stroma vilus
b. Tidak adanya pembuluh darah di vilus yang membengkak
c. Proliferasi epitel trofoblastik dengan derajat bervariasi
d. Tidak adanya janin dan amnion
Vilus korion berubah menjadi suatu massa vesikel jernih yang
ukurannya berbeda-beda dari sulit terlihat hingga bergaris tengah beberapa
sentimeter. Komposisi kromosom mola hidatidosa komplet umumnya adalah
46, XX, dan kromosom semuanya berasal dari ayah. Fenomena ini disebut
juga sebagai androgenesis. Resiko terbentuknya tumor trofoblastikdari mola
komplet adalah sekitar 20%.
2. Mola hidatidosa Parsial

8
Pada mola parsial, perubahan hidatidosa bersifat fokal dan kurang
lanjut, dan biasanya dijumpai jaringan janin. Kariotipe biasanya adalah
triploid 69,XXX, 69, XXY, atau 69, XYY dengan satu komplemen haploid
ibu dan dua haploid ayah. Janin pada mola parsial memiliki stigmata
triploidi, yaitu malformasi kongenital multipel dan hambatan
pertumbuhan, serta tidak mungkin hidup. Pada 4 hingga 8 persen kasus
,dapat timbul tumor trofoblastik nonmetastatik setelah mola hidatidosa.
Resiko koriokarsinomayang timbuldari mola parsial sangat rendah
1.2.5 Diagnosis Mola Hidatidosa berdasarkan :
1. Gejala hamil muda sangat menonjol
a. Emesis gravidarum (hiperemesis gravidarum)
b. Terdapat komplikasi
1. Tirotoksikosis (2-5%)
2. Hipertensi-preklamsia (10-15%)
3. Anemia akibat perdarahan
4. Perubahan hemodinamik kardiovaskuler berupa:
a. Gangguan fungsi jantung
b. Gangguan fungsi paru akibat edema atau emboli paru
2. Pemeriksaan palpasi
a. Uterus
1. Lebih besar dari usia kehamilan (50-60 %)
2. Besarnya sama dengan usia kehamilan (20-25 %)
3. Lebih kecil daripada usia kehamilan (5-10 %)

b. Palpasi lunak seluruhnya


1. Tidak teraba bagian janin
2. Terdapat bentuk asimetris, bagian menonjol agak padat
(mola destruen)
3. Pemeriksaan USG serial tunggal
a. Sudah dapat dipastikan mola hidatidosa tampak seperti TV
rusak
b. Tidak terdapat janin
c. Tampak sebagian plasenta normal dan kemungkinan dapat
tampak janin
4. Pemeriksaan laboratorium
a. Beta Hcg urin lebih tinggi dari 100.000 m IU/ml
b. Beta Hcg serum diatas 40.000 IU/ml
Pemeriksaan lain yang dapat dipergunakan adalah
1. Memasukkan sonde intrauterine tanpa tahapan, hanifa positif hal ini
berarti mola hidatidosa
2. Penyuntikan bahan kontras secara intrauteri, foto abdomen akan
tampak gambaran seperi sarang tawon
3. Pemeriksaan MRI
a. Tidak tampak janin
b. Jaringan mola hidatidosa jelas terlihat
Pemeriksaan terakhir jarang dipergunakan karena dengan USG diagnosis
sudah jelas. Sekitar 10% kasus dijumpai mola hidatidosa parsial dengan
kariotipe trisomi (triploid), dengan perbandinagn patologi klinik.
1.2.6 Terapi mola hidatidosa
Terapi mola terdiri dari 4 tahap yaitu:
1. perbaiki keadaan umum
perbaikan keadaan umum yang dimaksud usaha ini yaitu
koreksi dehidrasi, transfuse darah bila anemia (Hb 8 gr%), jika ada

9
gejala preeklampsia dan hiperemis gravidarum diobati sesuai dengan
protocol penanganannya. Sedangkan bila ada gejala tirotoksikosis di
konsul ke bagian penyakit dalam.
2. Pengeluaran jaringan mola
Pengeluaran jaringan mola ada 2 cara yaitu:
a. Kuretase
1. Kuretase Dilakukan setelah persiapan pemeriksaan selesai
(pemeriksaan darah rutin, kadar β-hCG, serta foto thoraks)
kecuali bila jaringan mola sudah keluar spontan.
2. Bila kanalis servikalis belum terbuka, maka dilakukan
pemasangan laminaria dan kuretase dilakukan 24 jam
kemudian.
3. Sebelum kuretase terlebih dahulu disiapkan darah dan
pemasangan infus dengan tetesan oxytocin 10 UI dalam
500 cc Dextrose 5%/.
4. Kuretase dilakukan sebanyak 2 kali dengan interval
minimal 1 minggu. Seluruh jaringan hasil kerokan dikirim
ke laboratorium PA.
b. Histerektomi
Tindakan ini dilakukan pada wanita yang telah cukup
(> 35 tahun) dan mempunyai anak hidup (>3 orang).
3. Terapi profilaksis dengan sitostatika
Pemberian kemoterapi repofilaksis pada pasien pasca evaluasi
mola hidatidosa masih menjadi kontroversi. Beberapa hasil penelitian
menyebutkan bahwa kemungkinan terjadi neoplasma setelah evaluasi
mola pada kasus yang mendapatkan metotreksat sekitar 14%,
sedangkan yang tidak mendapat sekitar 47%. Pada umumnya
profilaksis kemoterapi pada kasus mola hidatidosa ditinggalkan
dengan pertimbangan efek samping dan pemberian kemoterai untuk
tujuan trapi definitive memberi-kan keberhasilan hampir 100%.
Sehingga pemberian profilaksis diberikan apabila. apabila dipandang
perlu pilihan profilaksis kemoterapi adalah: Metotreksat 20 mg/ hari
IM selama 5 hari.
4. Pemeriksaan tindak lanjut (follow up)
a. Lama pengawasan berkisar satu sampai dua tahun
b. Setelah pengawasan penderita dianjurkan memakai
kontrasepsi kondom, pil kombinasi atau diafragma dan
pemeriksaan fisik dilakukan setiap kali pada saat penderita
datang kontrol
c. Pemeriksaan kadar β-hCG dilakukan setiap minggu sampai
ditemukan kadar β-hCG normal tiga kali berturut-turut. Setelah
itu pemeriksaan dilanjutkan setiap bulan sampai kadar β-hCG
normal selama 6 kali berturut-turut
d. Bila terjadi remisi spontan (kadar β-hCG, pemeriksaan fisik,
dan foto thoraks setelah satu tahun semua-nya normal) maka
penderita tersebut dapat berhenti menggunakan kontrasepsi dan
hamil lagi.

10
e. Bila selama masa observasi kadar β- hCG tetap atau bahkan
meningkat pada pemeriksaan klinis, foto thoraks ditemukan
adanya metastase maka penderita harus dievaluasi dan dimulai
pemberian kemoterapi.
1.2.7 Evaluasi laboratorium
2 darah lengkap
3 urine lengkap
4 fungsi liver dan ginjal
5 faal hemostatis antara lain :
6 jika mungkin, konsentrasi beta hCG urin 24 jam atau serum
7 foto toraks (tidak sempat karena ekspulsi jaringan mola)
8 observasi faal paru:
a. jumlah pernafasan per menit
b. dalamnya pernafasan
c. jika perlu, lakukan analisis elektrolit
2.2.7 Diagnosis Banding
β-hCG Terdapat beberapa penyakit yang dapat didiagnosis banding dengan
mola hidatidosa, antara lain :
1. Kehamilan multiple
2. Hidramnion
3. Abortus
4. Mioma uteri
Tabel 1.2 Perbandingan Patologi Klinik Mola Hidatidosa Komplet dan Inkomplet
Gambaran Mola hidatidosa Mola hidatidosa
komplet inkomplet
Kariotipe Umumnya 46 XX Triploid 46 XXY sebagain
46 XY
besar (trisomi 16)
Jarang diploid paternal/
maternal
Vili korialis Seluruhnya mengalami Sebagian masih normal
Hiperplasia derajat sedang
regenerasi hidropik,
hiperplasia
Pembuluh darah Tidak dijumpai, Pada plasenta normal
pembuluh darah janin dijumpai pembuluh darah
janin
Terdapat eritrosit janin
Janin Tidak dijumpai Dapat dijumpai janin,
bagian plasenta normal,
sebagian janin abnormal
Sel trofoblas Proliferasi, hiperplasia Hiperplasia sedang dan
dengan bervariasi lokal
Beta Hcg Titernya tinggi Titernya sedang sampai
rendah
Degenerasi ganas 15-20% Sekitar 5%
Usia kehamilan 8-16 minggu 12-26 minggu

2.2.8 Evaluasi Hasil Terapi Mola Hidatidosa


Tolak ukur keberhasilan pengobatan adalah turunnya titer beta Hcg ke batas
normal

11
dalam waktu sekitar 12 minggu karena beta Hcg menunjukan bahwa sel trofoblas
masih aktif mengeluarkan hormon. Beta hcg merupakan tumor marker untuk penyakit
trofoblas sehingga hasil pengobatannya dapat diikuti dan dievaluasi.
Perubahan pola hasil evaluasi beta Hcg, yaitu mendatar pada dua kali
pemeriksaan atau meningkat , memberikan petunjuk akan adanya aktivitas sel
trofoblas yang memerlukan tambahan pengobatan dengan kemoterapi tunggal atau
kombinasi. Sebagai gambaran, mola dihidatidosa akan mengalami penyakit
berkelanjutan jika disertai komplikasi berikut:
1. Eklampsia
2. Perdarahan terlambat
3. Insufisiensi paru
4. Teka kista lebih dari 5cm
5. Bersamaan dengan hamil ganda
6. Uterus lebih besar dari usia kehamilan
7. Serum Hcg lebih dari 100.000 Miu/ml
8. Umur ibu lebih dari 40 tahun
Jika mola hidatidosa disertai komplikasi, diperkirakan sekitar 20% kondisi ini
akan
Diikuti oleh penyakit yang persisten. Denagn demikian, diberikan tambahan
pengobatan kemoterapi, baik tunggal maupun kombinasi.
Diduga sekitar 5-7% mola hidatidosa parsial akan menjadi degenerasi ganas,
sedangkan mola hidatidosa komplet sebesar 15-20%. Untuk mencegah kemungkinan
terjadinya degenerasi ganas menjadi koriokarsinoma dan berdasarkan hasil evaluasi
Hcg, perlu diberikan kemoterapi.
2.2.9 Komplikasi
1. Perdarahan hebat
2. Syok
3. Infeksi
4. Perforasi uterus
5. Keganasan (PTG)
2.2.10 Prognosis
Kematian pada mola hidatidosa dapat disebabkan karena perdarahan,
infeksi,eklampsia, payah jantung atau tirotoksikosis. Di negara maju hampir tidak ada
lagi, namun di Negara berkembang masih cukup tinggi antara 2% sampai 5%.
Sebagian wanita akan sehat kembali setelah jaringan dikeluarkan tetapi ada
sekelompok wanita yang kemudian menderita degenerasi keganasan menjadi
koriokarsinoma. Proses degenerasi ganas dapat berlangsung antara tujuh hari sampai
tiga tahun dengan terbanyak dalam waktu enam bulan.

2.3 Kehamilan Ektopik Terganggu

12
Gambar 1.2 Kehamilan Ektopik Terganggu
2.3.1 Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan di mana sel telur yang dibuahi
berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uterus. Kehamilan ektopik
dapat terjadi di luar rahim misalnya dalam tuba, ovarium atau rongga perut, tetapi
dapat juga terjadi di dalam rahim di tempat yang luar biasa misalnya dalam cervik,
pars intertistialis atau dalam tanduk rudimeter rahim.
Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang berbahaya karena tempat
implantasinya tidak memberikan kesempatan untuk tumbuh kembang mencapai
aterm.12 Kehamilan ektopik terganggu (KET) adalah keadaan di mana timbul
gangguan pada kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang
menyebabkan penurunan keadaan umum pasien.
2.3.2 Klasifikasi
Klasifikasi kehamilan ektopik berdasarkan tempat terjadinya implantasi dari
kehamilan ektopik, dapat dibedakan menurut :
a. Kehamilan tuba adalah kehamilan ektopik pada setiap bagian dari tuba fallopi.
Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba (95%). Konseptus dapat
berimplantasi pada ampulla (55%), isthmus (25%), fimbrial (17%), atau pun
pada interstisial (2%) dari tuba. Tuba fallopi mempunyai kemampuan untuk
berkembang yang terbatas, sehingga sebagian besar akan pecah (ruptura) pada
umur kehamilan 35-40 hari.
b. Kehamilan ovarial merupakan bentuk yang jarang (0,5%) dari seluruh
kehamilan ektopik dimana sel telur yang dibuahi bernidasi di ovarium.
Meskipun daya akomodasi ovarium terhadap kehamilan lebih besar daripada
daya akomodasi tuba, kehamilan ovarium umumnya mengalami ruptur pada
tahap awal.
c. Kehamilan servikal adalah bentuk dari kehamilan ektopik yang jarang sekali
terjadi. Nidasi terjadi dalam selaput lendir serviks. Dengan tumbuhnya telur,
serviks mengembang. Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20
minggu sehingga umumnya hasil konsepsi masih kecil dan dievakuasi dengan
kuretase.

13
d. Kehamilan Abdominal Kehamilan ini terjadi satu dalam 15.000 kehamilan,
atau kurang dari 0,1% dari seluruh kehamilan ektopik. Kehamilan Abdominal
ada 2 macam :
1. Primer
Dimana telur dari awal mengadakan implantasi dalam rongga perut.
2. Sekunder
Pembentukan zigot terjadi ditempat yang lain misalnya di dalam
saluran telur atau ovarium yang selanjutnya berpindah ke dalam
rongga abdomen oleh karena terlepas dari tempat asalnya. Hampir
semua kasus kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik
sekunder akibat ruptur atau aborsi kehamilan tuba atau ovarium ke
dalam rongga abdomen.
Walaupun ada kalanya kehamilan abdominal mencapai umur cukup
bulan, hal ini jarang terjadi, yang lazim ialah bahwa janin mati sebelum
tercapai maturitas (bulan ke 5 atau ke 6) karena pengambilan makanan kurang
sempurna.
e. Kehamilan Heterotopik adalah kehamilan ektopik yang dapat terjadi bersama
dengan kehamilan intrauterin. Kehamilan heterotipik ini sangat langka, terjadi
satu dalam 17.000-30.000 kehamilan ektopik. Kehamilan heterotopik dapat di
bedakan atas :
1. Kehamilan kombinasi (Combined Ectopik Pregnancy) yaitu
kehamilan yang dapat berlangsung dalam waktu yang sama dengan
kehamilan intrautrin normal.
2. Kehamilan ektopik rangkap (Compound Ectopic Pregnancy) yaitu
terjadinya kehamilan intrauterin setelah lebih dahulu terjadi kehmilan
ektopik yang telah mati atau pun ruptur dan kehmilan intrauterin yang
terjadi kemudian berkembang seperti biasa.
f. Kehamilan tubouteina merupakan kehamilan yang semula mengadakan
implantasi pada tuba pars interstitialis, kemudian mengadakan ekstensi secara
perlahan-lahan ke dalam kavum uteri.
g. Kehamilan tuboabdominal berasal dari tuba, dimana zigot yang semula
megadakan implantasi di sekitar bagian fimbriae tuba, secara beangsur
mengadakan ekstensi ke kavum peritoneal.
h. Kehamilan tuboovarial digunakan bila kantung janin sebagian melekat pada
tuba dan sebagian pada jaringan ovarium.
2.3.3 Patofisiologi
Beberapa hal dibawah ini ada hubungannya dengan terjadinya kehamilan
ektopik:
1. Pengaruh faktor mekanik
Faktor-faktor mekanis yang menyebabkan kehamilan ektopik antara
lain: riwayat operasi tuba, salpingitis, perlekatan tuba akibat operasi non-
ginekologis seperti apendektomi, pajanan terhadap diethylstilbestrol,
salpingitis isthmica nodosum (penonjolan-penonjolan kecil ke dalam lumen
tuba yang menyerupai divertikula), dan alat kontrasepsi dalam rahim
(AKDR). Hal-hal tersebut secara umum menyebabkan perlengketan intra-

14
maupun ekstraluminal pada tuba, sehingga menghambat perjalanan zigot
menuju kavum uteri. Faktor mekanik lain adalah pernah menderita kehamilan
ektopik, pernah mengalami operasi pada saluran telur seperti rekanalisasi atau
tubektomi parsial, induksi abortus berulang, tumor yang mengganggu
keutuhan saluran telur.
2. Pengaruh faktor fungsional
Faktor fungsional yaitu perubahan motilitas tuba yang berhubungan
dengan faktor hormonal. Dalam hal ini gerakan peristalsis tuba menjadi
lamban, sehingga implantasi zigot terjadi sebelum zigot mencapai kavum
uteri. Gangguan motilitas tuba dapat disebabkan oleh perobahan
keseimbangan kadar estrogen dan progesteron serum. Dalam hal ini terjadi
perubahan jumlah dan afinitas reseptor adrenergik yang terdapat dalam uterus
dan otot polos dari saluran telur. Ini berlaku untuk kehamilan ektopik yang
terjadi pada akseptor kontrasepsi oral yang mengandung hanya progestagen
saja, setelah memakai estrogen dosis tinggi pascaovulasi untuk mencegah
kehamilan. Merokok pada waktu terjadi konsepsi dilaporkan meningkatkan
insiden kehamilan ektopik yang diperkirakan sebagai akibat perubahan jumlah
dan afinitas reseptor adrenergik dalam tuba.
3. Kegagalan kontrasepsi
Sebenarnya insiden sesungguhnya kehamilan ektopik berkurang
karena kontrasepsi sendiri mengurangi insidensi kehamilan. Akan tetapi
dikalangan para akseptor bisa terjadi kenaikan insiden kehamilan ektopik
apabila terjadi kegagalan pada teknik sterilisasi. Alat kontrasepsi dalam rahim
selama ini dianggap sebagai penyebab kehamilan ektopik. Namun ternyata
hanya AKDR yang mengandung progesteron yang meningkatkan frekuensi
kehamilan ektopik. AKDR tanpa progesteron tidak meningkatkan risiko
kehamilan ektopik, tetapi bila terjadi kehamilan pada wanita yang
menggunakan AKDR, besar kemungkinan kehamilan tersebut adalah
kehamilan ektopik.
4. Peningkatan afinitas mukosa tuba
Dalam hal ini terdapat elemen endometrium ektopik yang berdaya
meningkatkan implantasi pada tuba.
5. Pengaruh proses bayi tabung
Beberapa kejadian kehamilan ektopik dilaporkan terjadi pada proses
kehamilan yang terjadi dengan bantuan teknik-teknik reproduksi (assisted
reproduction). Kehamilan tuba dilaporkan terjadi pada GIFT (gamete
intrafallopian transfer), IVF (in vitro fertilization), ovum transfer, dan induksi
ovulasi. Induksi ovulasi dengan human pituitary hormone dan hCG dapat
menyebabkan kehamilan ektopik bila pada waktu ovulasi terjadi peningkatan
pengeluaran estrogen urin melebihi 200 mg sehari.
2.3.4 Epidemiologi
2.3.4.1 Distribusi Frekuensi
Kehamilan ektopik belum terganggu sulit diketahui, karena biasanya
penderita tidak menyampaikan keluhan yang khas, kehamilan ektopik baru

15
memberikan gejala bila kehamilan tersebut terganggu. Sehingga insidens kehamilan
ektopik yang sesungguhnya sulit ditetapkan. Meskipun secara kuantitatif mortalitas
akibat KET berhasil ditekan, persentase insidens dan prevalensi KET cenderung
meningkat dalam dua dekade ini. Dengan berkembangnya alat diagnostik canggih,
semakin banyak kehamilan ektopik yang terdiagnosis sehingga semakin tinggi pula
insidens dan prevalensinya.
Keberhasilan kontrasepsi pula meningkatkan persentase kehamilan ektopik,
karena keberhasilan kontrasepsi hanya menurunkan angka terjadinya kehamilan
uterin, bukan kehamilan ektopik, terutama IUD dan mungkin juga progestagen dosis
rendah. Meningkatnya prevalensi infeksi tuba juga meningkatkan keterjadian
kehamilan ektopik. Selain itu, perkembangan teknologi di bidang reproduksi, seperti
fertilisasi in vitro, ikut berkontribusi terhadap peningkatan frekuensi kehamilan
ektopik.
Kehamilan ektopik lebih sering di temukan pada wanita kulit hitam dari pada
wanita kulit putih. Perbedaan ini diperkirakan karena peradangan pelvis lebih banyak
ditemukan pada golongan wanita kulit hitam.
Kehamilan ektopik banyak terdapat bersama dengan keadaan gizi buruk dan
keadaan kesehatan yang rendah, maka insidennya lebih tinggi di Negara sedang
berkembang dan pada masyarakat yang berstatus sosio-ekonomi rendah daripada di
Negara maju dan pada masyarakat yang berstatus sosio-ekonomi tinggi.
2.3.4.2 Determinan
a. Usia
Umur merupakan faktor resiko yang penting terhadap terjadinya
kehamilan ektopik. Sebagian besar wanita mengalami kehamilan ektopik
berumur 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun.
b. Paritas
Insiden kehamilan ektopik meningkat seiring dengan pertambahan
paritas. Kejadian ini lebih banyak terjadi pada multipara.
c. Ras
Menurut Philip Kotler, banyak faktor yang mempengaruhi perilaku
seseorang,
Salah satunya adalah faktor sosial dan kebudayaan. Suku termasuk bagian dari
budaya yang tentunya akan mempengaruhi perilaku dalam menggunakan
pelayanan kesehatan. Kehamilan ektopik lebih sering di temukan pada wanita
kulit hitam dari pada wanita kulit putih. Perbedaan ini diperkirakan karena
peradangan pelvis lebih banyak ditemukan pada golongan wanita kulit hitam.
d. Agama
Agama merupakan salah satu faktor sosio demografi yang
mempengaruhi penggunaann pelayanan kesehatan termasuk pelayanan
kebidanan yang merupakan salah satu bentuk dari pelayanan kesehatan yang
bertujuan untuk menjamin agar setiap wanita hamil dan menyusui dapat
memelihara kesehatannya sesempurna mungkin, dapat melahirkan bayi yang
sehat tanpa gangguan apapun dan dapat merawatnya dengan baik.
e. Tingkat Pendidikan

16
Ibu dengan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih memperhatikan
kesehatannya selama kehamilan bila dibanding dengan ibu yang tingkat
pendidikannya lebih rendah. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor
penting dalam usaha menjaga kesehatan ibu, anak dan juga keluarga. Semakin
tinggi pendidikan formal seorang ibu diharapkan semakin meningkat
pengetahuan dan kesadarannya dalam mengantisipasi kesulitan dalam
kehamilan dan persalinannya, sehingga timbul dorongan untuk melakukan
pengawasan kehamilan secara berkala dan teratur.
f. Pekerjaan
Derajat sosio ekonomi masyarakat akan menunjukkan tingkat
kesejahteraan dan kesempatannya dalam menggunakan dan menerima
pelayanan kesehatan. Jenis pekerjaan ibu maupun suaminya akan
mencerminkan keadaan sosio ekonomi keluarga. Kehamilan ektopik lebih
sering terjadi pada keadaan sosio ekonomi yang rendah.
g. Riwayat Penyakit Terdahulu
Riwayat penyakit yang berhubungan dengan resiko kehamilan ektopik
adalah infeksi, tumor yang mengganggu keutuhan saluran telur, dan keadaan
infertil.
h. Riwayat Kehamilan Jelek
Riwayat kehamilan yang berhubungan dengan resiko kehamilan
ektopik adalah kehamilan ektopik, induksi abortus berulang dan mola. Sekali
pasien pernah mengalami kehamilan ektopik ia mempunyai kemungkinan 10
sampai 25% untuk terjadi lagi. Hanya 60% dari wanita yang pernah
mengalami kehamilan ektopik menjadi hamil lagi, walaupun angka
kemandulannya akan jadi lebih tinggi. Angka kehamilan ektopik yang
berulang dilaporkan berkisar antara 0-14.6%. Sebagai konsekuensinya,
beberapa pasien melaporkan kehamilan ektopik sebelumnya dan mengenal
gejala-gejala sekarang yang serupa.
i. Riwayat infeksi pelvis
Kira-kira sepertiga sampai separuh dari pasien dengan kehamilan
ektopik mempunyai riwayat infeksi pelvis sebelumnya. Calon ibu menderita
infeksi akibat penyakit GO (gonorrhea) ataupun radang panggul. Hal inilah
yang menyebabkan ibu yang menderita keputihan harus melakukan
pemeriksaan untuk memastikan gejala yang di deritanya adalah tanda infeksi
atau hanya keputihan yang bersifat fisiologis.
j. Riwayat kontrasepsi
Riwayat kontrasepsi membantu dalam penilaian kemungkinan
kehamilan ektopik. Pada kasus-kasus kegagalan kontrasepsi pada wanita yang
menggunakan kontrasepsi oral atau dengan alat kontrasepsi dalam rahim
(AKDR) , rasio kehamilan ektopik dibandingkan dengan kehamilan
intrauterin adalah lebih besar daripada wanita-wanita yang tidak
menggunakan metode kontrasepsi. Kejadian kehamilan ektopik pada akseptor
AKDR dilaporkan 12 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pemakai kondom.
Diperkirakan terjadi 2 kehamilan ektopik per 1000 akseptor AKDR setiap
tahun. Akseptor pil yang berisi hanya progestagen dilaporkan mempunyai

17
insiden yang tinggi terhadap kehamilan ektopik apabila terjadi kehamilan
selagi menjadi akseptor yaitu 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
insidennya yang biasa. Pada pemakai pil mini 4-6% dari kehamilannya
dilaporkan adalah ektopik, akan tetapi dilaporkan tidak terjadi perubahan
insiden pada akseptor pil kombinasi.
k. Riwayat operasi tuba
Adanya riwayat pembedahan tuba sebelumnya baik prosedur sterilisasi
yang gagal maupun usaha untuk memperbaiki infertilitas tuba semakin umum
sebagai faktor resiko terjadinya kehamilan ektopik.
l. Merokok
Merokok pada waktu terjadi konsepsi meningkatkan meningkatkan
insiden kehamilan ektopik yang diperkirakan sebagai akibat perubahan jumlah
dan afinitas reseptor andrenergik dalam tuba.
2.3.5 Gejala dan gambaran klinis
Kehamilan ektopik belum terganggu sulit diketahui, karena biasanya
penderita
tidak menyampaikan keluhan yang khas. Pada umumnya penderita menunjukkan
gejalagejala seperti pada kehamilan muda yakni mual, pembesaran disertai rasa agak
sakit pada payudara yang didahului keterlambatan haid. Disamping gangguan haid,
keluhan yang paling sering ialah nyeri di perut bawah yang tidak khas, walaupun
kehamilan ektopik belum mengalami ruptur. Kadang-kadang teraba tumor di samping
uterus dengan batas yang sukar ditentukan.
Gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu sangat berbeda-beda, dari
perdarahan banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala yang
tidak jelas, sehingga sukar membuat diagnosisnya. Gejala dan tanda bergantung pada
lamanya kehamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehmilan,
derajat perdarahan yang terjadi, dan keadaan umum penderita sebelum hamil.
Nyeri abdomen merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik. Nyeri
dapat unilateral atau bilateral, pada abdomen bagian bawah, seluruh abdomen, atau
hanya di bagian atas abdomen. Umumnya diperkirakan, bahwa nyeri perut yang
sangat menyiksa pada suatu ruptur kehamilan ektopik, disebabkan oleh darah yang
keluar ke dalam kavum peritoneum. Tetapi karena ternyata terdapat nyeri hebat,
meskipun perdarahannya sedikit, dan nyeri yang tidak berat pada perdarahan yang
banyak, jelas bahwa darah bukan satusatunya sebab timbul nyeri. Darah yang banyak
dalam kavum peritoneal dapat menyebabkan iritasi peritoneum dan menimbulkan
rasa nyeri yang bervariasi.
Amenorea atau gangguan haid merupakan tanda yang penting pada kehamilan
ektopik. Lamanya amenorea tergantung pada kehidupan janin, sehingga dapat
bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami amenorea karena kematian janin
terjadi sebelum haid berikutnya. Bercak darah (spotting) atau perdarahan vaginal
merupakan juga tanda yang penting pada kehamilan ektopik terganggu. Hal ini
menunjukkan kematian janin, dan berasal dari uteri karena pelepasan desidua.
Perdarahan biasanya sedikit, berwarna coklat tua, dan dapat intermiten atau terus

18
menerus. Pada pemeriksaan dalam ditemukan bahwa usaha menggerakkan serviks
uteri menimbulkan rasa nyeri dan kavum Douglas teraba menonjol, berkisar dari
diameter 5 sampai 15 cm, dengan konsistensi lunak dan elastis.

2.3.6 Pencegahan
2.3.6.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah usaha-usaha yang dilakukan sebelum sakit
(prepatogenesis), antara lain :
a. Perbaikan dan peningkatan status gizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh
terhadap penyakit infeksi seperti infeksi akibat gonorea, radang panggul.
Keadan gizi buruk dan keadaan kesehatan yang rendah menyebabkan
kerentanan terhadap penyakit infeksi pada alat genitalia sehingga berisiko
tinggi untuk menderita kehamilan ektopik.
b. Menghindari setiap perilaku yang memperbesar risiko kehamilan ektopik
seperti tidak merokok terutama pada waktu terjadi konsepsi, menghindari
hubungan seksual multipartner (seks bebas) ataiu tidak berhubungan selain
dengan pasangannya.
c. Memberikan dan menggalakkan pendidikan kesehatan kepada masyarakat
seperti penyuluhan mengenai kehamilan ektopik, pendidikan tentang seks
yang bertanggung jawab dan nasehat perkawinan melalui berbagai media,
sekolah-sekolah, kelompok pengajian dan kerohanian.
d. Penggunaan kontrasepsi yang efektif. Dewasa ini masih terus dilakukan
kegiatan untuk menemukan suatu cara kontrasepsi hormonal yang mempunyai
efektivitas tinggi dan efek sampingan yang sekecil mungkin. Pil kombinasi
merupakan pil kontrasepsi yang sampai saat ini dianggap paling efektif.
2.3.6.1 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan upaya menghentikan proses penyakit lebih
lanjut, mencegah terjadinya komplikasi dengan sasaran bagi mereka yang menderita
atau terancam menderita kehamilan ektopik, meliputi :
a. Program penyaringan
Usaha pencegahan sekunder dapat dilakukan melalui program
penyaringan (screening) bagi wanita yang beresiko terhadap kejadian PMS
sehingga diagnosis dapat ditegakkan sedini mungkin dan dapat segera
memperoleh pengobatan secara radikal pada penderita untuk mencegah
terjadinya radang panggul yang beresiko menimbulkan kehamilan ektopik.
b. Diagnosa dini
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang obstetrik
memberikan kemungkinan kehamilan ektopik dapat ditegakkan diagnosisnya
secara dini yaitu sebelum gejala-gejala klinik muncul, artinya sebelum
kehamilan ektopik pecah. Dalam hal ini pemeriksaan prenatal dini dalam
trimester pertama sangat penting bagi pasien-pasien yang beresiko tinggi
terhadap kejadian kehamilan ektopik. Mereka yang dianggap beresiko tinggi
terhadap kehamilan ektopik antara lain adalah wanita yang pernah menjalani

19
bedah mikro saluran telur, pernah menderita peradangan dalam rongga
panggul, menderita penyakit pada tuba, pernah menderita kehamilan ektopik
sebelumnya, akseptor AKDR atau pil bila terjadi kehamilan tidak sengaja, dan
pada kehamilan yang terjadi dengan teknik-teknik reproduksi.
1. Anamnesa
Terjadi amenorea, yaitu haid terlambat mulai beberapa hari sampai
beberapa bulan atau hanya haid yang tidak teratur. Kadang-kadang
dijumpai keluhan hamil muda dan gejala hamil lainnya. Nyeri perut
bagian bawah, nyeri bahu, tenesmus dan perdarahan pervaginam terjadi
setelah nyeri perut bagian bawah.
2. Pemeriksaan umum
Penderita tampak kesakitan dan pucat, pada perdarahan dalam rongga
perut dapat ditemukan tanda-tanda syok.
3. Pemeriksaan ginekologi
Tanda-tanda kehmilan muda mungkin ditemukan. Pergerakan serviks
menyebabkan rasa nyeri. Bila uterus dapat diraba maka akan terasa sedikit
membesar dan kadang-kadang teraba tumor di samping uterus dengan
batas yang sukar ditentukan. Cavum douglasi yang menonjol dan nyeri
raba menunjukkan adanya hematocele retrouterina. Suhu kadang-kadang
bisa naik sehingga menyukarkan perbedaan dengan infeksi pelvik.
2.3.7 Diagnosis banding
Infeksi pelvik, abortus iminens atau insipiens, kista ovarium, ruptur
korpus luteum, kista folikel, dan apendisitis.
2.3.8 Terapi medikamentosa dan penatalaksanaan bedah
Dewasa ini penanganan kehamilan ektopik yang belum terganggu dapat
dilakukan
secara medis ataupun bedah. Secara medis dengan melakukan injeksi lokal
methotrexate (MTX) 1 mg/kg IV dan faktor sitrovorum 0,1 mg/kg IM berselang-
seling selama 8 hari bila kehamilan di pars ampularis tuba belum pecah, diameter
kantong gestasi kurang atau sama dengan 4 cm, perdarahan dalam rongga perut
kurang dari 100 ml, dan tanda vital baik.
a. Pembedahan konservatif
Dimana integritas tuba dipertahankan. Pembedahan konservatif
mencakup 2 teknik yang kita kenal sebagai salpingostomi. Salpingostomi
adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang berdiameter
kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur
ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil
konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera
terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi
umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi
kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per
sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun
laparoskopi. Pada dasarnya prosedur salpingotomi sama dengan
salpingostomi, kecuali bahwa pada salpingotomi insisi dijahit kembali.

20
Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam
hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif antara salpingostomi
dan salpingotomi.
b. Pembedahan radikal
Dimana salpingektomi dilakukan, Salpingektomi diindikasikan pada
keadaan berikut ini:
1. Kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu)
2. Pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif
3. Terjadi kegagalan sterilisasi
4. Telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya
5. Pasien meminta dilakukan sterilisasi
6. Perdarahan berlanjut pascasalpingotomi
7. Kehamilan tuba berulang
8. Kehamilan heterotopik
9. Massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm.
Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab salpingostomi
dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan lumen pars ismika yang
sebenarnya sudah sempit.
2.3.9 Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik cenderung turun dengan diagnosis dini
dan persediaan darah yang cukup. Sebagian wanita menjadi steril setelah mengalami
kehamilan ektopik atau mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba sisi lain. Angka
kehamilan ektopik berulang dilaporkan 0-14,6%.

DAFTAR PUSTAKA

21
Cunningham FG. 2011. Williams's Obstetrics. 23rd Edition. New York: McGraw-Hill
pp. 725-729.

Henning, Feist.,Almuth, Caliebe. 2015. Partial Hydatidiform Mole in a First


Trimester Miscarriage. International Journal of Gynecological Pathology
34(2): 253-256.

http://journals.lww.com/intjgynpathology/Abstract/2015/05000/Partial_Hyda
tidiform_Mole_With_Extensive.7.aspx. 14 Juni 2015 pukul 23.00 WIB.

Manuaba, I.B.G., Manuaba, Chandranita., Manuaba, Fajar. 2011. Mola Hidatidosa.


Pengantar Kuliah Obstetri. Dalam: Nuning Zuni Astuti (ed). Pp. 722-725.

Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2013.
Abortus. EGC. Pp 514-518.

Patel NG, Patel MS, Shah SR, Jani SK, Patel JA, Shah JU. 2014. Study of outcome of
pregnancy in patients with first-trimester bleeding per vaginum. Int J Adv
Med 1(3): 230-233. http://www.scopemed.org/?mno=168600. 14 Juni 2015
pukul 20.00 WIB

Puscheck, Elizabeth., Lucidi, R.C. 2014. Early Pragnancy Loss. Medscape.


http://reference.medscape.com/article/266317-overview#showall. 14 Juni
2015 pukul 19.00 WIB.

The American of College Obstetricians and Gynecologists . Early Pregnancy Loss.


2013.. Pp 1-3. http://www.acog.org/~/media/For%20Patients/faq090.pdf. 15
Juni 2015 pukul 21.00 WIB.
Mulik V, Bethel J, Bhal K. 2012. A retrospective population-based study of
primigravid women on the potential effect of threatened miscarriage on
obstetric outcome. J Obstet Gynaecol 24(3):249-53.

22

You might also like