You are on page 1of 20

PERDARAHAN POST PARTUM

Oleh :

Gusti Galang Pambudi

2011103303111169

DM Clerk RS Bhayangkara Porong Pusdik Gasum

Kelompok D2

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2015
PERDARAHAN POST PARTUM

A. Definisi Perdarahan Post Partum

Perdarahan post partum (PPP) adalah perdarahan yang masif yang berasal
dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir, dan jaringan sekitarnya
dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu disamping perdarahan karena
hamil ektopik dan abortus.

Definisi perdarahan post partum adalah perdarahan pasca persalinan yang


melebihi 500 ml setelah bayi lahir atau yang berpotensi mengganggu
hemodinamik ibu.

Berdasarkan saat terjadinya, PPP dapat dibagi menjadi PPP primer dan PPP
sekunder. PPP primer adalah perdarahan post partum yang terjadi dalam 24 jam
pertama setelah persalinan dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, robekan
jalan lahir, dan sisa sebagian plasenta. Sementara PPP sekunder adalah perdarahan
pervaginam yang lebih banyak dari normal antara 24 jam hingga 12 minggu
setelah persalinan, biasanya disebabkan oleh sisa plasenta.

Kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama setelah bayi lahir, 68-73%
dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 82-88% dalam dua minggu setelah bayi
lahir.

B. Klasifikasi Perdarahan Post Partum

Perdarahan pasca persalinan atau perdarahan post partum diklasifikasikan


menjadi 2, yaitu :

1. Perdarahan Pasca Persalinan Dini (Early Postpartum Haemorrhage


atau perdarahan post partum primer atau perdarahan pasca
persalinan segera). Perdarahan pasca persalinan primer terjadi dalam
24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan pasca persalinan primer
adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir
dan inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.
2. Perdarahan masa nifas (Late Postpartum Haemorrhage atau
perdarahan post partum sekunder atau perdarahan pasca persalinan
lambat). Perdarahan pasca persalinan sekunder terjadi setelah 24 jam
pertama. Perdarahan pasca persalinan sekunder sering diakibatkan oleh
infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang
tertinggal.
C. Faktor yang Mempengaruhi

Faktor – faktor yang mempengaruhi perdarahan postpartum

a. Usia ibu
Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih
dari 35 tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan
pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Hal ini
dikarenakan pada usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang
wanita belum berkembang dengan sempurna, sedangkan pada usia
diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami
penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga
kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pascapersalinan terutama
perdarahan akan lebih besar. Perdarahan pascapersalinan yang
mengakibatkan kematian maternal pada wanita hamil yang melahirkan
pada usia dibawah 20 tahun 2- 5 kali lebih tinggi daripada perdarahan
pascapersalinan yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Perdarahan
pascapersalinan meningkat kembali setelah usia 30-35tahun.
b. Jumlah gravida
Ibu- ibu yang dengan kehamilan lebih dari 1 kali atau yang termasuk
multigravida mempunyai risiko lebih tinggi terhadap terjadinya
perdarahan pascapersalinan dibandingkan dengan ibu -ibu yang
termasuk golongan primigravida (hamil pertama kali). Hal ini
dikarenakan pada multigravida, fungsi reproduksi mengalami
penurunan sehingga kemungkinan terjadinya perdarahan
pascapersalinan menjadi lebih besar.
c. Paritas
Paritas 2 - 3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut
perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian
maternal. Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai
angka kejadian perdarahan pascapersalinan lebih tinggi. Pada paritas
yang rendah (paritas satu), ketidaksiapan ibu dalam menghadapi
persalinan yang pertama merupakan faktor penyebab ketidak
mampuan ibu hamil dalam menangani komplikasi yang terjadi selama
kehamilan, persalinan dan nifas.
d. Antenatal Care
Tujuan umum antenatal care adalah menyiapkan seoptimal mungkin
fisik dan mental ibu serta anak selama dalam kehamilan, persalinan
dan nifas sehingga angka morbiditas dan mortalitas ibu serta anak
dapat diturunkan.Pemeriksaan antenatal yang baik dan tersedianya
fasilitas rujukan bagi kasus risiko tinggi terutama perdarahan yang
selalu mungkin terjadi setelah persalinan yang mengakibatkan
kematian maternal dapat diturunkan. Hal ini disebabkan karena dengan
adanya antenatal care tanda- tanda dini perdarahan yang berlebihan
dapat dideteksi dan ditanggulangi dengan cepat.
e. kadar Haemoglobin
Anemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan nilai
hemoglobin dibawah nilai normal. Dikatakan anemia jika kadar
hemoglobin kurang dari 8 gr%. Perdarahan pascapersalinan
mengakibatkan hilangnya darah sebanyak 500 ml atau lebih, dan jika
hal ini terus dibiarkan tanpa adanya penanganan yang tepat dan akurat
akan mengakibatkan turunnya kadar hemoglobin dibawah nilai normal.

D. Tanda dan Gejala

Seorang wanita post partum yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak
10% dari volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru
tampak pada kehilangan darah sebanyak 20%. Gejala klinik berupa:

- Perdarahan

- Lemah

- Limbung

- Berkeringat dingin

- Menggigil

Faktor Risiko

Perdarahan post partum merupakan komplikasi dari 5-8% kasus persalinan


pervaginam dan 6% dari kasus SC

• Faktor Risiko prenatal:

 Perdarahan sebelum persalinan,


 Solusio plasenta,
 Plasenta previa,
 Kehamilan ganda,
 Preeklampsia,
 Khorioamnionitis,
 Hidramnion,
 IUFD,
 Anemia (Hb< 5,8),
 Multiparitas,
 Mioma dalam kehamilan,
 Gangguan faktor pembekuan dan
 Riwayat perdarahan sebelumnya serta obesitas.

• Faktor Risiko saat persalinan pervaginam:

 Kala tiga yang memanjang,


 Episiotomi,
 Distosia,
 Laserasi jaringan lunak,
 Induksi atau augmentasi persalinan dengan oksitosin,
 Persalinan dengan bantuan alat (forseps atau vakum),
 Sisa plasenta, dan bayi besar (>4000 gram).

• Faktor Risiko perdarahan setelah SC :

 Insisi uterus klasik,


 Amnionitis,
 Preeklampsia,
 Persalinan abnormal,
 Anestesia umum,
 Partus preterm dan postterm.

Kausalnya dibedakan atas:

• Perdarahan dari tempat implantasi plasenta

a. Hipotoni sampai atonia uteri

 Akibat anestesi
 Distensi berlebihan (gemeli,anak besar,hidramnion)
 Partus lama,partus kasep
 Partus presipitatus/partus terlalu cepat
 Persalinan karena induksi oksitosin
 Multiparitas
 Riwayat atonia sebelumnya

b. Sisa plasenta

 Kotiledon atau selaput ketuban tersisa


 Plasenta susenturiata
 Plasenta akreata, inkreata, perkreata.

• Perdarahan karena robekan

 Episiotomi yang melebar


 Robekan pada perinium, vagina dan serviks
 Ruptura uteri

• Gangguan koagulasi

 Trombofilia
 Sindrom HELLP
 Preeklampsi
 Solutio plasenta
 Kematian janin dalam kandungan
 Emboli air ketuban

E. Diagnosis

Perdarahan yang langsung terjadi setelah anak lahir tetapi plasenta belum
lahir biasanya disebabkan oleh robekan jalan lahir. Perdarahan setelah plasenta
lahir, biasanya disebabkan oleh atonia uteri. Atonia uteri dapat diketahui dengan
palpasi uterus. Fundus uteri tinggi di atas pusat, uterus lembek, kontraksi uterus
tidak baik. Sisa plasenta yang tertinggal dalam kavum uteri dapat diketahui dengan
memeriksa plasenta yang lahir apakah lengkap atau tidak kemudian eksplorasi
kavum uteri terhadap sisa plasenta, sisa selaput ketuban, atau plasenta
suksenturiata (anak plasenta). Eksplorasi kavum uteri dapat juga berguna untuk
mengetahui apakan ada robekan rahim. Laserasi (robekan) serviks dan vagina
dapat diketahui dengan inspekulo.

Penilaian jumlah pendarahan pasca persalinan dapat dilihat dengan


mengkaji dan mencatat jumlah, tipe dan sisi perdarahan dengan menimbang dan
menghitung pembalut untuk memperkirakan kehilangan darah. Pembalut yang
basah keseluruhannya mengandung sekitar 100 ml darah. Satu gram peningkatan
berat pembalut sama dengan kurang lebih 1 ml kehilangan darah. Pemeriksaan
fisik meliputi:

a. Nilai tanda-tanda syok: pucat, akral dingin, nadi cepat, tekanan darah
rendah.

b. Nilai tanda-tanda vital: nadi > 100x/menit, pernafasan hiperpnea,


tekanan darah sistolik < 90 mmHg, suhu.

c. Pemeriksaan obstetrik:

- Perhatikan kontraksi, letak, dan konsistensi uterus

- Lakukan pemeriksaan dalam untuk menilaia danya: perdarahan,


keutuhan plasenta, tali pusat, dan robekan didaerah vagina.

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan darah rutin: terutama untuk menilai kadar Hb < 8 gr%.


b. Pemeriksaan golongan darah.

c. Pemeriksaan waktu perdarahan dan waktu pembekuan darah (untuk


menyingkirkan penyebab gangguan pembekuan darah).

Perdarahan post partum bukanlah suatu diagnosis akan tetapi suatu


kejadian yang harus dicari kausalnya:

- PPP karena atonia uteri

- PPP karena robekan jalan lahir

- PPP karena sisa plasenta

- Gangguan pembekuan darah.

Diagnosis perdarahan postpartum dapat digolongkan berdasarkan tabel berikut ini:

No Gejala dan tanda Penyebab yang harus dipikirkan

1. - Perdarahan segera setelah anak lahir Atonia Uteri

- Uterus tidak berkontraksi dan lembek

2. - Perdarahan segera Robekan Jalan Lahir

- Darah segar yang mengalir segera setelah bayi


lahir

3 - Plasenta belum lahir setelah 30 menit Retensio Plasenta

4. - Plasenta atau sebagian selaput (mengandung Sisa Plasenta


pembuluh darah) tidak lengkap

- Perdarahan dapat muncul 6-10 hari post partum


disertai subinvolusi uterus

5. - Perdarahan segera (Perdarahan intra abdominal Ruptura Uteri


dan dari atau pervaginam)

- Nyeri perut yang hebat

- Kontraksi yang hilang

6. - Fundus Uteri tidak teraba pada palpasi abdomen Inversio uteri

- Lumen vagina terisi massa

- Nyeri ringan atau berat


7. - Perdarahan tidak berhenti, encer, tidak terlihat Gangguan pembekuan darah
gumpalan sederhana

- Kegagalan terbentuknya gumpalan pada uji


pembentukan darah sederhana

- Terdapat faktor predisposisi : solusio placenta,


kematian janin dalam uterus, eklampsia, emboli
air ketuban

F. Komplikasi

Disamping menyebabkan kematian, perdarahan pascapersalinan


memperbesar kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita
berkurang. Perdarahan banyak kelak bisa menyebabkan sindrom Sheehan sebagai
akibat nekrosis pada hipofisisis pars anterior sehingga terjadi insufisiensi pada
bagian tersebut. Gejalanya adalah asthenia, hipotensi, anemia, turunnya berat
badan sampai menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi
alat alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolisme
dengan hipotensi, amenore dan kehilangan fungsi laktasi.

G. Penatalaksanaan

Tatalaksana Awal

 Nilai sirkulasi, jalan napas, dan pernapasan pasien.


 Bila menemukan tanda-tanda syok, lakukan penatalaksanaan syok.
 Berikan oksigen.
 Pasang infus intravena dengan kanul berukuran besar (16 atau 18) dan mulai
pemberian cairan kristaloid (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat atau Ringer Asetat)
sesuai dengan kondisi ibu.

Jumlah Cairan Infus Pengganti Berdasarkan Perkiraan Volume Kehilangan Darah

Penilaian Klinis Volume Perkiraan Kehilangan Jumlah Cairan


Perdaraha Darah (ml) (volume Infus Kristaloid
Tekanan Frekuensi Nadi Perfusi
n (% dari darah maternal Pengganti (2-3 x
Darah Akral
volume 100ml/kgBB) Jumlah
Sistolik
total Kehilangan
(mmHg)
darah) Darah)

120 80x/menit Hangat <10% <600 ml (asumsi berat -

badan 60 kg)

100 100x/menit Pucat ± 15% 900 ml 2000-3000 ml

<90 >120x/menit Dingin ± 30% 1800 ml 3500-5500 ml

<60-70 >140x/ menit Basah ± 50% 3000 ml 6000-9000 ml

sampai tak teraba

 Lakukan pengawasan tekanan darah, nadi, dan pernapasan ibu.


 Periksa kondisi abdomen: kontraksi uterus, nyeri tekan, parut luka, dan tinggi
fundus uteri.
 Periksa jalan lahir dan area perineum untuk melihat perdarahan dan laserasi
(jika ada, misal: robekan serviks atau robekan vagina).
 Periksa kelengkapan plasenta dan selaput ketuban.
 Pasang kateter Folley untuk memantau volume urin dibandingkan dengan
jumlah cairan yang masuk. (CATATAN: produksi urin normal 0.5-1
ml/kgBB/jam atau sekitar 30 ml/jam)
 Jika kadar Hb< 8 g/dl rujuk ke layanan sekunder (dokter spesialis obsgin)
 Jika fasilitas tersedia, ambil sampel darah dan lakukan pemeriksaan: kadar
hemoglobin (pemeriksaan hematologi rutin) dan penggolongan ABO.
 Tentukan penyebab dari perdarahannya (lihat tabel penyebab di atas) dan
lakukan tatalaksana spesifik sesuai penyebab

1. Atonia Uteri

Atonia Uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi Rahim yang


menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat
implantasi lasenta setelah bayi dan plasenta lahir.
Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan:

1. Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang
bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan pascapersalinan
akibat atonia uteri.
2. Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 ug) segera setelah bayi
lahir

Faktor predisposisinya adalah sebagai berikut:

 Regangan Rahim berlebihan karena kehamilan gemili, polihidramnion,


atau anak teralalu besar.
 Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep
 Kehamilan grande-multipara
 Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit
menahun.
 Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim.
 Infeksi intrauterine (korioamnionitis)
 Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.

Penatalaksanaan

Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan pasien. Pasien


bisa masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, sampai syok berat hipovolemik.
Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung pada keadaan kliniknya.

 Lakukan pemijatan uterus.


 Pastikan plasenta lahir lengkap.
 Berikan 20-40 unit oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/ Ringer Laktat
dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM.
 Lanjutkan infus oksitosin 20 unit dalam 1000 ml larutanNaCl 0,9%/Ringer
Laktat dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan berhenti.

Catatan :

Jangan berikan lebih dari 3 liter larutan intravena yang mengandung oksitosin.

Jangan berikan ergometrin kepada ibu dengan hipertensi berat/tidak terkontrol,


penderita sakit jantung dan penyakit pembuluh darah tepi.

 Bila tidak tersedia oksitosin atau bila perdarahan tidak berhenti,


berikanergometrin 0,2 mg IM atau IV (lambat), dapat diikuti pemberian 0,2
mg IM setelah 15 menit, danpemberian 0,2 mg IM/IV (lambat) setiap 4 jam
bila diperlukan. JANGAN BERIKAN LEBIH DARI 5 DOSIS (1 mg)
 Jika perdarahan berlanjut, berikan 1 g asam traneksamat IV (bolus selama 1
menit, dapat diulang setelah 30 menit).
 Lakukan pasang kondom kateter atau kompresi bimanual internal selama 5
menit.
 Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder sebagai antisipasi
bila perdarahan tidak berhenti.

2. Robekan Jalan Lahir


Pada umumnya robekan jalan lahir pada persalinan dengan trauma.
Pertolongan persalinan yang semakin manipulative dan traumatik akan
memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin
persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir
biasanya karena episiotomy, robekan spontan perineum, trauma forceps atau
vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi.
Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomy,
robekan perineum spontan derajat ringan samai rupture perinei totalis (sfingter
ani terputus), robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah
sekitar klitoris dan uretra dan bahkan, yang terberat rupture uteri. Oleh karena
itu, pada setiap persalinan hendaknya dilakukan inspeksi yang teliti untuk
mencari kemungkinan adanya robekan ini. Perdarahan yang terjadi saat
kontraksi uterus baik, biasanya karena ada robekan atau sisa plasenta.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vulva,
vagina, dan serviks dengan menggunakan speculum untuk mencari sumber
perdarahan dengan ciri warna darah yang merah segar dan pulsasif sesuai
dengan denyut nadi. Perdarahan karena rupture uteri dapat diduga pada
persalinan macet atau kasep, atau uterus dangan lokus minoris resistensia dan
adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas intraabdominal. Semua sumber
perdarahan yang terbuka harus di klem, diikat dan luka ditutup dengan jahitan
cat-gut lapis demi lapis sampai perdarahan berhenti.
Teknik penjahitan memerlukan asisten, anestasi local, penerangan
lampu yang cukup serta speculum dan memperhatikan kedalam luka. Bila
penderita kesakitan dan tidak kooperatif, perlu mengundang sejawat anestesi
untuk ketenangan dan keaamanan saat melakukan hemostasis.
Penatalaksanaan
Ruptura Perineum dan Robekan Dinding Vagina
 Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi sumber perdarahan.
 Lakukan irigasi pada tempat luka dan bersihkan dengan antiseptik.
 Hentikan sumber perdarahan dengan klem kemudian ikat dengan
benang yang dapat diserap.
 Lakukan penjahitan
 Bila perdarahan masih berlanjut, berikan 1 g asam traneksamat IV
(bolus selama 1 menit, dapat diulang setelah 30 menit).

Robekan Serviks
 Paling sering terjadi pada bagian lateral bawah kiri dan kanan dari
Porsio
 Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder

3. Retensio Plasenta
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak
lahir disebut sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan
pertolongan aktif kala tiga bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara
plasenta dan uterus. Disebut sebagai plasenta akreta bila implantasi
menembus desidua basalais dan Nitabuch layer, disebutkan sebagai plasenta
inkreta bila palsenta sampai menembus miometrum dan disebut plasenta
perkreta vili korialis sampai menembus perimetrium.Faktor predisposisi
terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas seksio sesarea, pernah
kuret berulang, dan multiparitas.
Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan/seperasi plasenta
akan ditandai dengan perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau
plasenta sudah sebagian lepas tetapi tidak keluar pervaginam (cara pelepasan
Schultze), sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio
plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan
perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan
perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala III) dan harus diantisipasi
dengan segera melakukan placenta manual, meskipun kala uri belum lewat
setengah jam.

Penatalaksanaan
 Berikan 20 - 40 unit oksitosindalam 1000 ml larutan NaCl 0,9% atau
Ringer Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM.
Lanjutkan infus oksitosin 20 unit dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%
atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan
berhenti.
 Lakukan tarikan tali pusat terkendali.
 Bila tarikan tali pusat terkendali tidak berhasil, lakukan plasenta
manual secara hati-hati.
 Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisilin 2 g IV DAN
metronidazol 500 mg IV).
 Segera atasi atau rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap bila terjadi
komplikasi perdarahan hebat atau infeksi.

4. Sisa Plasenta
Bila sebagian kecil dari plasenta masih tertinggal dalam uterus disebut
rest placenta dan dapat menimbulkan PPP primer atau (lebih sering) sekunder.
Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau setelah
melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak
lengkap pada saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan
dari ostium uteri eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan
jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke dalam
rahim dengan cara manual/digitalis atau kuret dan pemberiian uterotonika.
Anemia yang di timbulkan setelah perdarahan dapat diberi tranfusi darah
sesuai dengan keperluannya.

Penatalaksanaan
 Berikan 20 - 40 unit oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9% atau
Ringer Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM.
Lanjutkan infus oksitosin 20 unit dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%
atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan
berhenti.
 Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan keluarkan bekuan
darah dan jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen,
lakukan evakuasi sisa plasenta dengan aspirasi vakum manual atau
dilatasi dan kuretase .
 Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisillin 2 g IV dan
metronidazole 500 mg).
 Jika perdarahan berlanjut, tata laksana seperti kasus atonia uteri.

5. Inversio uteri

Kegawatdaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan perdaraan


adalah terjadinya inversi uterus. Inversio uteri adalah keadaan di mana lapisan
dalam uterus (endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum,
yang dapat bersifat inkomplit sampai komplit.

Faktor-faktor yang memungkinkan fal itu terjadi adalah adanya atonia


uteri, serviks yang masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan yang menarik
fundus ke bawah (misalnya karena plasenta akreta, inkreta, dan perkreta, yang
tali pusatnya di tarik keras dari bawah) atau ada tekanan pada fundus uteri dari
atas (manuver Crede) atau tekanan intraabdominal yang keras dan tiba-tiba
(misalnya batuk keras dan bersin).

CATATAN: Melakukan traksi umbilicus pada pertolongan aktif kala III dengan
uterus yang masih atonia memungkinkan terjadinya inversion uteri.

Inversio uteri ditandai dengan tanda-tanda:

 Syok karena kesakitan


 Perdarahan banyak bergumpal
 Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih
melekat.
 Bila baru terjadi, maka prognosis cukup baik akan tetapi bila kejadiannya
cukup lama, maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus
mengalami iskemia, nekrosis, dan infeksi.

Penatalaksanaan

 Memanggil bantuan anestesi dan memasang infus untuk cairan /darah


pengganti dan pemberian obat.
 Beberapa senter memberikan tokolitik/MgSO4 untuk melemaskan
uterus yang terbalik sebelum dilakukan reposisi manual, yaitu
mendorong endometrium ke atas masuk ke dalam vagina dan terus
melewati serviks sampai tangan masuk ke dalam uterus pada posisi
normalnya. Hal itu dapat dilakukan sewaktu plasenta sudah terlepas
atau tidak.
 Didalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil
dikeluarkan dari rahim dan sambil memberikan uterotonika lewat infus
atau i.m. tangan tetap dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali
normal dan tangan operator baru dilepaskan.
 Pemberian antibiotika dan transfuse darah sesuai keperluannya.
 Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras
menyebabkan manuver di atas tidak bisa dikerjakan, maka dilakukan
laparotomy untuk reposisi dan kalau terpaksa dilakukan histerektomi
bila uterus sudah mengalami infeksi dan nekrosis.
 Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder

6. Gangguan Pembekuan Darah


Kausal PPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila
penybab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah
mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi
mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan
merembes atau timbul hepatoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan dari
gusi, rongga hidung, dan lain-lain.

Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal


hemostasis yang abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan
memanjang, trombositopenia, terjadi hipofibrinogenemia, dan terdeteksi
adanya FDP (fibrin degradation product) serta perpanjangan tes protombin
dan PTT (partial thromboplastin time).

Predesposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian


janin dalam kandungan, eklamsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi
yang dilakukan adalah dengan tranfusi darah dan produknya seperti plasma
beku segar, trombosit, fibrinogen, dan heparinisasi atau pemberian EACA
(epsilon amino caproic acid).

Pencegahan

Klasifikasi kehamilan resiko rendah dan resiko tinggi akan


memudahkan penyelenggara pelayanan kesehatan untuk menata strategi
pelayanan ibu hamil saat perawatan antenatal dan melahirkan dengan
mengatur petugas kesehatan mana yang sesuai dan jenjang rumah sakit

 Pada banyak kasus kehilangan darah yang akut, koagulopati dapat


dicegah jika volume darah dipulihkan segera.
 Tangani kemungkinan penyebab (solusio plasenta, eklampsia).
 Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder
 Konseling dan Edukasi
 Memberikan informasi kepada pasien, suami, dan keluarga akan
pentingnya pemeriksaan selama kehamilan (antenatal care atau ANC)
untuk mempersiapkan proses persalinan. Kunjungan pelayanan
antenatal bagi ibu hamil paling sedikit 4 kali kunjungan dengan
distribusi sekali pada trimester I, sekali trimester II, dan dua kali pada
trimester III.
 Kriteria Rujukan
 Jika kadar Hb < 8 g/dl rujuk ke layanan sekunder (dokter spesialis
obstetri dan ginekologi)

Sarana Prasarana

1. Inspekulo

2. USG
3. Sarung tangan steril

4. Hecting set

5. Benang catgut

6. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin, dan golongan


darah.

Prognosis

Prognosis umumnya dubia ad bonam, tergantung dari jumlah perdarahan dan


kecepatan penatalaksanaan.

7. Ruptura Perineum tingkat 1-2

Ruptur perineum adalah suatu kondisi robeknya perineum yang terjadi pada
persalinan pervaginam. Diperkirakan lebih dari 85% wanita yang melahirkan
pervaginam mengalami ruptur perineum spontan, yang 60% - 70% di antaranya
membutuhkan penjahitan . Angka morbiditas meningkat seiring dengan peningkatan
derajat ruptur.

Gejala Klinis

Perdarahan pervaginam

Etiologi dan Faktor Risiko

Ruptur perineum umumnya terjadi pada persalinan, dimana:

1. Kepala janin terlalu cepat lahir

2. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya

3. Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut

4. Pada persalinan dengan distosia bahu

5. Partus pervaginam dengan tindakan

Pada literatur lain dikatakan faktor risiko ruptur perineum antara lain :

Faktor risiko ruptur perineum


Known risk factors Suggested risk factors
Nulipara Peningkatan usia
Makrosomia Etnis
Persalinan dengan instrumen terutama forsep Status nutrisi
Malpresentasi Analgesia epidural
Malposisi seperti oksiput posterior
Distosia bahu
Ruptur perineum sebelumnya
Lingkar kepala yang lebih besar
Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya:

1. Robekan pada perineum,

2. Perdarahan yang bersifat arterial atau yang bersifat merembes,

3. Pemeriksaan colok dubur, untuk menilai derajat robekan perineum

Pemeriksaan Penunjang: -

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Klasifikasi Ruptur Perineum dibagi menjadi 4 derajat:

a. Derajat I

Robekan terjadi hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenai kulit
perineum .

b. Derajat II

Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot perinea transversalis, tetapi tidak
melibatkan kerusakan otot sfingter ani.

c. Derajat III

Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani dengan pembagian
sebagai berikut:
III. a. Robekan < 50% sfingter ani eksterna

III. b. Robekan > 50% sfingter ani ekterna

III. c. Robekan juga meliputi sfingter ani interna

d. Derajat IV

Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani dan mukosa rektum

Penatalaksanaan

• Menghindari atau mengurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul


didahului oleh kepala janin dengan cepat.

• Kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan
menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin, dan melemahkan otot-
otot dan fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama.

• Penatalaksanaan farmakologis:

Dosis tunggal sefalosporin golongan II atau III dapat diberikan intravena sebelum
perbaikan dilakukan (untuk ruptur perineum yang berat).

• Manajemen Ruptur Perineum:

Ruptur perineum harus segera diperbaiki untuk meminimalisir risiko perdarahan,


edema, dan infeksi. Manajemen ruptur perineum untuk masing-masing derajatnya,
antara lain sebagai berikut :

a. Derajat I

• Bila hanya ada luka lecet, tidak diperlukan penjahitan. Tidak usah menjahit ruptur
derajat I yang tidak mengalami perdarahan dan mendekat dengan baik.
• Penjahitan robekan perineum derajat I dapat dilakukan hanya dengan memakai
catgut yang dijahitkan secara jelujur (continuous suture) atau dengan cara angka
delapan (figure of eight).

b. Derajat II

• Ratakan terlebih dahulu pinggiran robekan yang bergerigi, dengan cara mengklem
masing-masing sisi kanan dan kirinya lalu dilakukan pengguntingan untuk
meratakannya.

• Setelah pinggiran robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan.

c. Derajat III dan IV

Dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki dokter spesialis obstetric dan
ginekologi.

Konseling dan Edukasi

Memberikan informasi kepada pasien, dan suami, mengenai, cara menjaga kebersihan
daerah vagina dan sekitarnya setelah dilakukannya penjahitan di daerah perineum,
yaitu antara lain:

a. Menjaga perineumnya selalu bersih dan kering.

b. Hindari penggunaan obat-obatan tradisional pada perineumnya.

c. Cuci perineumnya dengan sabun dan air bersih yang mengalir 3 sampai 4 kali
perhari.

d. Kembali dalam seminggu untuk memeriksa penyembuhan lukanya. Ibu harus


kembali lebih awal jika ia mengalami demam atau mengeluarkan cairan yang berbau
busuk dari daerah lukanya atau jika daerah tersebut menjadi lebih nyeri.

Kriteria Rujukan: -

Sarana-Prasarana

1. Lampu

2. Kassa steril

3. Sarung tangan steril

4. Hecting set

5. Benang jahit : catgut

6. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin, golongan darah.

Prognosis

Prognosis umumnya bonnam


DAFTAR PUSTAKA

Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu


Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat cetakan ketiga. PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2010.

Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
Kesehatan Dasar dan Rujukan. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. 2013

Kementrian RI dan IDI. Buku Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Pelayan Primer,
Standar Pelayanan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, Edisi 1. Jakarta:
2013.

You might also like