Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
2011103303111169
Kelompok D2
FAKULTAS KEDOKTERAN
2015
PERDARAHAN POST PARTUM
Perdarahan post partum (PPP) adalah perdarahan yang masif yang berasal
dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir, dan jaringan sekitarnya
dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu disamping perdarahan karena
hamil ektopik dan abortus.
Berdasarkan saat terjadinya, PPP dapat dibagi menjadi PPP primer dan PPP
sekunder. PPP primer adalah perdarahan post partum yang terjadi dalam 24 jam
pertama setelah persalinan dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, robekan
jalan lahir, dan sisa sebagian plasenta. Sementara PPP sekunder adalah perdarahan
pervaginam yang lebih banyak dari normal antara 24 jam hingga 12 minggu
setelah persalinan, biasanya disebabkan oleh sisa plasenta.
Kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama setelah bayi lahir, 68-73%
dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 82-88% dalam dua minggu setelah bayi
lahir.
a. Usia ibu
Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih
dari 35 tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan
pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Hal ini
dikarenakan pada usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang
wanita belum berkembang dengan sempurna, sedangkan pada usia
diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami
penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga
kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pascapersalinan terutama
perdarahan akan lebih besar. Perdarahan pascapersalinan yang
mengakibatkan kematian maternal pada wanita hamil yang melahirkan
pada usia dibawah 20 tahun 2- 5 kali lebih tinggi daripada perdarahan
pascapersalinan yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Perdarahan
pascapersalinan meningkat kembali setelah usia 30-35tahun.
b. Jumlah gravida
Ibu- ibu yang dengan kehamilan lebih dari 1 kali atau yang termasuk
multigravida mempunyai risiko lebih tinggi terhadap terjadinya
perdarahan pascapersalinan dibandingkan dengan ibu -ibu yang
termasuk golongan primigravida (hamil pertama kali). Hal ini
dikarenakan pada multigravida, fungsi reproduksi mengalami
penurunan sehingga kemungkinan terjadinya perdarahan
pascapersalinan menjadi lebih besar.
c. Paritas
Paritas 2 - 3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut
perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian
maternal. Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai
angka kejadian perdarahan pascapersalinan lebih tinggi. Pada paritas
yang rendah (paritas satu), ketidaksiapan ibu dalam menghadapi
persalinan yang pertama merupakan faktor penyebab ketidak
mampuan ibu hamil dalam menangani komplikasi yang terjadi selama
kehamilan, persalinan dan nifas.
d. Antenatal Care
Tujuan umum antenatal care adalah menyiapkan seoptimal mungkin
fisik dan mental ibu serta anak selama dalam kehamilan, persalinan
dan nifas sehingga angka morbiditas dan mortalitas ibu serta anak
dapat diturunkan.Pemeriksaan antenatal yang baik dan tersedianya
fasilitas rujukan bagi kasus risiko tinggi terutama perdarahan yang
selalu mungkin terjadi setelah persalinan yang mengakibatkan
kematian maternal dapat diturunkan. Hal ini disebabkan karena dengan
adanya antenatal care tanda- tanda dini perdarahan yang berlebihan
dapat dideteksi dan ditanggulangi dengan cepat.
e. kadar Haemoglobin
Anemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan nilai
hemoglobin dibawah nilai normal. Dikatakan anemia jika kadar
hemoglobin kurang dari 8 gr%. Perdarahan pascapersalinan
mengakibatkan hilangnya darah sebanyak 500 ml atau lebih, dan jika
hal ini terus dibiarkan tanpa adanya penanganan yang tepat dan akurat
akan mengakibatkan turunnya kadar hemoglobin dibawah nilai normal.
Seorang wanita post partum yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak
10% dari volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru
tampak pada kehilangan darah sebanyak 20%. Gejala klinik berupa:
- Perdarahan
- Lemah
- Limbung
- Berkeringat dingin
- Menggigil
Faktor Risiko
Akibat anestesi
Distensi berlebihan (gemeli,anak besar,hidramnion)
Partus lama,partus kasep
Partus presipitatus/partus terlalu cepat
Persalinan karena induksi oksitosin
Multiparitas
Riwayat atonia sebelumnya
b. Sisa plasenta
• Gangguan koagulasi
Trombofilia
Sindrom HELLP
Preeklampsi
Solutio plasenta
Kematian janin dalam kandungan
Emboli air ketuban
E. Diagnosis
Perdarahan yang langsung terjadi setelah anak lahir tetapi plasenta belum
lahir biasanya disebabkan oleh robekan jalan lahir. Perdarahan setelah plasenta
lahir, biasanya disebabkan oleh atonia uteri. Atonia uteri dapat diketahui dengan
palpasi uterus. Fundus uteri tinggi di atas pusat, uterus lembek, kontraksi uterus
tidak baik. Sisa plasenta yang tertinggal dalam kavum uteri dapat diketahui dengan
memeriksa plasenta yang lahir apakah lengkap atau tidak kemudian eksplorasi
kavum uteri terhadap sisa plasenta, sisa selaput ketuban, atau plasenta
suksenturiata (anak plasenta). Eksplorasi kavum uteri dapat juga berguna untuk
mengetahui apakan ada robekan rahim. Laserasi (robekan) serviks dan vagina
dapat diketahui dengan inspekulo.
a. Nilai tanda-tanda syok: pucat, akral dingin, nadi cepat, tekanan darah
rendah.
c. Pemeriksaan obstetrik:
Pemeriksaan Penunjang
F. Komplikasi
G. Penatalaksanaan
Tatalaksana Awal
badan 60 kg)
1. Atonia Uteri
1. Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang
bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan pascapersalinan
akibat atonia uteri.
2. Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 ug) segera setelah bayi
lahir
Penatalaksanaan
Catatan :
Jangan berikan lebih dari 3 liter larutan intravena yang mengandung oksitosin.
Robekan Serviks
Paling sering terjadi pada bagian lateral bawah kiri dan kanan dari
Porsio
Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder
3. Retensio Plasenta
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak
lahir disebut sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan
pertolongan aktif kala tiga bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara
plasenta dan uterus. Disebut sebagai plasenta akreta bila implantasi
menembus desidua basalais dan Nitabuch layer, disebutkan sebagai plasenta
inkreta bila palsenta sampai menembus miometrum dan disebut plasenta
perkreta vili korialis sampai menembus perimetrium.Faktor predisposisi
terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas seksio sesarea, pernah
kuret berulang, dan multiparitas.
Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan/seperasi plasenta
akan ditandai dengan perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau
plasenta sudah sebagian lepas tetapi tidak keluar pervaginam (cara pelepasan
Schultze), sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio
plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan
perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan
perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala III) dan harus diantisipasi
dengan segera melakukan placenta manual, meskipun kala uri belum lewat
setengah jam.
Penatalaksanaan
Berikan 20 - 40 unit oksitosindalam 1000 ml larutan NaCl 0,9% atau
Ringer Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM.
Lanjutkan infus oksitosin 20 unit dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%
atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan
berhenti.
Lakukan tarikan tali pusat terkendali.
Bila tarikan tali pusat terkendali tidak berhasil, lakukan plasenta
manual secara hati-hati.
Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisilin 2 g IV DAN
metronidazol 500 mg IV).
Segera atasi atau rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap bila terjadi
komplikasi perdarahan hebat atau infeksi.
4. Sisa Plasenta
Bila sebagian kecil dari plasenta masih tertinggal dalam uterus disebut
rest placenta dan dapat menimbulkan PPP primer atau (lebih sering) sekunder.
Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau setelah
melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak
lengkap pada saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan
dari ostium uteri eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan
jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke dalam
rahim dengan cara manual/digitalis atau kuret dan pemberiian uterotonika.
Anemia yang di timbulkan setelah perdarahan dapat diberi tranfusi darah
sesuai dengan keperluannya.
Penatalaksanaan
Berikan 20 - 40 unit oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9% atau
Ringer Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM.
Lanjutkan infus oksitosin 20 unit dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%
atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan
berhenti.
Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan keluarkan bekuan
darah dan jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen,
lakukan evakuasi sisa plasenta dengan aspirasi vakum manual atau
dilatasi dan kuretase .
Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisillin 2 g IV dan
metronidazole 500 mg).
Jika perdarahan berlanjut, tata laksana seperti kasus atonia uteri.
5. Inversio uteri
CATATAN: Melakukan traksi umbilicus pada pertolongan aktif kala III dengan
uterus yang masih atonia memungkinkan terjadinya inversion uteri.
Penatalaksanaan
Pencegahan
Sarana Prasarana
1. Inspekulo
2. USG
3. Sarung tangan steril
4. Hecting set
5. Benang catgut
Prognosis
Ruptur perineum adalah suatu kondisi robeknya perineum yang terjadi pada
persalinan pervaginam. Diperkirakan lebih dari 85% wanita yang melahirkan
pervaginam mengalami ruptur perineum spontan, yang 60% - 70% di antaranya
membutuhkan penjahitan . Angka morbiditas meningkat seiring dengan peningkatan
derajat ruptur.
Gejala Klinis
Perdarahan pervaginam
Pada literatur lain dikatakan faktor risiko ruptur perineum antara lain :
Pemeriksaan Penunjang: -
Diagnosis Klinis
a. Derajat I
Robekan terjadi hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenai kulit
perineum .
b. Derajat II
Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot perinea transversalis, tetapi tidak
melibatkan kerusakan otot sfingter ani.
c. Derajat III
Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani dengan pembagian
sebagai berikut:
III. a. Robekan < 50% sfingter ani eksterna
d. Derajat IV
Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani dan mukosa rektum
Penatalaksanaan
• Kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan
menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin, dan melemahkan otot-
otot dan fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama.
• Penatalaksanaan farmakologis:
Dosis tunggal sefalosporin golongan II atau III dapat diberikan intravena sebelum
perbaikan dilakukan (untuk ruptur perineum yang berat).
a. Derajat I
• Bila hanya ada luka lecet, tidak diperlukan penjahitan. Tidak usah menjahit ruptur
derajat I yang tidak mengalami perdarahan dan mendekat dengan baik.
• Penjahitan robekan perineum derajat I dapat dilakukan hanya dengan memakai
catgut yang dijahitkan secara jelujur (continuous suture) atau dengan cara angka
delapan (figure of eight).
b. Derajat II
• Ratakan terlebih dahulu pinggiran robekan yang bergerigi, dengan cara mengklem
masing-masing sisi kanan dan kirinya lalu dilakukan pengguntingan untuk
meratakannya.
Dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki dokter spesialis obstetric dan
ginekologi.
Memberikan informasi kepada pasien, dan suami, mengenai, cara menjaga kebersihan
daerah vagina dan sekitarnya setelah dilakukannya penjahitan di daerah perineum,
yaitu antara lain:
c. Cuci perineumnya dengan sabun dan air bersih yang mengalir 3 sampai 4 kali
perhari.
Kriteria Rujukan: -
Sarana-Prasarana
1. Lampu
2. Kassa steril
4. Hecting set
Prognosis
Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
Kesehatan Dasar dan Rujukan. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. 2013
Kementrian RI dan IDI. Buku Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Pelayan Primer,
Standar Pelayanan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, Edisi 1. Jakarta:
2013.