Professional Documents
Culture Documents
Nama sebenarnya adalah ‘Amir bin ‘Abdullah bin al-Jarrah al-Fihri al-Quraisy al-
Makki, ibunya bernama Umaimah binti Ghanim.
Beliau salah seorang sahabat yang dijamin masuk Syurga, memiliki wajah yang
berseri, tampan orangnya tinggi lampai, tidak gempal dan berjambang nipis. Beliau
mudah mesra, tawaddhu’ dan pemalu. Namun, di saat yang genting beliau bagaikan
singa yang mencari mangsa.
Kualiti iman dalam dirinya dapat kita ketahui melalui sabdaan Baginda Nabi
sallallahualaihi wasallam;
ٌ جوُأجحمينْن جهحذحه اَّل نْرمحة أجنْبوُ نْعجبليجدجة لبنْن اَّللججرراَّحح،لحنْكلُل أ نْرمةَّة أجحمينن
“Setiap umat mempunyai orang kepercayaan, dan orang kepercayaan umat ini
adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”
(Riwayat al-Tirmizi)
Amir bin Abdullah bin Jarrah Al Quraisyi Al Fihri Al Makki adalah salah seorang dari
kelompok As-Sabiqun Al Awwalun (orang-orang pertama masuk Islam) dan orang
yang mendukung kekhalifahan Ali radhiyallahu ‘anhu.
Hal ini ia tunjukkan pada hari Tsaqifah, disebabkan dedikasinya yang tinggi kepada
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu.
Nasab Abu Ubaidah bin Al Jarrah bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pada garis keturunan Fihri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan
pengakuan bahwa ia salah seorang penghuni surga dan menjulukinya Aminul
Ummat (kepercayaan umat).
Sahabat inilah yang pertama-tama dijuluki sebagai pemimpin para pemimpin (Amirul
Umara).
Dialah orang yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
tangan kanannya seraya bersabda mengenai dirinya,
ٌ جوُإحرن أجحمليجن هحذحه لاَّل نْرمحة أجنْبلوُ نْعجبليجدجة لبنْن لاَّلججرراَّحح،َإحرن جلنْكلم أ نْرمءة أجحمليءنا
DIa berhijrah ke Habsyah dalam Hijrah yang kedua. Kemudian kembali untuk berdiri
di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salalm dalam Perang Badar. dan pada
saat itu dia berhasil membunuh ayahnya sendiri (yang masih kafir).
Abu Ubaidah juga pernah mendapat cobaan (musibah) yang berat pada waktu
perang Uhud. Pada saat itu, Abu Ubaidah menahan dua arah serangan musuh yang
ditujukan kepada Rasulullah, sehingga ia terkena pukulan yang mengakibatkan dua
giginya rompal. Namun hal itu justru membuat mulutnya nampak semakin indah,
sehingga muncul rumor bahwa tidak ada yang lebih indah jika kehilangan gigi
melebihi indahnya gigi Abu Ubaidah.
Zubair bin Bakkar berkata, “Keturunan Abu Ubaidah dan seluruh putra saudara
perempuannya telah habis dan ia termasuk orang yang hijrah ke Habsyah.”
Aku berkata, “Jika beliau hijrah ke Habsyah, berarti ia tidak lama bermukim di sana.”
Sikap yang ditunjukkannya dalam perang Uhud menjelaskan kepada kita bahwa ia
benar-benar kepercayaan umat ini, di mana ia tetap menebaskan pedangnya yang
terpercaya kepada pasukan kaum paganis. Setiap kali situasi dan kondisi perang
mengharuskannya jauh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia
berperang sembari kedua matanya memperhatikan di mana Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bertempur.
Di salah satu putarannya dan peperangan telah mencapai puncaknya, Abu Ubaidah
radhiallahu ‘anhu dikepung oleh segolongan kaum musyrikin. Abu Ubaidah
radhiallahu ‘anhu kehilangan kesadarannya, ketika melihat anak panah meluncur
dari tangan orang musyrik lalu mengenai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia
menyerang orang-orang yang mengepungnya dengan pedangnya dan seolah-olah ia
memegang seratus pedang, sehingga membuat mereka tercerai berai. Lantas ia
berlari bak terbang menuju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia melihat darah beliau
yang suci mengalir dari wajahnya, dan melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengusap darah itu dengan tangan kanannya seraya bersabda,
ف نْيلفلحنْح جقلوُنم جخ ج
ٌ جوُنْهجوُ جيلدنْعلوُنْهلم إحجلىَّ جرلُبحهلم،ضنْبلوُاَّ جوُلججه جنحبلُيحهلم جكلي ج
“Bagaimana akan beruntung suatu kaum yang melumuri wajah Nabi mereka,
padahal dia menyeru kepada Rabb mereka.” (Lihat, Tafsir al-Qurthubi, 4/ 199)
Pada saat delegasi Najran dari Yaman datang untuk menyatakan keislaman mereka,
dan meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengutus bersama
mereka orang yang mengajarkan kepada mereka Alquran, Sunnah dan Islam, maka
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka,
“Aku benar-benar akan mengutus bersama kalian seorang pria yang sangat dapat
dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat
dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya.” (Thabaqat Ibn Sa’d, 3/ 314)
Semua sahabat berharap bahwa dialah yang bakal dipilih oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ternyata persaksian ini menjadi keberuntungannya.
Umar Al-Faruq radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak menyukai suatu jabatan pun
sebagaimana aku menyukainya pada saat itu, karena berharap akulah yang bakal
memperolehnya. Aku pergi untuk shalat Zhuhur dengan berjalan kaki. Setelah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Zhuhur bersama kami,
beliau mengucapkan salam, kemudian memandang ke kanan dan ke kiri. Aku
menegakkan punggungku agar beliau melihatku. Tapi beliau terus mengarahkan
pandangannya hingga melihat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Kemudian beliau
memanggilnya seraya bersabda,
‘Keluarlah bersama mereka. Putuskan perkara di antara mereka dengan haq dalam
segala hal yang mereka perselisihkan’.“
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu
berjalan di bawah panji Islam. Sekali waktu ia bersama para pasukan biasa, dan
pada kesempatan yang lain bersama para panglima. Sampai datanglah masa Umar
radhiallahu ‘anhu, ia menjabat sebagai panglima pasukan Islam di salah satu
peperangan besar di Syam. Ia mendapatkan kemenangan dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam peperangan ini, hingga ia menjadi hakim dan gubernur negeri Syam,
dan perintahnya ditaati.
Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu mengunjungi Syam, dan
bertanya kepada orang-orang yang menyambutnya, “Di manakah saudaraku?”
Mereka bertanya, “Siapa?”
Ia menjawab, “Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”
ٌ فحللني من عزمتك ياَ أمير اَّلمؤمنين،ٌ وُإنماَ أناَ في جند من اَّلمسلمين يصيبني ماَ أصاَبهم،عرفت قصدك
“Saya tahu tujuan Amir al-Mukminin (agar saya terus hidup sedangkan tiada siapa
yang boleh kekal hidup). Sesungguhnya saya merupakan sebahagian anggota
tentera Islam oleh itu apa yang menimpa itulah jua yang akan menimpaku. Justeru
gugurkanlah tuntutanmu terhadapku (agar kembali ke Madinah) wahai Amir al-
Mukminin .”
Tatkala Umar bin al-Khattab membaca surat tersebut, air mata beliau terus mengalir.
Setelah beberapa hari Abu Ubaidah diserang penyakit taun. Sedang beliau nazak
bertarung dengan penyakit tersebut, beliau berpesan kepada tentera-tenteranya.
ٌْ وُاَّلنصحوُاَّ ن،ٌَّ وُتوُاَّصوُا،ٌَّ وُاَّلعجتحمروُا،ٌَّ وُنْحيجوُا،َّصردقوُا
ٌ وُل نْتللحهكببم،لمراَّحئكببم وُل تنْغيشببوُهم ٌ وُت ج،ٌ وُصوُموُاَّ رمضاَن،أقيموُاَّ اَّلصلْة
صرعي هذاَّ اَّلذي جتجرلوُن ٌ فإرن اَّلمرء لوُ نْعلُمر ألف جحلوُةَّل ماَ كاَن له نْبدد من أن يصير إلىَّ م ل،َاَّلدنيا
“Dirikan solat, berpuasalah di bulan Ramadan, bersedekahlah, tunaikan haji dan
umrah, salinglah berpesan-pesan dan memberi nasihat kepada pemimpin kamu dan
jangan kamu memperdayakan mereka. Jangan kamu dilalaikan dunia. Lantaran jika
seseorang itu mampu hidup 1000 tahun sekalipun, dia tetap akan menemui
pengakhiran kehidupannya seperti yang kamu sedang lihat saya sekarang ini.”
Kemudian Abu Ubaidah berpaling kepada Mu’az bin Jabal dan mengarahkannya
menjadi imam solat dan sejurus selepas itu beliau pun menghembuskan nafasnya
yang terakhir. Apabila Abu Ubaidah meninggal dunia, Mu’az bangun di hadapan
rakyat dan berucap;
ٌ وُل،ٌ وُل أشببرد نْحببباَ ء للعاَحقجبببة،ت رنْجلْء أبببرر صببلدراَّء وُل أبعببد غاَحئجلببءة ٌ وُ ح،جلعنْتم حبجرنْجةَّل
ْا ماَ أعلم أني رأيبب ن ٌ إنكم قد فنْ ح،ياَ أيهاَ اَّلناَس
أنصح للعاَرمة منهم جفجتجررحموُاَّ عليه يلرجحلمكم ا
“Wahai manusia, sesungguhnya kamu telah ditimpa kesedihan disebabkan lelaki ini.
Demi Allah! Saya tidak pernah mengenali lelaki yang lebih berhati mulia dan jauh
daripada hasad dengki, terlalu cinta dengan mati dan paling menunaikan
tanggungjawab dan paling banyak menasihati rakyatnya berbanding lelaki ini.
Doakanlah kerahmatan untuknya, pasti Allah akan merahmati kamu semua.”
Abu Ubaidah al-Jarrah meninggal dunia pada tahun 18 Hijriah di Jordan dalam
wilayah Syam.
Pada suatu hari, pada saat Al-Faruq Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berada
di Madinah, seorang informan datang kepadanya untuk mengabarkan bahwa Abu
Ubaidah telah meninggal dunia.
Mendengar hal itu, Al-Faruq radhiallahu ‘anhu memejamkan kedua matanya dalam
keadaan penuh dengan air mata.
Air mata pun mengalir, lalu dia membuka kedua matanya dalam kepasrahan. Ia
memohonkan rahmat Allah untuk sahabatnya dalam keadaan air mata mengalir dari
kedua matanya, air mata orang-orang shalih.
Air mata mengalir karena kematian orang-orang yang shalih.
Al-Faruq Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata,
“Seandainya aku boleh berangan-angan, maka aku hanya mengangankan sebuah
rumah yang dipenuhi orang-orang semisal Abu Ubaidah.”
Abu Ubaidah adalah pemimpin pasukan Islam dalam perang Yarmuk, perang yang
menelan banyak korban dari pihak musuh dan berhasil memperoleh kemenangan.