You are on page 1of 21

LAPORAN PENDAHULUAN

CEDERA KEPALA

A. Definisi
Cedera kepala adalah cedera yang menimbulkan kerusakan atau perlukaan pada
kulit kepala, tulang tengkorak, dan jaringan otak yang disertai atau tanpa disertai
perdarahan. (Lukman, 1993)
Cedera kepala adalah bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak
dalam menghasilkan keseimbangan aktivitas fisik, intelektual, emosi, sosial atau sebagai
gangguan traumatic yang dapat menimbulkan perubahan pada fungsi otak. (Black, 1997)
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala. (Suriadi, 2003)
Trauma kepala adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta
organ-organ didalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif/ non-
kongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan fisik,
kognitif maupun social serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat
kesadaran. (Dawodu, 2003; Sutantoro, 2004)
Kesimpulannya, cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung
atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.
Cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurology atau menurunnya
kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2001:2211).
Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak
ada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan
abrasi (Mansjoer, 2000:4).
Cidera kepala ringan adalah cedara otak karena tekanan atau kejatuhan benda
tumpul (Bedong, M.A, 2001)
Cedera kepala ringan adalah cedera kepala tertutup yang ditandai dengan
hilangnya kesadaran sementara (Corwin, 2000: 176)
Jadi cedera kepala ringan adalah cedera karena tekanan atau kejatuhan benda
tumpul yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi neurology sementara atau menurunya
kesadaran sementara, mengeluh pusing nyeri kepala tanpa adanya kerusakan lainnya.

B. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan cedera,
patofisiologi dan morfologinya.
1. Mekanisme: berdasarkan adanya penetrasi duramater
a. Trauma tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil)
kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
b. Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)
2. Keparahan cedera
a. Ringan
 GCS 13 – 15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia < 30 menit
 Tidak ada fraktur tengkorak
 Tidak ada kontusio serebral
 Tidak ada hematoma
b. Sedang
 GCS 9 – 12
 Kehilangan kesadaran atau amnesia > 30 menit tapi < 24 jam
 Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Berat
 GCS 3 – 8
 Kehilangan kesadaran atau amnesia > 24 jam
 Juga meliputi kontusio serebral
 Laserasi
 Hematoma intrakranial
3. Patofisiologi
a. Cedera kepala primer
 Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acclerasi-decelerasi otak) yang
menyebabkan gangguan pada jaringan.
 Pada cedera kepala primer dapat terjadi gegar kepala ringan, memar otak,
laserasi.
b. Cedera kepala sekunder
 Kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi
yang timbul setelah trauma.
 Pada cedera primer akan muncul gejala hipotensi sistemik, hipoksia,
hiperkapnea, edema otak, komplikasi pernafasan, infeksi/ komplikasi pada
organ tubuh lain.
4. Morfologi
a. Trauma kepala terbuka
 Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk ke dalam jaringan
otak sehingga menyebabkan kerusakan atau robekan pada duramater, saraf
otak, jaringan otak.
 Tanda dan gejala: battle sign, hemotympanum, periorbital echymosis,
rhinorrhoe, orthorrhoe, brill hematom.
b. Trauma kepala tertutup
 Komosio
Cedera kepala ringan, disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih
kembali, hilang kesadaran sementara (kurang dari 10 – 20 menit), tanpa
kerusakan otak permanen.
 Kontosio
Ada memar otak, perdarahan kecil local/ difus, gangguan kesadaran lebih
lama, kelainan neurologik positif, reflek patologik positif, lumpuh, konvulsi,
gejala TIK meningkat.
 Hematom epidural
Perdarahan antara tulang tengkorak dan duramater, lokasi tersering temporal
dan frontal, kategori talk and die.
 Hematom subdural
Perdarahan antara duramater dan archnoid, biasanya pecah vena (akut,
subakut dan kronis).
 Hematom intracranial
Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih, selalu diikuti oleh kontosio.

B. Etiologi
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Jatuh
3. Trauma benda tumpul
4. Kecelakaan kerja
5. Kecelakaan rumah tangga
6. Kecelakaan olahraga
7. Trauma tembak dan pecahan bom

C. Patofisiologi
1. Pukulan langsung, dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan (coup
injury) atau pada sisi yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam
tengkorak dan mengenai dinding yang berlawanan (contrecoup injury)
2. Fleksi, ekstensi, atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang
menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap dari tulang
sphenoid). Rotasi yang hebat juga menyebabkan robekan di dalam substansi
putih otak dan batang otak, menyebabkan cedera aksonal dan bintik-bintik
perdarahan intraserebral.
3. Peluru, cenderung menyebabkan hilanggnya jaringan seiring dengan trauma.
Pembengkakan otak merupakan masalah akibat disrupsi tengkorak yang secara
otomatis menekan otak. Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan
oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel
saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan
oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen
sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena
akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70%
akan terjadi gejala permulaan disfungsi serebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan
asidosis metabolik.
4. Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya
kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema
dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan
permeabilitas vaskuler, patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses
yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer
merupakan suatu proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala
terbentur dan dapat memberi dampat kerusakan jaringan otat. Pada cedera kepala
sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya akibat dari
hipoksemia, iskemia dan perdarahan. Perdarahan cerebral menimbulkan
hematoma misalnya pada epidural hematoma, berkumpulnya antara periosteun
tengkorak dengan durameter, subdura hematoma akibat berkumpulnya darah
pada ruang antara durameter dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma
adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Kematian pada penderita
cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika
terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan berakhir pada
iskemia jaringan otak (Tarwoto, 2007)
D. Manifestasi Klinis
1. Penurunan kesadaran
2. Nyeri setempat
3. Sukar bangun dan bicara
4. Muntah
5. Kelemahan pada suatu sisi tubuh tiba-tiba
6. Pembengkakan pada daerah fraktur
7. Abnormalitas pupil
8. Perubahan tanda-tanda vital (tekanan darah menurun)

E. Komplikasi
1. Perdarahan intrakranial
a. Perdarahan ekstradural
Robekan pada arteri meningea media. Hematoma di antara tengkorak dan dura.
Seringkali terdapat “interval lucid” sebelum terbukti tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial (TIK) (penurunan nadi, peningkatan tekanan darah, dilatasi
pupil ipsilateral, paresis tatu paralisis kontralateral). Terapi dengan evakuasi
hematoma melalui lubang Burr.
b. Perdarahan subdural akut
Robekan pada vena-vena di antara araknoid dan duramater. Biasanya terjadi pada
orang lanjut usia. Terdapat perburukan neurologis yang progresif. Terapi dengan
evakuasi namun penyembuhan biasanya tidak sempurna.
c. Hematoma subdural kronis
Robekan pada vena yang menyebabkan hematoma subdural yang akan membesar
secara perlahan akibat penyerapan LCS. Seringkali yang menjadi penyebab
adalah cedera ringan. Mengantuk dan kebingungan, sakit kepala, hemiplegia.
Terapi dengan evakuasi bekuan darah.
d. Perdarahan intraserebral
Perdarahan ke dalam substansi otak yang menyebabkan kerusakan ireversibel.
Usaha dilakukan untuk mencegah cedera sekunder dengan memastikan oksigenasi
dan nutrisi yang adekuat.
2. Disfagia
3. Hemiparesis
4. Sindrom pasca TK/ Post Concussion Syndrome
5. Fistula karotika-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis, dan bruit orbita, dapat timbul
segera atau beberapa hari setelah cedera. Angiografi diperlukan untuk konfirmasi
diagnosis dan terapi dengan oklusi balon merupakan cara yang paling efektif dan
dapat mencegah hilangnya penglihatan yang permanen.
6. Epilepsi post trauma
Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan
predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukkan resiko yang meningkat
untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan.
Insiden keseluruhan epilepsi pasca trauma lanjut (berulang, tanpa provokasi) setelah
cedera kepala tertutup adalah 5%; resiko mendekati 20% pada pasien dengan
perdarahan intrakranial atau fraktur depresi.
7. Infeksi dan fistula LCS
Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan
terjadi pada 2-6% pasien dengan cedera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti
spontan dengan evelasi kepala setelah beberapa hari pada 85% pasien. Drainase
lumbal dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini memiliki resiko
meningitis yang meningkat (biasanya pneumokok), pemberian antibiotik profilaksis
masih kontroversial. Otorea atau rinorea cairan serebrospinal yang menetap atau
meningitis berulang merupakan indikasi untuk operasi reparatif.
8. Dampak pada sistem tubuh lainnya:
a. Sistem Kardiovaskuler
Perdarahan di otak akan menurunkan tekanan vaskuler sehingga frekuensi jantung
meningkat dan stroke work menurun dimana pembacaan CVP abnormal. Tidak
adanya stimulus endogen saraf simpatis juga mempengaruhi penurunan
kontraktilitas ventrikel. Hal ini bisa menyebabkan penurunan curah jantung dan
peningkatan tekanan atrium kiri sehingga terjadi edema paru.
b. Sistem Respirasi
Adanya edema paru dan vasokonstriksi paru menyebabkan hiperapneau dan
bronkho konstriksi. Bila tekanan oksigen rendah, aliran darah bertambah, terjadi
penurunan tekanan karbon dioksida dan menimbulkan alkalosis sehingga terjadi
vasokonstriksi dan penurunan CBF (Cerebral Blood Fluid). Bila tekanan karbon
dioksida bertambah akan menyebabkan asidosis dan vasodilatasi. Hal ini akan
menyebabkan penambahan CBF yang kemudian terjadi peningkatan tingginya
TIK.
Edema otak dapat menyebabkan kematian otak (iskemia) dan tingginya TIK dapat
menyebabkan terjadinya herniasi dan penekanan medulla oblongata. Akibatnya
adalah pernafasan ataksia dimana ditandai dengan irama nafas tak teratur dan pola
napas tidak efektif.
c. Sistem Genito-Urinaria
Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungan retensi
natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen.
Haluaran Urin sedikit dan meningkatnya konsentrasi elektrolit Retensi Cairan
pelepasan ADH Trauma
Peningkatan hilangnya nitrogen adalah signifikan dengan respon metabolik
terhadap trauma, karena dengan adanya trauma tubuh memerlukan energi untuk
menangani perubahan – perubahan seluruh sistem tubuh. Namun masukan
makanan kurang, maka akan terjadi penghancuran protein otot sebagai sumber
nitrogen utama. Hal ini menambah terjadinya asidosis metabolik karena adanya
metabolisme anaerob glukosa. Dalam hal ini diperlukan masukan makanan yang
disesuaikan dengan perubahan metabolisme yang terjadi pada trauma. Pemasukan
makanan pada trauma kepala harus mempertimbangkan tingkat kesadaran pasien
atau kemampuan melakukan reflek menelan.
d. Sistem Pencernaan
Hipotalamus merangsang anterior hipofise untuk mengeluarkan steroid adrenal.
Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral, namun
pengaruhnya terhadap lambung adalah terjadinya peningkatan ekskresi asam
lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu juga hiperasiditas terjadi
karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stress
yang mempengaruhi produksi asam lambung. Jika hiperasiditas ini tidak segera
ditangani, akan menyebabkan perdarahan lambung.
e. Sistem Muskuloskeletal
Akibat utama dari cedera otak berat dapat mempengaruhi gerakan tubuh.
Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada area
motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai kontrol vaolunter terhadap
gerakan dalam menghadapi kesulitan perawatan diri dan kehidupan sehari – hari
yang berhubungan dengan postur, spastisitas atau kontraktur.

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT Scan (dengan/ tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, ukuran ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak. Pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemia/
infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma.
2. MRI
Digunakan sama dengan CT-Scan, dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Angiografi serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat
edema, perdarahan, trauma.
4. EKG
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
5. Sinar X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis
tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.
6. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
Menentukan fungsi korteks dan batang otak.
7. PET (Positron Emission Tomography)
Menunjukkan perubahan metabolisme pada otak.
8. Pungsi lumbal, CSS
Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid.
9. DGA (Gas Darah Arteri)
Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK
(Tekanan Intra Kranial).
10. Elektrolit Darah
Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam meningkatkan TIK/ perubahan
mental.
11. Pemeriksaan toksikologi
Mendeteksi pengaruh obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan
kesadaran.

G. Penatalaksanaan
1. Penanganan terhadap 6B
a. Breathing : bebaskan obstruksi, suction, intubasi, trakeostomi
b. Blood : monitor TD, pemeriksaan Hb, leukosit
c. Brain : ukur GCS
d. Bladder : kosongkan bladder karena urin yang penuh dan merangsang
mengedan
e. Bower : kosongkan dengan alasan dapat meningkatkan TIK
f. Bone : observasi kemampuan persendian otot
2. Penatalaksanaan medik
a. Konservatif
 Istirahat baring di tempat tidut
 Analgetik untuk mengurangi rasa sakit
 Pemberian obat penenang
 Pemberian obat gol. Osmotic diuretic (manitol) untuk mengatasi edema
serebral.
 Setelah keluhan-keluhan hilang, maka mobilisasi dapat dilakukan secara
bertahap, dimulai dengan duduk di tempat tidur, berdiri lalu berjalan.
b. Operatif
Operasi hanya dapat dilakukan pada kasus tertentu seperti pada perdarahan
epidural dan perdarahan subdural dengan maksud menghentikan perdarahan dan
memperbaiki fraktur terbuka jaringan otak yang menonjol keluar, atau pada
fraktur dimana fragmen-fragmen tulang masuk ke jaringan otak.

H. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Dasar data pengkajian pasien:
a. Pernapasan
Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), suara napas
tambahan (ronki, mengi mungkin karena aspirasi).
b. Makanan/ minuman
Mual, muntah, perubahan selera makan, gangguan menelan (batuk, air liur keluar,
disfagia).
c. Eliminasi
Inkontinensia kandung kemih/ usus atau mengalami gangguan fungsi.
d. Aktivitas/ istirahat
Merasa lemah, lelah, kaku, perubahan kesadaran, letargi, kehilangan tonus otot.
e. Sirkulasi
Perubahan tekanan darah (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardia,
takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
f. Integritas ego
Perubahan tingkah laku (tenang atau dramatis), cemas, agitasi, bingung, depresi,
impulsif.
g. Neurosensori
Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, sinkope, perubahan dalam penglihatan
(ketajaman, diplopia, fotopobia), perubahan kesadaran, perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, memori), ketidakseimbangan,
reflex tendon lemah.
h. Nyeri/ kenyamanan
Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, wajah menyeringai,
respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bias beristirahat,
merintih.
i. Keamanan
Trauma baru/ trauma karena kecelakaan, fraktur/ dislokasi, gangguan penglihatan.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
(hemoragi, hematoma); edema serebral, penurunan TD sistemik/ hipoksia
(hipovolemia, disritmia jantung).
b. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler (cedera pada pusat pernafasan otak); kerusakan persepsi atau
kognitif; obstruksi trakeobronkhial.
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
d. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi dan/atau
integrasi (trauma atau defisit neurologis).
e. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis; konflik
psikologis.
f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan/ tahanan;
terapi pembatasan/ kewaspadaan keamanan mis. Tirah baring, imobilisasi;
kerusakan persepsi atau kognitif.
g. Resiko infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif;
respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid).
h. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrient (penurunan
tingkat kesadaran); kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan;
status hipermetabolik.
i. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
j. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi; kurang mengingat/
keterbatasan kognitif.

3. Perencanaan Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
(hemoragi, hematoma); edema serebral, penurunan TD sistemik/ hipoksia
(hipovolemia, disritmia jantung).
Tujuan: Memaksimalkan perfusi atau fungsi serebral.
Intervensi:
1) Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang
menyebabkan koma atau penurunan perfusi jaringan otak dan potensial
peningkatan TIK
R/ penurunan tanda atau gejala neurologis atau kegagalan dalam
pemulihannya setelah serangan awal mungkin menunjukkan bahwa pasien itu
perlu dipindahkan ke perawatan intensif untuk memantau tekanan TIK dan
atau pembedahan.
2) Pantau atau catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai
standar (misalnya skala koma Glascow)
R/ menentukan tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan
bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan
SSP.
3) Pantau tekanan darah, catat adanya hipertensi sistolik secara terus-menerus;
observasi terhadap hipertensi pada pasien yang mengalami trauma multiple.
R/ peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti oleh penurunan tekanan
darah diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya
peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan tingkat kesadaran. Hipovolemia/
hipertensi (yang berhubungan dengan trauma multiple) dapat juga
mengakibatkan kerusakan/ iskemia serebral.
4) Pantau pemasukan dan pengeluaran. Ukur berat badan sesuai indikasi. Catat
turgor kulit dan keadaan membran mukosa.
R/ bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi
dengan perfusi jaringan. Iskemia/ trauma serebral dapat mengakibatkan
diabetes insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan pada masalah hipotermia
atau pelebaran pembuluh darah yang pada akhirnya akan berpengaruh negatif
terhadap tekanan serebral.
5) Pertahankan kepala/ leher pada posisi tengah atau pada posisi netral, sokong
dengan gulungan handuk kecil atau bantal kecil. Hindari pemakaian bantal
besar pada kepala.
R/ kepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena jugularis dan
menghambat aliran darah vena, yang selanjutnya akan meningkatkan TIK.
6) Observasi adanya aktivitas kejang dan lindungi pasien dari cedera.
R/ kejang dapat terjadi sebagai akibat dari iritasi serebral, hipoksia, atau
peningkatan TIK dan kejang dapat meningkatkan TIK lebih lanjut yang
meningkatkan kerusakan serebral.
7) Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.
R/ pembatasan cairan mungkin diperlukan untuk menurunkan edema serebral;
meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler, TD dan TIK.
8) Pantau GDA
R/ menentukan kecukupan pernafasan (kemunculan dari hipoksia/ asidosis)
dan mengindikasikan kebutuhan akan terapi.
9) Berikan obat sesuai indikasi:
 Diuretic, contohnya manitol; furosemid (lasix)
R/ digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak,
menurunkan edema otak dan TIK.
 Steroid, contohnya deksametason; metil-prednisolon
R/ menurunkan inflamasi yang selanjutnya menurunkan edema jaringan.
 Antikonvulsan, contohnya fenitoin (dilantin)
R/ untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktivitas kejang.

b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik


Tujuan : Nyeri dapat tercontrol dan berkurang
Intervensi :
1) Observasi tanda-tanda vital
R/ Untuk mengetahui perkembangan pasien, dimana TD, Nadi, Suhu dan RR
dapat mengidentifikasi nyeri bertambah atau berkurang.
2) Observasi karakteristik nyeri pasien dengan menggunakan teknik PQRST
R/ Dengan mengobservasi skala nyeri dapat diketahui tingkat nyeri yang
dirasakan pasien serta tindakan selanjutnya dapat dilakukan dengan tepat.
3) Ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman
R/ Dengan lingkungan yang aman dan nyaman akan membuat pasien lebih
rileks.
4) Berikan pasien posisi yang nyaman
R/ Dengan posisi yang nyaman pasien dapat lebih rileks dimana hal ini dapat
mengurangi nyeri.
5) Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
R/ Ajarkan teknik distraksi pasien tidak akan terfokus pada nyerinya, dengan
teknik relaksasi dapat merilekskan otot-otot sehingga rasa nyeri pasien
berkurang
Kolaborasi
6) Delegatif dalam pemberian analgetik.
R/ : Dengan pemberian analgetik dapat mengurangi nyeri

c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi dan/atau


integrasi (trauma atau defisit neurologis).
Tujuan: Mengoptimalkan fungsi otak/ mengembalikan pada keadaan sebelum
terjadi trauma.
Intervensi:
1) Pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam
perasaan/ afektif, sensorik dan proses pikir.
R/ perubahan motorik, persepsi, kognitif dan kepribadian mungkin
berkembang dan menetap dengan perbaikan respons secara perlahan-lahan
atau tetap bertahan secara terus-menerus pada derajat tertentu.
2) Kaji kesadaran sensori seperti respons sentuhan, panas/ dingin, benda tajam/
tumpul dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh. Perhatikan adanya
masalah penglihatan atau sensasi yang lain.
R/ semua sistem sensorik dapat terpengaruh dengan adanya perubahan yang
melibatkan peningkatan atau penurunan sensitivitas atau kehilangan sensasi/
kemampuan untuk menerima dan berespons secara sesuai pada suatu stimulus.
3) Catat adanya perubahan yang spesifik dalam hal kemampuan seperti
memusatkan kedua mata dengan mengikuti instruksi verbal yang sederhana
dengan jawaban “ya” atau “tidak”, makan sendiri dengan tangan dominan.
R/ membantu melokalisasi daerah otak yang mengalami gangguan dan
mengidentifikasi tanda perkembangan terhadap peningkatan fungsi
neurologis.
4) Hilangkan suara bising/ stimulus yang berlebihan sesuai kebutuhan.
R/ menurunkan ansietas, respons emosi yang berlebihan/ bingung yang
berhubungan dengan sensorik yang berlebihan.
5) Buat jadwal istirahat yang adekuat/ periode tidur tanpa adanya gangguan.
R/ mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan, memberikan kesempatan
untuk tidur REM (ketidakadaan tidur REM ini dapat meningkatkan gangguan
persepsi sensorik).
6) Temukan cara lain untuk menanggulangi penurunan persepsi sensorik ini
seperti mengatur hidup, membuat catatan pribadi mengenai daerah tubuh yang
terkena, makanan yang menguntungkan terhadap penglihatan;
menggambarkan bagian tubuh yang terkena trauma.
R/ pasien dapat meningkatkan kemandiriannya, meningkatkan rasa control,
karena mempunyai kemampuan untuk kompensasi terhadap penurunan
neurologis yang dialaminya.
7) Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, dan terapi kognitif.
R/ menciptakan rencana penatalaksanaan terintregasi yang didasarkan atas
kombinasi kemampuan/ ketidakmampuan secara individu yang unik dengan
berfokus pada peningkatan evaluasi dan fungsi fisik, kognitif, dan ketrampilan
konseptual.
d. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis; konflik
psikologis.
Tujuan: Melakukan kembali orientasi mental dan realitas biasanya.
Intervensi:
1) Kaji rentang perhatian, kebingungan dan catat tingkat ansietas pasien.
R/ rentang perhatian/ kemampuan untuk berkonsentrasi mungkin memendek
secara tajam yang menyebabkan dan merupakan potensi terhadap terjadinya
ansietas yang mempengaruhi proses pikir pasien.
2) Pastikan dengan orang terdekat untuk membandingkan kepribadian/ tingkah
laku pasien sebelum mengalami trauma dengan respons pasien sekarang.
R/ masa pemulihan cedera kepala meliputi fase agitasi, respons marah, dan
berbicara/ proses pikir yang kacau. Munculnya halusinasi atau perubahan pada
interpretasi stimulus dapat berkembang tergantung dari keadaan trauma atau
tergantung dari berkembangnya bagian tertentu dari otak yang mengalami
trauma tersebut.
3) Kurangi stimulus yang merangsang, kritik yang negative, argumentasi dan
konfrontasi.
R/ menurunkan resiko terjadinya proses pertengkaran atau penolakan. Pasien
dengan cedera kepala berat mungkin menjadi kasar atau menyiksa secara
fisik/ verbal.
4) Dengarkan dengan penuh perhatian semua hal yang diungkapkan pasien.
R/ perhatian dan dukungan yang diberikan pada individu akan meningkatkan
harga diri dan mendorong kesinambungan usaha tersebut.
5) Instruksikan untuk melakukan teknik relaksasi. Berikan aktivitas yang
beragam.
R/ membantu untuk memfokuskan kembali perhatian pasien dan untuk
menurunkan ansietas pada tingkat yang dapat ditanggulangi.
6) Hindari meninggalkan pasien sendirian ketika mengalami agitasi, gelisah atau
berontak.
R/ ansietas dapat mengakibatkan kehilangan kontrol dan meningkatkan
kepanikan. Dukungan dapat memberikan ketenangan ysng menurunkan
ansietas dan resiko terjadinya trauma.
7) Koordinasikan/ ikutsertakan pada pelatihan kognitif atau program rehabilitasi
sesuai indikasi.
R/ membantu dengan metode pengajaran yang baik untuk kompetensi
gangguan pada kemampuan berfikir dan mengatasi masalah konsentrasi,
memori, daya penilaian dan menyelesaikan masalah.
8) Rujuk pada kelompok-kelompok penyokong seperti asosiasi cedera kepala,
pelayanan social (jika ada)
R/ bantuan tambahan mungkin bermanfaat dalam menyokong usaha-usaha
pemulihan.

e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan/ tahanan;


terapi pembatasan/ kewaspadaan keamanan mis. Tirah baring, imobilisasi;
kerusakan persepsi atau kognitif.
Tujuan: Mobilisasi normal kembali.
Intervensi:
1) Kaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan (0-
4)
R/ pasien mampu mandiri (nilai 0) atau memerlukan bantuan/ peralatan yang
minimal (nilai 1); memerlukan bantuan sedang/ dengan pengawasan/
diajarkan (nilai 2); memerlukan peralatan/ bantuan yang terus-menerus dan
alat khusus (nilai 3); atau tergantung secara total pada pemberi asuhan (nilai
4). Seseorang dalam semua kategori sama-sama mempunyai resiko
kecelakaan namun kategori dengan nilai 2-4 mempunyai resiko yang terbesar
untuk terjadinya bahaya tersebut sehubungan dengan imobilitas.
2) Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena
tekanan. Ubah posisi pasien secara teratur dan buat sedikit perubahan posisi
antara waktu perubahan posisi tersebut.
R/ perubahan posisi yang teratur menyebabkan penyebaran terhadap berat
badan dan meningkatkan sirkulasi pada seluruh bagian tubuh.
3) Berikan/ bantu untuk melakukan latihan rentang gerak.
R/ mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/ posisi normal ekstremitas
dan menurunkan terjadinya vena yang statis.
4) Instruksikan/ bantu pasien dengan program latihan dan penggunaan alat
mobilisasi. Tingkatkan aktivitas dan partisipasi dalam merawat diri sendiri
sesuai kemampuan.
R/ proses penyembuhan yang lambat seringkali menyertai trauma kepala dan
pemulihan secara fisik merupakan bagian yang amat penting dari suatu
program pemulihan tersebut. Keterlibatan pasien dalam perencanaan dan
kegiatan adalah sangat penting untuk meningkatkan kerjasama pasien atau
keberhasilan dari suatu program tersebut.
5) Sokong kepala dan badan, tangan dan lengan, kaki dan paha ketika pasien
berada dalam kursi roda. Beri pengalas pada kursi dengan busa atau balon air
dan bantu pasien untuk memindahkan berat badannya dengan periode waktu
yang teratur.
R/ mempertahankan kenyamanan, keamanan, dan postur tubuh yang normal
dan mencegah/ menurukan resiko kerusakan kulit.

f. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan


Tujuan : Pasien dan keluarga tidak mengalami ansietas atau ansietas pasien
maupun keluarga berkurang.
Intervensi :
1) Kaji rasa cemas yang dialami pasien dan keluarga
R/ Untuk mengetahui seberapa cemas pasien dan keluarga menghadapi
perubahan status kesehatan pasien.
2) Jalin hubungan saling percaya dengan pasien dan keluarga
R/ Agar pasien dan kelurga bersikap terbuka
3) Berikan kesempatan pada pasien dan keluarga menyampaikan perasaannya
R/ Karena jika kecemasan hanya dipendam dan tidak diungkapkan akan
berdampak buruk pada pasien atau keluraga, hal ini dilakukan untuk
mengurangi beban pikiran pasien dan keluarga.
4) Jelaskan mengenai penyakit dan sejauhmana kondisi pasien serta penanganan
yang diberikan.
R/ Pasien dan keluarga mengerti tentang kondisi pasien saat ini dan tidak
merasa cemas lagi.

g. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan


dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi; kurang mengingat/
keterbatasan kognitif.
Tujuan: Memberikan informasi mengenai proses/ prognosis penyakit, rencana
tindakan dan sumber daya yang ada.
Intervensi:
1) Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan juga
keluarganya.
R/ memungkinkan untuk menyampaikan bahan yang didasarkan atas
kebutuhan secara individual. Catatan: pasien mungkin tidak mampu menerima
informasi baik secara emosi maupun mental.
2) Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan
pengaruh sesudahnya.
R/ membantu dalam menciptakan harapan yang realistis dan meningkatkan
pemahaman pada keadaan saat ini dan kebutuhannya.
3) Berikan instruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal mengenai aktivitas, obat-
obatan, dan factor-faktor penting lainnya.
R/ memberikan penguatan visual dan rujukan setelah sembuh.
4) Identifikasi sumber-sumber yang berada di masyarakat, seperti kelompok
penyokong cedera kepala, pelayanan social, fasilitas rehabilitasi, program
pasien diluar rumah sakit.
R/ diperlukan untuk memberikan bantuan perawatan secara fisik, penanganan
di rumah, perubahan dalam gaya hidup baik secara emosional maupun
finansial.

h. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan


neurovaskuler (cedera pada pusat pernafasan otak); kerusakan persepsi atau
kognitif; obstruksi trakeobronkhial.
Tujuan: Mencegah atau meminimalkan komplikasi
Intervensi:
1) Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan. Catat ketidakteraturan
pernafasan.
R/ perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal (umumnya
mengikuti cedera otak) atau menandakan lokasi/ luasnya keterlibatan otak.
Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi
mekanik.
2) Catat kompetensi menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan
napas sendiri.
R/ kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk
pemeliharaan jalan napas. Kehilangan reflex menelan atau batuk menandakan
perlunya jalan napas buatan atau intubasi.
3) Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif jika pasien sadar.
R/ mencegah atau menurunkan atelektaksis.
4) Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik.
Catat karakter, warna dan kekeruhan dari secret.
R/ dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak
dapat membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada trakea yang
lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena hal tersebut dapat
menyebabkan atau meningkatkan hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi
yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup besar pada perfusi serebral.
5) Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara-
suara tambahan yang tidak normal (seperti krekels, ronki, mengi).
R/ mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektaksis, kongesti atau
obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi serebral dan/atau
menandakan terjadinya infeksi paru (umumnya merupakan komplikasi dari
cedera kepala).
6) Pantau penggunaan dari obat-obat depresan pernapasan, seperti sedative.
R/ dapat meningkatkan gangguan/ komplikasi pernapasan.
7) Pantau GDA.
R/ menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan
kebutuhan dalam terapi.
8) Lakukan rontgen toraks tulang.
R/ melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tanda komplikasi yang
berkembang (seperti atelektaksis atau bronkopneumonia).
9) Berikan oksigen.
R/ memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam
pencegahan hipoksia. Jika pusat pernapasan tertekan, mungkin diperlukan
ventilasi mekanik.
10) Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.
R/ memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan menurunkan resiko
atelektaksis/ komplikasi paru lainnya.

i. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
perubahan kemampuan untuk mencerna nutrient (penurunan tingkat kesadaran);
kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan; status
hipermetabolik.
Tujuan: Mencegah adanya gangguan perubahan nutrisi.
Intervensi:
1) Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi
sekresi.
R/ faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien
harus terlindung dari aspirasi.
2) Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/ hilangnya atau suara yang
hiperaktif.
R/ fungsi saluran pencernaan biasanya tetap baik pada kasus cedera kepala,
jadi bising usus membantu dalam menentukan respons untuk makan atau
berkembangnya komplikasi seperti paralitik usus.
3) Timbang berat badan setiap hari.
R/ mengevaluasi keefektifan/ kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.
4) Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan
teratur.
R/ meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang
diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.
5) Konsultasi dengan ahli gizi.
R/ mengidentifikasi kebutuhan kalori/ nutrisi tergantung usia, berat badan,
ukuran tubuh, keadaan penyakit sekarang (trauma, penyakit jantung/ masalah
metabolisme).

j. Resiko infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif;
respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid).
Tujuan: Mencegah terjadinya infeksi.
Intervensi:
1) Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan
yang baik.
R/ cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
2) Observasi daerah kulit yang mengalami luka, catat karakteristik dan adanya
inflamasi.
R/ deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan
tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
3) Pantau suhu tubuh secara teratur. Catat adanya demam, menggigil, diaphoresis
dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
R/ dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan
evaluasi atau tindakan dengan segera.
4) Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi.
R/ menurunkan pemajanan terhadap “pembawa kuman penyebab infeksi”.
5) Delegasi dalam pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R/ terapi profilaksis dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma
(perlukaan), kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk
menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial.
6) Kolaborasi dengan petugas laboratorium dalam pemeriksaan laboratorium
yaitu WBC.
R/ WBC yang tinggi melampaui batas normal menandakan terjadi infeksi,
sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk merencanakan tindakan
selanjutnya.
4. Implementasi
Pelaksanaan/implementasi merupakan tahap keempat dalam proses keperawatan
dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang
telah direncanakan. Dalam tahap ini perawat harus mengetahui berbagai hal,
diantaranya bahaya fisik dan perlindungan kepada pasien, teknik komunikasi,
kemampuan dalam prosedur tindakan, pemahaman tentang hak-hak pasien tingkat
perkembangan pasien. Dalam tahap pelaksanaan terdapat dua tindakan yaitu tindakan
mandiri dan tindakan kolaborasi. (Aziz Alimul. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar
Manusia, Buku 1 : 111).

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
menilai keberhasilan tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Setelah
dilaksanakan tindakan keperawatan maka hasil yang diharapkan adalah sesuai dengan
rencana tujuan yaitu :
a. Perubahan perfusi jaringan serebral teratasi.
b. Nyeri akut berhubungan terkontrol atau berkurang.
c. Perubahan persepsi sensori teratasi.
d. Perubahan proses pikir teratasi.
e. Kerusakan mobilitas fisik teratasi
f. Ansietas teratasi
g. Kurang pengetahuan teratasi
h. Resiko tinggi pola napas tidak efektif teratasi.
i. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi.
j. Resiko infeksi tidak terjadi
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3. Jakarta : EGC

Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta : EGC

Doengoes, M.E.,2000. Penerapan Proses Kperawatan dan Diagnosa Keperawatan. Jakarta :

EGC.

NANDA, 2012. NANDA Internasional Nursing Diagnoses : Definition and Clssification

2012 – 2014. Jakarta : EGC

Wilkinson, J.M. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Dengan Intervensi NIC dan

Kriteria Hasil NOC Edisi 9. Jakarta : EGC

Mansjoer, Arif. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarata : Media Aesculapius

Fakultas Kedokteran UI

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem

Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

You might also like