Professional Documents
Culture Documents
CEDERA KEPALA
A. Definisi
Cedera kepala adalah cedera yang menimbulkan kerusakan atau perlukaan pada
kulit kepala, tulang tengkorak, dan jaringan otak yang disertai atau tanpa disertai
perdarahan. (Lukman, 1993)
Cedera kepala adalah bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak
dalam menghasilkan keseimbangan aktivitas fisik, intelektual, emosi, sosial atau sebagai
gangguan traumatic yang dapat menimbulkan perubahan pada fungsi otak. (Black, 1997)
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala. (Suriadi, 2003)
Trauma kepala adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta
organ-organ didalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif/ non-
kongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan fisik,
kognitif maupun social serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat
kesadaran. (Dawodu, 2003; Sutantoro, 2004)
Kesimpulannya, cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung
atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.
Cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurology atau menurunnya
kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2001:2211).
Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak
ada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan
abrasi (Mansjoer, 2000:4).
Cidera kepala ringan adalah cedara otak karena tekanan atau kejatuhan benda
tumpul (Bedong, M.A, 2001)
Cedera kepala ringan adalah cedera kepala tertutup yang ditandai dengan
hilangnya kesadaran sementara (Corwin, 2000: 176)
Jadi cedera kepala ringan adalah cedera karena tekanan atau kejatuhan benda
tumpul yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi neurology sementara atau menurunya
kesadaran sementara, mengeluh pusing nyeri kepala tanpa adanya kerusakan lainnya.
B. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan cedera,
patofisiologi dan morfologinya.
1. Mekanisme: berdasarkan adanya penetrasi duramater
a. Trauma tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil)
kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
b. Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)
2. Keparahan cedera
a. Ringan
GCS 13 – 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia < 30 menit
Tidak ada fraktur tengkorak
Tidak ada kontusio serebral
Tidak ada hematoma
b. Sedang
GCS 9 – 12
Kehilangan kesadaran atau amnesia > 30 menit tapi < 24 jam
Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Berat
GCS 3 – 8
Kehilangan kesadaran atau amnesia > 24 jam
Juga meliputi kontusio serebral
Laserasi
Hematoma intrakranial
3. Patofisiologi
a. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acclerasi-decelerasi otak) yang
menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera kepala primer dapat terjadi gegar kepala ringan, memar otak,
laserasi.
b. Cedera kepala sekunder
Kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi
yang timbul setelah trauma.
Pada cedera primer akan muncul gejala hipotensi sistemik, hipoksia,
hiperkapnea, edema otak, komplikasi pernafasan, infeksi/ komplikasi pada
organ tubuh lain.
4. Morfologi
a. Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk ke dalam jaringan
otak sehingga menyebabkan kerusakan atau robekan pada duramater, saraf
otak, jaringan otak.
Tanda dan gejala: battle sign, hemotympanum, periorbital echymosis,
rhinorrhoe, orthorrhoe, brill hematom.
b. Trauma kepala tertutup
Komosio
Cedera kepala ringan, disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih
kembali, hilang kesadaran sementara (kurang dari 10 – 20 menit), tanpa
kerusakan otak permanen.
Kontosio
Ada memar otak, perdarahan kecil local/ difus, gangguan kesadaran lebih
lama, kelainan neurologik positif, reflek patologik positif, lumpuh, konvulsi,
gejala TIK meningkat.
Hematom epidural
Perdarahan antara tulang tengkorak dan duramater, lokasi tersering temporal
dan frontal, kategori talk and die.
Hematom subdural
Perdarahan antara duramater dan archnoid, biasanya pecah vena (akut,
subakut dan kronis).
Hematom intracranial
Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih, selalu diikuti oleh kontosio.
B. Etiologi
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Jatuh
3. Trauma benda tumpul
4. Kecelakaan kerja
5. Kecelakaan rumah tangga
6. Kecelakaan olahraga
7. Trauma tembak dan pecahan bom
C. Patofisiologi
1. Pukulan langsung, dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan (coup
injury) atau pada sisi yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam
tengkorak dan mengenai dinding yang berlawanan (contrecoup injury)
2. Fleksi, ekstensi, atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang
menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap dari tulang
sphenoid). Rotasi yang hebat juga menyebabkan robekan di dalam substansi
putih otak dan batang otak, menyebabkan cedera aksonal dan bintik-bintik
perdarahan intraserebral.
3. Peluru, cenderung menyebabkan hilanggnya jaringan seiring dengan trauma.
Pembengkakan otak merupakan masalah akibat disrupsi tengkorak yang secara
otomatis menekan otak. Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan
oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel
saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan
oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen
sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena
akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70%
akan terjadi gejala permulaan disfungsi serebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan
asidosis metabolik.
4. Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya
kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema
dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan
permeabilitas vaskuler, patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses
yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer
merupakan suatu proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala
terbentur dan dapat memberi dampat kerusakan jaringan otat. Pada cedera kepala
sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya akibat dari
hipoksemia, iskemia dan perdarahan. Perdarahan cerebral menimbulkan
hematoma misalnya pada epidural hematoma, berkumpulnya antara periosteun
tengkorak dengan durameter, subdura hematoma akibat berkumpulnya darah
pada ruang antara durameter dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma
adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Kematian pada penderita
cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika
terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan berakhir pada
iskemia jaringan otak (Tarwoto, 2007)
D. Manifestasi Klinis
1. Penurunan kesadaran
2. Nyeri setempat
3. Sukar bangun dan bicara
4. Muntah
5. Kelemahan pada suatu sisi tubuh tiba-tiba
6. Pembengkakan pada daerah fraktur
7. Abnormalitas pupil
8. Perubahan tanda-tanda vital (tekanan darah menurun)
E. Komplikasi
1. Perdarahan intrakranial
a. Perdarahan ekstradural
Robekan pada arteri meningea media. Hematoma di antara tengkorak dan dura.
Seringkali terdapat “interval lucid” sebelum terbukti tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial (TIK) (penurunan nadi, peningkatan tekanan darah, dilatasi
pupil ipsilateral, paresis tatu paralisis kontralateral). Terapi dengan evakuasi
hematoma melalui lubang Burr.
b. Perdarahan subdural akut
Robekan pada vena-vena di antara araknoid dan duramater. Biasanya terjadi pada
orang lanjut usia. Terdapat perburukan neurologis yang progresif. Terapi dengan
evakuasi namun penyembuhan biasanya tidak sempurna.
c. Hematoma subdural kronis
Robekan pada vena yang menyebabkan hematoma subdural yang akan membesar
secara perlahan akibat penyerapan LCS. Seringkali yang menjadi penyebab
adalah cedera ringan. Mengantuk dan kebingungan, sakit kepala, hemiplegia.
Terapi dengan evakuasi bekuan darah.
d. Perdarahan intraserebral
Perdarahan ke dalam substansi otak yang menyebabkan kerusakan ireversibel.
Usaha dilakukan untuk mencegah cedera sekunder dengan memastikan oksigenasi
dan nutrisi yang adekuat.
2. Disfagia
3. Hemiparesis
4. Sindrom pasca TK/ Post Concussion Syndrome
5. Fistula karotika-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis, dan bruit orbita, dapat timbul
segera atau beberapa hari setelah cedera. Angiografi diperlukan untuk konfirmasi
diagnosis dan terapi dengan oklusi balon merupakan cara yang paling efektif dan
dapat mencegah hilangnya penglihatan yang permanen.
6. Epilepsi post trauma
Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini (minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan
predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukkan resiko yang meningkat
untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan.
Insiden keseluruhan epilepsi pasca trauma lanjut (berulang, tanpa provokasi) setelah
cedera kepala tertutup adalah 5%; resiko mendekati 20% pada pasien dengan
perdarahan intrakranial atau fraktur depresi.
7. Infeksi dan fistula LCS
Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan
terjadi pada 2-6% pasien dengan cedera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti
spontan dengan evelasi kepala setelah beberapa hari pada 85% pasien. Drainase
lumbal dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini memiliki resiko
meningitis yang meningkat (biasanya pneumokok), pemberian antibiotik profilaksis
masih kontroversial. Otorea atau rinorea cairan serebrospinal yang menetap atau
meningitis berulang merupakan indikasi untuk operasi reparatif.
8. Dampak pada sistem tubuh lainnya:
a. Sistem Kardiovaskuler
Perdarahan di otak akan menurunkan tekanan vaskuler sehingga frekuensi jantung
meningkat dan stroke work menurun dimana pembacaan CVP abnormal. Tidak
adanya stimulus endogen saraf simpatis juga mempengaruhi penurunan
kontraktilitas ventrikel. Hal ini bisa menyebabkan penurunan curah jantung dan
peningkatan tekanan atrium kiri sehingga terjadi edema paru.
b. Sistem Respirasi
Adanya edema paru dan vasokonstriksi paru menyebabkan hiperapneau dan
bronkho konstriksi. Bila tekanan oksigen rendah, aliran darah bertambah, terjadi
penurunan tekanan karbon dioksida dan menimbulkan alkalosis sehingga terjadi
vasokonstriksi dan penurunan CBF (Cerebral Blood Fluid). Bila tekanan karbon
dioksida bertambah akan menyebabkan asidosis dan vasodilatasi. Hal ini akan
menyebabkan penambahan CBF yang kemudian terjadi peningkatan tingginya
TIK.
Edema otak dapat menyebabkan kematian otak (iskemia) dan tingginya TIK dapat
menyebabkan terjadinya herniasi dan penekanan medulla oblongata. Akibatnya
adalah pernafasan ataksia dimana ditandai dengan irama nafas tak teratur dan pola
napas tidak efektif.
c. Sistem Genito-Urinaria
Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungan retensi
natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen.
Haluaran Urin sedikit dan meningkatnya konsentrasi elektrolit Retensi Cairan
pelepasan ADH Trauma
Peningkatan hilangnya nitrogen adalah signifikan dengan respon metabolik
terhadap trauma, karena dengan adanya trauma tubuh memerlukan energi untuk
menangani perubahan – perubahan seluruh sistem tubuh. Namun masukan
makanan kurang, maka akan terjadi penghancuran protein otot sebagai sumber
nitrogen utama. Hal ini menambah terjadinya asidosis metabolik karena adanya
metabolisme anaerob glukosa. Dalam hal ini diperlukan masukan makanan yang
disesuaikan dengan perubahan metabolisme yang terjadi pada trauma. Pemasukan
makanan pada trauma kepala harus mempertimbangkan tingkat kesadaran pasien
atau kemampuan melakukan reflek menelan.
d. Sistem Pencernaan
Hipotalamus merangsang anterior hipofise untuk mengeluarkan steroid adrenal.
Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral, namun
pengaruhnya terhadap lambung adalah terjadinya peningkatan ekskresi asam
lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu juga hiperasiditas terjadi
karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stress
yang mempengaruhi produksi asam lambung. Jika hiperasiditas ini tidak segera
ditangani, akan menyebabkan perdarahan lambung.
e. Sistem Muskuloskeletal
Akibat utama dari cedera otak berat dapat mempengaruhi gerakan tubuh.
Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada area
motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai kontrol vaolunter terhadap
gerakan dalam menghadapi kesulitan perawatan diri dan kehidupan sehari – hari
yang berhubungan dengan postur, spastisitas atau kontraktur.
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT Scan (dengan/ tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, ukuran ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak. Pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemia/
infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma.
2. MRI
Digunakan sama dengan CT-Scan, dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Angiografi serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat
edema, perdarahan, trauma.
4. EKG
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
5. Sinar X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis
tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.
6. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
Menentukan fungsi korteks dan batang otak.
7. PET (Positron Emission Tomography)
Menunjukkan perubahan metabolisme pada otak.
8. Pungsi lumbal, CSS
Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid.
9. DGA (Gas Darah Arteri)
Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK
(Tekanan Intra Kranial).
10. Elektrolit Darah
Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam meningkatkan TIK/ perubahan
mental.
11. Pemeriksaan toksikologi
Mendeteksi pengaruh obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan
kesadaran.
G. Penatalaksanaan
1. Penanganan terhadap 6B
a. Breathing : bebaskan obstruksi, suction, intubasi, trakeostomi
b. Blood : monitor TD, pemeriksaan Hb, leukosit
c. Brain : ukur GCS
d. Bladder : kosongkan bladder karena urin yang penuh dan merangsang
mengedan
e. Bower : kosongkan dengan alasan dapat meningkatkan TIK
f. Bone : observasi kemampuan persendian otot
2. Penatalaksanaan medik
a. Konservatif
Istirahat baring di tempat tidut
Analgetik untuk mengurangi rasa sakit
Pemberian obat penenang
Pemberian obat gol. Osmotic diuretic (manitol) untuk mengatasi edema
serebral.
Setelah keluhan-keluhan hilang, maka mobilisasi dapat dilakukan secara
bertahap, dimulai dengan duduk di tempat tidur, berdiri lalu berjalan.
b. Operatif
Operasi hanya dapat dilakukan pada kasus tertentu seperti pada perdarahan
epidural dan perdarahan subdural dengan maksud menghentikan perdarahan dan
memperbaiki fraktur terbuka jaringan otak yang menonjol keluar, atau pada
fraktur dimana fragmen-fragmen tulang masuk ke jaringan otak.
H. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Dasar data pengkajian pasien:
a. Pernapasan
Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), suara napas
tambahan (ronki, mengi mungkin karena aspirasi).
b. Makanan/ minuman
Mual, muntah, perubahan selera makan, gangguan menelan (batuk, air liur keluar,
disfagia).
c. Eliminasi
Inkontinensia kandung kemih/ usus atau mengalami gangguan fungsi.
d. Aktivitas/ istirahat
Merasa lemah, lelah, kaku, perubahan kesadaran, letargi, kehilangan tonus otot.
e. Sirkulasi
Perubahan tekanan darah (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardia,
takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
f. Integritas ego
Perubahan tingkah laku (tenang atau dramatis), cemas, agitasi, bingung, depresi,
impulsif.
g. Neurosensori
Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, sinkope, perubahan dalam penglihatan
(ketajaman, diplopia, fotopobia), perubahan kesadaran, perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, memori), ketidakseimbangan,
reflex tendon lemah.
h. Nyeri/ kenyamanan
Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, wajah menyeringai,
respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bias beristirahat,
merintih.
i. Keamanan
Trauma baru/ trauma karena kecelakaan, fraktur/ dislokasi, gangguan penglihatan.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
(hemoragi, hematoma); edema serebral, penurunan TD sistemik/ hipoksia
(hipovolemia, disritmia jantung).
b. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler (cedera pada pusat pernafasan otak); kerusakan persepsi atau
kognitif; obstruksi trakeobronkhial.
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
d. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi dan/atau
integrasi (trauma atau defisit neurologis).
e. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis; konflik
psikologis.
f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan/ tahanan;
terapi pembatasan/ kewaspadaan keamanan mis. Tirah baring, imobilisasi;
kerusakan persepsi atau kognitif.
g. Resiko infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif;
respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid).
h. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrient (penurunan
tingkat kesadaran); kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan;
status hipermetabolik.
i. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
j. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi; kurang mengingat/
keterbatasan kognitif.
3. Perencanaan Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
(hemoragi, hematoma); edema serebral, penurunan TD sistemik/ hipoksia
(hipovolemia, disritmia jantung).
Tujuan: Memaksimalkan perfusi atau fungsi serebral.
Intervensi:
1) Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang
menyebabkan koma atau penurunan perfusi jaringan otak dan potensial
peningkatan TIK
R/ penurunan tanda atau gejala neurologis atau kegagalan dalam
pemulihannya setelah serangan awal mungkin menunjukkan bahwa pasien itu
perlu dipindahkan ke perawatan intensif untuk memantau tekanan TIK dan
atau pembedahan.
2) Pantau atau catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai
standar (misalnya skala koma Glascow)
R/ menentukan tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan
bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan
SSP.
3) Pantau tekanan darah, catat adanya hipertensi sistolik secara terus-menerus;
observasi terhadap hipertensi pada pasien yang mengalami trauma multiple.
R/ peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti oleh penurunan tekanan
darah diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya
peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan tingkat kesadaran. Hipovolemia/
hipertensi (yang berhubungan dengan trauma multiple) dapat juga
mengakibatkan kerusakan/ iskemia serebral.
4) Pantau pemasukan dan pengeluaran. Ukur berat badan sesuai indikasi. Catat
turgor kulit dan keadaan membran mukosa.
R/ bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi
dengan perfusi jaringan. Iskemia/ trauma serebral dapat mengakibatkan
diabetes insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan pada masalah hipotermia
atau pelebaran pembuluh darah yang pada akhirnya akan berpengaruh negatif
terhadap tekanan serebral.
5) Pertahankan kepala/ leher pada posisi tengah atau pada posisi netral, sokong
dengan gulungan handuk kecil atau bantal kecil. Hindari pemakaian bantal
besar pada kepala.
R/ kepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena jugularis dan
menghambat aliran darah vena, yang selanjutnya akan meningkatkan TIK.
6) Observasi adanya aktivitas kejang dan lindungi pasien dari cedera.
R/ kejang dapat terjadi sebagai akibat dari iritasi serebral, hipoksia, atau
peningkatan TIK dan kejang dapat meningkatkan TIK lebih lanjut yang
meningkatkan kerusakan serebral.
7) Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.
R/ pembatasan cairan mungkin diperlukan untuk menurunkan edema serebral;
meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler, TD dan TIK.
8) Pantau GDA
R/ menentukan kecukupan pernafasan (kemunculan dari hipoksia/ asidosis)
dan mengindikasikan kebutuhan akan terapi.
9) Berikan obat sesuai indikasi:
Diuretic, contohnya manitol; furosemid (lasix)
R/ digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak,
menurunkan edema otak dan TIK.
Steroid, contohnya deksametason; metil-prednisolon
R/ menurunkan inflamasi yang selanjutnya menurunkan edema jaringan.
Antikonvulsan, contohnya fenitoin (dilantin)
R/ untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktivitas kejang.
i. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
perubahan kemampuan untuk mencerna nutrient (penurunan tingkat kesadaran);
kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan; status
hipermetabolik.
Tujuan: Mencegah adanya gangguan perubahan nutrisi.
Intervensi:
1) Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi
sekresi.
R/ faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien
harus terlindung dari aspirasi.
2) Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/ hilangnya atau suara yang
hiperaktif.
R/ fungsi saluran pencernaan biasanya tetap baik pada kasus cedera kepala,
jadi bising usus membantu dalam menentukan respons untuk makan atau
berkembangnya komplikasi seperti paralitik usus.
3) Timbang berat badan setiap hari.
R/ mengevaluasi keefektifan/ kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.
4) Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan
teratur.
R/ meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang
diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.
5) Konsultasi dengan ahli gizi.
R/ mengidentifikasi kebutuhan kalori/ nutrisi tergantung usia, berat badan,
ukuran tubuh, keadaan penyakit sekarang (trauma, penyakit jantung/ masalah
metabolisme).
j. Resiko infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif;
respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid).
Tujuan: Mencegah terjadinya infeksi.
Intervensi:
1) Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan
yang baik.
R/ cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
2) Observasi daerah kulit yang mengalami luka, catat karakteristik dan adanya
inflamasi.
R/ deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan
tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
3) Pantau suhu tubuh secara teratur. Catat adanya demam, menggigil, diaphoresis
dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
R/ dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan
evaluasi atau tindakan dengan segera.
4) Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi.
R/ menurunkan pemajanan terhadap “pembawa kuman penyebab infeksi”.
5) Delegasi dalam pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R/ terapi profilaksis dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma
(perlukaan), kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk
menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial.
6) Kolaborasi dengan petugas laboratorium dalam pemeriksaan laboratorium
yaitu WBC.
R/ WBC yang tinggi melampaui batas normal menandakan terjadi infeksi,
sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk merencanakan tindakan
selanjutnya.
4. Implementasi
Pelaksanaan/implementasi merupakan tahap keempat dalam proses keperawatan
dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang
telah direncanakan. Dalam tahap ini perawat harus mengetahui berbagai hal,
diantaranya bahaya fisik dan perlindungan kepada pasien, teknik komunikasi,
kemampuan dalam prosedur tindakan, pemahaman tentang hak-hak pasien tingkat
perkembangan pasien. Dalam tahap pelaksanaan terdapat dua tindakan yaitu tindakan
mandiri dan tindakan kolaborasi. (Aziz Alimul. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar
Manusia, Buku 1 : 111).
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
menilai keberhasilan tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Setelah
dilaksanakan tindakan keperawatan maka hasil yang diharapkan adalah sesuai dengan
rencana tujuan yaitu :
a. Perubahan perfusi jaringan serebral teratasi.
b. Nyeri akut berhubungan terkontrol atau berkurang.
c. Perubahan persepsi sensori teratasi.
d. Perubahan proses pikir teratasi.
e. Kerusakan mobilitas fisik teratasi
f. Ansietas teratasi
g. Kurang pengetahuan teratasi
h. Resiko tinggi pola napas tidak efektif teratasi.
i. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi.
j. Resiko infeksi tidak terjadi
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3. Jakarta : EGC
EGC.
Wilkinson, J.M. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Dengan Intervensi NIC dan
Mansjoer, Arif. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarata : Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran UI
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem