You are on page 1of 20

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 FISIOLOGI CAIRAN AMNION

Amnion manusia pertama kali dapat diidentifikasi pada sekitar hari ke-7 atau

ke-8 perkembangan mudigah. Pada awalnya sebuah vesikel kecil yaitu amnion,

berkembang menjadi sebuah kantung kecil yang menutupi permukaan dorsal

mudigah. Karena semakin membesar, amnion secara bertahap menekan mudigah

yang sedang tumbuh, yang mengalami prolaps ke dalam rongga amnion.

Gambar 1. Kantung amnion pada hari ke-10 ditampakkan pada gambar sebelah kiri
dan di sebelah kanan merupakan kantung amnion pada hari ke-12 yang
selanjutnya akan tumbuh menekan mudigah dikutip dari Cunningham

Cairan amnion pada keadaan normal berwarna putih agak keruh karena

adanya campuran partikel solid yang terkandung di dalamnya yang berasal dari

lanugo, sel epitel, dan material sebasea. Volume cairan amnion pada keadaan aterm

adalah sekitar 800 ml, atau antara 400 ml -1500 ml dalam keadaan normal. Pada

kehamilan 10 minggu rata-rata volume adalah 30 ml, dan kehamilan 20 minggu 300

1
ml, 30 minggu 600 ml. Pada kehamilan 30 minggu, cairan amnion lebih

mendominasi dibandingkan dengan janin sendiri.

Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu, dan keduanya memiliki

peran tersendiri pada setiap usia kehamilan. Pada kehamilan awal, cairan amnion

sebagian besar diproduksi oleh sekresi epitel selaput amnion. Dengan bertambahnya

usia kehamilan, produksi cairan amnion didominasi oleh kulit janin dengan cara

difusi membran. Pada kehamilan 20 minggu, saat kulit janin mulai kehilangan

permeabilitas, ginjal janin mengambil alih peran tersebut dalam memproduksi cairan

amnion. Pada kehamilan aterm, sekitar 500 ml per hari cairan amnion di sekresikan

dari urin janin dan 200 ml berasal dari cairan trakea. Pada penelitian dengan

menggunakan radioisotop, terjadi pertukaran sekitar 500 ml per jam antara plasma

ibu dan cairan amnion.

Pada kondisi dimana terdapat gangguan pada ginjal janin, seperti agenesis

ginjal, akan menyebabkan oligohidramnion dan jika terdapat gangguan menelan

pada janin, seperti atresia esophagus, atau anensefali, akan menyebabkan

polihidramnion.

Fungsi Cairan Amnion

Cairan amnion merupakan komponen penting bagi pertumbuhan dan

perkembangan janin selama kehamilan. Pada awal embryogenesis, amnion

merupakan perpanjangan dari matriks ekstraseluler dan di sana terjadi difusi dua

arah antara janin dan cairan amnion. Pada usia kehamilan 8 minggu, terbentuk uretra

dan ginjal janin mulai memproduksi urin. Selanjutnya janin mulai bisa menelan.

Eksresi dari urin, sistem pernafasan, sistem digestivus, tali pusat dan permukaan

plasenta menjadi sumber dari cairan amnion. Telah diketahui bahwa cairan amnion

berfungsi sebagai kantong pelindung di sekitar janin yang memberikan ruang bagi

2
janin untuk bergerak, tumbuh meratakan tekanan uterus pada partus, dan mencegah

trauma mekanik dan trauma termal.

Cairan amnion juga berperan dalam sistem imun bawaan karena memiliki

peptid antimikrobial terhadap beberapa jenis bakteri dan fungi patogen tertentu.

Cairan amnion adalah 98% air dan elektrolit, protein , peptide, hormon, karbohidrat,

dan lipid. Pada beberapa penelitian, komponen-komponen cairan amnion ditemukan

memiliki fungsi sebagai biomarker potensial bagi abnormalitas-abnormalitas dalam

kehamilan. Beberapa tahun belakangan, sejumlah protein dan peptide pada cairan

amnion diketahui sebagai faktor pertumbuhan atau sitokin, dimana kadarnya akan

berubah-ubah sesuai dengan usia kehamilan. Cairan amnion juga diduga memiliki

potensi dalam pengembangan medikasi stem cell.

Volume Cairan Amnion

Volume cairan amnion pada setiap minggu usia kehamilan bervariasi, secara

umum volume bertambah 10 ml per minggu pada minggu ke-8 usia kehamilan dan

meningkat menjadi 60 ml per minggu pada usia kehamilan 21 minggu, yang

kemudian akan menurun secara bertahap sampai volume yang tetap setelah usia

kehamilan 33 minggu. Normal volume cairan amnion bertambah dari 50 ml pada

saat usia kehamilan 12 minggu sampai 400 ml pada pertengahan gestasi dan 1000 –

1500 ml pada saat aterm. Pada kehamilan postterm jumlah cairan amnion hanya 100

sampai 200 ml atau kurang.

Brace dan Wolf menganalisa semua pengukuran yang dipublikasikan pada 12

penelitian dengan 705 pengukuran cairan amnion secara individual. Variasi terbesar

terdapat pada usia kehamilan 32-33 minggu. Pada saat ini, batas normalnya adalah

400 – 2100 ml1,2,3,4.

3
Gambar 2. Grafik yang menunjukkan perubahan volume cairan amnion sesuai
dengan penambahan usia gestasi
dikutip dari Gilbert

Pengukuran Cairan Amnion

Terdapat 3 cara yang sering dipakai untuk mengetahui jumlah cairan amnion,

dengan teknik single pocket ,dengan memakai Indeks Cairan Amnion (ICA), dan

secara subjektif pemeriksa.

Pemeriksaan dengan metode single pocket pertama kali diperkenalkan oleh

Manning dan Platt pada tahun 1981 sebagai bagian dari pemeriksaan biofisik,

dimana 2 cm dianggap sebagai batas minimal dan 8 cm dianggap sebagai

polihidramnion.

Metode single pocket telah dibandingkan dengan AFI menggunakan

amniosintesis sebagai gold standar. Tiga penelitian telah menunjukkan bahwa

metode pengukuran cairan ketuban dengan teknik Indeks Cairan Amnion (ICA)

memiliki korelasi yang lemah dengan volume amnion sebenarnya (R2 dari 0.55, 0.30

dan 0.24) dan dua dari tiga penelitian ini menunjukkan bahwa teknik single pocket

memiliki kemampuan yang lebih baik.

4
Kelebihan cairan amnion seperti polihidramnion, tidak mempengaruhi fetus

secara langsung, namun dapat mengakibatkan kelahiran prematur. Secara garis besar,

kekurangan cairan amnion dapat berefek negatif terhadap perkembangan paru-paru

dan tungkai janin, dimana keduanya memerlukan cairan amnion untuk berkembang.

Gambar 3. Pengukuran cairan amnion berdasarkan empat kuadran

Distribusi Cairan Amnion

 Urin Janin

Sumber utama cairan amnion adalah urin janin. Ginjal janin mulai memproduksi urin

sebelum akhir trimester pertama, dan terus berproduksi sampai kehamilan aterm.

Wladimirof dan Campbell mengukur volume produksi urin janin secara 3 dimensi

setiap 15 menit sekali, dan melaporkan bahwa produksi urin janin adalah sekitar 230

ml / hari sampai usia kehamilan 36 minggu, yang akan meningkat sampai 655

ml/hari pada kehamilan aterm.

Rabinowitz dan kawan-kawan, dengan menggunakan teknik yang sama dengan

yang dilakukan Wladimirof dan Campbell, namun dengan cara setiap 2 sampai 5

menit, dan menemukan volume produksi urin janin sebesar 1224 ml/hari. Pada tabel

5
menunjukkan rata-rata volume produksi urin per hari yang didapatkan dari beberapa

penelitian. Jadi, produksi urin janin rata-rata adalah sekitar 1000-1200 ml/ hari pada

kehamilan aterm.

 Cairan Paru

Cairan paru janin memiliki peran yang penting dalam pembentukan cairan amnion.

Pada penelitian dengan menggunakan domba, didapatkan bahwa paru-paru janin

memproduksi cairan sampai sekitar 400 ml/hari, dimana 50% dari produksi tersebut

ditelan kembali dan 50% lagi dikeluarkan melalui mulut. Meskipun pengukuran

secara langsung ke manusia tidak pernah dilakukan, namun data ini memiliki nilai

yang representratif bagi manusia. Pada kehamilan normal, janin bernafas dengan

gerakan inspirasi dan ekspirasi, atau gerakan masuk dan keluar melalui trakea, paru-

paru dan mulut. Jadi jelas bahwa paru-paru janin juga berperan dalam pembentukan

cairan amnion.

 Gerakan menelan

Pada manusia, janin menelan pada awal usia kehamilan. Pada janin domba,

proses menelan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya usia kehamilan.

Sherman dan teman-teman melaporkan bahwa janin domba menelan secara bertahap

dengan volume sekitar 100-300 ml/kg/hari.

Banyak teknik berbeda yang dicoba untuk mengukur rata-rata volume cairan

amnion yang ditelan dengan menggunakan hewan, namun pada manusia,

pengukuran yang tepat sangat sulit untuk dilakukan. Pritchard meneliti proses

menelan pada janin dengan menginjeksi kromium aktif pada kompartemen amniotik,

dan menemukan rata-rata menelan janin adalah 72 sampai 262 ml/kg/hari.

Abramovich menginjeksi emas koloidal pada kompartemen amniotik dan

menemukan bahwa volume menelan janin meningkat seiring dengan bertambahnya

6
usia kehamilan. Penelitian seperti ini tidak dapat lagi dilakukan pada masa sekarang

ini karena faktor etik, namun dari penelitian di atas jelas bahwa kemampuan janin

menelan tidak menghilangkan seluruh volume cairan amnion dari produksi urin dan

paru-paru janin, karena itu, harus ada mekanisme serupa dalam mengurangi volume

cairan amnion.

Gambar 4. Distribusi cairan amnion pada kehamilan

Dikutip dari Gilbert

 Absorpsi Intramembran

Satu penghalang utama dalam memahami regulasi cairan amnion adalah

ketidaksesuaian antara produksi cairan amnion oleh ginjal dan paru janin, dengan

konsumsinya oleh proses menelan. Jika dihitung selisih antara produksi dan

konsumsi cairan amnion, didapatkan selisih sekitar 500-750 ml/hari, yang tentu saja

ini akan menyebabkan polihidramnion. Namun setelah dilakukan beberapa

penelitian, akhirnya terjawab, bahwa sekitar 200-500 ml cairan amnion diabsorpsi

melalui intramembran. Gambar menunjukkan distribusi cairan amnion pada fetus.

Dengan ditemukan adanya absorbsi intramembran ini, tampak jelas bahwa terdapat

7
keseimbangan yang nyata antara produksi dan konsumsi cairan amnion pada

kehamilan normal.

2.2 AMNIOSINTESIS

2.2.1 Pengertian Amniosintesis

Amniosintesis adalah pemeriksaan yang biasa digunakan untuk uji

abnormalitas kromosom, penyakit genetik dan infeksi pada fetus. Waktu pelaksanaan

amniosintesis ini adalah usia kehamilan 15-18 minggu. Di US biasa dilakukan

amniosintesis dini, yaitu pada usia kehamilan 10-14 minggu. Namun, karena

potensial tinggi untuk menjadi PROM (Prematur Ruptur Of Membran), infeksi dan

pendarahan, sehingga amniosintesis jarang dilakukan pada usia ini. Amniosintesis

yang dilakukan pada trimester II tidak menunjukkan resiko yang signifikan terhadap

terjadinya ELBW (Extremely Low Birth Weight, Less Than 1000 gr) maupun

VLBW ( Very Low Birth Weight, Less Than 1500 gr).

Secara teknis, pelaksanaan amniosintesis ini adalah dengan cara memasukkan

jarum menembus perut ibu, kemudian diambil 20 ml amnion. Selanjutnya dari

amnion tersebut dilakukan pemeriksaan sesuai dengan tujuannya. (Bayu Irianti,

2014: 231-232)

Amniosintesis Dini ( Trimester Pertama)

Amniosintesis disebut dini jika dilakukan antara 11 dan 14 minggu.

Tekniknya sama dengan teknik amniosentesis tradisional, meskipun tidak

adanya fusi membran ke dinding uterus menyebabkan fungsi kantong amnion

menjadi lebih sulit, lebih sedikit cairan yang didapat dikeluarkan (biasanya 1ml

untuk setiap minggu gestasi). Karena sebab-sebab yang belum sepenuhnya dipahami,

8
amniosintesis dini menimbulkan angka kematian janin dalam angka penyulit yang

secara bermakna lebih tinggi dari amniosintesis biasa. Pada sebuah uji coba acak

multisentra baru-baru ini, angka abortus spontan setelah amniosintesis dini adalah

2,5 persen dibandingkan dengan 0,7 persen pada amniosintesis trimester kedua.

Komplikasi lainnya adalah clubfoot (tapiles) janin, yang terjadi pada 1 hingga 1,4

persen setelah amniosintesis tradisional. Oleh karena itu, banyak sentra tidak lagi

menawarkan amniosintesis sebelum 15 minggu. (Kenneth J Leven 2013 Hal: 96)

Amniosintesis Trimester Kedua

Amnionsintesis adalah metode yang aman dan akurat untuk diagnosis

pranatal dan biasanya dilakukan antara 15 hingga 20 minggu gestasi. Ultrasound

digunakan sebagai penuntun untuk memasukan jarum spinal ukuran 20 atau 22

kedalam kantong amnion, sembari menghindari plasenta, tal pusat dan janin. Aspirat

awal 1 sampai 2 ml cairan dibuang untuk mengurangi kemungkinan pencemaran

oleh sel-sel ibu, kemudian diambil sekitar 20 ml cairan untuk analisis, dan jarum

dikeluarkan. Tempat pungsi diamati apakah ada perdarahan, dan pasien diperlihakan

denyut jantung janinnya. Angka kematian janin setelah amniosintesis adalah 0,5

persen atau kurang (1 dari 200). Komplikasi minor jarang terjadi dan mecakup

kebocoran air ketuban dan bercak perdarahan pervaginam yang sifatnya sementara

pada 1 hingga 2 prsen dan korioaminionitis pada kurang dari per 1000 wanita

diperiksa. Cedera akibat jarum pada janin jarang terjadi. (Kenneth J Leven, 2013

Hal: 96)

2.2.2 Tujuan Dilakukannya Amniosentesis

Tujuan dilakukannya amniosentesis yaitu:

9
1. Menetukan maturitas janin yaitu dengan memeriksa bilirubin, kreatinin, sel yang

tercat lipid dan analisis surfaktan.

a. Pada kehamilan lebih dari 37 minggu, bilirubin dalam air ketuban sudah lenyap

kecuali terdapat penyakit hemolitik.

b. Konsentrasi kreatinin lebih dari atau sama dengan 1,8 mg/dl.

c. Jumlah sel-sel yang tercat lipid (berwarna orange pada pengecatan nile blue sulfate)

lebih dari atau sama dengan 15%.

2. Monitoring penyakit hemolitik.

3. Determinasi seks.

4. Diagnosis kelainan genetik. (Yeni kusmiyati, 2009:43)

2.2.3 Pemeriksaan Amniosintesis

Adapun pemeriksaan tersebut menurut Henderson (2004) adalah sebagai

berikut:

d. Dilakukan kultur sel yang ada di dalam amnion, kemudian diobservasi

pertumbuhannya (biasanya selama 2-3 minggu), selanjutnya dilakukan penilaian

terhadap sel tersebut. Jika sel tidak dapat tumbuh, maka amniosintesis ini gagal.

Tingkat keberhasilan dari kultur sel ini adalah 1:500. Tingginya resiko kegagalan ini,

maka sebelum dilakukan amniosintesis sangat perlu dilakukan Informed Consent

yang telah didahului dengan penjelasan yang jelas.

e. Diagnosis neural tube deffect, namun penggunaan amniosintesis untuk diagnosis ini

sudah banyak ditinggalkan, karena ada metode deteksi lain yang minim intervensi,

yaitu melalui USG.

f. Menilai maturasi paru dengan menilai ratio lestin: spingomielin.

10
g. Tindakan amniosintesis untuk pemeriksaan DNA dapat memberikan hasil yang

cepat.

h. Dalam Fanzylbera (2010), amniosintesis dikombinasikan dengan Chorionic Villus

Sampling (CVS) dapat digunakan sebagai metode diagnosis Down Syndrome dan

kelainan genetik lainnya. CVS adalah pengamblan sampel sel janin yang berasal dari

vili korionik. Keakuratan kombinasi kedua pemeriksaan ini untuk mendiagnosa

Down Syndrome lebih dari 99%. Mekanisme pemeriksaannya adalah sel yang

diperoleh dari kedua metode tersebut dilakukan pemeriksaan mikroskopis terhadap

ukuran kromosom dan model ikatannya. Terdapatnya extra copy dari kromosom 21

pada kariotip dapat digunakan sebagai penanda terjadinya Down Syndrome

(kelainan genetik yang paling sering terjadi) (Bayu Irianti, 2014, Hal; 232-233)

2.2.4 Hasil Tes Amniosentesis

Setelah proses amniosentesis sudah selesai dilakukan, sampel cairan ketuban

yang diambil selama prosedur amniosentesis akan diuji di laboratorium. Kebanyakan

hasil tes amniosentesis akan negatife dan dapat disimpulkan bahwa janin atau bayi

dalam kandungan tersebut tidak memiliki kelainan dan gangguan kesehatan.

Sebaliknya, apabila ditemukan bahwa tes amniosentesis menghasilkan nilai positif,

itu berarti janin atau bayi mungkin memiliki kelainan dan gangguan ksehatan

sehingga harus mendapat penanganan lebih serius. (Summase, 2014)

2.2.5 Resiko Amniosentesis

1. Keguguran

Ada kemungkinan kecil risiko keguguran di setiap kehamilan, baik dengan

menjalani amniosentesis/CVS atau tidak. Amniosentesis meningkatkan sedikit risiko

11
keguguran, terutama jika dilakukan sebelum usia kehamilan 15 minggu. Untuk

menurunkan risiko ini, amniosentesis dilakukan oleh dokter yang berkompetensi dan

berpengalaman.

Tidak bisa dipastikan mengapa bisa terdapat sedikit kemungkinan amniosentesis

mengarahkan kepada keguguran. Bisa jadi disebabkan oleh infeksi, perdarahan, atau

kerusakan membrana amniotik yang disebabkan oleh prosedur.

Jika keguguran memang terjadi, biasanya terjadi dalam 72 jam pasca

amniosentesis. Namun, keguguran masih bisa terjadi hingga dua minggu

sesudahnya. Keguguran yang terkait prosedur jarang terjadi setelah 3 minggu pasca

amniosentesis.

2. Infeksi

Infeksi bisa, jarang, terjadi setelah amniosentesis. Sekitar 1 dari 1.000 ibu hamil

yang menjalani amniosentesis mengalami infeksi serius di dalam cairan amniotik.

Infeksi bisa disebabkan oleh beberapa hal, semisal:

a. Perlukaan pada usus dengan jarum yang digunakan pada prosedur, sehingga kuman

yang biasanya ada di usus masuk ke cairan amniotik.

b. Kuman yang ada di kulit (perut) ikut masuk bersama jarum ke dalam rongga perut

atau rahim.

c. Kuman yang ada di alat USG atau jeli USG, ikut masuk ke dalam rongga perut.

Gejala bisa termasuk demam, nyeri pada perut, konstraksi rahim. Namun, infeksi

biasanya tidak terjadi jika prosedur untuk mencegah infeksi dilakukan dengan benar.

3. Cedera pada janin

Terdapat juga risiko cedera pada janin dengan jarum yang digunakan melakukan

amniosentesis. Namun, dengan panduan USG tak terputus selama amniosentesis

telah menurunkan kemungkinan komplikasi ini dan saat ini sangat jarang. Cedera

12
pada plasenta juga dimungkinkan, namun ini umumnya tidak menyebabkan masalah

apapun dan sembuh dengan sendirinya.

4. Berkembangnya penyakit rhesus pada bayi

Jika golongan darah ibu adalah rhesus negatif, dan golongan darah bayi rhesus

positif, maka ada risiko kemungkinan ibu akan membentu antibodi terhadap sel-sel

darah bayi setelah prosedur amniosentesis. Ini berarti ada kemungkinan bayi akan

mengalami penyakit rhesus. Sehingga, jika Anda memiliki rhesus negatif, maka

Anda akan disarankan disuntik dengan immunoglobulin anti-D setelah amniosentesis

guna mencegah hal ini. (I Putu Cahya Legawa 2015)

2.3 AMNIOINFUSI

2.3.1 Definisi Amnioinfusi


Amnioinfusi merupakan suatu prosedur melakukan infusi larutan NaCl

fisiologis atau Ringer laktat ke dalam kavum uteri untuk menambah volume cairan

amnion. Tindakan ini dilakukan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat

berkurangnya volume cairan amnion, seperti deselearasi variabel berat dan sindroma

aspirasi mekonium dalam persalinan. Tindakan amnioinfusi cukup efektif, aman,

mudah dikerjakan, dan biayanya murah.

Ruptur membran dini menempatkan bayi pada resiko kompresi tali pusat dan

amnionitis. Amnioinfusi bertujuan untuk mencegah atau mengurangi kompresi tali

pusat dengan menambahkan cairan ke dalam kavum uteri. Terlalu sedikit penelitian

yang menunjukkan bahwa amnioinfusi bermanfaat untuk bayi, yang kehamilannya

mengalami ruptur membran dini. Membran yang mengelilingi bayi dan cairan dalam

uterus biasanya ruptur selama persalinan. Jika terjadi ruptur membran dini (sebelum

usia kehamilan 37 minggu) bayi mempunyai resiko tinggi untuk mengalami infeksi.

Kemungkinan terjadinya kompresi tali pusat juga lebih tinggi, yang dapat

13
mengurangi aliran nutrisi dan oksigen dari ibu ke bayi. Cairan tambahan dapat

dimasukkan melalui serviks ibu atau perut ibu ke dalam uterus, inilah yang disebut

amnioinfusi, yang menyebabkan cairan yang mengelilingi bayi bertambah.

Indeks cairan ketuban perlu diketahui untuk memprediksi keberhasilan

tindakan amnioinfusi dalam mengatasi fetal distress selama persalinan. Rata-rata

Indeks Cairan Ketuban sebelum amnioinfusi adalah 6,2 ± 3,3 cm. Angka

keberhasilannya dapat mencapai 76%.

2.3.2 Indikasi Amnioinfusi

1. Deselerasi variabel

Deselerasi variabel merupakan perubahan periodik denyut jantung janin yang

paling sering dijumpai selama persalinan. Perubahan denyut jantung janin tersebut

terjadi sebagai respons terhadap berkurangnya aliran darah di dalam tali pusat.

Deselerasi variabel merupakan refleks vagal yang disebabkam oleh kompresi tali

pusat yang terjadi akibat lilitan tali pusat di leher janin, terjepitnya tali pusat oleh

bagian ekstremitas janin, atau tali pusat yang terjepit di antara badan janin dan

dinding uterus. Gambaran spesifik dari deselerasi variabel berupa penurunan denyut

jantung janin, akibat kontraksi, yang gambarannya bervariasi dalam hal bentuk

maupun hubungan saat terjadinya deselerasi dengan kontraksi uterus.

Berdasarkan besar dan lamanya penurunan denyut jantung janin, yang terjadi,

maka deselerasi variabel dibedakan atas 3 jenis, yaitu :

1. Deselerasi variabel derajat ringan, bila penurunan denyut jantung janin, mencapai 80

dpm., dan lamanya kurang dari 30 detik.

2. Deselerasi variabel derajat sedang, bila penurunan denyut jantung janin, mencapai

70-80 dpm., dan lamanya antara 30-60 detik.

14
3. Deselerasi variabel derajat berat, bila penurunan denyut jantung janin, sampai di

bawah 70 dpm., dan lamanya lebih dari 60 detik.

Gambaran frekuensi denyut jantung janin, basal dan ada-tidaknya akselerasi

harus diperhatikan dalam penanganan deselerasi variabel. Bila frekuensi dan

variabilitas denyut jantung janin tetap baik dan stabil, atau hanya berubah sedikit,

maka penanganan dilakukan secara konservartip, misalnya dengan merubah posisi

ibu dan pemberian oksigen untuk menghilangkan kompresi pada tali pusat dan

memperbaiki oksigenasi janin. Bila tindakan tersebut tidak menghilangkan deselerasi

variabel, maka perlu dilakukan amnioinfusi untuk mengurangi tindakan operatif.

Pada keadaan deselerasi variabel yang berat dan menetap, keadaan janin akan

semakin memburuk. Bila keadaan ini tidak dapat dikoreksi, maka tindakan

pengakhiran persalinan harus segera dilakukan.

2. Mekonium yang kental dalam cairan amnion

Sindrom aspirasi mekonium (juga disebut sebagai aspirasi mekonium) terjadi

ketika bayi yang baru lahir menghirup campuran cairan mekonium dan ketuban

selama persalinan. Mekonium adalah bahan yang mengisi saluran usus janin selama

kehamilan dan terbentuk dari cairan ketuban tertelan dan sel usus mati. Meskipun

steril, terhirup mekonium sangat mengiritasi paru-paru bila bayi bernapas pertama

kali. Hal ini dapat menyebabkan penyumbatan parsial atau lengkap dari saluran

napas bayi saat menghembuskan napas, sehingga sulit untuk bernapas.

Aspirasi mekonium umumnya terjadi intrauterin, meskipuin mungkin juga

terjadi pada waktu bayi dilahirkan dan bernafas pertama kali. Pada keadaan

oligohidramnion dan kompresi tali pusat, aspirasi mekonium terjadi akibat hipoksia

15
dan hiperkapnia pada janin. Keadaan ini akan merangsang janin melakukan gerakan

nafas (gasping).

Resiko aspirasi mekonium cukup tinggi pada janin dengan mekonium yang

kental, terutama bila janin mengalami hipoksia. Mekonium yang encer tidak

menyebabkan terjadinya sindroma aspirasi mekonium dan tidak menambah

mortalitas perinatal. Upaya untuk mengencerkan mekonium yang kental akan

mengurangi kejadian sindroma aspirasi mekonium

Mekonium yang kental biasanya terjadi pada keadaan oligohidramnion, oleh

karena mekonium tidak diencerkan oleh cairan amnion. Secara teoritis, amnioinfusi

akan menambah volume cairan amnion yang sedikit, melindungi tali pusay dari

kompresi, dan mengencerkan serta mengeluarkan mekonium yang terhisap oleh janin

mengalami hipoksia atau asfiksia.

2.3.3 Tehnik Amnioinfusi

Amnioinfusi dapat dilakukan dengan cara transbdominal atau transervikal

(transvaginal). Pada cara transabdominal, amnioinfusi dilakukan dengan bimbingan

ultrasonografi (USG). Amnioinfusi transervikal lebih dipilih untuk wanita yang

sedang dalam persalinan karena tidak memerlukan panduan ultrasound dan kateter

yang digunakan bisa dipakai ulang.

Cairan NaCl fisiologis atau Ringer laktat dimasukkan melalui jarum spinal

yang ditusukkan ke dalam kantung amnion yang terlihat dengan ultrasonografi. Pada

cara transservikal, cairan dimasukkan melalui kateter yang dipasang ke dalam kavum

uteri melalui serviks uteri. Lebih dipilih ringer laktat daripada NaCl 0,9 % karena

NaCl 0,9 % kemungkinan bisa menyebabkan perubahan komsentrasi elektrolit fetus.

16
Walau bagaimanapun, untuk mendapatkan konsentrasi elektrolit dalam batas normal

dapat dipilih NaCl 0,9 % sebagai alternatif.

Selama tindakan amnioinfusi, denyut jantung janin dimonitor terus dengan

alat kardiotokografi (KTG) untuk melihat perubahan pada denyut jantung janin.

Mula-mula dimasukkan 250 ml bolus cairan NaCI atau Ringer laktat selama

20-30 menit. Kemudian dilanjutkan dengan infus 10-20 ml/jam sebanyak 600 ml.

Jumlah tetesan infusi disesuaikan dengan perubahan pada gambaran KTG. Apabila

deselerasi variabel menghilang, infusi dilanjutkan sampai 250 ml, kemudian

tindakan dihentikan, kecuali bila deselerasi variabel timbul kembali. Jumlah

maksimal cairan yang dimasukkan adalah 800-1000 ml. Apabila setelah 800-1000

ml cairan yang dimasukkan tidak menghilangkan deselerasi variabel, maka tindakan

dianggap gagal.

Banyak protokol yang berbeda-beda dari berbagai institusi dan tidak ada

protokol yang telah terbukti menjadi protokol terbaik. Suatu survei dari bagian

Obstetri mengungkapkan bahwa mereka menggunakan metoda berikut : (1) bolus

cairan ( 50 - 1000 mL) yang diikuti oleh pemasukan cairan secara konstan, (2) bolus

serial ( 200 - 1000 mL diatur tiap 20 menit sampai empat jam), dan (3) pemasukan

cairan secara konstan ( 15 - 2250 mL/hour). Suatu percobaan menemukan bahwa

pemasukan cairan secara terus menerus dan bertahap sama efektifnya.

Selama amnioinfusi dilakukan monitoring denyut jantung janin, dan tonus

uterus. Bila tonus meningkat, infusi dihentikan sementara sampai tonus kembali

normal dalam waktu 5 menit. Bila tonus uterus terus meningkat sampai 15-30

mm/Hg di atas tonus basal, maka tindakan harus dihentikan.

17
2.3.4 Kontraindikasi

Terdapat beberapa kontraindikasi untuk tindakan amnioinfusi, antara lain :

1. Amnionitis

2. Polihidramnion

3. Uterus hipertonik

4. Kehamilan kembar

5. Kelainan kongenital janin

6. Kelainan uterus

7. Gawat janin yang berat

8. Malpresentasi janin

9. pH darah janin <7.20

10. Plasenta previa atau solusi plasenta.

18
BAB II

KESIMPULAN

1. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa amniosentesis dan

amnioinfusi merupakan prosedur kandungan dimana sejumlah cairan ketuban

diaspirasi dari dalam kantong amnion untuk keperluan analisa dan pemberian

infus NaCl/ RL untuk menambah caran amnion .

2. Tujuan dilakukannya amniosentesis yaitu Menetukan maturitas janin yaitu

dengan memeriksa bilirubin, kreatinin, sel yang tercat lipid dan analisis

surfaktan., Monitoring penyakit hemolitik, Determinasi seks dan Diagnosis

kelainan genetik. Sedangkan tujuan dilakukan amnioinfusi adalah mengatasi

masalah yang timbul akibat berkurangnya volume cairan amnion, seperti

deselearasi variabel berat dan sindroma aspirasi mekonium dalam persalinan.

3. Resiko amniosentesis termasuk trauma terhadap janin, plasenta,

infeksi,keguguran atau kelahiran premature. Meskipun resikonya relative kecil,

masih terdapat resiko yang berkaitan dengan prosedur tindakan. Kematian janin

akibat komplikasi diperkirakan sekitar 0,3 sampai 3%.

19
DAFTAR PUSTAKA

Irianti, Bayu, Dkk. 2014. Asuhan Kehamilan Berbasis Bukti. Jakarta: CV Sagung
Seto.
Kusmiyanti, Yuni, dkk. 2009. Perawatan Ibu Hamil. Yogyakarta: Fitra Maya.
Leven, Kenneth J, dkk. 2013. Obstetri William. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
http://dokter.legawa.com/?p=290 (dr. I Putu Cahya Legawa) (diakses pada tgl 16
Februari 2016 pukul 16:25 WIB)
http://www.infosehatkeluarga.com/amniosentesis-diagnosa-kelainan-dan-gangguan-
kesehatan-janin-dalam-kandungan/ ((Summase, S.pd) (Diakses pada tanggal 16
Februari 2016 pukul 16:40 WIB)

20

You might also like