You are on page 1of 25

SMF Bagian Ilmu Anastesi Juni 2018

RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang


Fakultas Kedokteran
Universitas Nusa Cendana

REFERAT

ANALGESIK OPIOID

Christine Dupe, S. Ked


(1408010065)

Pembimbing :
dr. I Made Artawan, M.Biomed, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


SMF / BAGIAN ILMU ANASTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES KUPANG 2018

1
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

Referat ini dengan judul : Obat Opioid Atas Nama : Christine Dupe, S.Ked NIM

1408010065 pada Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Nusa

Cendana telah disajikan dalam kegiatan kepaniteraan klinik bagian Ilmu Anastesi RSUD

Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang pada tanggal…Juni 2018

Mengetahui Pembimbing :

1.dr. I Made Artawan, M.Biomed, Sp.An 1...................................

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat,
perlindungan, dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Obat
Opioiddi kepaniteraan klinik bagian ilmu Anastesi RSUD Prof. W. Z. Johannes / Fakultas
Kedokteran Universitas Nusa Cendana. Penulisan referat ini tidak lepas dari bantuan,
dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan
terimakasih kepada :

1. dr. I Made Artawan, M.Biomed, Sp.An, selaku pembimbing saya pada SMF bagian
Ilmu Anastesi RSUD Prof. W. Z. Johannes.

2. Seluruh staf Instalasi Kedokteran bagian Ilmu Anastesi RSUD Prof. W. Z. Johannes –
Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana.

Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini jauh dari sempurna maka penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga referat ini memberi manfaat bagi
banyak orang.

Kupang, Juni 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

Halaman Judul ..........................................................................................................i

Halaman Pengesahan ..............................................................................................ii

Kata Pengantar .......................................................................................................iii

Daftar Isi ................................................................................................................iv

Bab I Pendahuluan ..................................................................................................1

Bab II Pembahasan ..................................................................................................2

2.1Nyeri.................................................................................................................2
2.2Analgetika opioid..............................................................................................3
2.3 Mekanisme kerja obat analgetika opioid.........................................................6
2.4 Penggolongan obat analgetika opioid..............................................................9
2.5Toksisitas dan efek yang tidak di inginkan dari analgetika opioid.................15
2.6 Penggunaan klinis analgetika opioid.............................................................18

Bab III Kesimpulan ...............................................................................................20

Daftar Pustaka .......................................................................................................21

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Farmakologi berasal dari kata (Yunani) pharmakon : obat Logia : studi/ilmu. Pada
mulanya farmakologi mencakup berbagai pengetahuan tentang obat yang meliputi: sejarah,
sumber, sifat-sifat fisika dan kimiawi, cara meracik, efek fisiologi dan biokimiawi,
mekanisme kerja, absorpsi, distribusi, biotranformasi dan ekskresi, serta penggunaan obat
untuk terapi dan tujuan lain. Dewasa ini didefinisikan sebagai studi terintegrasi tentang
sifat-sifat kimia dan organisme hidup serta segala aspek interaksi mereka. Atau Ilmu yang
mempelajari interaksi obat dengan organisme hidup. Opioidadalah semua zat baik sintetik
atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai
anlgetika narkotikayang sering dalam anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat
pembedahan dan nyeri pasca pembedahan. Malahan kadang-kadang digunakan untuk
anesthesia narkotik total pada pembedahan jantung.

Baru seratus tahun yang lalu terdapat sedikit obat-obat yang berguna secara
terapeutik, tetapi morphine telah dikenal untuk meredakan rasa sakit yang sangat hebat
dengn efikasi yang tinggi. Kenyataannya sir William osler menyebut morphine sebagai
“God’s own medicine” (obat milik Tuhan), dan sampai saat ini morphine tetaplah sebagai
pembanding standar untuk obat-obat dengan kerja analgesik yang kuat. Istilah “narkotik”,
sering digunakan dalam kaitan kelompok obat ini, hal ini tidaklah tepat karena “narkosis”
berkonotasi pada keadaan stupor atau somnolen. Istilah “analgesik opioid” lebih tepat
karena menyatakan penimbulan analgesi (hilangnya rasa sakit) tanpa menyebabkan tertidur
atau kehilangan kesadaran, meskipun sedasi terlihat pada hampir semua opioid. Opioid
biasanya termasuk semua derivate alkaloid alami dan semisintesis dari opium, sifat
farmakologisnya mirip dengan pengganti sintesisnya, sebgaimana bahan-bahan campuran
lain yang memmpunyai efek menyerupai opium disakat oleh antagonis reseptor opioid
nonselektif yaitu naloxone. Definisi ini meliputi beberapa peptide endogen yang disintesis
oleh sel-sel saraf dan sel-sel medulla adrenal, dan berinteraksi dengan reseptor-reseptor
opioid. Morphine dianggap sebagai protipe agonis opioid(3).

Sumber dari opium, bahan mentahnya, dan morphine yang salah satu unsure
aktifnya adalah apiun/bunga madat, opium (opium poppy), yaitu papaver somniverum.
Unsure-unsur dari tumbuhan ini telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu dan catatan
penggunaannya ditemukan dalam dokumen Mesir kuno, Yunani, dan Romawi. Sertuner,
seorang ahli farmasi Jerman, mengisolasi alkali aktif murni dari opium pada tahun 1803.
Hal ini merupakan peristiwa penting yang memungkinkan untuk mendapatkan sebuah
potensi/kekuatan standar untuk produksi alami. Setelah menguji bahan campurannya pada
dirinya sendiri dan beberapa temannya, sertuner memberikan nama “morphine” untuk
bahan campuran itu berdasar nama dewa mimpi Yunani, Morpheus(3).

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 NYERI
Nyeri adalah sensasi subjektif rasa tidak nyaman yang biasanya berkaitan dengan
kerusakan jaringan actual dan potensial. Nyeri dapat bersifat protektif, yaitu menyebabkan
individu menjauh dari stimulus yang berbahaya, atau tidak melakukan fungsi, seperti pada
kasus nyeri kronis. Nyeri dapat dirasakan apabila reseptor nyeri spesifik terkativasi(1).

Reseptor nyeri disebut noisiseptor, yaitu ujung saraf bebas yang merespon terhadap
berbagai stimulus, termasuk tekanan mekanis, deformasi, suhu yang ekstrem, dan berbagai
zat kimia. Impuls saraf dari reseptor nyeri akan disampaikan ke SSP melalui sel-sel saraf
sensoris. Setelah berada di medulla spinalis, sebagian besar serabut nyeri bersinaps di
neuron pada kornu dorsal dari segmen tempat serabut nyeri masuk. Akan tetapi, sebagian
serabut berjalan keatas atau kebawah beberapa segmen dimedulla spinalis sebelum
bersinaps. Setelah mengaktivasi sel di medulla spinalis,informasi mengenai stimulus nyeri
oleh salah satu dari dua jaras asenden ke otak traktus neospinotalamus atau traktus
paleospinotalamus(1).

Traktus neospinotalamus. Informasi yang dibawa ke spina dalam serabut A δ yang


mencetuskan potensial aksi dengan cepat, disalurkan naik dari medulla spinalis ke otak
melalui serabut traktus neospinotalamus. Sebagian dari serabut tersebut berakhir disistem
aktivasi reticular sehingga mewaspadakan individu terhadap terjadinya nyeri, tetapi
sebagian besar serabut berjalan ketalamus. Dari thalamus, sinyal-sinyal dikirim kekorteks
somatosensorik tempat lokasi nyeri terlokalisasi dengan baik. Stimulasi korteks diperlukan
untuk interpretasi sinyal nyeri secara sadar(1).

Traktus paleospinotalammus. Informasi yang dibawa ke spina dalam serabut C yang


disalurkan secara lambat, dan yang dibawa dalam beberapa serabut A δ, disalurkan naik ke
otak melalui serabut traktus paleospinotalamus. Serabut ini berjalan kedaerah retikuler
batang otak dan kedaeran mesensealon yang disebut area grisea periakueduktus. Serabut
paleospinotalamus yang berjalan melalui area retikuler berlanjut untuk mengaktivasi
hipotalamus dan sistem limbic sehingga mempengaruhi area yang mengontrol emosi ini.
Area grisea periakueduktus adalah pusat integrasi yang penting untuk nyeri. Persepsi nyeri
sangat dimodifikasi pada daerah ini. Nyeri yang dibawa dalam traktus paleospinotalamus
terlokalisasi dengan buruk dan berperan menyebabkan distress emosional yang berkaitan
dengan nyeri(1).

2
2.2 ANALGETIKA OPIOID
Analgetik narkotik, kini juga disebut opioida (mirip opiat) adalah obat-obat yang
daya kerjanya meniru (mimic) opioid endogen dengan memperpanjang aktifasi dari
reseptor-reseptor opioid (biasanya μ-reseptor). Zat-zat ini bekerja terhadap reseptor opioid
khas di SSP, hingga persepsi nyeri dan respon emosional terhadap nyeri berubah
(dikurangi). Daya kerjanya di-antagonir oleh a.l nalokson. Minimal ada 4 jenid reseptor,
yang pengikatan padanyamenimbulkan analgesia. Tubuh dan mensintesa zat-zat opioidanya
sendiri, yakni zat-zat endorphin, yang juga bekerja melalui reseptor-reseptor opioid tersebut
(6)
.

Peptida opoid endogen. Alkaloid opoid menimbulkan analgesia melalui kerjanya


didaerah otak yang mengandung peptida yang memilliki sifat farmakalogi menyerupai
opoid. Istilah umum yang dewasa ini digunakan untuk senyawa endogen tersebut adalah
peptida opoid endogen, menggantikan istilah endorfin yang digunakan sebelumnya. Telah
diidentifikasi 3 jenis peptida opoid: enkefalin, endorfin, dan dinorfin. Peptida opioid yang
didistribusi paling luas dan memiliki aktivitas analgesik, adalah pentapeptida metionin-
enkefalin (met-enkefalin) dan leusin-enkefalin (leu-enkefalin). Salah satu atau kedua
pentapeptida tersebut terdapat di dalam ke 3 protein prekursor utama: prepro-
opiomelanokortin, preproenkefalin (pro-enkefalin A), dan preprodinorfin (proenkefalin B).
Prekursor opoid endogen terdapat pada daerah di otak yang berperan dalam modulasi nyeri,
dan juga ditemukan di medula adrenal dan pleksus saraf di usus. Molekul prekursor opioid
endogen dapat dilepaskan selama stres seperti adanya nyeri atau antisipasi nyeri(2).

Gambar 1. Aksi Opioid endogen dan eksogen terhadap reseptor opioid.

Endorfin (morfin endogen) adalah kelompok polipeptida yang terdapat di SSP dan
dapat menimbulkan efek yang menyerupai efek morfin. Zat-zat ini dapat dibedakan antara

3
β-endorfin, dynorfin, dan enkefalin yang menduduki reseptor-reseptor berlainan. Secara
kimiawi zat-zat ini berkaitan dengan hormon-hormon hipofisis dan berdaya menstimulasi
pelepasan dari kortikotropin (ACTH), juga dari somatotropin dan prolactin. Sebaliknya,
pelepasan LH dan FSH dihambat oleh zat ini. Β-endorfin pada hewan berkhasiat menekan
pernafasan, menurunkan suhu tubuh, dan menimbulkan ketagihan. Lagipula berdaya
analgetik kuat, dalam arti tidak merubah persepsi nyeri, melainkan memperbaiki
penerimaannya. Rangsangan listrik dari bagian-bagian tertentu otak mengakibatkan
peningkatan kadar endorphin dalam SSP. Mungkin hal ini menjelaskan efek analgesia yang
timbul selama elektrostimulasi pada akupunktur atau pada stress, misalnya pada cedera
hebat. Peristiwa efek placebo juga dihubungkan dengan endorphin(6).

Ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu (μ), delta (δ) dan kappa (κ). Ketiga jenis
reseptor termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan dengan protein G, dan memiliki
subtipe: mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1, kappa2, dan kappa3. Karena suatu opioid dapat
berfungsi dengan potensi yang berbeda sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau antagonis
pada lebih dari satu jenis reseptor atau subtipe reseptor maka senyawa yang tergolong
opioid dapat memiliki efek farmnakologi yang beragam(2).

Gambar 2. μ dan κ ligand reseptor opioid.

4
Tabel 1. Kerja Opioid pada Reseptor Opioid.

Reseptor
Obat
mu (μ) delta (δ) kappa (κ)
Peptida opioid
Enkefalin Agonis Agonis
β –endoferin Agonis Agonis
dinorfin Agonis lemah
Agonis
Kodein Agonis lemah Agonis lemah
Mofin Agonis Agonis lemah Agonis lemah
Metadon Agonis
Meperidin Agonis
Fentanil Agonis
Agonis-antagonis
Buprenofrin Agonis parsial
Pentazosin Antagonis/agonis Agonis
parsial
Nalbufin Antagonis Agonis
Antagonis
Nalokson Antagonis Antagonis Antagonis
(Ganiswarna, 2007).

Reseptor μ memperantarai efek analgenik mirip morfin, euforia, depresi napas,


miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor κ diduga memperantai analgesia
seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis dan depresi napas yang tidak sekuat
agonis μ. Selain itu di susunan saraf pusat juga didapatkan reseptor δ yang selektif terhadap
enkefalin dan reseptor ε (epsilon) yang sangat selektif terhadap beta-endorfin tetapi tidak
mempunyai afinitas terhadap enkefalin. Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa
reseptor δ memegang peranan dalam menimbulkan depresi pernapasan yang ditimbulkan
opioid. Dari penelitian pada tikus didapatkan bahwa reseptor δ dihubungkan dengan
berkurangnya frekuensi napas, sedangkan reseptor μ dihubungkan dengan berkurangnya
tidal volume. Reseptor μ ada 2 jenis yaitu reseptor μ1 yang hanya didapatkan di SSP dan
dihubungkan dengan analgesia supraspinal, penglepasan prolaktin, hipotermia dan katalepsi
sedangkan reseptor μ2 dihubungkan dengan penurunan tidal volume dan bradikardia.
Analgesia yang berperan pada tingkat spinal berinteraksi dengan respetor δ dan κ(2).

Undang-Undang Narkotika. Dikebanyakan Negara, beberapa unsur dari kelompok


obat ini, seperti propoksifen, pentazosin, dan tramadol, tidak termasuk dalam Undang-
Undang Narkotika, karena bahaya kebiasaan dan adiksinya ringan sekali. Namun
penggunaannya untuk jangka waktu lama tidak dianjurkan. Sejak tahun 1978 sediaan-
sediaan dengan kandungan propoksifen di atas 135 mg di negri Belanda dimasukkan
Opiunwet (Undang-Undang Opiat)(6).

2.3 MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIKA OPIOID

5
Endorphin bekerja dengan jalan menduduki reseptor-reseptor nyeri di SSP, hingga
perasaan nyeri dapat diblokir. Khasiat analgetik opioida berdasarkan kemampuannya untuk
menduduki sisa-sisa reseptor nyeri yang belum ditempati endorphin. Tetapi bila analgetika
tersebut digunakan terus menerus, pembentukan reseptor-reseptor baru distimulasi dan
produksi endorphin diujung saraf otak dirintangi. Akibatnya terjadilah kebiasaan dan
ketagihan(6).

Gambar 3. Mekanisme kerja analgetika opioid.

Kerusakan jaringan menyebabkan pelepasan zat-zat kimia (misalnya bradikinin,


prostaglandin, edenosin trifosfat (ATP), proton) yang menstimulasi reseptor nyeri (kanan
bawah) dan mengionisasi letupan pada serabut aferen primer yang bersinaps pada lamina I
dan II kornu posterior medula spinalis (dorsal horn of spinal cord). Neuron relay (Ο) dalam
kornu posterior menyampaikan informasi nyeri ke korteks sensoris melalui neuron dalam
talamus. Hanya sedikit yang diketahui tentang substansi transmitor yang digunakan pada
jalur nyeri asendens, tetapi beberapa serabut arefen primer melepaskan peptida (misalnya
substansi P, yaitu peptida yang berhubungan dengan gen kalsitonin) (gambar bawah,
berarsir). Nyeri neuropati (rasa nyeri akibat tertembak, terbakar) disebabkan oleh kerusakan
neuron pada jalur nyeri dan sering tidak merespons terhadap opioid(5).

Aktivitas neuron relay kornu posterior dimodulasi oleh beberapa input inhibisi. Input
ini meliputi interneuron lokal, yang melepaskan peptida opioid (terutama dinorfin), dan
serabut enkefalinergik, noradrenergik, dan serotonergik desendens, yang berasal dari batang
otak (kiri atas) dan diaktivasi sendiri oleh peptida opioid. Jadi, peptida opioid yang
dilepaskan pada batang otak maupun medula spinalis dapat menurunkan aktivitas neuron
relay kornu posterior dan dapat menyebabkan analgesia. Efek peptida opioid diperantarai
oleh reseptor opioid spesifik(5).

6
Analgesik opioid (kanan) adalah obat yang menyerupai peptida opioid endogen dan
menyebabkan aktivasi reseptor opioid yang memanjang (biasanya reseptor μ). Hal tersebut
menyebabkan analgesia, depresi napas, euforia, dan sedasi. Nyeri berperan sebagai suatu
antagonis depresi napas yang bagaimanapun bisa menjadi masalah bila nyeri dihilangkan,
misalnya dengan anestetik lokal. Opioid sering menyebabkan mual dan muntah sehingga
seringkali memerlukan antiemetik. Efek pada pleksus saraf di usus, yang pasti dan biasanya
membutuhkan laksatif. Terapi kontinu dengan analgesik opioid, menyebabkan toleransi dan
ketergantungan pada pcandu. Akan tetapi, pada pasien dengan penyakit terminal,
peningkatan yang tetap pada dosis morfin tidak terjadi secara otomatis. Bilamana hal
tersebut terjadi, lebih mungkin disebabkan oleh peningkatan nyeri secara progresif daripada
akibat toleransi. Demikian juga halnya, pada konteks klinis, ketergantungan tidak penting.
Sayangnya, penggunaan analgesik opioid yang terlalu hati-hati sering menyebabkan kontrol
nyeri yang buruk pada pasien(5).

Analgesik tertentu, seperti kodein dan dihidrokodein, kurang poten dibandingkan


dengan morfin dan tidak dapat diberikan dalam dosis ekuianalgesik karena awitan efek
sampingnya. Sebagai akibat pembatasan dosis, dalam praktiknya, analgesik ini lebih sedikit
kecenderungannya untuk menyebabkan depresi napas dan ketergantungan(5).

Nalokson adalah antagonis spesifik pada reseptor opioid dan memulihkan depresi
napas yang disebabkan oleh obat yag menyerupai morfin. Nalokson juga mempresipitasi
sindrom putus obat (withdrawal syndrome) bila sudah terjadi ketergantungan. Analgesia
elektroakupuntur, analgesia yang diinduksi oleh stimulasi saraf transkutan, serta efek
plasebo kadang-kadang dapat diblok secara parsial oleh nalokson. Hal tersebut
memperlihatkan keterlibatan peptida opioid endogen(5).

Analgesik Opioid kuat

Analgesik ini khususnya digunakan pada terapi nyeri tumpul yang tidak terlokalisasi
dengan baik (viseral). Nyeri somatik dapat ditentukan dengan jelas dan bisa diredakan
dengan analgesik opioid lemah atau dengan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS, Bab 32).
Morfin parenteral banyak digunakan untuk mengobati nyeri hebat dan morfin oral
merupakan obat terpilih pada perawatan terminal(5).

Morfin dan analgesik opioid lainnya menghasilkan suatu kisaran efek sentral yang
meliputi analgesia, euforia, sedasi, depresi napas, depresi pusat vasomotor (meyebabkan
hipotensi postural), miosis akibat stimulasi nukleus saraf III (kecuali petinin yang
mempunyai aktivitas menyerupai atropin yang lemah), mual, serta muntah yang disebabkan
oleh stimulasi chemoreceptor trigger zone. Obat tersebut juga menyebabkan penekanan
batuk, tetapi hal ini tidak berkaitan dengan aktivitas opioidnya. Efek perifer seperti
konstipasi, spasma bilier, dan konstriksi sfingter Oddi bisa terjadi. Morfin bisa
menyebabkan pelepasan histamin dengan vasodilatasi dan rasa gatal. Morfin mengalami
metabolisme dalam hati dengan berkonjugasi dengan asam glukunorat untuk membentuk
morfin-3-glukoronid yang inaktif, dan morfin-6-glukuronid, yaitu analgesik yang lebih
poten daripada morfin itu sendiri, terutama bila diberikan intratekal(5).

7
Toleransi (yaitu penurunan respon) terhadap banyak efek analgesik opioid terjadi
dengan pemakaian kasus kontinu. Toleransi ringan terjadi pada efek miosis dan konstipasi.
Baik ketergantungan fisik maupun psikologis pada analgesik opioid secara bertahap
berkembang dan penghentian pemberian obat secara tiba-tiba mempresipitasi sindrom putus
obat(5).

Diamorfin (heroin, diasetilmorfin) lebih larut dalam lemak daripada morfin sehingga
mempunyai awitan kerja lebih cepat bila diberikan secara suntikan. Kadar puncak yang
lebih tinggi menimbulkan sedasi yang lebih kuat daripada morfin. Dosis kecil diamorfin
epidural semakin banyak digunakan untuk mengendalikan nyeri hebat(5).

Fenazosin merupakan obat yang sangat poten yang digunakan pada nyeri hebat
(Neal, 2002).

Dekstromoramid mempunyai durasi kerja singkat (2-4 jam) dan dapat diberikan
secara oral maupun sublingual sesaat sebelum tindakan yang menyakitkan(5).

Fentanil dapat diberikan secara transdermal pada pasien denga nyeri kronis yang
stabil, terutama bila opioid oral menyebabkan mual dan muntah hebat. Plester yang
digunakan tidak cocok untuk mengobati nyeri akut(5).

Metadon mempunyai durasi kerja panjang dan kurang sedatif dibandingkan morfin.
Metadon digunakan secara oral untuk terapi rumatan pecandu heroin atau morfin. Pada
pecandu, metadon mencegah penggunaan obat intravena(5).

Petidin mempunyai awitan kerja cepat, tetapi durasinya yang singkat (3 jam)
membuatnya tidak cocok untuk pengendalian nyeri jangka panjang. Petidin menimbulkan
penumpukan metabolit toksik (norpetidin) dan menyebabkan konvulsi. Petidin berinteraksi
serius dengan MAOI menyebabkan delirium, hiperpireksia, konvulsi, atau depresi napas(5).

Buprenorfin merupakan agonis parsial reseptor μ. Buprenorfin mempunyai awitan


kerja lambat. Tetapi merupakan analgesik efektif setelah pemberian sublingual. Obat ini
mempunyai durasi kerja lebih panjang (6-8 jam) daripada morfin, tetapi bisa menyebabkan
muntah berkepanjangan. Depresi napas jarang terjadi tetapi bila terjadi sulit untuk
dipulihkan dengan nalokson, karena buprenorfin mengalami diasosiasi sangat lambat dari
reseptor(5).

Analgesik Opioid lemah

Analgesik opioid lemah digunakan pada nyeri ‘ringan sampai sedang’. Analgesik ini
bisa menyebabkan ketergantungan dan cenderung disalahgunakan. Akan tetapi, buprenorfin
kurang menarik untuk pecandu karena tidak memberikan ‘efek’ yang hebat(5).

Kodein (metilmorfin) diabsorpsi baik secara oral, tetapi mempunyai afinitas sangat
rendah terhadap reseptor opioid. Sekitar 10% obat mengalami demetilasi dalam hati
menjadi morfin, yang bertanggung jawab atas efek analgesik kodein. Efek samping
(kostipasi, muntah, sedasi) membatasi dosis ke kadar yang menghasilkan analgesia yang

8
jauh lebih ringan daripada morfin. Kodein juga digunakan sebagai obat antitusif dan
antidiare(5).

Dekstropropoksifen mempunyai kira-kira setengah potensi kodein, tetapi mempuyai


aksi yang serupa pada dosis ekuianalgesik. Obat ini sering diberikan dalam kombinasi tetap
dengan aspirin atau parasetamol (misalnya koproksamol), tetapi hanya sedikit bukti yang
menyatakan bahwa kombinasi tersebut lebih efektif daripada OAINS saja. Kombinasi
dengan parasetamol berbahaya pada overdosis karena dekstropropoksifen menyebabkan
depresi napas, sementara parasetamol bersifat hepatotoksik(5).

2.4 PENGGOLONGAN OBAT ANALGETIKA OPIOID


Klasifikasi obat golongan opioid berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat
golongan opioid dibagi menjadi: 1. Agonis penuh (kuat), 2. Agonis parsial (agonis lemah
sampai sedang), 3. Campuran agonis dan antagonis, dan 4. Antagonis. Opioid golongan
agonis kuat hanya mempunyai efek agonis, sedangkan agonis parsial dapat memimbulkan
efek agonis, atau sebagai antagonis dengan menggeser agonis kuat dari ikatannya pada
reseptoropioid dan mengurangi efeknya. Opioid yang merupakan campuran agonis pada
satu subtipe reseptor opioid yang memiliki efek agonis pada satu subtipe reseptor opioid dan
sebagai suatu parsial agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya.
Berdasarkan rumus bangunnya obat golongan opioid dibagi menjadi derivat fenantren,
fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan, dan benzomorfan(2).

Tabel 2. Klasifikasi Obat Golongan Analgetika Opioid.

Agonis lemah Campuran


Struktur dasar Agonis kuat sampai agonis- Antagonis
sedang antagonis
Fenantren Morfin Kodein Nalbufin Nalorfin
Hidromorfon Oksikodon Buprenorfin Nalokson
Oksimorfon Hidrokodon Naltrekson
fenilheptilami Metadon Propoksifen
n
Fenilpiperidin Meperidin Difenoksilat
fentanil
Morfinan Levorfanol Butorfanol
Benzomorfan Pentazosin
(Ganiswarna, 2007).

a. Agonis Kuat
1) Morfin

9
Candu atau opium adalah getah yang dikeringkan dan diperoleh dari
tumbuhan Papaver somniferum (Lat. Menyebabkan tidur). Morfin mengandung dua
kelompok alkaloida yang secara kimiawi sangat berlainan. Kelompok fenantren
meliputi morfin, kodein dan lebain; kelompok kedua adalah kelompok isokinolin
dengan struktur kimiawi dan khasiat amat berlainanan (a.l. non-narkotik) yakni
papaverin, noskapin (narkotik) dan narsein. Morfin berkhasiat analgetis sangat kuat,
lagi pula memiliki banyak jenis kerja pusat lainnnya, a.l. sedatif dan hipnotis,
menimbulkan euphoria, menekan pernapasan dan menghilangkan reflex batuk, yang
semuanya berdasarkan supresi susunan saraf pusat (SSP). Morfin juga menimbulkan
efek stimulasi SSP, mis. Miosis (penciutan pupil mata), eksitasi dan kunvulsi. Daya
stimulasinya pada CTZ mengakibatkan mual dan muntah-muntah. Efek perifernya
yang penting adalah obstipasi, retensi kemih dan pelepasan histamine yang
mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah dn gatal-gatal (urticaria)(6).

Penggunaanya khusus pada nyeri hebat akut dan kronis, seperti pasca bedah
dan setelah infark janung, juga pada fase terminal dari kanker. Banyak digunakan
sebagai tablet retard untuk memperpanjang kerjanya(6).

Resorpsinya di usus baik, tetapi BA-nya hanya k.l. 25% akibat FPE besar.
Mulai kerjanya setelah 1-2 jam dan bertahan sampai 7 jam. Resorpsi dari
suppositoria umumnya sedikit lebih baik, secara s.c./I.m. baik sekali. PP-nya 35%;
dalam hati hati 70% dari morfin dimetabolisasi melalui senyawa konjogasi dengan
asam glukuronat menjadi morfin-3-glukuronida yang tidak aktif dan hanya sebagian
kecil (3%) dari jumlah ini terbentuk morfin-6-glukuronida dengan daya kerja
analgetis lebih kuat dari morfin sendiri. Ekskresinya melalui kemih, empedu dengan
siklus enterohepatis dan tinja(6).

Antidota, pada intoksikasi digunakan antagonis morfin sebagai antidotum,


yakni nalokson(6).

Dosis: dewasa oral 3-6 dd 10-20 mg garam HCl, s.c/i.m. 3-6 dd 5-20 mg.
Anak-anak oral 2 dd 0,1-0,2 mg/kg(6).

2) Heroin
Heroin (diamorfin, diasetilmorfin) adalah turunan semi-sentetik dengan kerja
analgetik yang 2 x lebih kuat, tetapi mengakibatkan adiksi yang cepat dan hebat
sekali. Dengan alasan ini heroin tidak digunakan lagi dalam terapi, tetapi sangat
disukai oleh para pecandu drugs, lihat Bab 23. Drugs. Kelarutannya dalam lipid
lebih baik dari pada morfin, maka mulai bekerjanya juga lebih pesat bila diberikan
per injeksi(6).

3) Metadon

10
Zat sintesis ini (1947) adalah suatu campuran rasemis, yang memiliki daya
analgetik 2x lebih kuat daripada morfin dan juga berkhasiat anastetik lokal.
Resorpsinya di usus baik, PP-nya 90% plasma-t1/2-nya rata-rata 25 jam dan efeknya
dapat bertahan sampai 48 jam dan efeknya dapat bertahan sampai 48 jam pada terapi
pemeliharaan bagi para pecandu. Umumnya metadon tidak menimbulkan euphoria,
sehingga banyak digunakan untuk menghindari gejala abstinensi setelah penghentian
penggunaan opioida lain. Khusus digunakan pada para pecandu sebagai obat
pengganti heroin dan morfin pada terapi substitusi(6).

Efek sampingnya kurang hebat dari morfin, terutama efek hipnotis dan
euforianya lemah, tetapi bertahan lebih lama. Penggunaan lama juga menimbulkan
adiksi yang lebih mudah disembuhkan. Efek obstipasinya agak ringan, tetapi
penggunaanya selama persalinan harus dengan berhati-hati karena dapat menekan
pernapasan(6).

Dosis : Pada nyeri oral 4-6 dd 2,5-10 mg garam-HCl, maks. 150 mg/hari.
Terapi pemeliharaan pecandu; permulaan 20-30 mg, setelah 3-4 jam 20 mg, lalu 1 dd
50-100 mg selama 6 bulan(6).

4) Fentanil
Derivat-piperidin ini (1963) merupakan turunan dari petidin (Dolantin) yang
jarang digunakan lagi karena efek samping dan sifat adiksinya, lagi pula daya
kerjanya singkat (3 jam) sehingga tidak layak untuk meredakan rasa sakit jangka
panjang. Efek analgetik angonis-opiat ini 80 x lebih kuat daripada morfin. Mulai
kerjanya cepat, yaitu dalam 2-3 menit (i.v.), tetapi singklat, hnya k.i. 30 menit. Zat
ini digunakan pada anastesi dan infark jantung(6).

Efek sampingnya mirif morfin, termasuk depresi pernapasan,


bronchospasme dan kekauan otot (thorax). Zat ini jarang menimbulkan
penghambatan sirkulasi seperti penurunan cardiac output dan bradycardia(6).

Dosis : pada infark i.v. 0,05 mg + 2,5 mg droperidol (Thalamonal), bila perlu
diulang setelah ½ jam. Plester transdermal (Durogesic) melepaskan secara konstan
senyawa ini selama 72 jam(6).

b. Agonis Sedang
1) Propoksifen
Propoksifen adalah derivate metadon. Dekstroisomer ini digunakan sebagai
analgesik untuk menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Levoisomer bukanlah
analgesik tetapi mempunyai aktifitas antitusif. Propoksifen sebagai analgesic yang
lebih lemah dari kodein memerlukan kira-kira dua kali dosis untuk mencapai efek
analgesik yang ekivalen dengan kodein. Propoksifen sering digunakan dalam
kombinasi dengan aspirin atau dengan asetaminofen untuk memperoleh efek
analgesik yang daripada yang didapatnya sendiri. Diabsorpsi dengan baik apabila
diberikan peroral, dengan kadar dalam puncak plasma terjadi setelah satu jam. Dan

11
dimetabolisme dalam hati. Propoksifen dapat menimbulkan mual, anoreksia, dan
konstipasi. Pada dosis toksik, dapat menyebabkan depresi pernafasan, konvulsi,
halusinasi, dan bingung. Jika diberikan dosis toksik, akan menimbulkan masalah
yang sangat serius yang dapat meningkat pada beberapa penderita dengan akibat
kardiotoksisitas dan edema pulmonal(4).

2) Kodein
Alkaloida candu ini memiliki khasiat yang sama dengan induknya, tetapi
lebih lemah, misalnya efek analgetiknya 6-7 x kurang kuat. Efek samping dan resiko
adiksinya lebih ringan, sehingga sering digunakan sebagai obat batuk, obat anti-diare
dan obat antinyeri, yang diperkuat melalui kombinasi dengan parasetamol/asetosal.
Obstipasi oral dan mual dapat terjadi terutama pada dosis lebih tinggi (di atas 3 dd
20 mg). Resorpsi oral dan rektal baik; di dalam hati zat ini didefinisikan menjadi
norkodein dan morfin (10%) yang memberikan sifat analgetiknya(6).

Ekskresinya lewat kemih sebagai glukuronida dan 10% secara utuh. Plasma-
t1/2-nya 3-4 jam(6).

Dosis : pada nyeri, oral 3-6 dd 15-60 mg garam-HCl, anak-anak di atas 1 thn
3-6 dd 0,5 mg/kg. Pada batuk 4-6 dd 10-20 mg, maks. 120 mg/hari, anak-anak 4-6
dd 1 mg/kg(6).

c. Campuran Agonis-Antagonis
1) Pentazosin
Zat sintesis ini diturunkan dari morfin (1964), di mana cincin-fenantren
diganti oleh naftalen. Gugus-N-allil memberikan efek antagonis terhadap opioida
lainnya. Khasiatnya beragam, yakni di samping antagonis lemah, juga merupakan
agonis parsiil. Khasiat analgetiknya sedang sampai kuat, k.l. antara kodein dan
petidin (3-6 x lebih lemah daripada morfin). Di AS sering kali disalahgunakan dalam
kombinasi dengan antihistaminika dan nalokson(6).

Resorpsinya di usus baik, tetapi BA-nya hanya k.l. 20% akibat FPE besar.
Mulai kerjanya cepat, setelah 15-30 menit dan bertahan minimal 3 jam. Efek
rektalnya sama dengan penggunaan oral. PP-nya 60%, plasma-t1/2nya 2-3 jam.
Dalam hati zat ini diubah menjadi metabolit yang disekresi terutama lewat kemih(6).

Dosis : pada nyeri sedang-kuat 3-4 dd 50-100 mg, maks. 600 mg sehari(6)..

2) Bupfrenorfin
Walaupun bupfrenorfin diklasifikasikan sebagai agonis parsial yang bekerja
pada reseptro μ, obat ini berlaku seperti morfin pada penderita yang naïf. Walaupun
begitu, obat ini dapat juga mengantagonis morfin. Bupfrenorfin diberikan secara
parenteral dan mempunyai masa kerja panjang karena terikat kuat pada reseptor.
Dimetabolisme oleh hati dan dieksresikan kedalam empedu dan urin. Efek samping
berupa depresi pernafasan, penurunan tekanan darah, mual, dan pusing(4).

12
d. Antagonis
1) Nalokson
Antagonis-morfin ini memiliki rumus morfin dengan gugus alil pada atom-N
(1969). Zat ini dapat meniadakan semua khasiat morfin dan opioida lainnya,
terutama depresi pernafasan tanpa mengurangi efek analgetiknya. Penekanan
pernafasan dari obat-obat depresi SSP lain (barbital, siklopropan, eter) tidak
ditiadakan, tetapi juga tidak diperkuat seperti halnya dengan nalorfin. Sendirinya
tidak memiliki kerja agonistis (analgetik). Penggunaannya sebagai antidotum pada
overose opioida (dan barbital), pasca-bedah untuk mengatasi depresi pernapasan
oleh opioida. Atau, secara diagnostis untuk menentukan adiksi sebelum dimulai
dengan penggunaan naltexron(6).

Kinetik. Setelah injeksi i.v. sudah memberikan efek stelah 2 menit, yang
bertahan 1-4 jam. Plasma t1/2 nya hanya 45-90 menit, lama kerjanya lebih singkat
dari opioida, maka lazimnya perlu diulang beberapa kali(6).

Efek sampingnya dapat berupa tachycardia (setelah bedah jantung), jarang


reaksi alergi dengan shock dan udema paru-paru.

Pada penangkalan efek opioida terlalu pesat dapat terjadi mual, muntah,
berkeringat, pusing-pusing, hipertensi, tremor, serangan epilepsi dan berhentinya
jantung(6).

Dosis : pada overdose opioida, intravena permula 0,4 mg, bila perlu diulang
setiap 2-3 menit(6).

2) Naltrekson
Naltrekson mempunyai efek sama seperti nalokson. Obat ini mempunyai
masa kerja lebih panjang daripada nalokson, dan dosis tunggal peroral naltrekson
memblok efek suntikan heroin sampai 48 jam. Naltrekson digunakan untuk program
pemeliharaan ketergantungan opiate dan mungkin juga bermanfaat dalam
pengobatan alkoholisme kronis(4).

e. Analgetika lainnya
1) Tramadol
Derivat-sikloheksanol sintesis ini (1997) adalah campuran rasemis dari
isomer. Khasiat analgetiknya sedang dan berdaya menghambat reuptake
noradrenalin dan bekerja antitussif (anti-batuk). Obat ini di sebagian negara
dianggap sebagai analgetikum opiat karena bekerja pusat, yakni melalui pendudukan
reseptor -opioid oleh cis-isomernya. Meskipun demikian zat ini tidak menekan
pernapasan, praktis tidak memengaruhi sistem kardiovaskular atau motilitas
lambung-usus. Walaupun memiliki sifat adiksi ringan, dalam praktek ternyata
risikonya hampir nihil sehingga tidak termasuk Daftar Narkotika di kebanyakan
negara (AS, GB, BRD, Belanda, Swis, Swedia dan Jepang) termasuk Indonesia.
Efek analgetik dari 120 mg tramadol oral setaraf dengan 30-60 mg morfin oral.

13
Penggunaannya juga rektal dan parenteral untuk nyeri sedang sampai hebat, bila
kombinasi parasetamol-kodein dan NSAIDs kurang efektif atau tidak dapat
digunakan. Untuk nyeri akut atau kanker umumnya morfin lebih ampuh(6).

Resorpsinya di usus cepat dengan BA rata-rata 78%, PP-nya 20%, plasma-t


1/2nya 6 jam. Efeknya dimulai sesudah 1 jam dan dapat bertahan 6-8 jam. Dalam
hati sebagian besar zat diuraikan menjadi a.l.o-desmetil, metabolit dengan daya kerja
6 kali lebih kuat melalui pengikatan pada reseptor -opioid. Ekskresinya
berlangsung lewat urin, untuk 10% secara utuh(6).

Efek sampingnya tidak begitu serius dan paling sering berupa termangu-
mangu, berkeringat, pusing, mulut kering, mual dan muntah, juga obstipasi, gatal-
gatal, rash, nyeri kepala dan rasa letih. Risiko habituasi, ketergantungan dan adiksi
dianggap ringan. Namun tidak dianjurkan penggunaannya oleh penderita dengan
sejarah penyalahgunaan drugs(6).

Catatan : Semua reseptor -opioid agonis mengakibatkan gejala mual dan


muntah melalui stimulasi langsung pada reseptor opioid di pusat muntah. Efek
samping gastro-intestinal lainnya adalah obstipasi yang juga terkait dengan sifat
opioid yakni penurunan absorpsi air dan usus(6).

Wanita hamil dan menyusui. Opioida dapat melintasi plasenta dan selama ini
diketahui tidak merugikan janin nila digunakan jauh sebelum partus. Hanya 0,1%
dari dosis masuk ke dalam air susu ibu. Meskipun demikian tramadol tidak
dianjurkan selama kehamilan dan laktasi(6).

Dosis : di atas 14 tahun 3-4dd 50-100mg, maks 400 mg sehari. Anak-anak di


atas 1 tahun : 3-4 dd 1-2 mg/kg(6).

2) Kanabis
Pucuk dengan kembang dan buah-buah muda yang dikeringkan dari bentuk
wanita tumbuhan Cannabis sativa (Asia Barat). Kandungannya 0,3% minyak atsiri
dengan zat-zat terpen, terutama tetrahidrokanabinol (THC). Zat ini banyak khasiat
farmakologisnya, yang terpenting di antara adalah sedatif, hipnotik dan analgetik,
antimual dan spasmolitik(6).

Khasiat analgetik dari THC terjadi di batang otak, di mana terletak pula titik
kerja dari opioida. Hanya mekanisme kerjanya yang berlainan, reseptor morfin tidak
memegang peranan dan nalokson tidak melawan efek analgesiknya. Di samping itu,
ambang nyeri diturunkan (Lancet 1998; 352: 1040). Dahulu (meski jarang) kanabis
digunakan sebagai obat tidur, sedativum dan spasmolitikum pada tetanus, umumnya
dalam bentuk ekstrak 2-3 dd 30-50 mg. Sebagai kanabis banyak disalahkangunakan
sebagai zat penyegar narkotik(6).

14
Gambar 4. Perbandingan efikasi maksimum dan kecendrungan addiksi pada berbagai
macam obat analgetik opioid.

2.5 TOKSISITAS DAN EFEK YANG TIDAK DIINGINKAN DARI ANALGETIKA


OPIOID
Morfin dan opioida lainnya menimbulkan sejumlah besar efek yang tidak
diinginkan, yaitu :

1. Supresi SSP, misalnya sedasi, menekan pernafasan dan batuk, miosis,


hypothermia, dan perubahan suasana jiwa (mood). Akibat stimulasi langsung dari
CTZ (Chemo Trigger Zone) timbul mual dan muntah. Pada dosis yang lebih
tinggi mengakibatkan menurunnya aktifitas mental dan motoris.
2. Saluran nafas, bronkokontriksi, pernafasan menjadi dangkal dan frekuensinya
menurun.
3. Sistem sirkulasi, Vasodilatasi perifer, pada dosis tinggi hipotensi dan brakikardia.
4. Saluran cerna, motilitas berkurang (obstipasi), kontraksi sfinkter kandung
empedu, sekresi pancreas, usus, dan mepedu berkurang.
5. Saluran urogenital, retensi urin, motilitas usus berkurang.
6. Histamin-liberator, urticaria, dan gatal-gatal karena menstimulasi pelepasan
histamine.
7. Kebiasaan dengan resiko addiksi pada penggunaan lama. Bila terapi dihentuikan
dapat terjadi gejala abstinensi.
8. Pada kehamilan dan laktasi, opioida dapat melintasi plasenta, tetapi boleh
digunakan sampai berapa waktu sebelum persalinan. Bila diminum terus

15
menerus, zat ini dapat merusak janin akibat depresi pernafasan dan
memperlambat persalinan. Bayi dari ibu yang ketagihan menderita gejala
abstinensi. Selama laktasi ibu dapat menggunakan opioida karena hanya sedikit
terdapat dalam air susu ibu(6).
Efek toksik langsung dari analgetik opioid adalah perluasan akut kerja-kerja
farmakologisnya termasuk depresi nafas, mual, muntah, dan sembelit. Sebagai tambahan
hal-hal berikut harus diperhatikan :

a. Toleransi dan Ketergantungan


Ketergantungan obat tipe opioida ditandai dengan suatu gejala putus obat yang
relative spesifik dan sindroma abstinensia. Terdapat beberapa perbedaan farmakologis
antara macam-macam opioid, terdapat pula perbedaan potensi penyalahgunaan dan
gejala putus obatyang jelek. Contohnya, gejala putus obat dari ketergantungan pada
agonis kuat yang dihubungkan dengan tanda-tanda dan gejala-gejala putus obat yang
lebih hebat daripada gejala putus obat dari agonis ringan sampai sedang. Pemberian
antagonis opioida pada seseorang yang mempunyai ketergantungan opioid diikuti
gejala-gejal putus obat yang cepat tetapi sangat berbahaya. Kecenderungan kecanduan
pada antagonis-agonis parsial opioid Nampak lebih ringan disbanding dengan
ketergantungan pada obat-obat agonis(3).

1) Toleransi, meskipun perkembangan toleransi dimulai dari pemberian dosis pertama


opioid, toleransi secara umum tidak secara langsung bermanifestasi klinis, hingga
setelah 2-3 minggu pemberian yang berkali-kalipada dosis terapi biasa. Toleransi
berkembang paling baik pada saat dosis besar diberikan dengan interval waktu yang
pendek dan efek minimal bila diberikan dengan obat dosis kecil dengan interval
panjang.
2) Ketergantungan fisik, perkembangan ketergantungan adalah selalu menyertai
toleransi pada pemberian ulang opioid tipe mu. Kegagalan untuk memberikan obat
secara kontinyu menimbulkan gejala putus obat yang karakteristik atau sindroma
abstinensia yang merefleksikan pantulan berlebihan efek farmakologis akut opiod.
Tanda-tanda dan gejala-gejala putus obat termasuk rinore, lakrimasi, menguap,
kedinginan, hiperventilasi, hipertemia, midriasi, nyeri otot, muntah, diare,
kecemasan, dan perasaan ingin marah.
3) Ketergantungan psikologis, Euphoria, tidak bereaksi terhadao stimulus dan sedasi
biasanya disebabkan oleh analgesic opioid, terutama apabila pemberian dengan
injeksi intravena, cenderung menigkatkan penggunaan yang berulang-ulang. Sebagai
tambahan, pecandu mengalami efek abdomen yang mirip dengan orgasme seksual
yang kuat. Factor-faktor ini merupakan alasan utama untuk kecendrungan

16
penyalahgunaan opioid dan diperkuat lagi oleh perkembangan dari ketergantungan
fisik, karena pemakai obat merasionalisasikan kontinuitas penggunaan obat sebagai
alat pencegah gejala-gejala abstinensia, misalnya untuk tetap dapat “normal”(3).

b. Diagnosis dan Pengobatan Overdosis Opioid


Diagnosis overdosis opioid mungkin sangat sederhana pada pecandu yang
diketahui identitasnya atau akan menjadi sangat sulit seperti pada keadaan seorang
pasien dimana tidak diketahui informasi latar belakang kehidupannya sama
sekali.suntikan naloxone secara i.v 0,2-0,4 mg, secara dramatis akan memperbaiki
keadaan koma akibat overdosis opioid tetapi tidak disebabkan oleh depresan SSP(3).

c. Kontra Indikasi dan Kewaspadaan Dalam Terapi


1) Penggunaan agonis murni dengan agonis parsial lemah.
2) Penggunaan pada pasien dengan cedera kepala.
3) Penggunaan selama kehamilan.
4) Penggunaan pada pasien dengan gangguan fungsi paru.
5) Penggunaan pada pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal.
6) Penggunaan pada pasien dengan penyakit endokrin(3).

Interaksi obat. Karena orang yang sakit parah dirumah sakit mungkin memerlukan
berbagai macam obat-obat, selalu ada kemungkinan interaksi obat saat analgesik opioid
diberikan. Tabel dibawah mendaftarkan beberapa dari interaksi obat ini dan alasan-alasan
untuk tidak mengkombinasikan obat yang telah disebutkan dengan opioid(3).

Tabel 3. Interaksi-interaksi obat opioid(3).

Kelompok Obat Interaksi dengan opioid


Sedatif-Hipnotika Menigkatkan depresi sistem saraf pusat, khususnya
depresi nafas
Antipsikosis Meningkatkan sedasi. Efek beraga pada depresi nafas.
penenang Penonjolan efek-efek kardiovaskuler(kerja
(transquilizer) antimuskarinik dan penyekata α.
Inhibitor MAO Kontra indikasi terhadap semua analgesik opioid
karena tingginya insiden koma hiperpireksia,
hipertensi juga dilaporakan.

17
2.6 PENGGUNAAN KLINIS ANALGETIKA OPIOID
1. Analgesi
Nyeri yang parah dan terus menerus (konstan) biasanya dapat diatasi dengan
opioid, sedangkan nyeri yang tajam , sebentar dating dan sebentar hilang (intermiten),
tampaknya sukar untuk dihilangka . sebuah percobaan harus dilakukan untuk
menguantifikasi nyerinya ; hasilnya digunakan untuk memilih agen yang tepat dan untuk
memonitor efeknya. Dalam evaluasi dan proses seleksi ini, pertimbangan bagaimana cara
pemberian pengobatan (oral atau parenteral), masa kerja efek tertinggi (maksimal), lama
terapi, pengalaman lampau dengan opioid sangatlah penting(3).

Nyeri yang dihubungkan dengan kanker dan penyakit terminal harus diterapi
secara adekuat, dan berhubungan dengan toleransi dan ketergantungan harus
dikesampingkan dalam usaha membuat pasien merasa senyaman mungkin. Riset yang
diadakan oleh petugas RS dibagian unuit gawat darurat bahwa interval pemberian opioid
(misalnya, dosis regular dalam waktu yang regular pula) adalah lebih efektif dalam
mengatasi rasa nyeri dibandingkan pada dosis yang berdasarkan saat dibutuhkan (on
demand). Bentuk dosis baru morphine yang memungkinkan rilis yang lebih lambat dari
alkaloidnya jarang tersedia (misalnya, MS-Contin). Keuntungan utamanya adalah tingkat
anestesi yang lebih lama dan lebih stabil. Jika ada gangguan pada saluran cerna
mencegah penggunaan morphine rilis-lambat, sistem transdermal fentanyl (fentanyl
tempel) dapat digunakan dalam periode lebih lama yaitu mingguan atau bulanan. Lebih
jauh lagi, fentanyl transdermal dapat digunakan untuk beberapa episode dari
breakthrough pain . Pemberian opioid kuat secara insuflasi nasal sudah terbukti ampuh
dan preparat nasal sekarang mula ini, masih sedang dalam proses. Obat-obatan stimulant
seperti amphetamine dapat mengatasi kerja analgesic dari opioid dan untuk itu dapat
sangat berguna bagi penderita dengan nyeri kronis. Agonis adrenoseptor alfa 2 (misalnya
clonidine), telah terbukti baik secara laboratorium maupun studi klinis mempunyai efek
analgesik bila diberikan dalam berbagai macam cara pemberian, tetapi tempat bagi obat-
obat ini dalam pengelolaan penyembuhan nyeri masih jelas(3).

2. Edema Paru Akut


Rasa lega yang dihasilkan dengan pemberian morphine intervena pada keadaan
sesak karena edema paru yang berhubungan dengan kegagalan ventrikel kiri sangatlah
luar biasa. Mekanisme tersebut tidak jelas tetapi mungkin berkaitan dengan berkurannya
pikiran cemas oleh karena sesak napas dan rasa gelisah dan menurunnya kardiak preload
dan afterload(3).

3. Batuk
Supresi/penekanan batuk dapat dilakukan dengan pemberian dosis yang lebih
rendah daripada dosis yang diperlukan untuk analgesi. Namun, pada tahun-tahun terakhir
ini penggunaan analgesic opioid untuk melegakan batuk sangat sedikit karena sejumlah

18
besar senyawa sintesis yang efektif yang tidak mengandung efek analgesik ataupun aditif
telah dikembangkan. Agen-agen ini dibahas di bawah pada bagian mengenai antitusif(3).

4. Diare
Diare dari hampir segalam macam penyebab dapat dikendalikan dengan analgesic
opioid, tetapi kalau itu berhubungan dengan infeksi maka yang tepat. Dulu perparat
bahan dasar opium (misalnya paregoric) dipakai untuk mengendalikan diare, tetapi
sekarang pengganti-pengganti sintesis dengan efek-efek gastrointestinal yang lebih
sekektif dan sedikit atau tanpa efek-efek sistem saraf pusat telah digunakan, seperti
diphenoxylate. Phenylpiperidine yang disebut di bawah ini, dan secara khusus disiapkan
untuk tujuan ini(3).

5. Aplikasi dalam Anestesi


Opioid seringkali dipakai sebagai obat-obat prammedikasi sebelum anestesi dan
pembedahan dilakukan karena sifat sedatifnya, anticemas, dan anelgesinya. Opioid juga
sering dipakai dalam operasi oleh karena 2 alasan yaitu satu sebagai tambahan untuk
agen-agen anastesik yang lain, dan kedua dalam pemberian dosis yang tinggi (misalnya
fentanyl), sangat umum dalam operasi kardiovaskuler dan jenis-jenis bedah yang sangat
berisiko tinggi lainnya dimaan sasaran utamanya adalah meminimalkann depresi
kardiovaskuler. Dalam situasi-situasi demikian, bantuan respirasi mekanis harus
disiapkan(3).

19
BAB III
KESIMPULAN

1. Analgetik narkotik adalah obat-obat yang daya kerjanya meniru opioid endogen dengan
memperpanjang aktifasi dari reseptor-reseptor opioid.
2. Khasiat analgetik opioida berdasarkan kemampuannya untuk menduduki sisa-sisa
reseptor nyeri yang belum ditempati endorphin. Endorphin bekerja dengan jalan
menduduki reseptor-reseptor nyeri di SSP, hingga perasaan nyeri dapat diblokir.
3. Obat analgeti opioid dibagi menjadi beberapa golongan yaitu agonis kuat, agonis sedang,
campuran agonis-antagonis dan antagonis
4. Penggunaan analgetik opioid antara lain diterapkan pada terapi analgesi, edema paru
akut, diare, batuk dan anestesi.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
2. Ganiswarna. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Balai Penerbit FKUI. Jakarta
3. Katzung, B.G., M.D., Ph.D. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika.
Jakarta
4. Mycek, M.J. 2001. Lippincott’s Illustrated Reviews Pharmacology 4th Edition.
Lippincott-Raven Publisher. Philadelphia.
5. Neal, M.J. 2002. Medical Pharmacology at a Glance 4th Edition. The Blackwell
Publishing Company. London.
6. Tjay, T.H & Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting. Gramedia. Jakarta.

21

You might also like