You are on page 1of 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Fisiologis Ibu Hamil


Pada masa kehamilan ada beberapa perubahan pada hampir semua
sistem organ pada maternal. Perubahan ini diawali dengan adanya
sekresi hormon dari korpus luteum dan plasenta. Efek mekanis pada
pembesaran uterus dan kompresi dari struktur sekitar uterus memegang
peranan penting pada trimester kedua dan ketiga. Perubahan fisiologis
seperti ini memiliki implikasi yang relevan bagi dokter anestesi untuk
memberikan perawatan bagi pasien hamil. Perubahan yang relevan
meliputi perubahan fungsi hematologi, kardiovaskular, ventilasi,
metabolik, dan gastrointestinal.5
2.1.1 Berat Badan dan Komposisi
Berat badan (BB) rata-rata meningkat selama kehamilan kira-kira
17% dari BB sebelum hamil atau kira-kira 12 kg. Penambahan berat
badan adalah akibat dari peningkatan ukuran uterus dan isi uterus (uterus
1 kg, cairan amnion 1 kg, fetus dan plasenta 4 kg), peningkatan volume
darah dan cairan interstitial (masing-masing 2 kg), dan lemak serta
protein baru kira-kira 4 kg. Penambahan BB normal selama trimester
pertama adalah 1-2 kg dan masing-masing 5-6 kg pada trimester 2 dan
3.5
Implikasi Klinisnya:
Konsumsi oksigen meningkat sehingga harus diberikan oksigen
sebelum induksi anestesi umum. Penusukan spinal atau epidural anestesi
menjadi lebih sulit. Karena penambahan berat badan dan penambahan
besar buah dada kemungkinan menimbulkan kesulitan intubasi.6
2.1.2 Perubahan Kardiovaskular
Sistem kardiovaskular beradaptasi selama masa kehamilan
terhadapa beberapa perubahan yang terjadi. Meskipun perubahan sistem
kardiovaskular terlihat pada awal trimester pertama, perubahan pada
sistem kardiovaskular berlanjut ke trimester kedua dan ketiga, ketika
cardiac output meningkat kurang lebih sebanyak 40 % daripada pada
wanita yang tidak hamil. Cardiac output meningkat dari minggu kelima
kehamilan dan mencapai tingkat maksimum sekitar minggu ke-32
kehamilan, setelah itu hanya mengalami sedikit peningkatan sampai
masa persalinan, kelahiran, dan masa post partum. Sekitar 50%
peningkatan dari cardiac output telah terjadi pada masa minggu
kedelapan kehamilan. Meskipun, peningkatan dari cardiac output
dikarenakan adanya peningkatan dari volume sekuncup dan denyut
jantung, faktor paling penting adalah volume sekuncup, dimana
meningkat sebanyak 20% sampai 50% lebih banyak daripada pada
wanita tidak hamil. Perubahan denyut jantung sangat sulit untuk
dihitung, tetapi diperkirakan ada peningkatan sekitar 20% yang terlihat
pada minggu keempat kehamilan. Meskipun, angka normal dalam
denyut jantung tidak berubah dalam masa kehamilan, adanya terlihat
penurunan komponen simpatis.5
Pada trimester kedua, kompresi aortocava oleh pembesaran uterus
menjadi penting secara progresif, mencapai titik maksimum pada
minggu ke- 36 dan 38, setelah itu dapat menurunkan perpindahan posisi
kepala fetal menuju pelvis. Penelitian mengenai cardiac output, diukur
ketika pasien berada pada posisi supine selama minggu terakhir
kehamilan, menunjukkan bahwa ada penurunan dibandingkan pada
wanita yang tidak hamil, penurunan ini tidak diobservasi ketika pasien
berada dalam posisi lateral decubitus. Sindrom hipotensi supine, yang
terjadi pada 10 % wanita hamil dikarenakan adanya oklusi pada vena
yang mengakibatkan terjadinya takikardi maternal, hipotensi arterial,
penurunan kesadaran, dan pucat. Kompresi pada aorta yang dibawah
dari posisi ini mengakibatkan penurunan perfusi uteroplasental dan
mengakibatkan terjadinya asfiksia pada fetus. Oleh karena itu,
perpindahan posisi uterus dan perpindahan posisi pelvis ke arah lateral
harus dilakukan secara rutin selama trimester kedua dan ketiga dari
kehamilan.5
Naiknya posisi diafragma mengakibatkan perpindahan posisi
jantung dalam dada, sehingga terlihat adanya pembesaran jantung pada
gambaran radiologis dan deviasi aksis kiri dan perubahan gelombang T
pada elektrokardiogram (EKG). Pada pemeriksaan fisik sering
ditemukan adanya murmur sistrolik dan suara jantung satu yang terbagi-
bagi. Suara jantung tiga juga dapat terdengar. Beberapa pasien juga
terlihat mengalami efusi perikardial kecil dan asimptomatik.5
Implikasi Klinis:
Peningkatan curah jantung mungkin tidak dapat ditoleransi oleh
wanita hamil dengan penyakit katup jantung (misalnya stenosis aorta,
stenosis mitral) atau penyakit jantung koroner. Dekompensasio jantung
berat dapat terjadi pada 24 minggu kehamilan, selama persalinan, dan
segera setelah melahirkan.6
2.1.3 Perubahan Hematologi
Volume darah maternal mulai meningkat pada awal masa
kehamilan sebagai akibat dari perubahan osmoregulasi dan sistem renin-
angiotensin, menyebabkan terjadinya retensi sodium dan peningkatan
dari total body water menjadi 8,5 L. Pada masanya, volume darah
meningkat sampai 45 % dimana volume sel darah merah hanya
meningkat sampai 30%. Perbedaan peningkatan ini dapat menyebabkan
terjadinya ”anemia fisiologis” dalam kehamilan dengan hemoglobin rata
rata 11.6 g/dl dan hematokrit 35.5%. Bagaimanapun, transpor oksigen
tidak terganggu oleh anemia relatif ini, karena tubuh sang ibu
memberikan kompensasi dengan cara meningkatkan curah jantung,
peningkatan PaO2, dan pergeseran ke kanan dari kurva disosiasi
oxyhemoglobin.7
Kehamilan sering diasosiasikan dengan keadaan hiperkoagulasi
yang memberikan keuntungan dalam membatasi terjadinya kehilangan
darah saat proses persalinan. Konsentrasi fibrinogen dan faktor
VII,VIII, IX,X,XII, hanya faktor XI yang mungkin mengalami
penurunan. Fibrinolisis secara cepat dapat diobservasi kemudian pada
trimester ketiga. Sebagai efek dari anemia dilusi, leukositosis dan
penurunan dari jumlah platelet sebanyak 10 % mungkin saja terjadi
selama trimester ketiga. Karena kebutuhan fetus, anemia defisiensi folat
dan zat besi mungkin saja terjadi jika suplementasi dari zat gizi ini tidak
terpenuhi. Imunitas sel ditandai mengalami penurunan dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi viral.7
Implikasi Klinis:
Peningkatan volume darah mempunyai beberapa fungsi penting
yaitu untuk memenuhi kebutuhan akibat pembesaran uterus dan unit
feto-plasenta, mengisi reservoir vena, melindungi ibu dari perdarahan
akibat melahirkan, dan karena ibu menjadi hipercoagulabel selama
proses kehamilan. Keadaan ini berlangsung sampai 8 minggu setelah
melahirkan.6

2.1.4 Perubahan Sistem Respirasi


Adaptasi respirasi selama kehamilan dirancang untuk
mengoptimalkan oksigenasi ibu dan janin, serta memfasilitasi
perpindahan produk sisa CO2 dari janin ke ibu.5
Konsumsi oksigen dan ventilasi semenit meningkat secara
progresif selam masa kehamilan. Volume tidal dan dalam angka yang
lebih kecil, laju pernafasan meningkat. Pada aterm konsumsi oksigen
akan meningkat sekitar 20-50% dan ventilasi semenit meningkat hingga
50%. PaCO2 menurun sekitar 28-32mm Hg. Alkalosis respiratorik
dihindari melalui mekanisme kompensasi yaitu penurunan konsentrasi
plasma bikarbonat. Hiperventilasi juga dapat meningkatkan PaO2 secara
perlahan. Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat mengurangi efek
hiperventilasi dalam afinitas hemoglobin dengan oksigen. Tekanan
parsial oksigen dimana hemoglobin mencapai setengah saturasi ketika
berikatan dengan oksigen meningkat dari 27 ke 30 mm Hg. hubungan
antara masa akhir kehamilan dengan peningkatan curah jantung memicu
perfusi jaringan.7
Posisi dari diafragma terdorong ke atas akibat dari pembesaran
uterus dan umumnya diikuti pembesaran dari diameter anteroposterior
dan transversal dari cavum thorax. Mulai bulan ke lima, expiratory
reserve volume, residual volume,dan functional residual capacity
menurun, mendekati akhir masa kehamilan menurun sebanyak 20 %
dibandingkan pada wanita yang tidak hamil. Secara umum, ditemukan
peningkatan dari inspiratory reserve volume sehingga kapasitas paru
total tidak mengalami perubahan. Pada sebagian ibu hamil,
penurunan functional residual capacity tidak menyebabkan masalah,
tetapi bagi mereka yang mengalami perubahan pada closing volume
lebih awal sebagai akibat dari merokok, obesitas, atau skoliosis dapat
mengalami hambatan jalan nafas awal dengan kehamilan lanjut yang
menyebabkan hipoksemia. Manuver tredelenburg dan posisi supin juga
dapat mengurangi hubungan abnormal antara closing volume dan
functional residual capacity. Volume residual dan functional residual
capacity kembali normal setelah proses persalinan.8
Implikasi Klinisnya:
1.Penurunan FRC, peningkatan ventilasi semenit, serta adanya
penurunan MAC akan menyebabkan paturien lebih sensitive
terhadap anestetika inhalasi daripada wanita yang tidak hamil.
2. Disebabkan karena peningkatan edema, vaskularisasi, fragilitas
membran mukosa, harus dihindari intubasi nasal, dan digunakan pipa
endotrakhea yang lebih kecil daripada untuk wanita yang tidak hamil.6
2.1.5. Perubahan Sistem Renal
Vasodilatasi renal mengakibatkan peningkatan aliran darah renal
pada awal masa kehamilan tetapi autoregulasi tetap terjaga. Ginjal
umumnya membesar. Peningkatan dari renin dan aldosterone
mengakibatkan terjadinya retensi sodium. Aliran plasma renal dan laju
filtrasi glomerulus meningkat sebanyak 50% selama trimester pertama
dan laju filtrasi glomerulus menurun menuju ke batas normal pada
trimester ketiga. Serum kreatinin dan Blood Urea Nitrogen (BUN)
mungkin menurun menjadi 0.5-0.6 mg/dL dan 8-9mg/dL. Penurunan
threshold dari tubulus renal untuk glukosa dan asam amino umum dan
sering mengakibatkan glukosuria ringan(1-10g/dL) atau proteinuria
(<300 mg/dL). Osmolalitas plasma menurun sekitar 8-10 mOsm/kg.5
Implikasi Klinis:
Kadar normal BUN dan kreatinin parturien 40% lebih rendah dari
wanita yang tidak hamil, maka bila BUN dan kreatinin sama seperti
wanita yang tidak hamil menunjukkan adanya fungsi ginjal yang
abnormal.6
2.1.6. Perubahan pada Sistem Gastrointestinal
Fungsi gastrointestinal dalam masa kehamilan dan selama
persalinan menjadi topik yang kontroversial. Namun, dapat dipastikan
bahwa traktus gastrointestinal mengalami perubahan anatomis dan
fisiologis yang meningkatkan resiko terjadinya aspirasi yang
berhubungan dengan anestesi general.5
Refluks gastroesofagus dan esofagitis adalah umum selama masa
kehamilan. Disposisi dari abdomen ke arah atas dan anterior memicu
ketidakmampuan dari sfingter gastroesofagus. Peningkatan kadar
progestron menurunkan tonus dari sfingter gastroesofagus, dimana
sekresi gastrin dari plasenta menyebabkan hipersekresi asam lambung.
Faktor tersebut menempatkan wanita yang akan melahirkan pada resiko
tinggi terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal. Tekanan intragaster
tetap tidak mengalami perubahan. Banyak pendapat yang menyatakan
mengenai pengosongan lambung. Beberapa penelitian melaporkan
bahwa pengosongan lambung normal bertahan sampai masa
persalinan. Di samping itu,hampir semua ibu hamil memiliki pH
lambung di bawah 2.5 dan lebih dari 60% dari mereka memiliki volume
lambung lebih dari 25mL. kedua faktor tersbut telah dihubungkan
memiliki resiko terhadap terjadinya aspirasi pneumonitis berat. Opioid
dan antikolinergik menurunkan tekanan sfingter esofagus bawah, dapat
memfasilitasi terjadinya refluks gastroesofagus dan penundaan
pengosongan lambung. Efek fisiologis ini bersamaan dengan ingesti
makanan terakhir sebelum proses persalinan dan penundaan
pengosongan lambung mengakibatkan nyeri persalinan dan merupakan
faktor predisposisi pada ibu hamil akan terjadinya muntah dan mual.5
Implikasi Klinis:
Wanita hamil harus selalu dianggap lambung penuh tanpa melihat
lama puasa prabedah. Bila mungkin anestesi umum dihindari.
Dianjurkan penggunaan rutin antacid non-partikel. Perubahan
gastrointestinal akan kembali dalam 6 minggu postpartum.6
2.1.7. Perubahan Sistem Saraf Pusat dan Perifer
Konsentrasi alveolar minimum menurun secara progresif selama
masa kehamilan. Pada masa aterm menurun sekitar 40% untuk semua
anestesi general. Namun, konsentrasi alveolar minimum kembali normal
pada hari ketiga pasca kelahiran. Perubahan kadar hormon maternal dan
opioid endogen telah dibuktikan. Progestron yang memiliki efek sedasi
ketika diberikan dalam dosis farmakologis, meningkat sekitar 20 kali
lebih tinggi daripada normal pada masa aterm dan kemungkinan berefek
kecil dalam observasi. Peningkatan secara signifikan kadar endorfin juga
memegang peranan penting dalam masa persalinan dan
kelahiran. Wanita hamil menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap
kedua jenis anestesi baik regional maupun general. Dari awal periode
pemasukan anestesi secara neuraxial, wanita hamil membutuhkan lebih
sedikit anestesi lokal daripada wanita yang tidak hamil untuk mencapai
level dermatom sensorik yang diberikan. Minimum local analgesic
concentration (MLAC) digunakan dalam anestesi obstetrik untuk
membandingkan potensi relatif dari anestesi lokal
dan MLAC didefinisikan sebagai median dari konsentrasi analgesik
efektif dalam 20 ml volume untuk analgesi epidural dalam periode awal
persalinan. Obstruksi dari vena cava inferior karena pembesaran uterus
mengakibatkan distensi dari vena pleksus epidural dan meningkatkan
volume darah epidural. Yang mendekati masa akhir kehamilan
menghasilkan tiga efek mayor : (1) penurunan volume cairan
serebrospinal, (2) penurunan volume potensial dari ruang epidural, (3)
peningkatan tekanan ruang epidural. Dua efek awal memicu penyebaran
sefalad dari cairan anestesi lokal selama anestesi spinal dan epidural,
dimana efek yang terakhir mungkin menjadi predisposisi dalam
insidensi lebih tinggi dari punksi dural dengan anestesi epidural.5,9
Implikasi Klinisnya:
Dosis anestestika lokal harus dikurangi. Peningkatan sensitivitas
anestesi lokal yang digunakan untuk spinal dan epidural analgesia terjadi
sampai 36 jam postpartum.6
2.1.8. Perubahan Sistem Muskoloskeletal
Kenaikan kadar relaksin selama masa kehamilan membantu
persiapan kelahiran dengan melemaskan serviks, menghambat kontraksi
uterus, dan relaksasi dari simfisis pubis dan sendi pelvik. Relaksasi
ligamen menyebabkan peningkatan risiko terjadinya cedera punggung.
Kemudian dapat berkontribusi dalam insidensi nyeri punggung dalam
kehamilan.5
Implikasi Klinis:
Relaksasi ligament dan jaringan kolagen dari columna vertebralis
merupakan sebab utama dari terjadinya lordosis selama kehamilan, yang
menyulitkan dilakukan spinal atau epidural analgesi.6
2.1.9. Sirkulasi Uteroplasental
Sirkulasi uteroplasental normal sangat dibutuhkan dalam
perkembangan dan perawatan untuk fetus yang sehat. Insufiensi sirkulasi
uteroplasental dapat menjadi penyebab utama dalam retardasi
pertumbuhan fetal intrauterin dan ketika menjadi parah dapat
mengakibatkan kematian fetus. Integrasi dari sirkulasi bergantung pada
aliran darah uterus yang adekuat dan fungsi normal plasenta. Aliran
darah uterin meningkat secara progresif selama kehamilan dan mencapai
nilai rata rata antara 500ml sampai 700ml di masa aterm.7
Aliran darah melalui pembuluh darah uterus sangat tinggi dan
memiliki resistensi rendah. Perubahan dalam resistensi terjadi setelah 20
minggu masa gestasi. Aliran darah uterus kurang memiliki mekanisme
autoregulasi (pembuluh darah dilatasi maksimal selama masa
kehamilan) dan aliran arteri uterin sangat bergantung pada tekanan darah
maternal dan curah jantung. Hasilnya, faktor yang mempengaruhi
perubahan aliran darah melalui uterus dapat memberikan efek berbahaya
pada suplai darah fetus.9
Maka uterine blood flow dirumuskan sebagai berikut:
UAP-UVP
UBF = uterine blood flow
UAP = uterine arterial pressure
UVP = uterine venous pressure
UVR = uterine vascular resistance
Aliran darah uterin menurun selama periode hipotensi maternal,
dimana hal tersebut terjadi dikarenakan hipovolemia, perdarahan, dan
kompresi aortocaval, dan blokade simpatis. Hal serupa, kontraksi uterus
(kondisi yang meningkatkan frekuensi atau durasi kontraksi uterus) dan
perubahan tonus vaskular uterus yang dapat terlihat dalam status
hipertensi mengakibatkan gangguan pada aliran darah.5,7
BAB III
PENATALAKSANAAN ANESTESI

3.1 Penatalaksanaan Anestesi Pada Kehamilan


Dalam rangka untuk memberikan anestesi yang aman bagi ibu dan
janin, adalah penting untuk mengingat perubahan fisiologis dan
farmakologis yang menjadi ciri tiga trimester kehamilan; perubahan ini
dapat menimbulkan bahaya bagi mereka berdua. Dokter anestesi
memiliki tujuan sebagai berikut:
 mengoptimalkan dan menjaga fungsi fisiologis normal pada ibu;
 mengoptimalkan dan menjaga aliran darah utero-plasenta dan
pemberian oksigen
 menghindari efek obat yang tidak diinginkan pada janin
 menghindari merangsang miometrium (efek oxytocic)9
3.2 Penatalaksanaan Anestesi Pada Operasi Obstetri Pada
Kehamilan
3.2.1 Anestesi Lokal
Macam-macam anestesi lokal
a) Infiltrasi langsung di sekitar luka
Inervasi saraf di sekitar perineum berasal dari nervus pudendus.
Untuk luka perineum tingkat pertama dan kedua, cukup dilakukan
infiltrasi lokal di sekitar lokasi jahitan luka.
Bahan analgesia yang lazim dipergunakan adalah lidokain (2-3
ampul, untuk sisi kanan dan kiri). Selanjutnya ditunggu dua menit,
dan jahitan terhadap luka episiotomi dapat dilakukan dengan
aman dan tenang.1
b) Blok nervus pudendus
Nervus pudendus menyarafi otot levator ani, dan otot perineum
profunda serta superfisialis. Dengan memblok saraf pudendus,
akan tercapai anestesi setempat sehingga memudahkan operator
untuk melakukan reparasi terhadap perineum yang mengalami
robekan. Teknik blok saraf pudendus:
 Siapkan 10 cc larutan lidokain 0,5-1% untuk anestesia.
 Tangan kanan dimasukkan kedalam vagina untuk mencapai
spina iskiadika.
 Jarum suntik ditusukkan sampai menembus ujung ligamentum
sakrospinarium, tepat dibelakang spina iskiadika.
 Kemudian jarum diarahkan agak ke inferolateralis, dilakukan
aspirasi, untuk menghindarkan masuknya obat anestesi lokal ke
dalam pembuluh darah.
 Suntikan diberikan sebanyak 10 cc dan ditunggu selama 2-5
menit sehingga efek anestesi tercapai.1

Komplikasi anestesi lokal


Komplikasi terjadi bila anestesia lokal masuk ke dalam
pembuluh darah, sehingga menimbulkan intoksikasi susunan
saraf pusat. Oleh karena itu harus dilakukan upaya untuk
menghindarkan masuknya obat anestesi ke dalam pembuluh
darah, dengan jalan melakukan aspirasi, sebelum penyuntikan
dilakukan. Gejala intoksikasi obat anestesi lokal adalah :
 Pusing dan kepala terasa ringan
 Tinitus
 Perilaku aneh
 Kejang
 Terdapat gangguan pernapasan
 Intoksikasi pada sistem kardiovaskuler, dengan gejala awal
hipertensi dan takikardi, kemudian diikuti hipotensi dan
bradikardi.1,6
Penanganan intoksikasi obat anestesi lokal yang masuk ke
pembuluh darah
Bila terjadi kejang, dapat diatasi dengan memberikan :
 Pentotal
 Valium
Bila terjadi gangguan pada sistem kardiovaskuler:
 Berikan infus secepatnya
 Berikan efedrin hingga tekanan darah naik
 Bila keadaan pasien gawat, maka pasien dapat dirujuk ke
rumah sakit yang mempunyai fasilitas cukup.
 Apabila dalam melakukan pertolongan sederhana, diperkirakan
dapat terjadi komplikasi yang serius, maka pasien perlu dipasangi
infus, karena akan memudahkan pemberian obat-obat antidotum
(jika diperlukan).1,6

3.2.2. Anestesi Regional


Pelaksanaan blok epidural / blok spinal bersifat spesialistik,
sehingga sebaiknya diserahkan kepada dokter ahli anastesia.
Sebagai gambaran, berikut ini dikemukakan beberapa hal tentang
anastesia epidural atau spinal.
Dalam melakukan tindakan kecil pada obstetri dan ginekologi,
seperti : penjahitan kembali luka episiotomi, dilatasi dan kuretase,
atau biopsi dianjurkan untuk melakukan anastesia secara
intravena (lebih mudah dan aman). Dinegara yang sudah maju,
kebanyakan kasus persalinannya memerlukan tindakan anastesia
lumbal, sakral, atau kaudal.9
Analgesi/blok epidural (lumbal) : sering digunakan untuk
persalinan per vaginam.
epidural atau spinal : sering digunakan untuk persalinan per
abdominam/sectio cesarea.
Keuntungan :
 Mengurangi pemakaian narkotik sistemik sehingga kejadian
depresi janin dapat dicegah/dikurangi.
 Ibu tetap dalam keadaan sadar dan dapat berpartisipasi aktif
dalam persalinan.
 Risiko aspirasi pulmonal minimal (dibandingkan pada tindakan
anestesi umum)
 Jika dalam perjalanannya diperlukan sectio cesarea, jalur obat
anestesia regional sudah siap. 9
Kerugian :
 Hipotensi akibat vasodilatasi (blok simpatis)
 Waktu mula kerja (time of onset) lebih lama
 Kemungkinan terjadi sakit kepala pasca punksi. (Post Dural
Punction Headache/ PDPH)
 Untuk persalinan per vaginam, stimulus nyeri dan kontraksi
dapat menurun, sehingga kemajuan persalinan dapat menjadi
lebih lambat. 9
Kontraindikasi :
 Pasien menolak
 Insufisiensi utero-plasenta
 Syok hipovolemik
 Infeksi / inflamasi / tumor pada lokasi injeksi
 Sepsis
 Gangguan pembekuan
 Kelainan SSP tertentu 9
Teknik :
1. Pasang line infus dengan diameter besar, berikan 500-1000 cc
cairan kristaloid (Ringer Laktat).
2. 15-30 menit sebelum anestesi, berikan antasida
3. Observasi tanda vital
4. Epidural : posisi pasien lateral dekubitus atau duduk
membungkuk, dilakukan punksi antara vertebra L2-L5 (umumnya
L3-L4) dengan jarum/trokard. Ruang epidural dicapai dengan
perasaan “hilangnya tahanan” pada saat jarum menembus
ligamentum flavum.
5. Spinal / subaraknoid : posisi lateral dekubitus atau duduk,
dilakukan punksi antara L3-L4 (di daerah cauda equina medulla
spinalis), dengan jarum / trokard. Setelah menembus ligamentum
flavum (hilang tahanan), tusukan diteruskan sampai menembus
selaput duramater, mencapai ruangan subaraknoid. Identifikasi
adalah dengan keluarnya cairan cerebrospinal, jika stylet ditarik
perlahan-lahan.
6. Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang epidural /
subaraknoid.
7. Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah
operasi, menggunakan jarum halus atau kapas.
8. Jika dipakai kateter untuk anestesi, dilakukan fiksasi. Daerah
punksi ditutup dengan kasa dan plester.
9. Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan
selanjutnya.9
Obat anestetik yang digunakan
Lidocain 1-5%, bupivacain 0.25-0.75%, atau chlorprocain 2-
3% .Dosis yang dipakai untuk anestesi epidural lebih tinggi
daripada untuk anestesi spinal.10

Komplikasi yang mungkin terjadi


Jika terjadi injeksi subarachnoid yang tidak diketahui pada
rencana anestesi epidural dapat terjadi total spinal anesthesia,
karena dosis yang dipakai lebih tinggi. Gejala berupa nausea,
hipotensi dan kehilangan kesadaran, dapat sampai disertai henti
napas dan henti jantung. Pasien harus diatur dalam posisi
telentang / supine, dengan uterus digeser ke kiri, dilakukan
ventilasi O2 100% dengan mask disertai penekanan tulang
cricoid, kemudian dilakukan intubasi. Hipotensi ditangani dengan
memberikan cairan intravena dan ephedrine.6
Injeksi intravaskular ditandai dengan gangguan penglihatan,
tinitus, dan kehilangan kesadaran. Kadang terjadi juga serangan
kejang. Harus dilakukan intubasi pada pasien, menggunakan 1.0
– 1.5 mg/kgBB suksinilkolin, dan dilakukan hiperventilasi untuk
mengatasi asidosis metabolik.9
Komplikasi neurologik yang sering adalah rasa sakit kepala
setelah punksi dura. Terapi dengan istirahat baring total, hidrasi
(>3 L/hari), analgesik, dan pengikat / korset perut (abdominal
binder).9

3.2.3 Anestesi Umum


Tindakan anestesi umum digunakan untuk persalinan per
abdominam / sectio cesarea.
Indikasi :
 Gawat janin.
 Ada kontraindikasi atau keberatan terhadap anestesia regional.
 Diperlukan keadaan relaksasi uterus.1,9
Keuntungan :
 Induksi cepat.
 Pengendalian jalan napas dan pernapasan optimal.
 Risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah.9
Kerugian :
 Risiko aspirasi pada ibu lebih besar.
 Dapat terjadi depresi janin akibat pengaruh obat.
 Hiperventilasi pada ibu dapat menyebabkan terjadinya
hipoksemia dan asidosis pada janin.
 Kesulitan melakukan intubasi tetap merupakan penyebab
utama mortalitas dan morbiditas maternal.9
Teknik :
1. Pasang line infus dengan diameter besar, antasida diberikan
15-30 menit sebelum operasi, observasi tanda vital, pasien
diposisikan dengan uterus digeser / dimiringkan ke kiri.
2. Dilakukan preoksigenasi dengan O2 100% selama 3 menit,
atau pasien diminta melakukan pernapasan dalam sebanyak 5
sampai 10 kali.
3. Setelah regio abdomen dibersihkan dan dipersiapkan, dan
operator siap, dilakukan rapid-sequence induction dengan
propofol 2 – 2.5 mg/kgBB atau ketamine 1-2mg/kg dan 1,5
mg/kgBB suksinilkolin.
4. Dilakukan penekanan krikoid, dilakukan intubasi, dan balon
pipa endotrakeal dikembangkan. Dialirkan ventilasi dengan
tekanan positif.
5. O2-N2O 50%-50% diberikan melalui inhalasi, dan suksinilkolin
diinjeksikan melalui infus. Dapat juga ditambahkan inhalasi 1.0%
sevofluran, 0.75% isofluran, atau 0.5% halotan, sampai janin
dilahirkan, untuk mencegah ibu bangun.
6. Obat inhalasi dihentikan setelah tali pusat dijepit, karena obat-
obat tersebut dapat menyebabkan atonia uteri.
7. setelah melahirkan bayi dan plasenta, 20 IU oksitosin didrip IV
dan 0,2 mg methergin IM/ dalam 100 ml normal salin di drip
perlahan.
8. Setelah itu, untuk maintenance anestesi digunakan teknik
balans (N2O/narkotik/relaksan), atau jika ada hipertensi, anestetik
inhalasi yang kuat juga dapat digunakan dengan konsentrasi
rendah.
9. Ekstubasi dilakukan setelah pasien sadar.9
3.3 Penatalaksanaan Anestesi Pada Operasi non Obstetri Pada
Kehamilan
3.3.1 Penilaian Pre-operatif
Tindakan anestesi selama kehamilan perlu melibatkan hubungan
dekat dengan dokter kandungan dan termasuk penilaian USG dari janin
selain itu juga diperlukan konsultasi dengan Neonatologist. Selama
penyelidikan radiologi, paparan janin harus diminimalkan. Hasil tes
darah yang relevan harus tersedia.3,4
Pra-pengobatan harus selalu menyertakan profilaksis aspirasi
seperti ranitidin sitrat, natrium dan metoclopramide. Premedikasi
anxiolysis (Misalnya, midazolam 1 mg) mungkin diperlukan untuk
cemas nifas, seperti katekolamin tinggi dapat menurunkan rahim aliran
darah. Analgesia harus diresepkan mana yang tepat untuk menghindari
efek merusak dari stres pada ibu dan janin. Non-steroid anti-inflamasi
obat harus dihindari, karena risiko penutupan prematur duktus
arteriosus. Namun, aspirin dosis rendah, bahkan ketika diminum secara
teratur, tampaknya aman dalam hal ini.4,11
3.3.2 Pertimbangan Obat
Antara 15 dan 56 hari kehamilan, embrio manusia dikatakan
paling rentan terhadap efek teratogenik obat. Sejak tahun 1978, sebagian
besar obat yang digunakan dalam obat-obatan dan anestesi telah
ditetapkan kode dalam Katalog Swedia Specialities Farmasi Terdaftar (
Fass). Kode-kode ini panduan untuk pilihan yang sesuai dari agen
sehubungan dengan efek pada janin, plasenta dan rahim-plasenta aliran
darah, dan kemungkinan aborsi. Studi hasil dalam jumlah besar
perempuan yang menjalani operasi selama kehamilan menunjukkan
tidak ada peningkatan kelainan bawaan, tetapi risiko yang lebih besar
dari pembatasan aborsi, pertumbuhan dan berat badan lahir
rendah. Studi ini menyimpulkan bahwa masalah dihasilkan dari
penyakit primer atau prosedur bedah itu sendiri daripada paparan
anestesi.8,11
Meskipun data yang tersedia tidak lengkap, penelitian
menunjukkan bahwa pemberian suatu analgesik, hipnotis opioid atau
obat penenang tidak akan memiliki efek merusak pada embrio atau
perkembangan janin. Konsensus saat ini adalah bahwa benzodiazepin
tidak teratogenik dan dosis tunggal tampaknya aman. Karena
kekhawatiran tentang peningkatan risiko sumbing, penggunaan biasa,
terutama pada trimester pertama, mungkin harus dihindari.8
3.3.3 Anestesi dan gestasi
Operasi elektif sebaiknya tidak dilakukan sama sekali selama
kehamilan. Operasi darurat harus melanjutkan tanpa memandang usia
kehamilan dan tujuan utama adalah untuk melestarikan kehidupan
ibu. Dimana layak, operasi sering ditunda sampai trimester kedua untuk
mengurangi resiko teratogenitas dan keguguran, meskipun tidak ada
bukti kuat untuk mendukung hal ini.6
3.3.4 Anestesi pada Trimester Pertama
Setelah 6-8 minggu kehamilan, jantung, hemodinamik,
pernafasan, parameter metabolik dan farmakologis yang jauh
berubah. Dengan peningkatan ventilasi menit dan konsumsi oksigen dan
penurunan dalam cadangan oksigen (penurunan kapasitas residu
fungsional dan volume residu), wanita hamil menjadi lebih cepat
hypoxaemic. Oksigen harus selalu diberikan selama periode rentan
untuk mempertahankan oksigenasi.6,12
Manajemen jalan napas oleh masker wajah, masker laring atau
intubasi trakea bisa secara teknis sulit karena diameter anteroposterior
dinding dada meningkat, pembesaran payudara, edema laring dan berat
badan mempengaruhi jaringan lunak leher. Canul nasal harus dihindari
dalam kehamilan karena peningkatan vaskularisasi selaput
lendir. Penurunan konsentrasi cholinesterase plasma sebanyak 30%
secara teori menyebabkan succinylcholine, anestesi lokal ester memiliki
efek yang lebih lama. 12
Aspirasi profilaksis dianjurkan dari awal trimester kedua.
Kehamilan berhubungan dengan persyaratan anestesi yang lebih rendah,
meskipun mekanisme ini tidak diketahui. Konsentrasi minimum
alveolar (MAC) untuk anestesi inhalasi berkurang sebesar 30% sedini 8-
12 minggu kehamilan. Obat IV yang menginduksi anestesi umum juga
harus diberikan dalam dosis yang lebih rendah.12
Kesejahteraan janin harus dinilai oleh USG atau Doppler
sebelum dan setelah anestesi dan pembedahan. Karena peningkatan
risiko hipoksemia, kesulitan dengan intubasi, aspirasi asam dan risiko
bagi janin, anestesi regional lebih dipilih dari anestesi umum jika
keadaan memungkinkan.12
3.3.5 Anestesi pada trimester kedua
Kompresi Aortocaval adalah bahaya yang paling ditakutkan pada
operasi ibu hamil dengan usia gestasi lebih dari 20 minggu. Karena berat
uterus dapat mendesak vena inferior yang mengakibatkan penurunan
aliran vena dan cardiac output. Sehingga mengakibatkan penurunan
aliran darah uterus-plasenta. Hal ini y dapat terjadi pada bebepa wanita
hamil dengan posisi telentang. Biasanya keadaan ini dapat dikompensasi
dengan vasokontriksi dan takikardi pada ekstremitas atas. Efek ini dapat
diperburuk oleh regional atau anestesi umum ketika mekanisme
kompensasi normal dilemahkan atau dihapuskan. Aortocaval kompresi
dapat dihindari dengan menggunakan posisi lateral. Hal ini juga dapat
dikurangi dengan perpindahan rahim melalui wedging atau perpindahan
manual.12
Kehamilan berhubungan dengan keadaan hiperkoagulasi karena
peningkatan pro-koagulan faktor. Insiden komplikasi tromboembolik
setidaknya lima kali lebih besar selama kehamilan; tromboprofilaksis
sangat penting.6,12
3.3.6 Anestesi untuk trimester ketiga
Pada usia kehamilan ini, melahirkan melalui operasi caesar
sebelum operasi utama adalah sering dianjurkan. Bila memungkinkan,
operasi harus ditunda 48 jam untuk memungkinkan terapi steroid untuk
meningkatkan pematangan paru janin. Mungkin lebih tepat untuk
melahirkan bayi dengan anestesi regional, kemudian dikonversi ke
anestesi umum untuk operasi definitif. Anestesi pasca persalinan harus
disesuaikan dengan persyaratan bedah, dengan tindakan pencegahan
bahwa agen-agen volatil harus dihentikan atau digunakan hanya dalam
dosis kecil (<0,5 MAC) bersama dengan oxytocics untuk meminimalkan
risiko atonia uteri dan perdarahan.12
Bedah, stres dan anestesi dapat menekan laktasi, setidaknya
untuk sementara. Kebanyakan obat diekskresikan ke dalam ASI,
namun, hanya sedikit yang benar-benar dikontraindikasikan selama
menyusui (zat radioaktif misalnya, ergotamine, lithium, agen
psikotropika.6
3.3.7 Pengawasan Post-operatif
Denyut jantung janin (DJJ) dan aktivitas uterus harus dipantau
selama pemulihan dari anestesi. Jika janin layak untuk persalinan
prematur, konsultasi dengan konsultan pediatric telah mennyarankan,
jika perlu, pasien harus dipindahkan ke rumah sakit dengan perawatan
intensif neonatal unit. Analgesia yang memadai harus diperoleh dengan
sistemik atau opioid tulang belakang. Anestesi regional lebih disukai
karena opioid sistemik dapat mengurangi variabilitas DJJ. Penggunaan
rutin dan berkepanjangan nonsteroid obat antiinflamasi sebaiknya
dihindari karena efek janin potensial (misalnya, prematur penutupan
ductus arteriosus dan pengembangan oligohidramnion). Acetaminophen
aman untuk meresepkan dalam pengaturan ini. Mobilisasi awal dan
profilaksis trombosis vena harus harus diwaspadai pada pasien beresiko
untuk tromboemboli.11

3.4 Obat Anestesi yang Aman Untuk Ibu Hamil


Kedua jenis anestesi umum dan spinal telah dianggap berhasil
digunakan untuk operasi non obstetric pada ibu hamil. Tidak ada
penelitian yang terbaru menunjukkan keunggulan suatu teknik
dibandingkan yang lain dalam hal hasil bagi janin. Anestesi spinal
memang mencegah resiko yang potensial akan kegagalan intubasi dan
aspirasi serta mengurangi pemaparan teratogen yang potensial bagi
janin.Dalam anestesi dan operasi, calon janin paling baik dipastikan
dengan perawatan yang cermat dari parameter hemodinamik dan
oksigenasi ibu. Pemantauan tertutup akan respon janin terhadap tanda-
tanda kegawatan sangat direkomendasikan.10
Saat penilaian preoperasi, premedikasi untuk menenangkan
kegelisahan bisa untuk dipertimbangkan. Profilaksis terhadap aspirasi
pneumonitis dengan H2- reseptor antagonis dan nonpartikulat antasida
harus diberikan sejak 16 minggu gestasi. Sejak saat tersebut, pasien
harus dipertimbangkan berada pada resiko kompresi aortocaval dan
aspirasi pneumonitis.10,11
Anestesia umum biasanya dipertahankan dengan agen anestetik
yang mudah menguap, yaitu udara oksigen atau campuran N2O/O2.
Studi terbaru tidak menemukan N2O teratogenik dalam penggunaan
klinis. Efek dari anestesia umum yang ringan dan berasosiasi dengan
katekolamin yang menghasilkan terganggunya perfusi uteroplacental
yang dianggap berbahaya bagi janin.6,10
Tekanan positif ventilasi harus digunakan dengan perawatan dan
akhir tidal level CO2 harus dipertahankan dalam batasan yang terlihat
normal dalam kehamilan.Ada hubungan linear antara PaCO2 maternal
dengan PaCO2 janin.6
Maternal hiperkarbia membatasi gradient dari difusi CO2 dari
janin ke darah ibu dan dapat menyebabkan asidosis janin, sehingga
meningkatkan resiko kematian janin. Dengan alasan ini, analisa gas
darah rutin sangat dianjurkan dalam operasi laparaskopi, dimana CO2
digunakan untuk menetapkan dan mempertahankan pneumoperitoneum.
Studi terbaru menemukan korelasi yang baik antara tidal akhir CO2 dan
PaCO2 dalam kehamilan dan menyimpulkan bahwa gradient
sebelumnya dapat digunakan dengan aman sebagai petunjuk ventilasi
selama laparaskopi pada pasien hamil.6
Aplikasi terhadap positif dan tekanan ekspirasi harus
dipertimbangkan pada perubahan hemodinamik yang dapat
membahayakan perfusi plasenta. Pasien harus diekstubasi sehingga
sadar penuh dalam posisi lateral setelah melakukan suction orogastric
untuk bertahannya aspirasi sampai reflek jalan napas yang aman telah
kembali.6

Obat Anestesi
AAP Kategori Risiko
Nama Obat approved?* Kehamilan** Risiko Menyusui**
Anestesi Lokal
Articaine (Septocaine) NR - NR
Bupivacaine (Marcaine) NR C L2
Lidocaine (Xylocaine) Approved C L2
Mepivacaine (Carbocaine,
Polocaine) NR C L3
Procaine HCL (Novocaine) NR C L3
Anestesi Umum

Halothane (Fluothane) Approved C L2


Isoflurane (Forane) NR - NR
Ketamine NR - NR
Methohexital (Brevital) Approved B L3
Nitrous oxide NR - L3
Sevoflurane (Ultane) NR B L3
Thiopental (Pentothal) Approved C L3
Obat lain yang sering digunakan selama anestesi
Sedatives
Diazepam (Valium) Concern D L3; L4 for chronic use
Midazolam (Versed) Concern D L3
Propofol (Diprivan) NR B L2
Triazolam (Halcion) NR X L3
Narcotic Analgesics
Alfentanil (Alfenta) NR C L2
Fentanyl (Sublimaze) Approved B L2
Hydromorphone (Dilaudid) NR C L3
Morphine Approved B L3
Reversal Medication
Flumazenil (Romazicon) NR C NR
Naloxone (Narcan) NR C NR
Steroids
Decadron (Dexamethasone) NR C NR
Stimulants
Epinephrine (Adrenaline) NR C L1
Anti-nausea
Promethazine (Phenergan) NR C L2
* Per the AAP (American Academic of Pediatric) Policy Statement Transfer Obat dan
Bahan KimiaLainnya Ke ASI, direvisi September 2001.
 Approved: Obat yang cocok untuk ibu menyusui
 Concern: Obat yang efeknya pada bayi yang menyusui tidak diketahui tetapi harus
diperhatikan
 Caution: Obat yang telah berhubungan dengan efek yang signifikan
pada beberapa bayi yang menyusui dan harus diberikan pada ibu menyusui dengan
perhatian
 NR: Not Reviewed. Obat ini belum ditinjau oleh AAP.
** Per Medications’ and Mothers’ Milk by Thomas Hale, PhD (edisi 2004).
Kategori Resiko Laktasi Kategori Resiko Kehamilan
 A (studi kontrol menunjukkan tidak adanya
 L1 (sangat aman) resiko)
 L2 (aman)  B (tidak ada bukti resiko pada manusia)
 L3 (sedang)  C (resiko tidak bisa dicegah)
 L4 (kemungkinan berbahaya)  D (positif adanya resiko)
 L5 (kontra indikasi)  X (kontraindikasi dalam kehamilan)
NR: Not Reviewed. Obat ini belum ditinjau oleh Hale. (Hale, 2004)
Tabel 3.1 Obat-obat anestesi dalam kehamilan adalah:13

BAB IV
SIMPULAN

Perubahan fisiologis kehamilan akan mempengaruhi tekhnik


anestesi yang akan digunakan. Risiko yang mungkin timbul pada
saat penatalaksanaan anestesi adalah seperti adanya gangguan
pengosongan lambung, terkadang sulit dilakukan intubasi,
kebutuhan oksigen meningkat, dan pada sebagian ibu hamil
posisi terletang (supine) dapat menyebabkan hipotensi (“supine
aortocaval syndrome”) sehingga janin akan mengalami
hipoksia/asfiksia.
Teknik anestesi local (infiltrasi) jarang dilakukan, terkadang setelah
bayi lahir dilanjutkan dengan pemberian pentothal dan N2O/O2 namun
analgesi sering tidak memadai serta pengaruh toksik obat lebih besar.
Anestesi regional (spinal atau epidural) dengan teknik yang sederhana,
cepat, ibu tetap sadar, bahaya aspirasi minimal, namun sering
menimbulkan mual muntah sewaktu pembedahan, bahaya hipotensi
lebih besar, serta timbul sakit kepala pasca bedah. Anestesi umum
dengan teknik yang cepat, baik bagi ibu yang takut, serba terkendali dan
bahaya hipotensi tidak ada, namun kerugian yang ditimbulkan
kemungkinan aspirasi lebih besar, pengaturan jalan napas sering
mengalami kesulitan, serta kemungkinan depresi pada janin lebih besar.

You might also like