You are on page 1of 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif
nonreversible atau reversible parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya. Bronkhitis kronik sendiri ditandai dengan
adanya batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya
dua tahun berturut-turut, dan tidak disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan
emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.1
Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronis juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat
dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversible penuh, dan memenuhi kriteria
PPOK.1,2
Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang
terpenting dari PPOK, jauh lebih penting daripada faktor penyebab lainnya. Selain
itu, faktor risiko lain yang dapat menyebabkan PPOK diantaranya adalah
hipereaktiviti bronkus, riwayat infeksi saluran nafas bawah berulang, dan riwayat
terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja.2
Di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1986,
asma, bronkitis kronik, dan emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab
kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992
menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronis, dan emfisema
menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Faktor
yang berperan dalam peningkatan tersebut diantaranya adalah kebiasaan merokok
yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70%), polusi udara terutama di kota
besar, dan industrialisasi. Karena jumlah dan tingkat mortalitas akibat kasus PPOK di
Indonesia adalah tinggi, maka sebagai dokter umum harus dapat mengenali dan
melakukan terapi pada PPOK.1,2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTIFIKASI
Nama : Tn. H
Usia : 73 tahun
Tanggal lahir : 16 Juli 1945
Agama : Islam
Tanggal masuk : 02 Mei 2018, pukul 22.15 WIB
Unit : Instalasi Gawat Darurat

2.2 ANAMNESIS ( Tanggal 02 Mei 2018 )


Keluhan Utama
Sesak nafas yang bertambah hebat sejak ± 1 hari SMRS.

Riwayat Perjalanan Penyakit


± 1 bulan SMRS, os mengeluh batuk, dahak (+), warna putih, ± 1 sendok makan
setiap batuk, batuk berdarah (-). Demam (-), sesak (-), nyeri dada (-), mual (-),
muntah (-), nafsu makan biasa, BAB dan BAK biasa. Os merupakan perokok
berat, 1 hari bisa menghabiskan 1-2 bungkus rokok.
± 10 hari SMRS, Sesak saat bernapas (+), mulut harus mencucu saat bernapas,
tidak dipengaruhi oleh aktifitas, tidur tidak menggukan bantal tinggi, tidak
dipengaruhi cuaca, mengi (-). Os mengeluh batuk berdahak semakin sering,
dahak warna putih, ± 1 sendok makan setiap batuk, Demam (-), keringat dingin
malam hari (-), penurunan berat badan disangkal, nafsu makan (-), BAK (+)
lancar, BAB(+) lancar. Os masih merokok 1 hari 4 batang rokok.
± 1 hari SMRS os mengeluh sesak napas semakin bertambah, mengi(-). Sesak
napas tidak dipengaruhi aktivitas, cuaca, dan emosi. Sesak napas tidak berkurang
saat istirahat. Batuk (+), dahak warna putih ± 2 sendok makan setiap batuk .
Nyeri dada (+) di dada kanan seperti ditusuk setiap os batuk. Nyeri dada tidak
menjalar ke tempat lain. Mual (-), muntah (-), penurunan nafsu makan (-),

2
keringat dingin malam hari (-), penurunan berat badan (-), BAK tidak ada
keluhan, BAB tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat darah tinggi disangkal
 Riwayat kencing manis disangkal
 Riwayat penyakit asma disangkal
 Riwayat bronkitis kronik 6 bulan yang lalu, os sering menggunakan
inhaler
 Riwayat minum obat selama 6 bulan disangkal
 Riwayat jantung disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal, riwayat hipertensi
disangkal, riwayat kencing manis, asma bronkial dan penyakit jantung
disangkal.

Riwayat Sosial
Riwayat merokok diakui pasien sejak usia 21 tahun dan merokok rata-rata 2
bungkus per hari namun selama batuk Os merokok 1 bungkus per hari. Os mulai
berhenti meroko sejak 5 hari SMRS. Aktivitas pasien sehari-hari tidak terbatas.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK ( Tanggal 02 Mei 2018 )


a. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Berat badan : 45 kg
Tinggi badan : 163 cm
IMT : 17,3 (Status Gizi Kurang)

b. Tanda Vital
TD : 120/70 mmHg
HR : 96x/menit
RR : 29x/menit , SaO2 : 98%

3
Suhu : 36,5oC

c. Pemeriksaan Fisik

Kepala
Normocephali, warna rambut sebagian besar putih namun masih ada yang
berwarna hitam, penyebaran rambut merata, tidak mudah dicabut

Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-), pupil
isokor (+/+), reflek cahaya normal,

Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik,
tidak ditemukan penyumbatan maupun perdarahan, pernapasan cuping hidung (-
)

Telinga
Tophi (-), nyeri tekan processus mastoideus (-), pendengaran baik.

Mulut
Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah (-), atrophi papil (-), hipertrofi
ginggiva (-), gusi berdarah (-), stomatitis (-), faring tidak ada kelainan.

Leher
Pembesaran kelenjar thyroid (-), JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar getah
bening (-), kaku kuduk (-)

Dada
Bentuk dada barrel chest, diameter anteroposterior 16 cm, diameter transversal
28 cm, nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-), spider nevi (-).

Paru
Inspeksi : Statis, dinamis simetris kanan dan kiri, Pursed - lips breathing, barrel
chest, sela iga melebar (+), otot bantu intercostal (+)
4
Palpasi : Stem fremitus sama kanan dan kiri melemah
Perkusi : Hipersonor pada lapangan paru kanan dan kiri.
Auskultasi: Vesikuler menurun pada paru kanan, ronkhi (-), wheezing (-).

Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di Spasium Inter Costa V 2 cm medial Linea Mid
Clavicula Sinistra, kuat angkat (-), melebar (-), pulsasi parasternal (-),
pulsasi epigastrial (-), sternal lift (-)
Perkusi : Batas atas :Spasium Inter Costa II Lineaparasternal Sinistra
Batas kanan : Linea Parasternal Dextra
Batas kiri : Spasium Inter Costa V 2 cm medial Linea Mid
Clavicula Sinistra
Auskultasi: HR 96 x / menit, reguler, gallop sulit dinilai

Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : lemas, hepar dan lien tidak teraba, NT (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi: BU (+) N

Ekstremitas atas:
Eutoni, eutrophi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema (-), jaringan
parut (-), akral dingin (-), jari tabuh (-), turgor baik, clubbing finger (-), eritem
palmar (-).

Ekstremitas bawah:
Eutoni, eutrophi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), nyeri otot tungkai
(-), edema pretibial (-), edema pedis (-), jaringan parut (-), lebam (-), turgor
kembali cepat.

5
Kulit
Warna sawo matang, efloresensi (-), scar (-), ikterus pada kulit (-), sianosis (-),
spider nevi (-), pucat pada telapak tangan dan kaki (-), eritema palmar (-),
pertumbuhan rambut normal.

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Laboratorium (02/05/2018)
Parameter Hasil Nilai rujukan
Darah Rutin
Hemoglobin 16 g/dL 14-18
Hematokrit 48,5 % 40.0-54.0
Leukosit 5,9 ribu/uL 4.000-10.000
Trombosit 195 ribu/uL 1500.000-450.000
Eritrosit 5,35 juta/uL 4.50-5.90
Fungsi Hati
SGOT 27 U/l 5-40
SGPT 20 U/l <45
Fungsi Ginjal
Ureum Darah 30 mg/dL 20-40
Creatinin Darah 0,6 mg/dL 0,6-1,5
Diabetes
Gula Darah Sewaktu 95 g/dL 70-120
Elektrolit Darah
Natrium 135 mmol/l 135-147
Kalium 4,55 mmol/l 3,1-5,1
Klorida 97 mmol/l 95-108
HBsAg Negatif Negatif

6
a. Pemeriksaan EKG

Interpretasi EKG
Irama Sinus rythm
QRS rate 96x/menit
Regularitas Regular
Axis Normoaksis
Interval PR 0,12s
Gelombang P normal
Kompleks QRS <0.12 s
ST Elevasi -
ST Depresi -
T inverse -
Q patologis -
VES -
Kesan : Normal
Pemeriksaan Radiologi ( Foto thorax PA,
tanggal 2 Mei 2018)

7
RESUME
± 1 bulan SMRS, os mengeluh batuk, dahak (+), warna putih, ± 1 sendok
makan setiap batuk, batuk berdarah (-). Demam (-), sesak (-), nyeri dada (-), mual (-),
muntah (-), nafsu makan biasa, BAB dan BAK biasa. Os merupakan perokok berat, 1
hari bisa menghabiskan 1-2 bungkus rokok.
± 10 hari SMRS, os mengeluh batuk berdahak semakin sering, dahak warna
putih, ± 1 sendok makan setiap batuk, sesak (+) tidak dipengaruhi oleh aktifitas, tidur
tidak menggukan bantal tinggi, tidak dipengaruhi cuaca, mengi (-). Demam (-),
keringat dingin malam hari (-), penurunan berat badan disangkal, nafsu makan (-),
BAK (+) lancar, BAB(+) lancar. Os masih merokok 1 hari 4 batang rokok.
± 1 hari SMRS os mengeluh sesak napas semakin memberat, mengi(-). Sesak
napas tidak dipengaruhi aktivitas, cuaca, dan emosi. Sesak napas tidak berkurang
saat istirahat. Batuk (+), dahak warna putih ± 2 sendok makan setiap batuk . Nyeri
dada (+) di dada kanan seperti ditusuk setiap os batuk. Nyeri dada tidak menjalar ke
tempat lain. Mual (-), muntah (-), penurunan nafsu makan (-), keringat dingin malam
hari (-), penurunan berat badan (-), BAK tidak ada keluhan, BAB tidak ada keluhan.
Riwayat darah tinggi disangkal, kencing manis disangkal. Riwayat penyakit
asma disangkal. Riwayat minum obat selama 6 bulan disangkal. Riwayat merokok
(+) sejak umur 21 tahun, 2 bungkus/hari. Os berhenti merokok sejak 5 hari SMRS.
Riwayat Penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan os tampak sakit sedang dengan
kesadaran compos mentis. Tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 96 x/menit,
pernapasan 29 x/menit, temperatur 36,9°C, status gizi kurang. Pada pemeriksaan
paru, inspeksi Statis, dinamis simetris kanan sama dengan kiri, barrel chest, dan sela
iga yang melebar, pursed lips breathing dengan palpasi stem fremitus thorak kanan
dan kiri melemah, perkusi dada didapatkan hipersonor pada lapangan paru kanan dan
kiri. Pada auskultasi, Vesikuler menurun pada paru kanan.
Pemeriksaan penunjang :
Laboratorium : tidak terdapat peningkatan nilai leukosit dan dalam batas
normal.
EKG : Normo sinus

Radiologi : kesan : Penyakit Paru obstruktif Kronik.

8
.
DIAGNOSIS KERJA
PPOK eksaserbasi akut

DIAGNOSIS BANDING
Asma Bronkial
Tuberkulosis
Congestif heart failure
Bronkiektasis

TATALAKSANA
a. Non medikamentosa
 O22-4 L/menit
 Tirah baring
 Edukasi : pengendalian Faktor risiko
 Konsul Sp.P
 Konsul Sp.GK
b. Medikamentosa
• Aminofilin + Nacl 500cc/ 8jam
• Metyl Prednison 2x 125mg IV
• Nebul meptin mini/ 4jam
• Nebul Flexotide/ 8jam
• Ceftriaxone 2x1gr IV
• GG 3x100mg PO
PEMERIKSAAN TAMBAHAN
Spirometri
BTA I,II,III
Kultur sputum
Sitologi sputum
Bronkoskopi
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam

9
10

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi dan Fisiologi Paru

Paru-paru adalah salah satu organ sistem pernapasan yang berada di dalam
kantong yang dibentuk oleh pleura perietalis dan pleura viseralis. Kedua paru-
paru sangat lunak, elastis, sifatnya ringan terapung di dalam air, dan berada dalam
rongga torak.
Masing-masing paru-paru mempunyai apeks yang tumpul dan menjorok
keatas kira-kira 2,5 cm di atas klavikula. Fasies kostalis yang berbentuk konveks
berhubungan dengan dinding dada sedangkan fasies mediastinalis yang berbentuk
konkaf membentuk pericardium. Pada pertengahan permukaan paru kiri terdapat
hilus pulmonalis yaitu lekukan di mana bronkus, pembuluh darah, dan saraf
masuk ke paru-paru membentuk radiks pulmonalis.2,8
a. Apeks pulmo
Berbentuk bundar menonjol ke arah dasar yang melebar melewati apartura
torasis superior 2,5-4 cm di atas ujung iga pertama.
b. Basis pulmo

10
11

Pada paru-paru kanan, bagian yang berada di atas permukaan cembung


diafragma akan lebih menonjol ke atas daripada paru-paru bagian kiri,
maka basis paru kanan lebih kontak daripada paru-paru kiri.
c. Insisura atau fisura
Dengan adanya fisura atau takik yang ada pada permukaan, paru-paru
dapat dibagi menjadi beberapa lobus. Letak insisura dan lobus dapat
digunakan untuk menentukan diagnosis.
Pada paru-paru kiri terdapat insisura yaitu insisura obliges. Insisura ini
membagi paru-paru kiri atas menjadi tiga lobus yaitu lobus superior,
medius, dan lobus inferior yang terbagi menjadi beberapa segmen.
Paru-paru kanan memiliki dua insisura yaitu insisura obligue dan insisura
interlobularis sekunder. Pada paru kanan hanya terdapat dua lobus yaitu
lobus superior dan lobus inferior yang juga terbagi menjadi beberapa
segmen.

11
12

Fisiologi Paru1
Manusia dalam bernapas menghirup oksigen dalam udara bebas dan
membuang karbondioksida ke lingkungan. Dalam mengambil nafas ke dalam
tubuh dan membuang napas ke udara dilakukan dengan dua cara pernapasan,
yaitu:
Respirasi / Pernapasan Dada
Pernapasan dada adalah pernapasan yang melibatkan otot antartulang
rusuk. Mekanismenya dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Fase inspirasi. Fase ini berupa berkontraksinya otot antar tulang rusuk
sehingga rongga dada membesar.
2. Fase ekspirasi. Fase ini merupakan fase relaksasi atau kembalinya otot
antara tulang rusuk ke posisi semula yang dikuti oleh turunnya tulang
rusuk sehingga rongga dada menjadi kecil.
Otot-otot yang digunakan ketika bernapas yaitu:
a. Otot yang Digunakan Saat Inspirasi
 Kontraksi diafragma
 Kontraksi otot eksternal
 Kontraksi otot aksesori, seperti sternocleidomastoid, serratus anterior,
pectoralis minor, dan otot scalens.
b. Otot yang Digunakan Saat ekpirasi
 Otot internal inetrkostal dan transversus thoracis.
 Otot abdominal, termasuk oblique internal dan eksternal, tranversus
abdominis dan otot rectus abdominis, dapat membantu otot internal
interkostal saat ekshalasi.

3.2 Definisi
COPD atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit yang dapat
dicegah dan dirawat dengan beberapa gejala ekstrapulmonari yang signifikan,
yang dapat mengakibatkan tingkat keparahan yang berbeda pada tiap individual.
Penyakit paru kronik ini ditandai dengan keterbatasan aliran udara di dalam
saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, biasanya

12
13

disebabkan oleh proses inflamasi paru yang disebabkan oleh pajanan gas
berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan sistemik. Gangguan ini
dapat dicegah dan dapat diobati. Penyebab utama PPOK adalah rokok, asap polusi
dari pembakaran, dan partikel gas berbahaya.3

3.3 Prevalensi
Di Amerika, kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat
mencapai angka 1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan
119.000 meninggal selama tahun 2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK
menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker dan penyakti
serebro vascular. Biaya yang dikeluarkan untuk penyakit ini mencapai $24 milyar
per tahunnya. WHO memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi
PPOK akan meningkat. Akibat sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya
akan meningkat dari ke duabelas menjadi ke lima dan sebagai penyebab kematian
akan meningkat dari ke enam menjadi ke tiga. Berdasarkan survey kesehatan
rumah tangga Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama asma bronchial
menduduki peringkat ke enam. Merok merupakan farktor risiko terpenting
penyebab PPOK di samping faktor risiko lainnya seperti polusi udara, faktor
genetik dan lain-lainnya.

3.4. Etiologi
Setiap orang dapat terpapar dengan berbagai macam jenis yang berbeda dari
partikel yang terinhalasi selama hidupnya, oleh karena itu lebih bijaksana jika kita
mengambil kesimpulan bahwa penyakit ini disebabkan oleh iritasi yang
berlebihan dari partikel-partikel yang bersifat mengiritasi saluran pernapasan.
Setiap partikel, bergantung pada ukuran dan komposisinya dapat memberikan
kontribusi yang berbeda, dan dengan hasil akhirnya tergantung kepada jumlah
dari partikel yang terinhalasi oleh individu tersebut.1
Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih penting
dari faktor penyebab lainnya. Faktor resiko genetik yang paling sering dijumpai

13
14

adalah defisiensi alfa-1 antitripsin, yang merupakan inhibitor sirkulasi utama dari
protease serin.3
Faktor resiko COPD bergantung pada jumlah keseluruhan dari partikel-
partikel iritatif yang terinhalasi oleh seseorang selama hidupnya :4
 Asap rokok
Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala
respiratorik, abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas yang lebih tinggi dari
pada orang yang tidak merokok. Resiko untuk menderita COPD bergantung
pada “dosis merokok”nya, seperti umur orang tersebut mulai merokok,
jumlah rokok yang dihisap per hari dan berapa lama orang tersebut
merokok. Enviromental tobacco smoke (ETS) atau perokok pasif juga dapat
mengalami gejala-gejala respiratorik dan COPD dikarenakan oleh partikel-
partikel iritatif tersebut terinhalasi sehingga mengakibatkan paru-paru
“terbakar”. Merokok selama masa kehamilan juga dapat mewariskan faktor
resiko kepada janin, mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan paru-
paru dan perkembangan janin dalam kandungan, bahkan mungkin juga
dapat mengganggu sistem imun dari janin tersebut.
 Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun)
 Indoor Air Pollution atau polusi di dalam ruangan.
Hampir 3 milyar orang di seluruh dunia menggunakan batubara, arang, kayu
bakar ataupun bahan bakar biomass lainnya sebagai penghasil energi untuk
memasak, pemanas dan untuk kebutuhan rumah tangga lainnya. Sehingga
IAP memiliki tanggung jawab besar jika dibandingkan dengan polusi di luar
ruangan seperti gas buang kendaraan bermotor. IAP diperkirakan
membunuh 2 juta wanita dan anak-anak setiap tahunnya.
 Polusi di luar ruangan, seperti gas buang kendaraan bermotor dan debu
jalanan.
 Infeksi saluran nafas berulang
 Jenis kelamin
Dahulu, COPD lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding wanita.
Karena dahulu, lebih banyak perokok laki-laki dibanding wanita. Tapi

14
15

dewasa ini prevalensi pada laki-laki dan wanita seimbang. Hal ini
dikarenakan oleh perubahan pola dari merokok itu sendiri. Beberapa
penelitian mengatakan bahwa perokok wanita lebih rentan untuk terkena
COPD dibandingkan perokok pria.
 Status sosio ekonomi dan status nutrisi
 Asma
 Usia. Onset usia dari COPD ini adalah pertengahan

3.5. Patogenesis
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa faktor resiko utama dari
COPD ini adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok ini merangsang
perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu,
silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta
metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia
ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan
mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan
menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema dan
pembengkakan jaringan. Ventilasi, terutama ekspirasi terhambat. Timbul
hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat
mukus yang kental dan adanya peradangan.4
Komponen-komponen asap rokok tersebut juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif
merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran
udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps
terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan
(recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi
recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara
kolaps.4
Ada beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien COPD,
yakni : peningkatan jumlah neutrofil (didalam lumen saluran nafas), makrofag

15
16

(lumen saluran nafas, dinding saluran nafas, dan parenkim), limfosit CD 8+


(dinding saluran nafas dan parenkim). Yang mana hal ini dapat dibedakan dengan
inflamasi yang terjadi pada penderita asma.5

3.6 Klasifikasi
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat :4
1. Derajat I: COPD ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan aliran
udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini,
orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.
2. Derajat II: COPD sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% <
VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam
tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas
yang dialaminya.
3. Derajat III: COPD berat
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin
memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30%  VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak
nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi
yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.
4. Derajat IV: COPD sangat berat
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 <
30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal nafas
kronik dan gagal jantung kanan.

PPOK menurut GOLD 2017 dibedakan menjadi grup A, B, C dan D.


Penilaian terhadap beberapa aspek penyakit dilakukan secara terpisah,
yaitu3:
1. Gejala

16
17

Penilaian gejala dilakukan dengan COPD Assessment Test (CAT) atau


Modified British Medical Research Council(mMRC). CAT dikatakan
lebih komprehensif sedangkan mMRC hanya melakukan penilaian
terhadap sesak napas.
Pasien dikatakan “less symptom” jika skor mMRC 0-1 atau CAT < 10.
Pasien dikatakan “more symptom” jika skor mMRC ≥ 2 atau CAT ≥ 10.
2. Derajat hambatan jalan napas (dengan spirometri)
Derajat hambatan jalan napas dinyatakan dengan GOLD 1, 2, 3 dan 4

Pasien dikatakan “low risk” jika hasil spirometri GOLD 1 atau 2. Pasien
dikatakan “high risk” jika hasil spirometri GOLD 3 atau 4.
3. Resiko eksaserbasi
Pasien dikatakn “low risk” jika eksaserbasi terjadi sebanyak ≤ 1 kali
dalam setahun dan tidak ada rawat inap saat eksaserbasi. Pasien
dikatakan “high risk” jika eksaserbasi ≥ 2 kali dalam setahun dan ≥ 1 kali
rawat inap.
4. Komorbid
Komorbid antara lain penyakit kardiovaskular, osteoporosis, depresi,
Kanker paru, sindrom metabolik dan diabetes. Komrobid perlu ditangani.
Komorbid ini menurunan status kesehatan pada pasien PPOK.
Hasil dari penilaian beberapa aspek diatas digabungkan untuk
menentukan pasien dikategorikan ke dalam PPOK grup A, B, C atau D.
Dalam menentukan resiko (low risk atau high risk), dipilih salah satu yang
tertinggi/terparah dari skor GOLD spirometri atau eksaserbasi. Satu atau
lebih rawat inap saat eksaserbasi masuk ke dalam “high risk”.3

17
18

3.7 Diagnosa
Penderita COPD akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas,
batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, faktor resiko (+). Sedangkan COPD
ringan dapat tanpa keluhan atau gejala. Dapat ditegakkan dengan cara :1

1. Anamnesis
Anamnesis riwayat paparan dengan faktor resiko, riwayat penyakit
sebelumnya, riwayat keluarga PPOK, riwayat eksaserbasi dan perawatan di
RS sebelumnya, komorbiditas, dampak penyakit terhadap aktivitas, dll.
2. Pemeriksaan Fisik, dijumpai adanya :
 Pernafasan pursed lips
 Takipnea
 Dada emfisematous atu barrel chest
 Tampilan fisik pink puffer atau blue bloater
 Pelebaran sela iga
 Hipertropi otot bantu nafas
 Bunyi nafas vesikuler melemah
 Ekspirasi memanjang
 Ronki kering atau wheezing
 Bunyi jantung jauh
3. Pemeriksaan Foto Toraks, curiga PPOK bila dijumpai kelainan:

18
19

 Hiperinflasi
 Hiperlusen
 Diafragma mendatar
 Corakan bronkovaskuler meningkat
 Bulla
 Jantung pendulum
4. Uji Spirometri, yang merupakan diagnosis pasti, dijumpai :
 VEP1 < KVP < 70%
 Uji bronkodilator (saat diagnosis ditegakkan) : VEP1 paska bronkodilator
< 80% prediksi
5. Uji Coba kortikosteroid
6. Analisis gas darah
 Semua pasien dengan VEP1 < 40% prediksi
 Secara klinis diperkirakan gagal nafas atau payah jantung kanan

3.8 Diagnosa Banding


Pada GOLD 2017 PPOK didiagnosa banding dengan :3
1. Asma Bronkial
2. Gagal jantung kongestif
3. Bronkiektasis
4. Tuberkulosis

19
20

Pada Perhimpunan Paru Indonesia PPOK didiagnosis banding dengan :

3.9. Penatalaksanaan
Adapun tujuan dari penatalaksanaan COPD ini adalah :1
 Mencegah progesifitas penyakit
 Mengurangi gejala
 Meningkatkan toleransi latihan
 Mencegah dan mengobati komplikasi
 Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang
 Mencegah atau meminimalkan efek samping obat
 Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
 Meningkatkan kualitas hidup penderita
 Menurunkan angka kematian

Program berhenti merokok sebaiknya dimasukkan sebagai salah satu


tujuan selama tatalaksana COPD.5
Tujuan tersebut dapat dicapai melalui 4 komponen program tatalaksana,
yaitu :1
1. Evaluasi dan monitor penyakit

20
21

PPOK merupakan penyakit yang progresif, artinya fungsi paru akan


menurun seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, monitor
merupakan hal yang sangat penting dalam penatalaksanaan penyakit
ini. Monitor penting yang harus dilakukan adalah gejala klinis dan
fungsi paru.
Riwayat penyakit yang rinci pada pasien yang dicurigai PPOK atau
pasien yang telah di diagnosis PPOK digunakan untuk evaluasi dan
monitoring penyakit :
 Pajanan faktor resiko, jenis zat dan lamanya terpajan
 Riwayat timbulnya gejala atau penyakit
 Riwayat keluarga PPOK atau penyakit paru lain, misalnya asma, tb
paru
 Riwayat eksaserbasi atau perawatan di rumah sakit akibat penyakit
paru kronik lainnya
 Penyakit komorbid yang ada, misal penyakit jantung, rematik, atau
penyakit-penyakit yang menyebabkan keterbattasan aktifitas
 Rencanakan pengobatan terkini yang sesuai dengan derajat PPOK
 Pengaruh penyakit terhadap kehidupan pasien seperti keterbatasan
aktifitas, kehilangan waktu kerja dan pengaruh ekonomi, perasaan
depresi / cemas
 Kemungkinan untuk mengurangi faktor resiko terutama berhenti
merokok
 Dukungan dari keluarga

2. Menurunkan faktor resiko


Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling
efektif dalam mengurangi resiko berkembangnya PPOK dan
memperlambat progresifitas penyakit.
Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok – 5 A :
1). Ask (Tanyakan)

21
22

Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi semua perokok pada


setiap kunjungan
2). Advise (Nasehati)
Memberikan dorongan kuat untuk semua perokok untuk berhenti
merokok
3). Assess (Nilai)
Memberikan penilaian untuk usaha berhenti merokok
4). Assist (Bantu)
Membantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan
konseling praktis, merekomendasikan penggunaan farmakoterapi
5). Arrange (Atur)
Jadwal kontak lebih lanjut

3. Tatalaksana PPOK stabil


 Terapi Farmakologis
a. Bronkodilator
 Secara inhalasi (MDI), kecuali preparat tak tersedia / tak
terjangkau
 Rutin (bila gejala menetap) atau hanya bila diperlukan
(gejala intermitten)
 3 golongan :
o Agonis -2: fenopterol, salbutamol, albuterol,
terbutalin, formoterol, salmeterol
o Antikolinergik: ipratropium bromid, oksitroprium
bromid
o Metilxantin: teofilin lepas lambat, bila kombinasi -2
dan steroid belum memuaskan
 Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada
meningkatkan dosis bronkodilator monoterapi
b. Steroid
- PPOK yang menunjukkan respon pada uji steroid

22
23

- PPOK dengan VEP1 < 50% prediksi (derajat III dan IV)
- Eksaserbasi akut
c. Obat-obat tambahan lain
 Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) : ambroksol,
karbosistein, gliserol iodida
 Antioksidan : N-Asetil-sistein
 Imunoregulator (imunostimulator, imunomodulator): tidak
rutin
 Antitusif : tidak rutin
 Vaksinasi : influenza, pneumokokus

 Terapi Non-Farmakologis
a. Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance, latihan
pernapasan, rehabilitasi psikososial
b. Terapi oksigen jangka panjang (>15 jam sehari): pada PPOK
derajat IV, AGD=
 PaO2 < 55 mmHg, atau SO2 < 88% dengan atau tanpa
hiperkapnia
 PaO2 55-60 mmHg, atau SaO2 < 88% disertai hipertensi
pulmonal, edema perifer karena gagal jantung, polisitemia
Pada pasien PPOK, harus di ingat, bahwa pemberian oksigen
harus dipantau secara ketat. Oleh karena, pada pasien PPOK
terjadi hiperkapnia kronik yang menyebabkan adaptasi
kemoreseptor-kemoreseptor central yang dalam keadaan
normal berespons terhadap karbon dioksida. Maka yang
menyebabkan pasien terus bernapas adalah rendahnya
konsentrasi oksigen di dalam darah arteri yang terus
merangsang kemoreseptor-kemoreseptor perifer yang relatif
kurang peka. Kemoreseptor perifer ini hanya aktif melepaskan
muatan apabila PO2 lebih dari 50 mmHg, maka dorongan untuk
bernapas yang tersisa ini akan hilang. Pengidap PPOK biasanya

23
24

memiliki kadar oksigen yang sangat rendah dan tidak dapat


diberi terapi dengan oksigen tinggi. Hal ini sangat
mempengaruhi koalitas hidup. Ventimask adalah cara paling
efektif untuk memberikan oksigen pada pasien PPOK.

c. Nutrisi
d. Pembedahan: pada PPOK berat, (bila dapat memperbaiki
fungís paru atau gerakan mekanik paru)

 Penatalaksanaan menurut derajat PPOK1


DERAJAT KARAKTERISTIK REKOMENDASI PENGOBATAN
Semua  Hindari faktor pencetus
derajat  Vaksinasi influenza
Derajat I VEP1 / KVP < 70 % a. Bronkodilator kerja singkat (SABA,
(PPOK VEP1  80% Prediksi antikolinergik kerja pendek) bila perlu
Ringan) b. Pemberian antikolinergik kerja lama
sebagai terapi pemeliharaan
Derajat II VEP1 / KVP < 70 % 1. Pengobatan reguler Kortikosteroid
(PPOK 50%  VEP1  80% dengan bronkodilator: inhalasi bila
sedang) Prediksi dengan atau a. Antikolinergik kerja uji steroid
tanpa gejala lama sebagai terapi positif
pemeliharaan
b. LABA
c. Simptomatik
2. Rehabilitasi
Derajat III VEP1 / KVP < 70%; 1. Pengobatan reguler Kortikosteroid
(PPOK 30%  VEP1  50% dengan 1 atau lebih inhalasi bila
Berat) prediksi bronkodilator: uji steroid
Dengan atau tanpa a. Antikolinergik positif atau
gejala kerja lama sebagai eksaserbasi

24
25

terapi berulang
pemeliharaan
b. LABA
c. Simptomatik
2. Rehabilitasi
Derajat IV VEP1 / KVP < 70%; 1. Pengobatan reguler dengan 1 atau lebih
(PPOK VEP1 < 30% prediksi bronkodilator:
sangat atau gagal nafas atau a. Antikolinergik kerja lama sebagai
berat) gagal jantung kanan terapi pemeliharaan
b. LABA
c. Pengobatan komplikasi
d. Kortikosteroid inhalasi bila
memberikan respons klinis atau
eksaserbasi berulang
2. Rehabilitasi
3. Terapi oksigen jangka panjang bila
gagal nafas
pertimbangkan terapi bedah

Terapi farmakologi digunakan untuk mengurangi gejala, mengurangi


frekuensi dan keparahan eksaserbasi, mengubah status kesehatan dan
toleransi terhadap aktivitas fisik. Setiap regimen pengobatan memerlukan
kesabaran khusus sebagai hubungan antara keparahan gejala dan tingkat
keparahan hambatan aliran udara yang dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti jumlah dan tingkat keparahan eksaserbasi, kondisi gagal napas,
faktor komorbiditas seperti penyakit jantung dan pembuluh darah,
osteoporosis dan lain-lain. Pemilihan setiap kelompok terapi tergantung
pada keberadaan obat dan respon pasien.3
Pemilihan obat-obatan dalam tatalaksana PPOK stabil disesuaikan
dengan grup A, B, C atau D. Berikut ini pedoman menurut GOLD 2015:

25
26

26
27

27
28

A. Peran Bronkodilator Pada Terapi PPOK Stabil


Bronkodilator merupakan tatalaksana utama PPOK. dapat
meningkatkan FEV1dengan mengubah tonus otot polos jalan napas,
memperbaiki aliran ekspirasi dengan lebih memperlebar jalan napas
dibandingkan meningkatkan recoil elastisitas paru. Beberapa memperbaiki
pengosongan paru, cenderung mengurangi hiperinflasi dinamik baik saat
istirahat maupun aktivitas, dan memperbaiki toleransi aktivitas. Perubahan
ini terutama pada pasien PPOK berat dan sangat berat sulit dinilai dari
pengukuran FEV1.3
Respon terkait dosis dikatakan sama saja pada semua jenis
bronkodilator. Toksisitas terkait dengan dosis. Meningkatkan dosis agonis
beta-2 atau anti-kolinergik, terutama dengan nebulisasi, memiliki manfaat
subjektif pada episode akut tetapi tidak membantu saat penyakit stabil.
Bronkodilator dapat digunakan saat dibutuhkan atau sebagai pengobatan
reguler untuk mencegah atau menurunkan gejala.3
Penggunaan bronkodilator inhaler tersedia dalam bentuk metered dose
inhaler (MDI), dry powder inhaler (DPI) atau nebuhaler. Pemilihannya
tergantung kepada biaya dan kenyamanan penggunaan. Banyak pasien
mengeluhkan kesulitan dalam penggunaan MDI, begitu juga dengan DPI.
Spacer device dapat membantu penggunaan MDI. Nebulisasi lebih mudah
menurut pasien tetapi bronkodilator bentuk nebuliser sebaiknya tidak
digunakan secara terus menerus. Penggunaan nebuliser di rumah sebaiknya
bila timbul eksaserbasi.4
Rekomendasi GOLD 2015 untuk penggunaan bronkodilator pada
tatalaksana PPOK stabil3:
- Agonis beta-2 dan antikolinergik, jenis kerja lama (long acting) lebih
dipilih daripada kerja cepat (short acting). Tidak ada bukti yang
merekomendasikan satu kelas agonis beta-2 kerja lama lebih baik
dibandingkan kelas lainnya untuk terapi inisial, pemilihannya tergantung
dari kemampuannya dalam mengurangi gejala pada pasien.

28
29

- Kombinasi agonis beta-2 (shortacting atau long acting) dan


antikolinergik dapat digunakan apabila gejala tidak membaik dengan satu
jenis obat. Pada PPOK grup B, C dan D, dapat dipilih kombinasi agonis
beta-2 kerja lama dan antikolinergik kerja lama sebagai alternative
choice bila sesaknya berat.
- Berdasarkan efikasi dan efek sampingnya, bronkodilator inhalasi lebih
baik daripada oral
Berdasarkan bukti efikasi yang relatif rendah dan efek samping yang
banyak, teofilin tidak dianjurkan digunakan kecuali bila terapi jangka
panjang dengan bronkodilator lain tidak tersedia atau tidak memungkinkan.
Berikut di bawah ini beberapa golongan dari bronkodilator yang dapat
digunakan 1,3:
- Golongan Antikolinergik
Efek penting antikolinergik pada pengobatan PPOK yaitu memblok
kerja asetilkolin pada reseptor muskarinik. Jenis kerja cepat bekerja pada
reseptor M1 dan M3 serta memodifikasi transimisi preganglion,
meskipun efeknya tidak terlalu bermakna pada PPOK. Jenis kerja lama
selektif terhadap reseptor M1 dan M3. Efek bronkodilatasi obat inhalasi
antikolinergik kerja cepat lebih lama daripada agonis beta-2 kerja cepat,
efeknya sampai lebih dari 8 jam setelah menggunakan obat.
Tiotropium mengurangi eksaserbasi dan rawat inap, memperbaiki
gejala dan status kesehatan serta meningkatkan efektivitas rehabilitasi
paru. Pada penelitian jangka panjang, penambahan tiotropium pada terapi
pasien PPOK tidak menunjukkan efek terhadap fungsi paru dan resiko
kardiovaskular, tetapi pada penelitian lainnya disebutkan bahwa
tiotropium lebih baik daripada salmeterol dalam menurunkan
eksaserbasi. Aclidinium dan glikopironium memiliki efek yang sama
dengan tiotropium terhadap fungsi paru dan mengurangi sesak napas.
Antikolinergik sulit diserap sehingga efek samping sistemiknya
pun kecil. Antikolinergik dikatakan dapat meningkatkan resiko

29
30

kardiovaskular tetapi masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.


Penggunaan inhalasi sering menyebabkan mulut kering dan metalic taste.
- Golongan Agonis Beta – 2
Prinsip kerja agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas
dengan stimulasi reseptor adrenergik beta-2 yang meningkatkan AMP
siklik dan menghasilkan efek antagonis terhadap bronkokonstriksi.
Penggunaan agonis beta-2 kerja cepat regular atau saat dibutuhkan saja,
dapat memperbaiki gejala dan FEV1. Penggunaan agonis beta-2 kerja
cepat dosis tinggi hanya saat dibutuhkan saja (bukan regular) pada pasien
PPOK yang sebelumnya diterapi dengan agonis beta-2 kerja lama tidak
direkomendasikan.
Formoterol dan salmeterol memiliki efek signifikan dalam
memperbaiki FEV1, volume paru, dispnea, kualitas hidup dan
menurunkan kejadian eksaserbasi dan kejadian rawat inap, tetapi tidak
berefek dalam menurunkan mortalitas dan progresivitas penurunan fungsi
paru. Indacaterol, yaitu agonis beta-2 dengan masa kerja 24 jam sehingga
hanya digunakan sekali sehari memiliki efek bronkodilator yang
signifikan lebih besar daripada formoterol dan salmeterol tetapi sama
dengan tiotropium. Efeknya juga signifikan dalam mengurangi sesak
napas dan menurunkan eksaserbasi. Efek samping agonis beta-2 yaitu
sinus takikardi, tremor pada pasien usia tua, hipokalemi terutama bila
terapi bersamaan dengan diuretik tiazid.
- Metilxantin
Efeknya masih kontroversi. Berperan sebagai inhibitor
fosfodiesterase nonselektif. Teofilin, metilxantin yang sering digunakan
dimetabolisme oleh sitokrom p450. Bersihan obat menuurn seiring usia.
Dikatakan efeknya pada perubahan pada fungsi otot-otot inspirasi tetapi
mekanismenya belum jelas.
Penelitian menyebutkan efikasi teofilin pada PPOK dengan
penggunaan teofilin yang lepas lambat (slow released). Teofilin kurang
efektif dibandingkan dengan bronkodilator kerja lama lainnya dan tidak

30
31

direkomendasikan bila bronkodilator lain tersedia. Penambahan teofilin


pada salmeterol menghasilkan perbaikan yang lebih besar pada FEV1dan
mengatasi sesak lebih baik dibandingkan salmeterol saja. Teofilin dosis
rendah mengurangi eksaserbasi tetapi tidak memperbaiki fungsi paru
post-bronkodilator. Rasio terapeutiknya kecil. Efek sampingnya antara
lain atrial dan ventrikular aritmia, epilepsi grand mal, nyeri kepala,
insomnia, heartburn, nausea.
- Kombinasi Antikolinergik dan Agonis Beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, dan efek samping yang lebih kecil.
Selain sebagai pilihan terapi, bronkodilator dapat digunakan sebagai
pemeriksaan rutin faal paru menggunakan siprometri pada PPOK Stabil.
Pemeriksaan faal paru tersebut disebut dengan Uji Bronkodilator.1
Uji bronkodilator pada PPOK Stabil:1
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan
VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml.

B. Peran Kortikosteroid pada PPOK Stabil


Glukokortikoid merupakan agen yang berperan pada beberapa titik
kaskade inflamasi. Hal ini menyebabkan penggunaannya pada kasus
penyakit paru obstrukstif kronik yang mengalami proses peradangan pada
saluran napas menunjukan adanya respon yang baik. Penggunaan
glukokortikoid pada penyakit paru obstruktif kronik yang stabil lebih
sederhana jika dibandingkan penggunaannya pada kasus asma bronkial.
Berdasarkan data studi penggunaan kortikosteroid inhalasi pada sejumlah
besar pasien penyakit paru obstruktif kronik menunjukkan adanya
peningkatan FEV1 postbronkodilator dan penurunan reaktivasi bronkial
pada penyakit paru obstruktif stabil. Penggunaan glukokortikoid pada pasien

31
32

dengan penyakit yang lebih berat dengan FEV1 <50% menunjukan


penurunan frekuensi eksaserbasi per tahunnya, terutama penggunaan
kortikosteroid inhalasi pada PPOK.5
Respon terkait dosis dan keamanan penggunaan kortikosteroid
inhalasi jangak panjang belum diketahui. Hanya dosis menengah dan dosis
tinggi yang digunakan pada pengobatan jangka panjang. Kortikosteroid
inhalasi digunakan sebagai terapi pada PPOK grup C dan D. Efikasi dan
efek samping tergantung dosis dan jenis kortikosteroid pada asma, tetapi
pada PPOK belum diketahui. Efeknya terhadap paru dan inflamasi sistemik
masih kontroversial, tetapi perannya dalam manajemen PPOK stabil terbatas
pada indikasi tertentu.3
Pada pasien PPOK dengan FEV1<60% pengobatan
kortikosteroidumumnya efektif untukmengurangi dan menghilangkan gejala
yang muncul, memperbaiki fungsi paru dan mengurangi jumlah dan
keparahan eksaserbasi serta meningkatkan status kesehatan. Hasil
pengobatan jangka pendek tidak dapat diprediksi secara klinis berdasarkan
perubahan fungsi paru, namun dapat mengurangi rasa sesak yang dirasakan
pasien. Penghentian penggunaan kortikosteroid inhalasi mungkin akan
menimbulkan eksaserbasi pada beberapa pasien, tetapi pada pasien dengan
derajat berat atau sangat berat dapat dilakukan penurunan dosis dalam
waktu 3 bulan tidak meningkatkan resiko eksaserbasi tetapi terjadi
penurunan signifikasn fungsi paru. Pengobatan regular dengan
kortikosteroid inhalasi tidak memodifikasi penurunan FEV1 jangka panjang
maupun mortalitas pasien PPOK.3
Rekomendasi GOLD 2015:3
- Terapi jangka panjang dengan kortikosteroid inhalasi direkomendasikan
untuk pasien PPOK derajat berat dan sangat berat dan eksaserbasi sering,
yang tidak dapat diatasi dengan bronkodilator kerja lama
- Monoterapi jangka panjang dengan kortikosteroid oral pada PPOK tidak
direkomendasikan

32
33

- Monoterapi jangka panjang dengan kortikosteroid inhalasi pada PPOK


tidak direkomendasikan karena kurang efektif dibandingkan kombinasi
kortikosteroid dengan bronkodilator kerja lama
- Penggunaan jangka panjang kortikosteroid inhalasi tidak boleh
sembarangan diresepkan tanpa indikasi yang jelas, karena dapat beresiko
menyebabkan pneumonia dan fraktur
Efek samping penggunaan kortikosteroid inhalasi yaitu kandidiasis
oral, memar kulit, suara serak, peningkatan resiko pneumonia, peningkatan
resiko penurunan densitas tulang. Kortikosteroid oral memiliki banyak efek
samping. Penggunaan jangka panjang menyebabkan miopati steroid,
menyebabkan kelamahan otot, penurunan fungsi, dan gagal napas pada
pasien PPOK derajat sangat berat.3
Penggunaan terapi kombinasi long-acting β-agonis inhalasi dan
kortikosteroid inhalasi lebih efektif dalam peningkatan fungsi paru dan
penurunan gejala klinis dan mengurangi eksaserbasi yang lebih signifikan
dibandingkan penggunaan terapi tunggal pada pasien PPOK derajat sedang
sampai sangat berat. Kombinasi ini juga menurunkan mortalitas.
Penggunaan triple terapi dengan agonis beta-2 kerja lama, kortikosteroid
inhalasi dan tiotropium memperbaiki fungsi paru dan kualitas hidup serta
mengurangi eksaserbasi, tetapi perlu penelitian lebih lanjut mengenai triple
terapi ini.3

4. Tatalaksana PPOK eksaserbasi


Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rujmah : bronkodilator
seperti pada PPOK stabil, dosis 4-6 kali 2-4 hirup sehari. Steroid oral
dapat diberikan selama 10-14 ahri. Bila infeksi: diberikan antibiotika
spektrum luas (termasuk S.pneumonie, H influenzae, M catarrhalis).
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan
dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya
seperti polusi udara,

33
34

kelelahan atau timbulnya komplikasi.

Gejala eksaserbasi :
- Sesak bertambah
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum

Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :


a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah
infeksi saluran napas atas lebih
dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan
mengi atau peningkatan
frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20%
baseline

Penyebab eksaserbasi akut


Primer :
- Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)
Sekunder :
- Pnemonia
- Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia
- Emboli paru
- Pneumotoraks spontan
- Penggunaan oksigen yang tidak tepat
- Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat
- Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)
- Nutrisi buruk
- Lingkunagn memburuk/polusi udara
- Aspirasi berulang

34
35

- Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)


Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk
eksaserbasi yang ringan) atau
di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat)

Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh


penderita yang telah diedukasi
dengan cara :
- Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk
bronkodilator yang digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk
nebuliser
- Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
- Menambahkan mukolitik
- Menambahkan ekspektoran
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke
dokter.

Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan


secara rawat jalan atau rawat
inap dan dilakukan di :
1. Poliklinik rawat jalan
2. Unit gawat darurat
3. Ruang rawat
4. Ruang ICU

Terapi eksaserbasi akut di rumah sakit:


 Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venturi mask
 Bronkodilator: inhalasi agonis 2 (dosis & frekwensi ditingkatkan)
+ antikolinergik. Pada eksaserbasi akut berat: + aminofilin (0,5
mg/kgBB/jam)
 Steroid: prednisolon 30-40 mg PO selama 10-14 hari.

35
36

Steroid intravena: pada keadaan berat


Antibiotika terhadap S pneumonie, H influenza, M catarrhalis.
 Ventilasi mekanik pada: gagal akut atau kronik

Indikasi rawat inap :


 Eksaserbasi sedang dan berat
 Terdapat komplikasi
 Infeksi saluran napas berat
 Gagal napas akut pada gagal napas kronik
 Gagal jantung kanan

Indikasi rawat ICU :


Sesak berat setelah penanganan adekuat di ruang gawat darurat atau
ruang rawat.
 Kesadaran menurun, letargi, atau kelemahan otot-otot respirasi
 Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau
perburukan PaO2 > 50 mmHg memerlukan ventilasi mekanik
(invasif atau non invasif)

3.10. Prognosa dan Komplikasi


Dubia, tergantung dari stage / derajat, penyakit paru komorbid, penyakit
komorbid lain.6
Komplikasi : Gagal nafas, kor pulmonal, septikemia6

36
37

BAB IV
ANALISIS KASUS

Seorang laki-laki berinisial H berusia 73 tahun yang beralamat di Kuningan ±


1 bulan SMRS, os mengeluh batuk, dahak (+), warna putih, ± 1 sendok
makan setiap batuk, batuk berdarah (-). Demam (-), sesak (-), nyeri dada (-),
mual (-), muntah (-), nafsu makan biasa, BAB dan BAK biasa. Os merupakan
perokok berat, 1 hari bisa menghabiskan 1-2 bungkus rokok.
± 10 hari SMRS, Sesak saat bernapas (+), mulut harus mencucu saat
bernapas, tidak dipengaruhi oleh aktifitas, tidur tidak menggukan bantal
tinggi, tidak dipengaruhi cuaca, mengi (-). Os mengeluh batuk berdahak
semakin sering, dahak warna putih, ± 1 sendok makan setiap batuk, Demam
(-), keringat dingin malam hari (-), penurunan berat badan disangkal, nafsu
makan (-), BAK (+) lancar, BAB(+) lancar. Os masih merokok 1 hari 4
batang rokok.
± 1 hari SMRS os mengeluh sesak napas semakin bertambah, mengi(-).
Sesak napas tidak dipengaruhi aktivitas, cuaca, dan emosi. Sesak napas tidak
berkurang saat istirahat. Batuk (+), dahak warna putih ± 2 sendok makan
setiap batuk . Nyeri dada (+) di dada kanan seperti ditusuk setiap os batuk.
Nyeri dada tidak menjalar ke tempat lain. Mual (-), muntah (-), penurunan
nafsu makan (-), keringat dingin malam hari (-), penurunan berat badan (-),
BAK tidak ada keluhan, BAB tidak ada keluhan. Riwayat dahulu pasien,
pasien mempunyai riwayat bronkitis kronik dan riwayat merokok dari umur
21 tahun.
Menurut Gold 2017, diagnosis PPOK dapat ditegakkan melalui anamnesis,
dimana pada anamnesis. Terdapat indikator utaa untuk mendiagnosis PPOK
antara lain :
1. Sesak napas (Progresif dari waktu ke waktu, diperberat dengan
aktivitas, dan persisten)

37
38

2. Batuk kronis (Intermiten atau unproductive dan mengi yang sering


kambuh )
3. Produksi sputum yang kronis
4. Infeksi saluran napas bawah berulang
5. Riwayat faktor resiko (Genetik, abnormalitas kongenital, asap rokok,
asap dari limbah domestik atau bahan bakar, kondisi lingkungan pekerjaan
seperti debu, uap, bahan bakar, gas dan bahan kimia lainnya)
6. Riwayat keluarga dengan PPOK dan/atau faktor pada masa kecil
7. Berat badan pada saat lahir, infeksi pernapasan masa kecil, dsb.
Menurut Perhimpunan dokter paru indonesia, untuk mendiagnosis PPOK harus
berdasarkan dengan anamnesis antara lain:
Anamnesis riwayat paparan dengan faktor resiko, riwayat penyakit
sebelumnya, riwayat keluarga PPOK, riwayat eksaserbasi dan perawatan di RS
sebelumnya, komorbiditas, dampak penyakit terhadap aktivitas, dll.
Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien didapatkan : tampak sakit
sedang dengan kesadaran compos mentis. Tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 96
x/menit, pernapasan 29 x/menit, temperatur 36,9°C, status gizi kurang. Pada
pemeriksaan paru, inspeksi Statis, dinamis simetris kanan sama dengan kiri,
barrel chest, dan sela iga yang melebar, pursed lips breathing dengan palpasi
stem fremitus thorak kanan dan kiri melemah, perkusi dada didapatkan hipersonor
pada lapangan paru kanan dan kiri. Pada auskultasi, Vesikuler menurun pada paru
kanan. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan gambaran Hiperlusen yang
menandakan PPOK.
Menurut perhimpunan dokter paru indonesia, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendiagnosa PPOK antara lain:
 Pernafasan pursed lips
 Takipnea
 Dada emfisematous atu barrel chest
 Tampilan fisik pink puffer atau blue bloater
 Pelebaran sela iga
 Hipertropi otot bantu nafas

38
39

 Bunyi nafas vesikuler melemah


 Ekspirasi memanjang
 Ronki kering atau wheezing
 Bunyi jantung jauh
Pemeriksaan Foto Toraks, curiga PPOK bila dijumpai kelainan:
 Hiperinflasi
 Hiperlusen
 Diafragma mendatar
 Corakan bronkovaskuler meningkat
 Bulla
 Jantung pendulum
Pemeriksaan Spirometri
Menurut GOLD 2017 untuk mendiagnosis PPOK hanya dengan anamnesis dan
adanya faktor risiko dan ditambah dengan pemeriksaan spirometry yang
mendukung ke arah PPOK.

39
40

DAFTAR PUSTAKA

1. PDPI. PPOK Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.


Jakarta: 2006. p. 1-18.
2. Riyanto BS, Hisyam B. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4.
Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
IPD FKUI, 2006. p. 984-5.
3. GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention.
USA: 2007. p. 6. [serial online] 2007. [Cited] 20 Juni 2008. Didapat dari :
http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp?l1=2&l2=1&intId=989
4. GOLD. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA: 2007. p. 16-19. [serial
online] 2007. [Cited] 20 Juni 2008. Didapat dari :
http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp?l1=2&l2=1&intId=1116
5. Corwin EJ. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC, 2001. p. 437-8.
6. PB PAPDI. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen IPD FKUI, 2006. p. 105-8
7. Alsagaff, Hood, Mukti A.B. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya:Airlangga University Press. 2009
8. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.
Jakarta:EGC. 2006
9. Zul Dahlan. Pandangan Baru Pneumonia Atipik dan Terapinya. Cermin
Dunia Kedokteran No. 128, 2000

40

You might also like