You are on page 1of 29

LAPORAN KASUS

DEMAM TIFOID

Oleh:

Ainun Fahira

H1A 012 005

Pembimbing:

dr. Lina Nurbaiti, M.Kes

dr. Wahyu Sulistya Affarah, MPH

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM/PUSKESMAS NARMADA

2018
BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk
penyakit menular yang dapat menular pada siapa saja dan menyerang banyak orang sehingga dapat
menimbulkan wabah. Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella Thyphosa dan hanya didapatkan pada manusia. Penularan penyakit
ini hampir selalu terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Penyakit ini sangat
erat kaitannya dengan higieni pribadi dan sanitasi lingkungan seperti, higine perorangan,
lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat umum (rumah makan, restoran) yang kurang serta
perilaku masyrakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat Penyakit ini ditandai oleh panas yang
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau
endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati,
limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch. Insidensi demam tifoid diperkirakan sekitar 17 juta
kasus demam tifoid dengan 600.000 kematian terkait terjadi setiap tahun. Data lain terkait
Insidensi penyakit demam tifoid di daerah endemis antara 45 kasus per 100 000 per tahun sampai
lebih dari 1000 kasus per 100 000 per tahun.1,2
World Health Organization mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk
demam tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka kematian
lebih dari 20.000 setiap tahunnya.1 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
angka prevalensi demam tifoid secara nasional adalah 1,6% dengan 12 provinsi yang memiliki
prevalensi diatas angka nasional, yaitu: Provinsi Nangroe Aceh Darusalam, Bengkulu, Jawa Barat,
Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,
Sulawesi Selatan, Gorontalo, Papua Barat dan Papua.3
Di Indonesia, tifoid tidak jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat endemis dan
mengancam kesehatan masyarakat. Pada tahun 2008, angka kesakitan tifoid di Indonesia
dilaporkan sebesar 81,7 per 100.000 penduduk, dengan sebaran menurut kelompok umur
0,0/100.000 penduduk (0–1 tahun), 148,7/100.000 penduduk (2–4 tahun), 180,3/100.000 (5-15
tahun), dan 51,2/100.000 (≥16 tahun). Angka ini menunjukkan bahwa penderita terbanyak adalah
pada kelompok usia 2-15 tahun. 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Demam Tifoid


2.1.1. Definisi
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang ditandai dengan demam dan nyeri abdomen
dan disebabkan oleh diseminasi bakteri S. typhi atau S. paratyphi. 5
2.1.2. Gambaran Epidemiologi demam tifoid di Puskesmas Narmada
Berdasarkan data puskesmas Narmada, penyakit tifoid termasuk dalam demam tidak spesifik
masuk kedalam 10 penyakit terbanyak rawat inap dan rawat jalan di Puskesmas Narmada. Pada
tahun 2017, demam tidak spesifik menduduki peringkat ke Sembilan yaitu 311 kasus. Hal ini
menunjukkan bahwa angka kejadian demam tidak spesifik terbukti masih tinggi dan menjadi salah
satu penyakit di antara sepuluh penyakit terbanyak lainnya. Data 10 penyakit terbanyak dapat
dilihat pada tabel berikut.6

NO PENYAKIT TOTAL

1. ISPA 3981

2. Hipertensi 2568

3. Dyspepsia 1541

Penyakit pada sistem otot dan


4. 1134
jaringan ikat

5. Diabetes Melitus 1062

6. ASMA 631

7. Tuberkulosis 598

8. Diare 557

9. Demam Tidak Spesifik 311

10. Penyakit Kulit Infeksi 297

Tabel 1. Jumlah kasus demam tifoid di Puskesmas Narmada Tahun 2015 6


Surveilans Departemen Kesehatan RI mencatat frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada
tahun 1994 meningkat hingga 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia
tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8%, yaitu dari
19.596 menjadi 26.606 kasus.
WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk demam tifoid. Di Indonesia, terdapat
rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan angka kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya.1
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam tifoid secara nasional
adalah 1,6%.3

Tingginya kejadian demam enterik berkorelasi dengan sanitasi yang buruk dan kurangnya
akses terhadap air minum. Di daerah endemik, demam enterik lebih sering terjadi di perkotaan
daripada di daerah pedesaan dan di kalangan anak kecil dan remaja dibandingkan dengan
kelompok usia lainnya. Faktor risiko meliputi air atau es yang terkontaminasi, makanan dan
minuman yang dibeli dari pedagang kaki lima, buah dan sayuran mentah yang ditanam dalam
kebun yang terkontaminasi limbah, kontak dengan penderita, kurangnya kesadaran mencuci
tangan dan akses toilet yang rendah dan bukti infeksi Helicobacter pylori sebelumnya (terkait
dengan penurunan keasaman lambung yang kronis) Diperkirakan ada satu kasus demam
paratyphoid untuk setiap empat demam kasus thyphoid karena adanya peningkatan penduduk yang
mendapat vaksin S. thyphi. 5
2.1.3. Etiologi
Penyebab demam tifoid adalah bakteri dari Genus Salmonella. Salmonella memiliki dua
spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Salmonella enterica terbagi dalam
enam subspesies, yaitu : I. Salmonella enterica subsp. enterica; II. Salmonella enterica subsp.
salamae; IIIa. Salmonella enterica subsp. arizonae; IIIb. Salmonella enterica subsp. diarizonae;
IV. Salmonella enterica subsp. hotenae; V. Salmonella enterica subsp. indica. 7

Salmonella Typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu : 8

1. Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman. Bagian ini
mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari kuman. Antigen
ini mempunyai struktur protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan
terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi kuman
terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula
pembentukan 3 macam antibodi yang disebut aglutinin.

2.1.4. Patogenesis
Demam tifoid disebkan oleh Salmonella Typh atau Salmonella Paratyphi. Penularan
terhadap manusia melalui makanan dan atau mnuman yang tercemar dengan feses manusia.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan invasi
kejaringan limfoid (pla peyer) yang merupakan tempat predileksi berkembang biak. Melalui
saluran limfe mesentrika kuman masuk aliran darah sistemik (bacteremia I) dan mencapai sel-sel
retikulo endothelial dari hati dan limpa. Fase ini dianggap masa inkubasi (7-14hari). Kemudian
dari jaringan ini kuman dilepas kesirkulasi sitemik (bakterimia II) melalui ductus torasikus dan
mencapai organ tubuh terutama limpa, usus halus, dan kandung empedu.9
Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan
empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara intermiten. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, oleh karena makrofag telah teraktivasi sebelumnya maka saat
fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi (IL-1, IL-6, IL-8,
TNF-β, INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental,
dan koagulasi.9
Di dalam plak Peyer, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Perdarahan saluran cerna dapat
terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan
perforasi usus.9
2.1.5 Manifestasi Klinis
Masa tunas demam typhoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis
yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimtomatis hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian. Kumpulan gejala klinis demam
tifoid sebagai berikut :10
a. Demam
Demam atau gejala panas adalah gejala utama typhoid. Pada awal sakit, demamnya
kebanyakan samar-samar saja selanjutnya suhu tubuh semakin naik. Dari hari ke hari
intensitas demam semakin tinggi yang disertai banyak gejala lain seprti sakit kepala
(pusing-pusing) yang sering dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia,
anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu kedua intensitas demam semakin tinggi
kadang-kadang terus menerus (demam kontinyu). Bila pasien baik maka minggu ke
tiga suhu badan pasien akan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir
minggu ke tiga.
b. Gangguan Saluran Pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama, bibir kering
dan pecah-pecah, lidah sedikit kotor atau ditutupi selaput putih, ujung dan tepi lidah
kemerahan dan tremor (coated tongue atau selaput putih) dan pada penderita anak
jarang ditemui. Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut terutama regio
epigastrium disertai nausea, mual dan muntah. Pada awal sakit sering meteorismus dan
konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-kadang timbul diare.
c. Gangguan Kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunana
kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran seperti
berkabut (typhoid). Bila klinis berat tak jarang penderita sangat samnolen dan koma
dan atau dengan gejala-gejala psychosis (Organic Brain Syndrome). Pada penderita
dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.
d. Hepatosplenomegali
Hati atau limpa ditemukan sering membesar, hati teraba kenyal dan nyeri tekan
e. Bradikardi Relatif
Bradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karen teknis pemeriksaan yang sulit
dilakukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh
peningkatan frekuensi nadi, setiap peningkatan suhu 1°C tidak diikuti peningkatan
frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada
demam typhoid adalah rose spot yang biasanya ditemukan diregio abdomen atas, rose
spot anak sangat jarang ditemukan malahan lebih sering epistaksis.
2.1.6. Diagnosis

Sesuai dengan kemampuan SDM (sumber daya manusia) dan tingkat perjalanan
penyakit demam tifoid maka diagnosis klinis demam tifoid diklasifikasikan atas 3 yaitu:11
1. Possible case
Dengan anamnesis, pemeriksaan fisik didaptkan gejala demam, gangguan saluran
cerna, gangguan pola buang air besar, dan splenomegali/hepatomegali. Sindrome
demam tifoid yang didaptkan belum lengkap. Diagnosis possible case hanya dibuat
pada pelayanan kesehatan dasar.
2. Probable case
Telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung oleh
gambaran laboratorium yang menyokong demam typhoid (titer widal O ≥ 1/160, H
≥ 1/160 satu kali pemeriksaan)
3. Definitife case
Diagnosis pasti ditemukan S.typi pada pemeriksaan biakan atau positif S.typi pada
pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titer Widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan
ulang 5-7 hari) atau titer O ≥ 1/320,H ≥ 1/640 (pada pemeriksaan sekali).

 Kultur Darah

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri Salmonella Typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses dan sumsum tulang. Bakteri akan lebih mudah ditemukan
dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam
urine dan feses. 9
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor, seperti : (1) Telah
mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik,
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif; (2) Jumlah darah
yang diambil terlalu sedikit (diperlukan kurang lebih 10 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu
sedikit hasil biakan bisa negatif; (3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan
antibodi dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah dapat
negatif; dan (4) Waktu pengambilan darah yang dilakukan setelah minggu pertama, pada saat
aglutinin semakin meningkat. 9

2.1.7. Tatalaksana

Pada pasien dengan demam tifoid tanpa komplikasi, dapat diterapi di rumah dengan
antibiotik oral dan antipiretik. Pasien dengan muntah menetap, diare menetap atau distensi
abdomen sebaiknya dirawat di rumah sakit dan diberikan terapi suportif (tirah baring dan
dukungan nutrisi) disertai pemberian antibiotik parenteral sefalosporin generasi ketiga atau
fluorokuinolon, tergantung dari tingkat sensitif bakteri. Terapi sebaiknya diberikan selama 10 hari
atau selama 5 hari setelah resolusi demam.5
Pemberian terapi antibiotik yang tepat dan cepat, mencegah komplikasi demam tifoid yang
berat dan mengurangi kasus fatal menjadi < 1%. Kloramfenikol merupakan obat pilihan utama
(drug of choice) telah diketahui digunakan secara luas, tetapi akhir-akhir ini telah dilaporkan
secara luas adanya multi drug resisten (MDR) terhadap isolat S.typi dan S.paratypi A yang
digunakan secara luas di subkontinen di India, dan negara-negara di Asia Tenggara. Flurokuinolon,
sefalosporin generasi 3 dan cefriaxone telah terbukti efektif sebagai alternatif untuk mengobati
infeksi demam typhoid dengan MDR.

Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif untuk demam tifoid
MDR (multi drug resistant), termasuk DCS dan salmonella yang resisten dengan fluorokuinolon.
Agen ini menurunkan panas dalam waktu ± 1 minggu, dengan angka kegagalan 5-10%, angka
karier fekal <3% dan angka relaps 3-6%. Pemberian azithromycin oral, menurunkan demam dalam
4-6 hari, dengan angka relaps dan karier fekal <3%.
Selain pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi suportif. Yang
diberikan antara lain cairan untuk mengkoreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan
antipiretik. Nutrisi yang adekuat melalui TPN (total parenteral nutrition) dilanjutkan dengan diet
makanan yang lembut dan mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan.5
2.1.8. Komplikasi

Pada minggu ke dua atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid mulai yang ringan
sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi yang sering terjadi, diantaranya, Tifoid
toksik (tifoid ensefalopati), Syok septik, perdarahan dan perforasi intestinal, peritonitis, hepatitis
tifosa, pankreatitis tifosa, Bila tidak terdapat komplikasi, gejala klinis akan mengalami perbaikan
dalam waktu 2-4 minggu.10

Perforasi intestinal ditandai dengan nyeri abdomen akut, tegang dan nyeri tekan dikuadran
kanan bawah abdomen. Perforasi dapat dipastikan dengan pemeriksaan foto polos abdomen tiga
posisi. Perforasi intestinal adalah komplikasi tifoid yang serius karena sering menimbulkan
kematian.10

2.1.9. Pencegahan dan Kontrol Demam Tifoid

Pencegahan adalah segala upaya yang dilakukan agar setiap anggota masyarakat tidak
tertular oleh basil Salmonella. Ada 3 pilar strategis yang menjadi program pencegahan, yaitu :10

a. Mengobati secara sempurna pasien dan karier tifoid


b. Mengatasi faktor-faktor yang berperan terhadap rantai penularan
c. Perlindungan dini agar tidak tertular

Dua vaksin tifoid tersedia secara komersial: (1) Ty21a, vaksin S. typhi yang dilemahkan
yang diberikan secara oral (diberikan pada hari ke 1, 3, 5, dan 7 dengan booster setiap 5 tahun);
dan (2) Vi CPS, vaksin parenteral yang terdiri dari poliakarida Vi yang dimurnikan dari kapsul
bakteri (diberikan dalam dosis tunggal, dengan booster setiap 2 tahun). Vaksin wholecell tifoid dan
vaksin paratyphoid A dan B sudah tidak lagi dilisensikan, terutama karena efek samping yang
signifikan, terutama demam. Usia minimal untuk vaksinasi adalah 6 tahun untuk Ty21a dan 2
tahun untuk Vi CPS. Dalam sebuah meta-analisis vaksin untuk mencegah demam tifoid pada
populasi di daerah endemik, efikasi kumulatif 48% untuk Ty21a pada 2,5-3,5 tahun dan 55% untuk
Vi CPS pada usia 3 tahun. 5
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. E
Umur : 27 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kebon Belek, Mekar Sari Narmada
Kunjungan ke PKM : 01 Agustus 2018
Identitas keluarga : Istri
Pendidikan terakhir : SD
Pekerjaan : Tidak bekerja
Agama : Islam

II. ANAMNESIS dan HETEROANAMNESIS (tanggal 01 Agustus 2018 dan 03 Agustus 2018)
Keluhan utama : Demam
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengeluh demam sejak 12 hari yang lalu, demam dirasakan semakin hari semakin
tinggi, demam tidak disertai menggigil, demam naik turun, demam turun bila pasien minum
obat penurun panas, namun kemudian demam kembali tinggi. Pasien juga mengalami
muntah sejak 1 minggu yang lalu, setiap makanan yang masuk selalu dimuntahkan, nyeri
ulu hati (-). Pasien juga mengalami mencret sejak 1 minggu yang lalu, 5x/hari berupa cair,
lendir (+), darah (-). Menurut keluarga pasien, pasien tidak pernah terganggu kesadarannya.
Badan terasa lemas, nafsu makan menurun. Pusing (-), nyeri kepala (+) bersamaan dengan
demam. Seminggu yang lalu pasien pernah berobat ke polindes terdekat dan demam yang
dirasakan pasien menurun jika meminum obat yang diberikan oleh bidan desa namun akan
kembali naik lagi. Buang air kecil (+) 4 kali sehari, warna kuning jernih, darah (-). Riwayat
perdarahan spontan seperti gusi berdarah dan BAB berwarna hitam disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami penyakit serupa. Menurut pengakuan keluarga
pasien, pasien juga tidak pernah memiliki riwayat penyakit yang berat yang menyebabkan
pasien harus dirawat di rumah sakit atau puskesmas.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Sebelumnya anak pertama pasien pernah di rawat inap di Puskesmas Narmada selama 3
hari karena keluhan yang serupa .

Genogram Keluarga Pasien

29 27 35 27
32 18

7th 3th
nht
h

Keterangan

: Laki-laki
: Perempuan
: Pasien
: Tinggal serumah
Riwayat Sosial, ekonomi dan Lingkungan :
Riwayat Ekonomi dan Lingkungan:
Pasien tinggal bersama suami, dan kedua anaknya. Berikut usia dan pekerjaan dari masing-
masing anggota keluarga:
a. Pasien 27 tahun, Ibu rumah tangga
b. Suami pasien 27 tahun, bekerja sebagai wiraswasta
c. Anak pertama pasien usia 7 tahun sebagai pelajar kelas 1 SD
d. Anak kedua pasien usia 3 tahun
 Pasien merupakan keluarga dengan ekonomi menegah ke bawah. Pemasukan keuangan
didapatkan dari suami. Dengan penghasilan kurang kira-kira Rp. 500.000/bulan. Kadang-
kadang pasien juga bekerja membantu tetangga memotong bawang dan mendapatkan Rp.
100.000 sekali bekerja. Penggunaan listrik didapatkan dari mertua
 Untuk air minum, pasien mengkonsumsi air pancor tanpa dimasak terlebih dahulu
 Untuk keperluan MCK, pasien menggunakan air pancor dan menggunakan kamar mandi yang
berada dirumah mertua pasien. Untuk mencuci piring dan peralatan lainnya pasien mencuci di
tempat air pancor.
 Untuk memasak, keluarga pasien menggunakan kompor gas. Kondisi dapur ini cukup sempit.
Air yang digunakan untuk memasak menggunakan air pancor yang kemudian dimasukkan
kedalam ember karena jarak antara sumber air ±12 meter. Peralatan dapur tidak rapi dan saling
menumpuk. Pasien dan keluarga kadang-kadang makan dirumah mertua yang letaknya tidak
jauh dari rumah.
 Rumah yang dihuni saat ini terdiri dari 1 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 dapur, 1 teras, rumah
yang dihuni pasien tidak memiliki kamar mandi. Luas rumah pasien ± 5x5 meter, dengan teras.
Jarak rumah pasien dengan rumah tetangga lain ± 1 meter. Tempat pembuangan sampah berada
di depan rumah dengan menggunakan ember medium.
 Terdapat jendela ventilasi di dapur pasien, di ruang tamu dan dikamar pasien terdapat jendela
ventilasi tetapi sengaja ditutup dengan alasan nyamuk tidak masuk rumah sehingga cahaya
matahari tidak dapat masuk ke kamar dan kamar tampak gelap. Lantai rumah pasien terbuat
dari semen, dinding rumah berupa tembok, atap rumah terbuat dari genteng dan plavon rumah
dari anyaman bambu.
 Pasien mengaku jarang mencuci tangan, kadang-kadang pasien bisa langsung memakan
makanan tanpa cuci tangan terlebih dahulu. Setelah menggunakan toilet jarang mencuci tangan
dengan menggunakan sabun.
 Anak pertama pasien sebelumnya sudah pernah dirawat inap di Puskesmas dengan keluhan
yang serupa dengan pasien berupa demam tinggi, muntah, dan badan lemas. Ibunya mengaku
jika anaknya sering makan sembarangan. Kadang berbelanja jajanan serabi yang dijual
tetangganya. Tetangganya sendiri menjual jajan serabi di depan rumah yang dekat dengan jalan
raya.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 110 x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 38,50 C

Kepala :
Bentuk : Normocephali,
Mata : Anemis +/+, ikterik -/-, Edema palpebra -/-
Mulut : Mukosa bibir kering, tifoid tongue (-), bibir sianosis (-)
THT : Otorhea (-), rinorhea (+)
Leher : Pemb. KGB (-)
Thorax :
Inspeksi : Bentuk simetris, retraksi (-), sela iga dalam batas normal
Palpasi : gerakan dinding dada tidak ada yang tertinggal, iktus kodis (+), vocal
fremitus (+/+) sama
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru, meredup pada proyeksi jantung, batas
kanan jantung parasternal line kanan, Batas kiri jantung midclavicula line
ICS 5, dan batas atas ICS 2 parasternal sinistra
Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguler, murmur (-), Gallop (-), Suara nafas vesikuler
(+)/(+), Ronchi (-)/(-), wheezing (-)/(-), stridor (-)
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-), hiperemis (-)
Auskultasi : BU (+) 37 kali per menit
Perkusi : timpani
Palpasi : Nyeri tekan (+), massa (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor normal
Ekstermitas :
Terdapat bercak kemerahan di sekitar tungkai atas dan tungkai bawah pasien
Tungkai Atas Tungkai bawah
Kanan Kiri Kanan Kiri
Akral hangat + + + +
Edema - - - -

VI. pemeriksaan penunjang


- Tes Widal (31-07-2018)
Antigen Titer
Thyphi O 1/80
Thyphi H 1/320
Thyphi HA 1/160
Thyphi BH 1/80

VI. DIAGNOSIS KERJA


demam tifoid
VII. RENCANA KERJA
Rencana Terapi
 IVFD RL 20 tetes per menit
 Paracetamol tablet 3 x 500 tab
 Oralit dan Vitamin B complex
 Ampicilin 3 x 1 i.v
 Ranitidin 2 x 1 i.v
Tujuan terapi
 Edukasi : Makanan yang dianjurkan pada pasien ini adalah makanan yang cukup
mengandung cairan, tinggi kalori dan tinggi protein serta rendah serat. Diet tersebut cukup
penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang
bergizi akan menurunkan keadaan umum dan gizi pasien sehingga proses penyembuhan
akan semakin lama. Menjaga kebersihkan rumah, rajin membuka jendela, menyarankan
pasien agar air minum dimasak dahulu sebelum di konsumsi, menyarankan pasien untuk
lebih banyak mengonsumsi buah dan sayuran serta menyarankan keluarga pasien untuk
membuat kamar mandi sendiri dirumah. Selain itu, menyarakan untuk sering-sering
mencuci tangan sebelum setelah makan, setelah menggunakan kamar mandi dengan
sabun.
 Edukasi kepada keluarga atau orang yang kontak dengan pasien diberikan penjelasan
mengenai pengertian, rute tranmisi, gejala penyakit dan penularan demam tifoid.
BAB IV

PENULUSURAN (HOME VISIT)

4.1. Dasar Pemilihan Kasus


Demam tifoid banyak ditemukan dalam masyarakat kita, baik perkotaan maupun
pedesaan. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kualitas yang mendalam dari higiene
pribadi dan sanitasi lingkungan seperti higiene perorangan, dan higiene penjamah makanan
yang rendah, lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat-tempat umum (rumah makan,
restoran) yang kurang serta prilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat
4.2 Tujuan

Mengetahui faktor penyebab demam tifoid pada pasien, baik faktor internal
maupun eksternal.

4.3 Metodologi
Metodologi yang dipakai: wawancara dan pengamatan lingkungan tempat tinggal
pasien. Variabel yang dipakai adalah faktor risiko, tanda dan gejala demam tifoid.
4.4 Hasil Penelusuran
Pasien tinggal bersama suami dan kedua anaknya. Pasien merupakan keluarga
ekonomi menengah ke bawah dengan penghasilan kurang dari Rp. 500.000 per bulan dan
dikatakan masih kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.. Sumber penghasilan
keluarga didapatkan dari suami.

Untuk air minum, pasien mengkonsumsi air pancor tanpa dimasak terlebih dahulu.
Untuk keperluan MCK, pasien menggunakan air pancor dan menggunakan kamar mandi
yang berada dirumah mertua pasien. Untuk mencuci piring dan peralatan lainnya pasien
mencuci di tempat air pancor. Untuk memasak, keluarga pasien menggunakan kompor
gas. Kondisi dapur ini cukup sempit. Air yang digunakan untuk memasak menggunakan
air pancor yang kemudian dimasukkan kedalam ember karena jarak antara sumber air ±12
meter. Peralatan dapur tidak rapi dan saling menumpuk. Pasien dan keluarga kadang-
kadang makan dirumah mertua yang letaknya tidak jauh dari rumah.
Rumah yang dihuni saat ini terdiri dari 1 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 dapur, 1
teras, rumah yang dihuni pasien tidak memiliki kamar mandi. Luas rumah pasien ± 5x5
meter, dengan teras. Jarak rumah pasien dengan rumah tetangga lain ± 1 meter. Tempat
pembuangan sampah berada di depan rumah dengan menggunakan ember medium.
Terdapat jendela ventilasi di dapur pasien, di ruang tamu dan dikamar pasien terdapat
jendela ventilasi tetapi sengaja ditutup dengan alasan nyamuk tidak masuk rumah
sehingga cahaya matahari tidak dapat masuk ke kamar dan kamar tampak gelap. Lantai
rumah pasien terbuat dari semen, dinding rumah berupa tembok, atap rumah terbuat dari
genteng dan plavon rumah dari anyaman bambu.

Pasien mengaku jarang mencuci tangan, kadang-kadang pasien bisa langsung


memakan makanan tanpa cuci tangan terlebih dahulu. Setelah menggunakan toilet jarang
mencuci tangan dengan menggunakan sabun.

Anak pertama pasien sebelumnya sudah pernah dirawat inap di Puskesmas dengan
keluhan yang serupa dengan pasien berupa demam tinggi, muntah, dan badan lemas.
Ibunya mengaku jika anaknya sering makan sembarangan. Kadang berbelanja jajanan
serabi yang dijual tetangganya. Tetangganya sendiri menjual jajan serabi di depan rumah
yang dekat dengan jalan raya.
4.4. Denah Rumah Pasien

Denah rumah

Jalan Raya

Tetangga tetangga Tetanggga

Gang
kecil

Ruang tamu
Teras

Dapur Kamar tidur

Tetangga

Keterangan :

: Pintu

: Jendela
4.5. Gambaran Rumah Pasien

Rumah pasien tampak depan


Ruang tamu sekaligus ruang keluarga

Kamar tidur pasien, suami dan kedua anaknya


Dapur keluarga

Dapur Keluarga
Tampak jendela dibagian dapur

Bagian atap rumah pasien


Jalan masuk kerumah pasien dan ember tempat pembuangan sampah

Pengkajian Masalah Pasien

PERILAKU DEMAM
LINGKUNGAN
TIFOID

 Jendela rumah tidak  Keadaan sosial dan


pernah dibuka ekonomi yang menengah ke
 Ventilasi di kamar bawah
sengaja ditutup  Pengetahuan pasien yang

 Konsumsi air pancor rendah tentang demam


tifoid
yang tidak dimasak PELAYANAN
 Kurangnya cahaya matahari
terlebih dahulu
KESEHATAN masuk kedalam rumah
 Kesadaran mencuci
karena kurangnya ventilasi
tangan yang kurang
dan jendela
 Membiarkan anak  Kurangnya informasi mengenai rute
 1 kamar tidur ditempati
makan sembarangan. tranmisi, gejala-gejala, dan oleh 4 orang.
pencegahan demam typhoid.  Jarak antar rumah yang
sempit dan lingkungan
dengan populasi yang padat
memungkinkan penyebaran
penyakit dengan cepat
 Kondisi dapur yang sempit
dan penempatan alat masak
yang sembarangan
BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Aspek Klinis


Pasien mengeluh demam sejak 12 hari yang lalu, demam dirasakan semakin hari
semakin tinggi, demam tidak disertai menggigil, demam naik turun, demam turun bila
pasien minum obat penurun panas, namun kemudian demam kembali tinggi. Pasien juga
mengalami muntah sejak 1 minggu yang lalu, setiap makanan yang masuk selalu
dimuntahkan, nyeri ulu hati (-). Pasien juga mengalami mencret sejak 1 minggu yang lalu,
5x/hari berupa cair, lendir (+), darah (-). Menurut keluarga pasien, pasien tidak pernah
terganggu kesadarannya. Badan terasa lemas, nafsu makan menurun. Pusing (-), nyeri
kepala (+) bersamaan dengan demam. Seminggu yang lalu pasien pernah berobat ke
polindes terdekat dan demam yang dirasakan pasien menurun jika meminum obat yang
diberikan oleh bidan desa namun akan kembali naik lagi. Buang air kecil (+) 4 kali sehari,
warna kuning jernih, darah (-). Riwayat perdarahan spontan seperti gusi berdarah dan BAB
berwarna hitam disangkal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien sedang, tanda vital
tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 110 x/menit, kuat angkat, isi cukup, pernapasan
22x/menit, suhu tubuh 38,5ºC. pada pemerikasaan mata tampak anemis (+). Pemeriksaan
abdomen terdapat nyeri tekan (+).Dari hasil pemeriksaan widal didapatkan titer antigen
typhi H 1/320, HA 1/160.
Dari anamnesis dan pemeriksaan penunjang maka diagnosis demam tifoid dapat
ditegakkan dalam katagori probable case yaitu diagnosis dapat ditegakkan dari gejala
klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung oleh gambaran laboratorium yang
menyokong demam tifoid (titer widal HA ≥ 1/160, H ≥ 1/320 satu kali pemeriksaan).
Penatalaksaan pada pasien berupa pemberian antipiretik parasetamol, ampicillin,
ranitidine, oralit, dan pemberian vitamin b complex.
Makanan yang dianjurkan pada pasien ini adalah makanan yang cukup
mengandung cairan, tinggi kalori dan tinggi protein serta rendah serat. Diet tersebut cukup
penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang
bergizi akan menurunkan keadaan umum dan gizi pasien sehingga proses penyembuhan
akan semakin lama. Menjaga kebersihkan rumah, rajin membuka jendela, menyarankan
pasien agar air minum dimasak dahulu sebelum di konsumsi, menyarankan pasien untuk
lebih banyak mengonsumsi buah dan sayuran serta menyarankan keluarga pasien untuk
membuat kamar mandi sendiri dirumah. Selain itu, menyarakan untuk sering-sering
mencuci tangan sebelum setelah makan, setelah menggunakan kamar mandi dengan sabun.
5.2 Aspek kesehatan masyarakat
Kerangka konsep pencegahan dan penanggulangan penyakit yang didasari oleh
kerangka dasar H. L Bloom, bahwa derajat kesehatan dipengaruhi oleh faktor genetik
(keturunan), perilaku (gaya hidup) individu atau masyarakat, faktor lingkungan (sosial
ekonomi, fisik, politik) dan faktor pelayanan kesehatan (jenis, cakupan dan kualitasnya).
Pada kasus ini, yang paling berperan dalam terjadinya demam tifoid pada pasien adalah
adalah faktor perilaku, lingkungan serta pelayanan kesehatan. Demam typhoid juga
menjadi masalah di mayarakat disebabkan oleh karena faktor-faktor berikut :
1. Faktor Lingkungan
 Pasien terpapar penyakit dari orang yang sebagai “carrier”
Dengan aktivitas sehari-hari pasien akan kontak dengan orang lain, tidak
menutup kemungkinan pasien kontak dengan orang yang sebagai “carrier”
typhoid karena apabila dilihat secara umum, “carrier” tidak tampak sebagai orang
yang pernah sakit typhoid, penularannya dapat melalui makanan atau minuman
yang terkontaminasi feses atau urin. Hal ini akan berkaitan dengan PHBS.
 Pasien termasuk dalam keluarga dengan sosio-ekonomi yang rendah.
Hal ini dapat menyebabkan ketidakmampuan pasien maupun keluarga pasien
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, pasien terkadang tidak memikirkan kualitas makanan yang dipilih
dan sanitasi lingkungan yang tidak sehat.
 Lingkungan Rumah
Jumlah ventilasi yang kurang, serta tempat tinggal pasien yang terletak di lokasi
padat penduduk dengan jarak antar rumah yang sempit memungkinkan
penularan penyakit disana.
2. Faktor Perilaku
 Jendela rumah tidak pernah dibuka sehingga ventilasi rumah tidak baik
memungkinkan pasien terkena ISPA
 Pasien juga mengonsumsi air pancor untuk diminum tanpa dimasak terlebih dahulu
dimana ini terkait dengan penularan demam tifoid sebagai penyakit yang berasal dari
makanan atau minuman yang terkontaminasi.
 Pasien mengaku jarang mencuci tangan, kadang-kadang pasien bisa langsung
memakan makanan tanpa cuci tangan terlebih dahulu. Setelah menggunakan toilet
jarang mencuci tangan dengan menggunakan sabun.

3. Pelayanan kesehatan
 Kurangnya informasi mengenai demam tifoid
Masyarakat perlu diberikan informasi mengenai demam tifoid sehingga di tingkat keluarga
akan ada kesadaran untuk melakukan upaya pencegahan demam tifoid.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hadinegoro.,SR.,Prof.DR.dr SpA.,2011. Demam Tifoid Pada Anak : Apa Yang Perlu


Diketahui?. Jurnal Manajement Modern dan Kesehatan Masyarakat 2011. Diakses
pada 5 februari 2015 di www.Itokindo.org
2. WHO. The Diagnosis, Treatment Prevention of Typhoid fever. 2003; Available from:
www.who.int
3. Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008.
http/www.litbang.depkes.go.id/bl_riskesdas2007. [23 Agustus 2018]
4. Purba IE, Wandra T, Nugrahini N, Nawawi S. Program Pengendalian Demam Tifoid
di Indonesia: tantangan dan peluang. 2016;99–108. Available from:
ejournal.litbang.depkes.go.id
5. Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. Harrison’s Principles
of Internal Medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill; 2011. 1052 p.
6. Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok barat. 2018. Profil Kesehatan Puskesmas
Narmada Tahun 2018, Puskesmas Narmada, Narmada.
7. Aru W. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi I. Jilid II. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006:
1774.
8. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III. Jakarta
: Interna Publishing. 2009:2797-2800
9. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Adibrata MS, Setyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: InternaPublishing; 2016. 549-558 p.
10. Kemenkes RI, 2006. Pedoman Pengendalian Demam Typhoid. Available from:
Accesed from: menkes.co.id (accesed: 23 Agustus 2018)
11. Sudoyo,2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam., Edisi Keempat. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

You might also like