You are on page 1of 11

Meningitis Bakterialis

Meningitis bakterialis adalah suatu peradangan selaput jaringan otak dan medulla
spinalis yang disebabkan oleh bakteri patogen. Peradangan tersebut mengenai
araknoid, piamater, dan cairan serebrospinalis. Peradangan ini dapat meluas
melalui ruang subaraknoid sekitar otak, medulla spinalis, dan ventrikel. Penyakit ini
menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi (5-10%). Hampir 40% diantara
pasien meningitis mengalami gejala sisa berupa gangguan pendengaran dan defisit
neurologis. Meningitis harus ditangani sebagai keadaan emergensi. Kecurigaan
klinis meningitis sangat dibutuhkan untuk diagnosis karena bila tidak terdeteksi
dan tidak diobati, dapat mengakibatkan kematian.

Etiologi

Usia 0-2 bulan:


- Streptococcus group B, Escherichia coli

Usia 2 bulan-5 tahun:


- Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophillus
influenzae

Usia diatas 5 tahun:


- Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis

Diagnosis

Anamnesis
 Seringkali didahului infeksi pada saluran napas atas atau saluran cerna seperti
demam,batuk, pilek, diare, dan muntah.
 Gejala meningitis adalah demam, nyeri kepala, meningismus dengan atau
tanpa penurunan kesadaran, letargi, malaise, kejang, dan muntah merupakan hal
yang sangat sugestif meningitis tetapi tidak ada satu gejala pun yang khas.
 Banyak gejala meningitis yang berkaitan dengan usia, misalnya anak
kurang dari 3 tahun jarang mengeluh nyeri kepala. Pada bayi gejala hanya
berupa demam, iritabel, letargi, malas minum, dan high pitched-cry

Pemeriksaan fisis
 Gangguan kesadaran dapat berupa penurunan kesadaran atau iritabilitas.
 Dapat juga ditemukan ubun-ubun besar yang membonjol, kaku kuduk, atau
tanda rangsang meningeal lain (Bruzinski dan Kernig), kejang, dan defisit
neurologis fokal.
 Tanda rangsang meningeal mungkin tidak ditemukan pada anak berusia kurang
dari 1 tahun.
 Dapat juga ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
 Cari tanda infeksi di tempat lain (infeksi THT, sepsis, pneumonia)

Pemeriksaan penunjang
 Darah perifer lengkap dan kultur darah. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit jika
ada indikasi.
 Pungsi lumbal sangat penting untuk menegakkan diagnosis dan menentukan
etiologi: Didapatkan cairan keruh atau opalesence dengan Nonne (-)/(+) dan
Pandy (+)/(++). Jumlah sel 100-10.000/mm3 dengan hitung jenis predominan
polimorfonuklear, protein 200-500 mg/dl, glukosa < 40 mg/dl, pewarnaan
gram, biakan dan uji resistensi. Pada stadium dini jumlah sel dapat normal
dengan predominan limfosit. Apabila telah mendapat antibiotik sebelumnya,
gambaran LCS dapat tidak spesifik. Pada kasus berat, pungsi lumbal sebaiknya
ditunda dan tetap dimulai pemberian antibiotik empirik (penundaan 2-3 hari
tidak mengubah nilai diagnostik kecuali untuk identifikasi kuman, itu pun jika
antibiotiknya sensitif) Jika memang kuat dugaan kearah meningitis, meskipun
terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, pungsi lumbal masih dapat
dilakukan asalkan berhati-hati. Pemakaian jarum spinal dapat meminimalkan
komplikasi terjadinya herniasi. Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal hanya jika
ditemukan tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial oleh karena lesi
desak ruang.
 Pemeriksaan computed tomography(CT scan) dengan kontras atau magnetic
resonance imaging(MRI) kepala (pada kasus berat atau curiga ada komplikasi
seperti empiema subdural, hidrosefalus, dan abses otak)
 Pada pemeriksaan elektroensefalografi dapat ditemukan perlambatan umum.

Tata Laksana

Medikamentosa
Diawali dengan terapi empiris, kemudian disesuikan dengan hasil biakan dan uji
resistensi.
Terapi empirik antibiotik
Usia1-3 bulan :
 Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + sefotaksim 200-
300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau
 Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis

Usia > 3 bulan :


 Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau
 Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau kgBB/hari dibagi
dalam 4 dosis.

Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil
kultur dan resistensi.

 Deksametason 0,6 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis selama 4 hari.


Injeksi. deksametason diberikan 15-30 menit sebelum atau pada saat pemberian
antibiotik.

Lama pengobatan
Tergantung dari kuman penyebab, umumnya 10-14 hari.
Bedah
Umumnya tidak diperlukan tindakan bedah, kecuali jika ada komplikasi seperti
empiema subdural, abses otak, atau hidrosefalus.
Suportif
Periode kritis pengobatan meningitis bakterialis adalah hari ke-3 dan ke-4. Tanda vital
dan evaluasi neurologis harus dilakukan secara teratur. Guna mencegah muntah dan
aspirasi sebaiknya pasien dipuasakan lebih dahulu pada awal sakit. Lingkar kepala
harus dimonitor setiap hari pada anak dengan ubun-ubun besar yang masih terbuka.
Peningkaan tekanan intrakranial, Syndrome Inappropriate Antidiuretic Hormone
(SIADH), kejang dan demam harus dikontrol dengan baik. Restriksi cairan atau
posisi kepala lebih tinggi tidak selalu dikerjakan pada setiap anak dengan meningitis
bakterial. Perlu dipantau adanya komplikasi SIADH. Diagnosis SIADH ditegakkan
jika terdapat kadar natrium serum yang < 135 mEq/L (135 mmol/L), osmolaritas
serum < 270 mOsm/kg, osmolaritas urin > 2 kali osmolaritas serum, natrium urin > 30
mEq/L (30 mmol/L) tanpa adanya tanda-tanda dehidrasi atau hipovolemia. Beberapa
ahli merekomendasikan pembatasan jumlah cairan dengan memakai cairan
isotoni, terutama jika natrium serum < 130 mEq/L (130 mmol/L). Jumlah
cairan dapat dikembalikan ke cairan rumatan jika kadar natrium serum kembali
normal.

Pemantauan Terapi

Untuk memantau efek samping penggunaan antibiotik dosis tinggi, dilakukan


pemeriksaan darah perifer secara serial, uji fungsi hati, dan uji fungsi ginjal bila ada
indikasi.
Meningitis Tuberkulosis

Meningitis tuberkulosis adalah radang selaput otak yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis. Biasanya jaringan otak ikut terkena sehingga disebut
sebagai meningoensefalitis tuberkulosis. Angka kejadian jarang dibawah usia 3 bulan
dan mulai meningkat dalam 5 tahun pertama. Angka kejadian tertinggi pada usia 6
bulan sampai 2 tahun. Angka kematian berkisar antara 10-20%. Sebagian besar
memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang normal secara neurologis dan
intelektual. Anak dengan meningitis tuberkulosis bila tidak diobati, akan meninggal
dalam waktu 3–5 minggu.

Diagnosis

Anamnesis
 Riwayat demam yang lama/kronis, dapat pula berlangsung akut
 Kejang, deskripsi kejang (jenis, lama, frekuensi, interval) kesadaran setelah
kejang
 Penurunan kesadaran
 Penurunan berat badan (BB), anoreksia, muntah, sering batuk dan pilek
 Riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis dewasa
 Riwayat imunisasi BCG

Pemeriksaan fisis
Manifestasi klinis dibagi menjadi 3 stadium :
 Stadium I (inisial)
Pasien tampak apatis ,iritabel, nyeri kepala, demam, malaise, anoreksia, mual
dan muntah. Belum tampak manifestasi kelainan neurologi.
 Stadium II
Pasien tampak mengantuk, disorientasi, ditemukan tanda rangsang meningeal,
kejang, defisit neurologis fokal, paresis nervus kranial, dan gerakan involunter
(tremor, koreoatetosis, hemibalismus).
 Stadium III
Stadium II disertai dengan kesadaran semakin menurun sampai koma,
ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, pupil terfiksasi, pernapasan
ireguler disertai peningkatan suhu tubuh, dan ekstremitas spastis.
Pada funduskopi dapat ditemukan papil yang pucat, tuberkel pada retina, dan adanya
nodul pada koroid. Lakukan pemeriksaan parut BCG dan tanda-tanda infeksi
tuberkulosis di tempat lain

Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan meliputi darah perifer lengkap, laju endap darah, dan gula darah.
Lekosit darah tepi sering meningkat (10.000 – 20.000 sel/mm3). Sering ditemukan
hiponatremia dan hipokloremia karena sekresi antidiuretik hormon yang tidak
adekuat.
 Pungsi lumbal: Liquor serebrospinal (LCS) jernih, cloudy atau santokrom, Jumlah
sel meningkat antara 10–250 sel/mm3 dan jarang melebihi 500 sel/mm3 hitung
jenis predominan sel limfosit walaupun pada stadium awal dapat dominan
polimorfonuklear. Protein meningkat di atas 100 mg/dl sedangkan glukosa
menurun di bawah 35 mg/dl, rasio glukosa LCS dan darah dibawah normal.
 Pemeriksaan BTA (basil tahan asam) dan kultur M. Tbc tetap dilakukan. Jika hasil
pemeriksaan LCS yang pertama meragukan, pungsi lumbal ulangan dapat
memperkuat diagnosis dengan interval dua minggu.
 Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) enzyme-linked immunosorbent
assay (ELISA) dan latex particle agglutination dapat mendeteksi kuman
Mycobacterium di cairan serebrospinal (bila memungkinkan).
 Pemeriksaan pencitraan (computed tomography(CT Scan)/magnetic resonance
imaging/(MRI) kepala dengan kontras) dapat menunjukkan lesi parenkim pada
daerah basal otak, infark, tuberkuloma, maupun hidrosefalus. Pemeriksaan ini
dilakukan jika ada indikasi, terutama jika dicurigai terdapat komplikasi
hidrosefalus.
 Foto rontgen dada dapat menunjukkan gambaran penyakit tuberkulosis.
 Uji tuberkulin dapat mendukung diagnosis
 Elektroensefalografi (EEG) dikerjakan jika memungkinkan dapat
menunjukkan perlambatan gelombang irama dasar.
Diagnosis
Diagnosis pasti bila ditemukan M. tuberkulosispada pemeriksaan apus LCS/kultur.

Tata Laksana

Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa diberikan sesuai rekomendasi American Academy
of Pediatrics 1994, yakni dengan pemberian 4 macam obat selama 2 bulan,
dilanjutkan dengan pemberian INH dan Rifampisin selama 10 bulan. Dosis obat
antituberkulosis adalah sebagai berikut :
 Isoniazid (INH) 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari.
 Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari.
 Pirazinamid 15-30 mg/kgBB.hari, dosis maksimal 2000 mg/hari.
 Etambutol 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1000 mg/hari atau
streptomisin IM 20 – 30 mg/kg/hari dengan maksimal 1 gram/hari.

 Kortikosteroid diberikan untuk menurunkan inflamasi dan edema serebral.


Prednison diberikan dengan dosis 1–2 mg/kg/hari selama 6–8 minggu. Adanya
peningkatan tekanan intrakranial yang tinggi dapat diberikan deksametason 6
mg/m2 setiap 4–6 jam atau dosis 0,3–0,5 mg/kg/hari.

 Tata laksana kejang maupun peningkatan tekanan intracranial.

Perlu dipantau adanya komplikasi Syndrome Inappropriate Antidiuretic Hormone


(SIADH). Diagnosis SIADH ditegakkan jika terdapat kadar natrium serum yang
<135 mEq/L (135 mmol/L), osmolaritas serum < 270 mOsm/kg, osmolaritas urin > 2
kali osmolaritas serum, natrium urin > 30 mEq/L (30 mmol/L) tanpa adanya
tanda-tanda dehidrasi atau hipovolemia. Beberapa ahli merekomendasikan
pembatasan jumlah cairan dengan memakai cairan isotonis, terutama jika natrium
serum < 130 mEq/L (130 mmol/L). Jumlah cairan dapat dikembalikan ke cairan
rumatan jika kadar natrium serum kembali normal.
Bedah

Hidrosefalus terjadi pada 2/3 kasus dengan lama sakit > 3 minggu dan dapat
diterapi dengan asetazolamid 30-50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis. Perlu
dilakukan pemantauan terhadap asidosis metabolik pada pemberian asetazolamid.
Beberapa ahli hanya merekomendasikan tindakan VP-shunt jika terdapat
hidrosefalus obstruktif dengan gejala ventrikulomegali disertai peningkatan tekanan
intraventrikel atau edema periventrikuler.

Suportif
Jika keadaan umum pasien sudah stabil, dapat dilakukan konsultasi ke
Departemen Rehabilitasi Medik untuk mobilisasi bertahap, mengurangi
spastisitas, serta mencegah kontraktur.

Pemantauan pasca rawat


Pemantauan darah tepi dan fungsi hati setiap 3-6 bulan untuk mendeteksi
adanya komplikasi obat tuberkulostatik.
Gejala sisa yang sering ditemukan adalah gangguan penglihatan, gangguan
pendengaran, palsi serebral, epilepsi, retardasi mental, maupun gangguan perilaku.

Pasca rawat pasien


memerlukan pemantauan tumbuh-kembang, jika terdapat gejala sisa dilakukan
konsultasi ke departemen terkait (Rehabilitasi Medik, telinga hidung tenggorokan
(THT), Mata dll) sesuai indikasi.

Pencegahan
Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis
dewasa. Imunisasi BCG dapat mencegah meningitis tuberkulosis. Faktor risiko adalah
malnutrisi, pemakaian kortikosteroid, keganasan, dan infeksi HIV
Ensefalitis

Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai
macam mikroorganisme (virus, bakteri, jamur dan protozoa). Sebagian besar kasus
tidak dapat ditentukan penyebabnya. Angka kematian masih tinggi, berkisar 35%-
50%, dengan gejala sisa pada pasien yang hidup cukup tinggi (20%-40%). Penyebab
tersering dan terpenting adalah virus. Berbagai macam virus dapat menimbulkan
ensefalitis dengan gejala yang kurang lebih sama dan khas, akan tetapi hanya
ensefalitis herpes simpleks dan varisela yang dapat diobati.

Diagnosis

Anamnesis
 Demam tinggi mendadak, sering ditemukan hiperpireksia.
 Penurunan kesadaran dengan cepat. Anak agak besar sering mengeluh nyeri
kepala, ensefalopati, kejang, dan kesadaran menurun.
 Kejang bersifat umum atau fokal, dapat berupa status konvulsivus. Dapat
ditemukan sejak awal ataupun kemudian dalam perjalanan penyakitnya.

Pemeriksaan fisis
 Seringkali ditemukan hiperpireksia, kesadaran menurun sampai koma dan
kejang.
 Kejang dapat berupa status konvulsivus.
 Ditemukan gejala peningkatan tekanan intrakranial.
 Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti kelumpuhan tipe upper
motor neuron (spastis, hiperrefleks, refleks patologis, dan klonus).

Pemeriksaan penunjang
 Darah perifer lengkap. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit dilakukan jika
ada indikasi.
 Pungsi lumbal: pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) bisa normal atau
menunjukkan abnormalitas ringan sampai sedang: peningkatan jumlah sel 50-
200/mm3 hitung jenis didominasi sel limfosit protein meningkat tapi tidak
melebihi 200 mg/dl glukosa normal.
 Pencitraan (computed tomography/CT-Scan atau magnetic resonance
imaging/MRI kepala) menunjukkan gambaran edema otak baik umum maupun
fokal.
 Pemeriksaan elektroensefalografi merupakan pemeriksaan penunjang yang
sangat penting pada pasien ensefalitis. Walaupun kadang didapatkan
gambaran normal pada beberapa pasien, umumnya didapatkan gambaran
perlambatan atau gelombang epileptiform baik umum maupun fokal

Tata Laksana

Medikamentosa
Tata laksana tidak ada yang spesifik. Terapi suportif berupa tata laksana hiperpireksia,
keseimbangan cairan dan elektrolit, peningkatan tekanan intrakranial, serta tata
laksana kejang. Pasien sebaiknya dirawat di ruang rawat intensif.
Pemberian pengobatan dapat berupa antipiretik, cairan intravena, obat anti
epilepsi, kadang diberikan kortikosteroid. Untuk mencegah kejang berulang dapat
diberikan fenitoin atau fenobarbital sesuai standard terapi. Peningkatan tekanan
intrakranial dapat diatasi dengan pemberian diuretik osmotik manitol 0,5 – 1
gram/kg/kali atau furosemid 1 mg/kg/kali. Pada anak dengan neuritis optika, mielitis,
vaskulitis inflamasi, dan acute disseminated encephalomyelitis (ADEM) dapat
diberikan kortikosteroid selama 2 minggu. Diberikan dosis tinggi metil-
prednisolon 15 mg/kg/hari dibagi setiap 6 jam selama 3 – 5 hari dan dilanjutkan
prednison oral 1 – 2 mg/kg/hari selama 7 – 10 hari. Jika keadaan umum pasien
sudah stabil, dapat dilakukan konsultasi ke Departemen Rehabilitasi Medik
untuk mobilisasi bertahap, mengurangi spastisitas, serta mencegah kontraktur.

Pemantauan pasca rawat


Gejala sisa yang sering ditemukan adalah gangguan penglihatan, palsi serebral,
epilepsi, retardasi mental maupun gangguan perilaku. Pasca rawat pasien memerlukan
pemantauan tumbuh-kembang, jika terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi ke
departemen terkait (Rehabilitasi medik, mata dll) sesuai indikasi.

You might also like