You are on page 1of 27

PENGANGGURAN DI KOTA MALANG

Bestari Atma, Hiranisha Eldima, Kiki Sarah, Melisa, Rendi Satriawan


Jurusan Pendidikan IPA, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Negeri Malang
E-mail: bestariatma@gmail.com

Abstract
The situation which faced by almost all countries, especially developing countries is
employment problems as known as unemployment. The labour force is those who have a job,
both working and temporarily not working for a reason. People who do not have a job but
they are actively looking for a job or hoping to get a job called unemployment.
Unemployment is a problem that must be faced and handled by government and all parties.
Some factors cause unemployment, for example low human resources available and
discrepancy between number of demand and labour suply. This situation happens in most of
the big cities in Indonesia, and one of them is Malang City, that has ideal economic growth.
There are still quite serious unemployment rates, particularly people who graduated from
high school and college. Various policies can be done to overcome unemployment, example
cooperation programs for new entrepreneurial students in college by involving agencies or
companies that need empoyee. Unemployment in Indonesia will be reduced if resolved with
the right solution. Spread of jobs, makes the labour forces will not stuck only in big cities, but
in some places that run short of or need human resources and have many sectors which need
to be developed.

Keywords: labour force, unemployment, employment

Abstrak
Keadaan yang selalu dihadapi oleh hampir semua negara terutama negara yang sedang
berkembang adalah masalah ketenagakerjaan, yaitu pengangguran. Angkatan kerja adalah
mereka yang mempunyai pekerjaan, baik sedang bekerja maupun yang sementara tidak
sedang bekerja karena suatu sebab. Di samping itu mereka yang tidak mempunyai pekerjaan
tetapi sedang mencari pekerjaan atau mengharapkan dapat pekerjaan disebut pengangguran.
Pengangguran adalah masalah yang harus dihadapi dan ditangani oleh semua pihak, tidak
hanya pemerintah saja. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pengangguran
contohnya karena rendahnya sumber daya manusia yang ada, kesenjangan antara jumlah
permintaan dan penawaran tenaga kerja. Keadaan ini terutama dialami oleh sebagian besar
kota-kota besar di Indonesia tidak terkecuali di Kota Malang. Sebagai salah satu kota yang
mempunyai pertumbuhan ekonomi cukup bagus, di Kota Malang masih terdapat angka
pengangguran yang cukup serius, terutama pada tingkat pendidikan sekolah menengah atas
dan pendidikan tinggi. Berbagai kebijakan dapat dilakukan untuk mengatasi pengangguran,
misalnya pemanfaatan dan kerja sama program wirausaha baru bagi mahasiswa tingkat akhir
dengan melibatkan instansi atau perusahaan yang memerlukan. Pengangguran di Indonesia
akan berkurang jika diatasi dengan solusi yang tepat. Dengan menyebarnya lapangan
pekerjaan, para penduduk usia kerja tidak akan terpaku pada kota-kota besar saja, melainkan
ke tempat yang kekurangan serta membutuhkan sumber daya manusia dan memiliki banyak
sektor yang perlu dikembangkan.

Kata kunci: angkatan kerja, pengangguran, ketenagakerjaan

I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebelum berbicara masalah pengangguran, pengakajian kita diawali dengan peranan
penduduk sebagai sumber daya manusia dalam pembangunan ekonomi merupakan hal
yang sangat penting. Dalam hal ini jumlah penduduk yang sangat besar merupakan
modal utama dalam proses pembangunan, karena penduduk merupakan obyek dan
sekaligus subyek penting dalam pembangunan. Di satu pihak, peranan penduduk yang
sangat besar selain sebagai modal dasar dalam pembangunan, karena sebagai pasar
potensial yang akan menyerap output yang dihasilkan oleh setiap kegiatan proses
produksi sehingga mampu meningkatkan pendapatan nasional. Namun disisi yang lain,
jumlah penduduk yang sangat besar bisa menjadi beban dalam pembangunan dan dapat
menimbulkan problem dalam segala aspeknya. Dengan demikian kapan jumlah penduduk
sebagai modal dasar atau beban dalam pembangunan terletak pada kualitas dari
penduduk itu sendiri, buka pada kuantitasnya.
Diantara sekian banyak permasalahan yang ditimbulkan akibat pesatnya jumlah
penduduk adalah ketidakseimbangan antara pertumbuhan lapangan pekerjaan dengan
semakin bertambahnya tenaga kerja setiap tahunnya. Hal ini akan menimbulkan
kelebihan penawaran tenaga kerja daripada permintaan, sehingga memunculkan
fenomena pengangguran.
Selain diatas terdapat juga berbagai sebab non ekonomis, seperti pranata sosial sikap
dan pola tingkah laku yang berhubungan dengan pengamatan hak kerja, serta keinginan
para penganggur untuk menerima jenis pekerjaan yang lebih cocok dengan kualifikasi,
aspirasi dan selera mereka (Munir, 2006).
Menurut Badan Pusat Statistik (2017) masalah pengangguran masih menjadi salah
satu titik berat dalam pembangunan di Kota Malang. Untuk mendukung upaya
pemerintah dalam mengendalikan laju pengangguran, diperlukan indikator-indikator
sebagai dasar perencanaan, monitoring, maupun evaluasi program. Informasi tersebut
akan banyak memberikan manfaat bagi pemerintah daerah dalam membuat perencanaan
atau kebijakan strategis dalam rangka perluasan kesempatan kerja yang pada akhirnya
dapat mengurangi pengangguran serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam kesempatan ini sengaja dibahas masalah pengangguran Kota Malang dalam
perspektif disertai dengan solusi kebijakan yang harus dan perlu ditempuh, yang
ditunjang dengan berbagai data sekunder dari dinas terkait. Lewat kesempatan ini pula
penulis mencoba ikut memberikan sumbangan pikiran yang berarti bagi pemecahan dari
sekian banyak masalah bangsa yang khususnya masalah pengangguran.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui tingkat pengangguran dan mencoba memberikan sumbangan pikiran
pemecahan masalah pengangguran di Kota Malang.
Tinjauan Pustaka
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam indikator ketenagakerjaan, pengangguran
adalah penduduk yang tidak bekerja namun sedang mencari pekerjaan atau sedang
mempersiapkan suatu usaha baru atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena
sudah diterima bekerja tetapi belum mulai bekerja.
Menurut Sukirno (1994), pengangguran adalah suatu keadaan dimana seseorang yang
termasuk dalam angkatan kerja ingin memperoleh pekerjaan akan tetapi belum
mendapatkannya. Seseorang yang tidak bekerja namun tidak secara aktif mencari
pekerjaan tidak tergolong sebagai pengangguran. Faktor utama yang menyebabkan
terjadinya pengangguran adalah kurangnya pengeluaran agregat. Pengusaha
memproduksi barang dan jasa dengan maksud memperoleh keuntungan, akan tetapi
keuntungan tersebut akan diperoleh apabila pengusaha tersebut dapat menjual barang dan
jasa yang mereka produksi. Semakin besar permintaan, semakin besar pula barang dan
jasa yang mereka wujudkan. Kenaikan produksi yang dilakukan akan menambah
penggunaan tenaga kerja.
Pengangguran merupakan masalah makroekonomi yang mempengaruhi kelangsungan
hidup manusia secara langsung. Bagi kebanyakan orang kehilangan suatu pekerjaan
merupakan penurunan suatu standar kehidupan. Jadi tidak mengejutkan apabila
pengangguran menjadi topik yang sering diperbincangkan dalam perdebatan politik oleh
para politisi yang seringkali mengkaji bahwa kebijakan yang mereka tawarkan akan
membantu terciptanya lapangan pekerjaan (Mankiw, 2000).
Badan Pusat Statistik (BPS) telah menerapkan konsep ketenagakerjaan yang
digunakan oleh International Labor Organization (ILO) . Pada dasarnya ILO tidak
memberikan batasan usia tertentu dalam penentuan batas minimum dari usia kerja. Hal
ini disebabkan tiap negara memiliki karakteristik dan pertumbuhan ekonomi yang
berbeda-beda sehingga masing-masing negara juga memiliki batas minimum yang
berbeda dalam menyatakan pada usia berapa penduduknya dikatakan telah memasuki
usia kerja. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyatakan bahwa batas usia kerja adalah 18 tahun (karena di bawah
usia 18 tahun masih dikategorikan sebagai anak sebagaimana disebutkan pada Pasal 1),
namun BPS menggunakan batasan usia kerja 15 tahun agar relevan dengan data-data
yang disajikan oleh ILO dan World Bank sehingga data yang dihasilkan bisa diukur
Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang Teori-Teori Pengangguran di Indonesia
yaitu :
a. Teori Klasik
Teori Klasik menjelaskan pandangan bahwa pengangguran dapat dicegah melalui sisi
penawaran dan mekanisme harga di pasar bebas supaya menjamin terciptanya
permintaan yang akan menyerap semua penawaran. Menurut pandangan klasik,
pengangguran terjadi karena mis-alokasi sumber daya yang bersifat sementara karena
kemudian dapat diatasi dengan mekanisme harga (Gilarso, 2004).
Jadi dalam Teori Klasik jika terjadi kelebihan penawaran tenaga kerja maka upah akan
turun dan hal tersebut mengakibatkan produksi perusahaan menjadi turun. Sehingga
permintaan tenaga akan terus meningkat karena perusahaan mampu melakukan
perluasan produksi akibat keuntungan yang diperoleh dari rendahnya biaya tadi.
Peningkatan tenaga kerja selanjutnya mampu menyerap kelebihan tenaga kerja yang
ada di pasar, apabila harga relatif stabil (Tohar, 2000).
b. Teori Keynes
Dalam menanggapi masalah pengangguran Teori Keynes mengatakan hal yang
berlawanan dengan Teori Klasik, menurut Teori Keynes sesungguhnya masalah
pengangguran terjadi akibat permintaan agregat yang rendah. Sehingga terhambatnya
pertumbuhan ekonomi bukan disebabkan oleh rendahnya produksi akan tetapi
rendahnya konsumsi. Menurut Keynes, hal ini tidak dapat dilimpahkan ke mekanisme
pasar bebas. Ketika tenaga kerja meningkat, upah akan turun hal ini akan merugikan
bukan menguntungkan, karena penurunan upah berarti menurunkan daya beli
masyarakat terhadap barang-barang. Akhirnya produsen akan mengalami kerugian dan
tidak dapat menyerap tenaga kerja.
Keynes menganjurkan adanya campur tangan pemerintah dalam mempertahankan
tingkat permintaan agregat agar sektor pariwisata dapat menciptakan lapangan
pekerjaan (Soesastro, dkk, 2005). Perlu dicermati bahwa pemerintah hanya bertugas
untuk menjaga tingkat permintaan agregat, sementara penyedia lapangan kerja adalah
sektor wisata. Hal ini memiliki tujuan mempertahankan pendapatan masyarakat agar
daya beli masyarakat terjaga. Sehingga tidak memperparah resesi serta diharapkan
mampu mengatasi pengangguran akibat resesi.
c. Teori Kependudukan dari Malthus
Teori Malthus menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk cenderung melampaui
pertumbuhan persediaan makanan. Dalam dia punya esai yang orisinal, Malthus
menyuguhkan idenya dalam bentuk yang cukup kaku. Dia mengatakan penduduk
cenderung tumbuh secara “deret ukur” (misalnya, dalam lambang 1, 2, 4, 8, 16 dan
seterusnya) sedangkan persediaan makanan cenderug tumbuh secara “deret hitung”
(misalnya, dalam deret 1,2 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan seterusnya). Dalam karyanya yang
terbit belakangan, Malthus menekankan lagi tesisnya, namun tidak sekaku semula,
hanya saja dia berkata bahwa penduduk cenderung tumbuh secata tidak terbatas hingga
mencapai bata persediaan makanan. Dari kedua uraian tersebut Malthus menyimpulkan
bahwa kuantitas manusia akan terjerumus ke dalam kemiskinan kelaparan. Dalam
jangka panjang tidak ada kemajuann teknologi yang mampu mengalihkan keadaan
karena kenaikan supply makanan terbatas sedangkan “pertumbuhan penduduk tak
terbatas, dan bumi tak mampu memprodusir makanan untung menjaga kelangsungan
hidup manusia”.
Apabila ditelaah lebih dalam toeri Malthus ini yang menyatakan penduduk cederung
bertumbuh secara tak terbatas hingga mencapai batas persediaan makanan, dalam hal
ini menimbulkan manusia saling bersaing dalam menjamin kelangsungan hidupnya
dengan cara mencari sumber makanan, dengan persaingan ini maka akan ada sebagian
manusia yang tersisih serta tidak mampu lagi memperoleh bahan makanan. Pada
masyarakat modern diartikan bahwa semakin pesatnya jumlah penduduk akan
menghassilkan tenaga kerja yang semakin banyak pula, namun hal ini tidak diimbangi
dengan kesempatan kerja yang ada. Karena jumlah kesempatan yang sedikit itulah
maka manussia saling bersaing dalam memperoleh pekerjaan dan yang tersisih dalam
persaingan tersebut menjadi golongan penganggur.
d. Teori Sosiologi Ekonomi No-Marxian
Berawal dari analisis Marx pada awal abad 20 tentang struktur dan proses ekonomi
yang dapat dibayangkan sebagai sistem kapitalisme kompetitif. Industri kapitalis yang
ada pada zaman itu tergolong masih kecil dan belum ada satupun yang memegang
perekonomian dan mengendalikan pasar. Namun Marx yakin pada suatu saat apabila
kapitalisme sudah muncul dengan demikian pesatnya maka akan memunculkan
kompetisi antar industri yang menjadi semakin pesat dan kemudian menghasilkan
sistem monopoli dari industri yang paling kuat dalam persaingan tersebut. Dengan
munculnya monopoli modal ini maka akan ada satu perusahaaan besar yang akan
mengendalikan perusahaan-perusahaan lain dalam perekonomian kapitalis.
Dalam pengembangan analisis Marx yang dianut oleh para penganut Marxian yang
baru ini konsep “kelas buruh “ tidak mendeskripsikan sekelompok orang atau
sekelompok pekerjaan tertentu, tetapi lebih merupakan pembelian dan penjualan
tenaga kerja. Para tenaga kerja tidak mempunyai alat produksi sama sekali sehingga
segolongan orang terpaksa menjual tenaga mereka kepada sebagian kecil orang yang
mempunyai alat produksi.
Dari uraian diatas maka dapat kita telaah lagi bahwa dengan adanya pergantian antara
sistem kapitalis kompetitif menjadi kearah sistem kapitalis monopoli, maka akan
terdapat sebagian perusahaan yang masih tidak mampu bersaing dan menjadi terpuruk.
Apabila semua proses produksi dan pemasaran semua terpengaruh oleh sebuah
perusahaan raksasa saja, maka akan mengakibatkan perusahaan kecil menjadi sangat
sulit dan hal pamasaran, bisa saja perusahaan kecil tersebut mengalami kebangkrutan
dan tidak lagi mampu menggaji pekerjanya. Setelah perusahaan tersebut tidak mampu
baroperasi lagi, maka para pekerja yang semula bekerja dalam perusahaan tersebut
menjadi tidak mempunyai pekerjaan lagi. Kemudian akhirnya pekerja tersebut menjadi
pengangguran. Berdasarkan penyebabnya pengangguran dapat dibagi empat kelompok
(Sukirno, 1994) :
1) Pengangguran Normal atau Friksional
Apabila dalam suatu ekonomi terdapat pengangguran sebanyak dua atau tiga persen
dari jumlah tenaga kerja maka ekonomi itu sudah dipandang sebagai mencapai
kesempatan kerja penuh. Pengangguran sebanyak dua atau tiga persen tersebut
dinamakan pengangguran normal atau pengangguran friksional. Para penganggur
ini tidak ada pekerjaan bukan karena tidak dapat memperoleh kerja, tetapi karena
sedang mencari kerja lain yang lebih baik. Dalam perekonomian yang berkembang
pesat, pengangguran adalah rendah dan pekerjaan mudah diperoleh. Sebaliknya
pengusaha susah memperoleh pekerja, akibatnya pengusaha menawarkan gaji yang
lebih tinggi. Hal ini akan mendorong para pekerja untuk meninggalkan pekerjaanya
yang lama dan mencari pekerjaan baru yang lebih tinggi gajinya atau lebih sesuai
dengan keahliannya. Dalam proses mencari kerja baru ini untuk sementara para
pekerja tersebut tergolong sebagai penganggur. Mereka inilah yang digolongkan
sebagai pengangguran normal.
2) Penggangguran Siklikal
Perekonomian tidak selalu berkembang dengan teguh. Adakalanya permintaan
agregat lebih tinggi, dan ini mendorong pengusaha menaikkan produksi. Lebih
banyak pekerja baru digunakan dan pengangguran berkurang. Akan tetapi pada
masa lainnya permintaan agregat menurun dengan banyaknya. Misalnya, di negara-
negara produsen bahan mentah pertanian, penurunan ini mungkin disebabkan
kemerosotan harga-harga komoditas. Kemunduran ini menimbulkan efek kepada
perusahaan-perusahaan lain yang berhubungan, yang juga akan mengalami
kemerosotan dalam permintaan terhadap produksinya. Kemerosotan permintaan
agregat ini mengakibatkan perusahaan-perusahaan mengurangi pekerja atau
menutup perusahaanya, sehingga pengangguran akan bertambah. Pengangguran
dengan wujud tersebut dinamakan pengangguran siklikal.
3) Pengangguran Struktural
Tidak semua industri dan perusahaan dalam perekonomian akan terus berkembang
maju, sebagiannya akan mengalami kemunduran. Kemerosotan ini ditimbulkan
oleh salah satu atau beberapa faktor berikut: wujudnya barang baru yang lebih baik,
kemajuan teknologi mengurangi permintaan ke atas barang tersebut, biaya
pengeluaran sudah sangat tinggi dan tidak mampu bersaing, dan ekspor produksi
industri itu sangat menurun oleh karena persaingan yang lebih serius dari negara-
negara lain. Kemerosotan itu akan menyebabkan kegiatan produksi dalam industri
tersebut menurun, dan sebagian pekerja terpaksa diberhentikan dan menjadi
penganggur. Pengangguran yang wujud digolongkan sebagai pengangguran
struktural. Dinamakan demikian karena disebabkan oleh perubahan struktur
kegiatan ekonomi.
4) Pengangguran Teknologi
Pengangguran dapat pula ditimbulkan oleh adanya penggantian tenaga manusia
oleh mesin-mesin dan bahan kimia. Racun ilalang dan rumput misalnya, telah
mengurangi penggunaan tenaga kerja untuk membersihkan perkebunan, sawah dan
lahan pertanian lain. Begitu juga mesin telah mengurangi kebutuhan tenaga kerja
untuk membuat lubang, memotong rumput, membersihkan kawasan, dan
memungut hasil. Sedangkan di pabrik-pabrik, ada kalanya robot telah
menggantikan kerja-kerja manusia. Pengangguran yang ditimbulkan oleh
penggunaan mesin dan kemajuan teknologi lainnya dinamakan pengangguran
teknologi.
Berdasarkan cirinya, Pengangguran dibagi menjadi empat kelompok (Sukirno, 1994):
1) Pengangguran Terbuka
Pengangguran ini tercipta sebagai akibat pertambahan lowongan pekerjaan yang
lebih rendah dari pertambahan tenaga kerja. Sebagai akibatnya dalam
perekonomian semakin banyak jumlah tenaga kerja yang tidak dapat memperoleh
pekerjaan. Efek dari keadaan ini di dalam suatu jangka masa yang cukup panjang
mereka tidak melakukan suatu pekerjaan. Jadi mereka menganggur secara nyata
dan separuh waktu, dan oleh karenanya dinamakan pengangguran terbuka.
Pengangguran terbuka dapat pula wujud sebagai akibat dari kegiatan ekonomi yang
menurun, dari kemajuan teknologi yang mengurangi penggunaan tenaga kerja, atau
sebagai akibat dari kemunduran perkembangan suatu industri.
2) Pengangguran Tersembunyi
Pengangguran ini terutama wujud di sektor pertanian atau jasa. Setiap kegiatan
ekonomi memerlukan tenaga kerja, dan jumlah tenaga kerja yang digunakan
tergantung pada banyak faktor, faktor yang perlu dipertimbangkan adalah besar
kecilnya perusahaan, jenis kegiatan perusahaan, mesin yang digunakan (apakah
intensif buruh atau intensif modal) dan tingkat produksi yang dicapai. Pada negara
berkembang seringkali didapati bahwa jumlah pekerja dalam suatu kegiatan
ekonomi adalah lebih banyak dari yang sebenarnya diperlukan supaya ia dapat
menjalankan kegiatannya dengan efisien. Kelebihan tenaga kerja yang digunakan
digolongkan dalam pengangguran tersembunyi. Contoh-contohnya ialah pelayan
restoran yang lebih banyak dari yang diperlukan dan keluarga petani dengan
anggota keluarga yang besar yang mengerjakan luas tanah yang sangat kecil.
3) Pengangguran Musiman
Pengangguran ini terutama terdapat di sektor pertanian dan perikanan. Pada musim
hujan penyadap karet dan nelayan tidak dapat melakukan pekerjaan mereka dan
terpaksa menganggur. Pada musim kemarau pula para petani tidak dapat
mengerjakan tanahnya. Disamping itu pada umumnya para petani tidak begitu aktif
di antara waktu sesudah menanam dan sesudah menuai. Apabila dalam masa
tersebut para penyadap karet, nelayan dan petani tidak melakukan pekerjaan lain
maka mereka terpaksa menganggur. Pengangguran seperti ini digolongkan sebagai
pengangguran bermusim.
4) Setengah Menganggur
Pada negara-negara berkembang migrasi dari desa ke kota sangat pesat. Sebagai
akibatnya tidak semua orang yang pindah ke kota dapat memperoleh pekerjaan
dengan mudah. Sebagian terpaksa menjadi penganggur sepenuh waktu. Disamping
itu ada pula yang tidak menganggur, tetapi tidak pula bekerja sepenuh waktu, dan
jam kerja mereka adalah jauh lebih rendah dari yang normal. Mereka mungkin
hanya bekerja satu hingga dua hari seminggu, atau satu hingga empat jam sehari.
Pekerja-pekerja yang mempunyai masa kerja seperti yang dijelaskan ini
digolongkan sebagai setengah menganggur (under employed). Dan jenis
penganggurannya dinamakan under employment.

II. METODOLOGI
Metode penelitian yang dilakukan menggunakan kajian literatur, yaitu mengambil
data dari Laporan Eksekutif Ketenagakerjaan Kota Malang 2017 oleh Badan Pusat
Statistik Kota Malang dan literatur dari beberapa jurnal yang berkaitan dengan
ketenagakerjaan dan pengangguran terutama di Kota Malang . Berdasarkan laporan dari
BPS Kota Malang, data yang digunakan adalah jumlah penduduk usia kerja di Kota
Malang dan jumlah pengangguran di Kota Malang menurut tingkat pengangguran
terbuka, tingkat pendidikan, dan kelompok umur pada tahun 2015 dan 2017. Data yang
diubah menjadi grafik atau tabel, kemudian dianalisis dengan memberikan kesimpulan
sementara atau penjelasan singkat serta membandingkan tingkat pengangguran dua
tahun terakhir.

III. PEMBAHASAN
Hasil Sakernas Tahun 2017 menunjukkan bahwa jumlah penduduk usia kerja
(working age population) di Kota Malang sebanyak 684.015 orang pada tahun tersebut.
Sedangkan penduduk usia kerja di Kota Malang pada Tahun 2015 sebanyak 671.937
orang, artinya dalam 2 tahun terakhir terjadi penambahan penduduk usia kerja sebanyak
12.078 orang. Secara umum, penambahan penduduk usia kerja terjadi pada semua
kelompok umur. Penduduk pada kelompok umur 15-24 tahun mengalami peningkatan
terbesar dibanding kelompok umur lainnya, dikarenakan semakin bertambahnya kuota
dari hampir semua perguruan tinggi baik negeri maupun swasta sehingga membuat
penduduk yang berusia 15-24 tahun dari daerah lain berpindah dan menetap di Kota
Malang.
Berikut adalah beberapa indikator ketenagakerjaan di Kota Malang Tahun 2015 dan
2017.
Jenis Kegiatan 2015 2017
Penduduk 15 Tahun ke Atas 671.937 684.015
Angkatan Kerja 406.935 443.035
Penduduk yang Bekerja 377.329 411.042
Pengangguran 29.606 31.993
Bukan Angkatan Kerja 265.002 240.980
Sekolah 115.451 76.669
Mengurus Rumah Tangga 122.571 136.231
Lainnya 26.980 28.080
Tingkat Partisipasi Angkatan 60,56 64,77
Kerja (TPAK) (%)
Tingkat Pengangguran Terbuka 7,28 7,22
(TPT) (%)
Pekerja Penuh 325.106 341.475
Pekerja Tidak Penuh 52.223 69.567
Setengah Penganggur 15.086 21.175
Paruh Waktu 37.137 48.392
Angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi dan terbagi ke
dalam dua kegiatan utama, yaitu: Bekerja dan Penganggur. Sedangkan bukan angkatan
kerja terbagi ke dalam tiga kegiatan utama, yaitu: sekolah, mengurus rumah tangga, dan
lainnya. Dari hasil pendataan Sakernas pada Bulan Agustus Tahun 2017, tercatat
penduduk usia kerja (15 tahun atau lebih) di Kota Malang sebanyak 684.015 orang.

Porsi terbesar kegiatan penduduk usia kerja di Kota Malang adalah bekerja yang
mencapai 60,08 persen, disusul mereka yang kegiatan utamanya adalah mengurus rumah
tangga sebanyak 19,92 persen, sedangkan mereka yang bersekolah dan pengangguran
masing-masing sebesar 11,21 persen dan 4,68 persen, sedang mereka yang kegiatan
utamanya adalah kegiatan lainnya tercatat sebesar 4,11 persen.
Hasil Sakernas Agustus Tahun 2017, angkatan kerja di Kota Malang sebanyak
443.035 orang. Naik sekitar 36.100 orang bila dibandingkan dengan Tahun 2015.
Kenaikan jumlah angkatan kerja ini juga sebanding dengan naiknya jumlah penduduk
yang bekerja dan pengangguran di Kota Malang. Hal yang berbeda diperlihatkan oleh
data bukan angkatan kerja di Kota Malang yang mengalami penurunan apabila
dibandingkan dengan Tahun 2015. Penurunan paling signifikan dialami oleh penduduk
bukan angkatan kerja Kota Malang yang bersekolah. Terjadinya kenaikan angkatan kerja
di Kota Malang karena penduduk yang bersekolah sudah banyak yang menamatkan
pendidikannya. Hal ini terlihat dari Gambar 3 dan 4 yang menunjukkan bahwa kenaikan
jumlah angkatan kerja diiringi oleh turunnya jumlah bukan angkatan kerja, terutama
penduduk yang bersekolah.

Angkatan kerja adalah mereka yang mempunyai pekerjaan, baik sedang bekerja
maupun yang sementara tidak sedang bekerja karena suatu sebab, seperti petani yang
sedang menunggu panen/hujan, pegawai yang sedang cuti, sakit, dan sebagainya.
Disamping itu mereka yang tidak mempunyai pekerjaan tetapi sedang mencari
pekerjaan/mengharapkan dapat pekerjaan atau bekerja secara tidak optimal disebut
pengangguran.

Satu di antara beberapa indikator kependudukan yang menjadi perhatian dalam


perencanaan pembangunan wilayah adalah besarnya jumlah angkatan kerja yang berada
di wilayah tersebut. Angkatan Kerja merupakan sumber daya manusia yang potensial
untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan penduduk di suatu wilayah. Beberapa masalah
yang timbul dalam ketenagakerjaan dalam suatu wilayah umumnya ditemukan seperti
jumlah angkatan kerja yang tidak sebanding dengan kesempatan kerja, rendahnya
kualitas tenaga kerja, persebaran tenaga kerja yang tidak merata, kesempatan kerja yang
terbatas dan pengangguran. Pemerintah daerah maupun pemerintah pusat selalu berusaha
untuk mengatasi masalah-masalah tersebut dimulai dari mengetahui jumlah penduduk
yang termasuk dalam kelompok angkatan kerja yang ada di suatu wilayah.

Seperti halnya daerah lain di Indonesia, kualitas angkatan kerja di Kota Malang
diukur dari tingkat pendidikannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan menunjukkan
kualitas angkatan kerja yang tinggi, semakin rendah tingkat pendidikan menunjukkan
kualitas angkatan kerja yang masih rendah. Dapat dilihat pada Gambar 5, bahwa sekitar
24,85 persen angkatan kerja di Kota Malang yang hanya memiliki pendidikan SD ke
bawah. Artinya hampir seperempat angkatan kerja di Kota Malang memiliki pendidikan
SD ke bawah. Sementara angkatan kerja yang berpendidikan SMP/Sederajat sebanyak
14,05 persen. Angkatan kerja yang berpendidikan SMA/MA baik umum maupun
kejuruan sebanyak 32,75 persen. Sedangkan angkatan kerja yang berpendidikan
perguruan tinggi/diploma sebanyak 28,35 persen. Dari data di atas, terlihat bahwa
kualitas pendidikan angkatan kerja di Kota Malang sudah cukup berkualitas dilihat dari
tingkat pendidikan yang ditamatkan.

Angkatan kerja di Kota Malang jika dilihat dari komposisi umurnya (Gambar 6)
menunjukkan bahwa yang paling sedikit sekitar 4,63 persen ada pada kelompok umur
15-19 tahun. Dapat dipastikan angkatan kerja dalam kelompok umur ini terbatas
kemampuan dan keterampilannya karena tingkat pendidikan yang ditamatkan rendah.
Semakin tinggi pendidikan dan keterampilannya diharapkan akan menghasilkan kualitas
angkatan kerja semakin baik, dengan demikian angkatan kerja memiliki keunggulan
dalam pekerjaannya sehingga mempunyai peluang untuk memperoleh pendapatan yang
lebih baik pula. Pada kelompok umur paling tua (60 tahun ke atas) terdapat 8,15 persen
penduduk yang masih masuk dalam angkatan kerja. Angkatan kerja paling banyak
terdapat pada kelompok umur 20-24 tahun yaitu sebanyak 13,88 persen. Hal ini sangat
wajar terjadi di Kota Malang mengingat Kota Malang disebut sebagai Kota Pendidikan,
yang artinya di kelompok umur tersebut banyak penduduk yang telah menyelesaikan
masa studinya di perguruan tinggi/akademi sehingga mereka berbondong-bondong untuk
bekerja/mencari pekerjaan.

Penduduk usia 25-54 tahun di Kota Malang yang bekerja sebesar 411.042 jiwa,
sementara sisanya sebesar 31.993 jiwa merupakan penganggur dan 240.980 jiwa
merupakan kelompok bukan angkatan kerja. Dibandingkan kelompok umur lainnya,
persentase penduduk berumur 25-54 tahun yang bekerja merupakan tertinggi apabila
dibandingkan kelompok umur lainnya. Banyaknya penduduk yang bekerja pada usia 25-
54 tahun dimungkinkan karena pada usia tersebut sudah sebagian besar sudah
berkeluarga dan mereka dihadapkan pada tanggung jawab menghidupi keluarganya.

Penduduk pada kelompok usia 15-24 tahun seharusnya masih menempuh pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi. Namun demikian, masih ada sebagian dari penduduk
usia muda yang justru masuk dalam angkatan kerja dan aktif bekerja, padahal sebenarnya
kelompok usia ini belum siap memasuki dunia kerja. Kondisi ini akan berpengaruh
terhadap kesejahteraan jangka panjangnya. Banyak di antara mereka yang tidak punya
kemampuan kerja. Ada beberapa latar belakang mengapa kelompok itu ikut terjun dalam
pasar kerja, antara lain kesulitan ekonomi keluarga sehingga memaksa mereka untuk
berhenti sekolah. Demikian pula halnya dengan penduduk usia pensiun yang masih aktif
bekerja. Ada banyak faktor yang mempengaruhi keputusan seseorang untuk bekerja,
seperti adanya tanggung jawab untuk mencari nafkah, membantu ekonomi rumah tangga
atau keluarga, adanya kebutuhan akan sosialisasi, dan pengakuan dari masyarakat.
Meningkatnya persentase penduduk yang bekerja pada usia kerja maupun usia pensiun
diduga dipengaruhi oleh faktor ekonomi.

Kota Malang sebagai salah satu kota besar secara terus menerus melakukan
pembangunan di wilayahnya untuk menjadi kota yang maju dan tinggi tingkat
kesejahteraan masyarakatnya. Lapangan usaha yang menjadi leading sektor di Kota
Malang terus berkembang dan membuat daya tarik tersendiri baik bagi penduduknya
sendiri maupun penduduk yang tinggal di luar Kota Malang. Bayaknya lapangan
pekerjaan di Kota Malang tidak cukup membuat pemerintah Kota Malang yakin bahwa
masyarakatnya dapat hidup dengan sejahtera. Perlu dilihat bagaimana kualitas penduduk
yang bekerja di Kota Malang dari sisi umurnya, pendidikannya, lapangan usahanya,
status dalam pekerjaannya, jumlah jam kerjanya, serta besar penghasilannya. Melalui
Sakernas kita dapat melihat kualitas penduduk yang bekerja di Kota Malang.

Jika dilihat dari jam kerja penduduk yang bekerja di Kota Malang, maka sebagian
besar (81,08 persen) penduduk Kota Malang bekerja di atas 35 jam seminggu. Seperti
yang dapat dilihat di Gambar 10, bahwa secara total hanya sekitar 18,92 persen
penduduk yang bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu. Sedangkan penduduk di
Kota Malang yang bekerja antara 45-49 jam seminggu memiliki jumlah paling besar,
yaitu sekitar 20,88 persen. Hal ini sangat wajar karena kebanyakan pekerja di Kota
Malang didominasi oleh pegawai/karyawan, terutama karyawan kantor baik swasta
maupun negeri mengingat banyaknya gedung perkantoran yang ada di Kota Malang.
Dalam Gambar 11 terlihat persentase pekerja perempuan yang bekerja

dibawah 35 jam dalam seminggu lebih besar daripada persentase pekerja laki-laki.
Persentase pekerja perempuan yang jam kerjanya dibawah 35 jam seminggu ada sekitar
24,73 persen, sementara pekerja laki-laki yang jam kerjanya kurang dari 35 jam semingu
sekitar 14,81 persen. Hal ini mudah dipahami karena secara kultural perempuan masih
memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam mengurus rumah tangga daripada
bekerja mencari nafkah untuk keluarganya. Jika pun harus bekerja sifatnya hanya untuk
menambah penghasilan keluarga yang utamanya menjadi tanggung jawab laki-laki.

Hasil Sakernas Agustus 2017 menunjukkan bahwa tiga lapangan usaha terbesar yang
menampung pekerja di Kota Malang adalah Sektor Perdagangan, Hotel, Restoran (31,46
persen), Jasa (28,36 persen), dan Industri (17,05 persen). Sektor lapangan pekerjaaan
yang paling sedikit di Kota Malang adalah Sektor Listrik, Air, dan Gas yaitu sekitar 0,52
persen.
Kontribusi masing-masing sektor dalam penyerapan tenaga kerja laki-laki maupun
perempuan terlihat dari Gambar 13 di atas. Perbedaan yang nyata terlihat dari perbedaan
kontribusi sektor perdagangan, hotel, restoran, jasa, dan konstruksi dalam penyerapan
tenaga kerja laki-laki dan perempuan. Tenaga kerja laki-laki yang terserap dalam sektor
perdagangan, hotel, restoran sebesar 26,08 persen, sementara untuk perempuan sebesar
39,08 persen. Sektor jasa yang juga memiliki perbedaan yang mencolok dalam
penyerapan tenaga kerja laki-laki dan perempuan, dengan persentase masing-masing
24,44 persen dan 33,91 persen. Sedangkan sektor konstruksi hanya menyerap tenaga
kerja laki-laki sebesar 11,78 persen. Perbedaan kontribusi masing-masing sektor tersebut
dalam penyerapan tenaga kerja tidak terlepas dari karakteristik masing-masing sektor.
Beberapa sektor pekerjaan identik dengan jenis kelamin tertentu. Sektor seperti
perdagangan, hotel, restoran, dan jasa identik dengan pekerja perempuan, sementara
sektor konstruksi, pertambangan dan angkutan identik dengan pekerja laki-laki.

Lapangan pekerjaan yang digeluti oleh tenaga kerja di Kota Malang tidak lepas dari
faktor tingkat pendidikan yang ditamatkan tenaga kerja. Tenaga kerja di Kota Malang
yang paling banyak adalah berpendidikan SMA/Sederajat yaitu 32,67 persen. Sedangkan
tenaga kerja di Kota Malang yang berpendidikan SD ke bawah sekitar 25,29 persen.
Sektor konstruksi merupakan sektor yang paling mudah menyerap tenaga kerja
berpendidikan rendah. Sektor ini umumnya tidak membutuhkan kualifikasi tenaga kerja
tertentu, seperti halnya sektor lainnya.

Mengacu pada konsep yang disarankan oleh International Labor Organization (ILO),
kelompok pengangguran terbuka terdiri dari mereka yang sedang mencari pekerjaan atau
sedang menyiapkan usaha atau tidak mencari pekerjaan karena tidak mungkin
memperoleh pekerjaan atau sudah diterima bekerja tetapi belum mulai bekerja. Selain
konsep pengangguran terbuka, ada istilah lagi yaitu setengah penganggur. Yang
dimaksud setengah penganggur adalah mereka yang bekerja kurang dari jam kerja
normal (dalam hal ini kurang dari 35 jam seminggu, tidak termasuk yang sementara tidak
bekerja) dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan.
Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah pencari kerja tidak sebanding
dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran
seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran
produktivitas dan pendapatan masyarakatakan berkurang sehingga dapat menyebabkan
timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.

Dari hasil Sakernas 2017, menunjukkan bahwa jumlah penganggur di Kota Malang
Tahun 2017 mencapai lebih dari 31.993 jiwa. Angka tersebut naik bila dibandingkan
dengan Tahun 2015 yang mencapai sekitar 29.606 jiwa. Kenaikan pengangguran ini
dikarenakan banyaknya bukan angkatan kerja (utamanya yang masih bersekolah) sudah
mulai lulus sekolah dan mulai mencari pekerjaan yang tepat sesuai dengan tingkat
pendidikan mereka.

Dari berbagai permasalahan yang timbul kepermukaan sebagai akibat dari pesatnya
pertumbuhan penduduk adalah ketidak seimbangan antara pertumbuhan lapangan
pekerjaan dengan semakin bertambahnya tenaga kerja setiap tahunya. Hal ini akan
menimbulkan kelebihan penawaran tenaga kerja dari pada permintaannya, sehingga
memunculkan fenomena pengangguran. Di satu sisi pengangguran menunjukkan adanya
suatu selisih antara jumlah permintaan (deman for labor) dan penawaran tenaga kerja
(suplay of labor) dalam suatu perekonomian. Selain itu terdapat pula sebab-sebab diluar
ekonomis seperti pranata, sikap dan pola tingkah laku yang berhubungan dengan
pengamanan hak kerja, serta keinginan kaum penganggur untuk menerima jenis
pekerjaan yang lebih cocok dengan kualifikasi, aspirasi atau selera mereka (Munir dan
Budiarto, 1985: 141).

Fenomena pengangguran di kota besarpun, seperti Malang, menunjukkan angka yang


tinggi. Ironis sekali memang mengingat peran Kota Malang sebagai kota industri, kota
pendidikan, dan kota pariwisata masih belum mampu menyediakan lapangan kerja bagi
sebagian besar penduduknya. Sebenarnya kalau dilihat dari komposisi penduduk yang
sebagai pendatang cukup besar, karena Malang sebagai Kota tujuan pendidikan hampir
dari seluruh Jawa bahkan dari luar Jawa.

Indikator tingkat pengangguran terbuka (TPT) sering digunakan pemerintah dalam


menilai keberhasilan kinerja di bidang ketenagakerjaan. Tingkat pengangguran terbuka
(TPT) merupakan suatu nilai yang menunjukkan jumlah penduduk usia kerja yang
sedang mencari pekerjaan, atau sedang mempersiapkan usaha, atau merasa tidak
mungkin mendapatkan pekerjaan, atau sudah punya pekerjaan tetapi belum memulai
bekerja terhadap jumlah angkatan kerja. Dengan mengetahui lebih lengkap informasi
mengenai tingkat penganggur di Kota Malang, diharapkan kebijakan yang akan diambil
pemerintah sejalan dengan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Pada papper ini,
kami akan membahas tentang pengangguran berdasarkan pada tingkat pendidikan dan
kelompok umur.

a. Pengangguran Menurut Tingkat Pendidikan

Peran pendidikan bagi dunia ketenagakerjaan tidak selalu berdampak positif, terutama
apabila arah dan model pendidikan tidak mempunyai orientasi kerja. Kondisi demikian
cenderung menyebabkan fenomena pengangguran terdidik. Kondisi tersebut sejalan
dengan pernyataan berikut: “Pada negara berkembang umumnya pengangguran banyak
terjadi pada penduduk yang berpendidikan tinggi (SMA ke atas). Sebaliknya pada negara
maju pengangguran banyak terjadi pada mereka yang berpendidikan rendah. Semakin
tinggi pendidikan orang semakin rendah tingkat penganggurannya (Borjas, 1996: 436)”.

Kelompok penduduk yang berpendidikan rendah umumnya berasal dari keluarga yang
berpenghasilan rendah (miskin), sehingga mereka tidak mungkin bertahan hidup tanpa
ada pekerjaan/pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Mereka
cenderung tidak terlalu oportunis dalam memilih pekerjaan. Sehingga angka
pengangguran terbuka pada kelompok pendidikan rendah cenderung lebih rendah.
Sebaliknya mereka yang berpendidikan tinggi, umumnya berasal dari keluarga “mampu”
yang dapat menggantungkan kebutuhan lainnya dari orang tua atau anggota keluarga
lainnya. Mereka lebih selektif dalam memilih jenis pekerjaan yang sesuai dengan
pendidikannya dan biasanya akan menyebabkan tingginya tingkat pengangguran pada
kelompok masyarakat berpendidikan tinggi.
Hasil Sakernas 2017 menunjukkan bahwa sebagian besar penganggur di Kota Malang
adalah lulusan SMA/MA/SMK/Sederajat sebanyak 33,91 persen. Jika dibandingkan
antara SMA/MA Umum dan SMK maka terlihat penganggur lebih banyak dari lulusan
SMK yaitu sebanyak 17,35 persen, sedangkan SMA/MA Umum sebanyak 16,56 persen.
Hal ini wajar karena lulusan SMK memiliki keahlian khusus sehingga lebih cenderung
memilih pekerjaan yang cocok dan sesuai dengan keahliannya dibandingkan dengan
lulusan SMA/MA umum.

Dengan demikian teori tentang Human Capital yang menyatakan bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan akan semakin tinggi pula tingkat produktivitas tenaga kerja
tidak dapat menjelaskan kondisi tersebut. Hal ini disebabkan, pertama lapangan kerja
khususnya yang modern bersifat renumeratif, sangat terbatas jumlahnya sehingga tenaga
kerja terdidik yang berjumlah besar dan muncul pada waktu yang bersamaan sering tidak
dapat ditampung oleh lapangan kerja formal. Kedua, kenyataan umum membuktikan
bahwa lulusan pendidikan belum siap untuk bekerja sesuai harapan lapangan kerja.
Akhirnya banyak dunia usaha industri yang masih harus melatih tenaga kerja tersebut
dalam waktu yang relatif lama, agar mereka dapat bekerja. Ketiga, asumsi bahwa
pendidikan formal mampu menyediakan tenaga terampil dan siap bekerja adalah tidak
benar.

b. Pengangguran Menurut Tingkat Kelompok Umur


Tampak bahwa pada kelompok umur 20-24 tahun memiliki persentase paling besar
(43,13 persen), kemudian diikuti oleh kelompok umur 15-19 tahun (20,60 persen),
kelompok umur 25-34 tahun (10,41 persen), kelompok umur 55 tahun ke atas (9,53
persen), kelompok umur 45-54 tahun (8,39 persen), dan kelompok umur 35-44 tahun
(7,93 persen).

Jumlah pengangguran cenderung tinggi pada kelompok usia muda dan berangsur-
angsur akan turun pada usia 40 tahunan dan akan bertambah sedikit ketika mulai menua.
Hal ini terjadi karena pada usia muda (15-24 tahun), mereka lebih cenderung untuk
memilih pekerjaan yang sesuai untuk mereka. Mereka akan berangsur-angsur
mendapatkan pekerjaan menginjak usia 25 tahun ke atas karena tanggung jawab
ekonomi/membantu keluarga. Ketika mulai menginjak umur 45 tahun ke atas, jumlah
pengangguran kembali sedikit meningkat, hal ini dikarenakan pada umur tersebut,
mereka yang mulai habis masa kontrak dengan pekerjaannya dan mulai mencari
pekerjaan/mempersiapkan usaha baru untuk menanggung kebutuhan ekonomi.

Adanya bermacam-macam pengangguran membutuhkan cara-cara mengatasinya yang


disesuaikan dengan jenis pengangguran yang terjadi, yaitu sebagai berikut.

1. Cara Mengatasi Pengangguran Struktural


Pengangguran struktural adalah pengangguran yang diakibatkan oleh
perubahan struktur ekonomi dan corak ekonomi dalam jangka panjang . Untuk
mengatasi pengangguran jenis ini, cara yang digunakan adalah :
a) Peningkatan mobilitas modal dan tenaga kerja.
b) Segera memindahkan kelebihan tenaga kerja dari tempat dan sector yang
kelebihan ke tempat dan sektor ekonomi yang kekurangan.
c) Mengadakan pelatihan tenaga kerja untuk mengisi formasi kesempatan
(lowongan) kerja yang kosong, dan
d) Segera mendirikan industri padat karya di wilayah yang mengalami
pengangguran.

2. Cara Mengatasi Pengangguran Friksional


Pengangguran friksional adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang
disebabkan adanya kendala waktu, informasi dan kondisi geografis antara
pelamar kerja dengan pembuka lamaran pekerja penganggur yang mencari
lapangan pekerjaan tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan
pembuka lapangan kerja. Untuk mengatasi pengangguran secara umum antara
lain dapat digunakan cara-cara sebagai berikut.
a) Perluasan kesempatan kerja dengan cara mendirikan industri-industri baru,
terutama yang bersifat padat karya.
b) Deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang industri untuk merangsang
timbulnya investasi baru.
c) Menggalakkan pengembangan sektor informal, seperti home industry.
d) Menggalakkan program transmigrasi untuk menyerap tenaga kerja di sektor
agraris dan sektor formal lainnya.
e) Pembukaan proyek-proyek umum oleh pemerintah, seperti pembangunan
jembatan, jalan raya, PLTU, PLTA, dan lain-lain sehingga bisa menyerap
tenaga kerja secara langsung maupun untuk merangsang investasi baru dari
kalangan swasta.

3. Cara Mengatasi Pengangguran Musiman


Pengangguran musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi
kegiatan ekonomi jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus
menganggur. Jenis pengangguran ini bisa diatasi dengan cara sebagai berikut.
a) Pemberian informasi yang cepat jika ada lowongan kerja di sektor lain, dan
b) Melakukan pelatihan di bidang keterampilan lain untuk memanfaatkan waktu
ketika menunggu musim tertentu.
4. Cara Mengatasi Pengangguran Siklus (konjungtoral)
Pengangguran konjungtoral adalah pengangguran yang diakibatkan oleh
perubahan gelombang (naik-turunnya) kehidupan perekonomian/siklus ekonomi.
Untuk mengatasi pengangguran jenis ini antara lain dapat digunakan cara-cara
sebagai berikut.
a) Mengarahkan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa, dan
b) Meningkatkan daya beli masyarakat.

Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan sesuai dengan UUD 45 pasal 27 ayat 2. Sebagai solusi pengangguran
berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh, untuk itu diperlukan kebijakan yaitu :
1. Pemerintah memberikan bantuan wawasan, pengetahuan dan kemampuan jiwa
kewirausahaan kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) berupa bimbingan teknis
dan manajemen memberikan bantuan modal lunak jangka panjang, perluasan pasar.
Serta pemberian fasilitas khusus agar dapat tumbuh secara mandiri dan andal bersaing
di bidangnya. Mendorong terbentuknya kelompok usaha bersama dan lingkungan
usaha yang menunjang dan mendorong terwujudnya pengusaha kecil dan menengah
yang mampu mengembangkan usaha, menguasai teknologi dan informasi pasar dan
peningkatan pola kemitraan UKM dengan BUMN, BUMD, BUMS dan pihak lainnya.
2. Segera melakukan pembenahan, pembangunan dan pengembangan kawasan-kawasan,
khususnya daerah yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun
fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para
penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan. Harapan akan berkembangnya
potensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik potensi sumber
daya alam, sumber daya manusia.
3. Segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur.
Seperti PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) Dengan membangun
lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia akan terdata dengan baik dan mendapat
perhatian khusus. Secara teknis dan rinci.
4. Segera menyederhanakan perizinan dan peningkatan keamanan karena terlalu banyak
jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing maupun
Penanaman Modal Dalam Negeri. Hal itu perlu segera dibahas dan disederhanakan
sehingga merangsang pertumbuhan iklim investasi yang kondusif untuk menciptakan
lapangan kerja.
5. Mengembangkan sektor pariwisata dan kebudayaan Indonesia (khususnya daerah
daerah yang belum tergali potensinya) dengan melakukan promosi-promosi
keberbagai negara untuk menarik para wisatawan asing, mengundang para investor
untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan pengembangan kepariwisataan dan
kebudayaan yang nantinya akan banyak menyerap tenaga kerja daerah setempat.
6. Melakukan program sinergi antar BUMN atau BUMS yang memiliki keterkaitan
usaha atau hasil produksi akan saling mengisi kebutuhan. Dengan sinergi tersebut
maka kegiatan proses produksi akan menjadi lebih efisien dan murah karena
pengadaan bahan baku bisa dilakukan secara bersama-sama. Contoh, PT Krakatau
Steel dapat bersinergi dengan PT. PAL Indonsia untuk memasok kebutuhan bahan
baku berupa pelat baja.
7. Dengan memperlambat laju pertumbuhan penduduk (meminimalisirkan menikah pada
usia dini) yang diharapkan dapat menekan laju pertumbuhan sisi angkatan kerja baru
atau melancarkan sistem transmigrasi dengan mengalokasikan penduduk padat ke
daerah yang jarang penduduk dengan difasilitasi sektor pertanian, perkebunan atau
peternakan oleh pemerintah.
8. Menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu
seleksi secara ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan
tenaga-tenaga terampil. Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat
dan Daerah.
9. Segera harus disempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).
Sistem pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan yang
berorientasi kompetensi. Karena sebagian besar para penganggur adalah para lulusan
perguruan tinggi yang tidak siap menghadapi dunia kerja.
10. Segera mengembangkan potensi kelautan dan pertanian. Karena Indonesia
mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan
pulau-pulau yang sangat potensial sebagai negara maritim dan agraris. Potensi
kelautan dan pertanian Indonesia perlu dikelola secara baik dan profesional supaya
dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif.

Adapun cara mahasiswa untuk mengatasi pengangguran adalah sebagai berikut


a. Menyebar berbagai lowongan pekerjaan melalui dunia maya dan dunia nyata.
b. Mensosialisasikan mengenai lowongan kerja yang sedang membutuhkan pekerja.
c. Mahasiswa dapat membuat suatu usaha kecil-kecilan dan membuka lowongan kerja.
IV. PENUTUP
a. Kesimpulan
Pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja
sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu,
atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak.
Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja
yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja.Juga kompetensi pencari kerja
tidak sesuai dengan pasar kerja.Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar
kerja bagi para pencari kerja. Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan
yang banyak bagi kemanusiaan artinya produktif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945
dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan
penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional.
Ketidakmerataan pendapatan karyawan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas
politik juga sangat berpengaruh terhadap ketenagakerjaan di Indonesia. Semua
permasalahan hal diatas tampaknya sudah dipahami oleh pembuat kebijakan
(Decision Maker). Namun hal yang tampaknya kurang dipahami adalah bahwa
masalah ketenagakerjaan atau pengangguran bersifat multidimensi, sehingga juga
memerlukan cara pemecahan yang multidimensi pula.
b. Saran
Untuk mengurangi tingkat pengangguran, maka harus ada peran pemerintah.
Pemerintah harus bisa mengeluarkan kebijakan yang bisa terciptanya lapangan
pekerjaan, serta menjalankan kebijakan yang konsisten tersebut dengan sungguh-
sungguh sampai terlihat hasil yang maksimal. Pemerintah memberikan penyuluhan,
pembinaan dan pelatihan kerja kepada masyarakat untuk bisa menciptakan lapangan
pekerjaan sendiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya masing-masing untuk
mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktifitas
dan kesejahteraan. Selain dari pemerintah, masyarakat juga harus ikut berpartisipasi
dalam upaya pengurangan jumlah pengangguran yang terjadi di Indonesia.

V. DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2017. Laporan Eksekutif Ketenagakerjaan. Malang : BPS
Malang
Budiarto dan Munir. 1985. Aspek Demografi Tenaga Kerja. Jakarta: Akademika
Presindo.
Borjas, G. 1996. Labour Economics. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Gilarso, T. 2004. Pengantar Ilmu Ekonomi Makro. Yogyakarta : Penerbit Kanisius
Mankiw, N. G. 2000. Macroeconomics, 7th Edition. New York: Worth
Publishers
Munir, M. 2006. Dilema Pengangguran: Salah Satu Strategi Alternatif Jalan
Keluarnya (Deskripsi Angka Pengangguran Kota Malang). Jurnal
Modernisasi, Volume 2 nomor 1. Malang: Universitas Kanjuruhan Malang.
Tohar. 2000. Membuka Usaha Kecil. Yogyakarta : Kanisius
Soesastro, dkk. 2005. Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah abad
Terakhir. Yogyakarta : Kanisius
Sukirno, Sadono. 1994. Pengantar Teori Ekonomi. Jakarta : Raja Grafindo Persada

You might also like