You are on page 1of 14

A.

Definisi asma

Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran


nafas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang
ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak nafas dan rasa
berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat
reversible baik dengan atau tanpa pengobatan (Depkes, RI., 2009).

Global initiative for Asthma (2012) dengan spesifik mendefinisikan asma


menurut karakteristiknya secara klinis, fisiologis, dan patologis. Secara klinis,
adanya episodik sesak napas terutama pada malam hari, sering disertai dengan batuk
yang merupakan ciri utamanya. Karakteristik utama fisiologisnya yaitu, terdapat
obstruksi saluran napas dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi. Berdasarkan
patologisnya terdapat inflamasi jalan napas yang berhubungan dengan perubahan
struktur jalan napas (GINA, 2012).

B. ETIOLOGI

Sampai saat ini etiologi dari Asma Bronkhial belum diketahui. Suatu hal yang
yang menonjol pada penderita Asma adalah fenomena hiperaktivitas bronkus.
Bronkus penderita asma sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupun non
imunologi. Adapun rangsangan atau faktor pencetus yang sering menimbulkan Asma
adalah:

1. Faktor ekstrinsik (alergik) : reaksi alergik yang disebabkan oleh alergen


atau alergen yang dikenal seperti debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang
2. Faktor intrinsik(non-alergik) : tidak berhubungan dengan alergen, seperti
common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan
lingkungan dapat mencetuskan serangan.

3. Asma gabungan Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik (Smeltzer & Bare,
2002).
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya
serangan Asma Bronkhial menurut (Smeltzer & Bare, 2002) yaitu :

a. Faktor predisposisi
Genetik
Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan
penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita
penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit Asma Bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus.
Selain itu hipersensitivitas saluran pernapasannya juga bisa diturunkan.

b. Faktor presipitasi
1. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
a) Inhalan : yang masuk melalui saluran pernapasan
Contoh : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan
polusi
b) Ingestan : yang masuk melalui mulut
Contoh : makanan dan obat-obatan
c) Kontaktan : yang masuk melalui kontak dengan kulit
Contoh : perhiasan, logam dan jam tangan

2. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi Asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan Asma. Kadangkadang serangan
berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau.

3. Stres
Stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan Asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan Asma yang sudah ada.
Disamping gejala Asma yang timbul harus segera diobati penderita
Asma yang mengalami stres atau gangguan emosi perlu diberi
nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika
stresnya belum diatasi maka gejala belum bisa diobati.

4. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
Asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang
yang bekerja di laboratorium hewan, industry tekstil, pabrik asbes,
polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.

5. Olah raga atau aktifitas jasmani


Sebagian besar penderita Asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat
paling mudah menimbulkan serangan Asma. Serangan asma karena
aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

C. Patogenesis Asma

Asma merupakan suatu penyakit yang timbul akibat proses inflamasi yang
kronik pada saluran napas. Proses inflamasi yang terjadi menyebabkan saluran
pernapasan menjadi hiperresponsif. Maka apabila faktor allergen seperti debu
terkena ini akan mengakibatkan salur pernapasan lebih mudah untuk berkonstriksi
(PDPI, 2006).
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada pasien asma merupakan suatu
hal yang kompleks. Gejala asma seperti batuk, rasa sesak di dada adalah akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktifitas bronkus. Hal
ini disebabkan karena mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di lumen jalan
napas dan di bawah membran basal akan dilepaskan dalam kuantitas yang banyak
dan dalam jangka waktu yang singkat (PDPI, 2006).
Selain sel mast, sel yang juga dapat menyebabkan pelepasan mediator
inflamasi adalah sel eosinofil, sel epitel pada jalan napas dan monosit. Mediator-
mediator inflamasi ini secara langsung menyebabkan serangan asma melalui sel
efektor sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan limfosit. Mediator lain yang
kuat seperti leukotriene tromboksan, PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat
reaksi asma juga dikeluarkan oleh sel sel inflamasi ini. Kesemua proses ini
menyebabkan inflamasi mukosa saluran napas yang akhirnya mengakibatkan
hipereaktivitas bronkus yang memicu terjadinya asma (Nelson, 2007).
Selain itu, pathogenesis asma turut dikaitkan dengan terjadinya airway
remodelling. Hal ini kerana proses inflamasi yang kronik akan menimbulkan
kerusakan jaringan yang diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang
menghasilkan perbaikan (repair) pada mukosa saluran pernapasan. Penyakit asma
mempunyai ketergantungan antara inflamasi dan remodelling dimana perubahan
struktur seperti hiperplasia otot polos jalan nafas dan hipertropi kelenjar mukus
mudah terjadi (PDPI, 2011).
Di samping itu, yang turut terjadi adalah perubahan struktur parenkim pada
salur napas. Sebenarnya airway remodelling ini merupakan fenomena sekunder dari
inflamasi. Dipercayai lingkungan sangat berpengaruh pada perburukan atau
terjadinya asma kerana akibat oksidan yang terdapat pada udara sekitar akan memicu
terjadinya apoptosis (PDPI, 2011).

D. Patofisiologi Asma

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi


berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan faktor lain berperan sebagai pencetus inflamasi saluran
napas pada pasien asma. Inflamasi saluran napas pada pasien asma merupakan hal
yang mendasari gangguan fungsi yaitu terdapatnya obstruksi saluran napas yang
menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah
pengobatan. Obstruksi pada pasien asma dapat disebabkan oleh kontraksi otot-otot
yang mengelilingi bronkus yang menyempitkan jalan napas, pembengkakan
membran yang melapisi bronkus dan pengisian bronkus dengan mukus yang kental
(Smeltzer, 2008).
Asma dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf
otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE yang merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi
alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi
IgE abnormal dalam jumlah yang besar, golongan ini disebut atopi. Pada jalur saraf
otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar,
nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan
refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan
makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan
alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi
(Kumar,2014).

E. MANIFESTASI KLINIS

Gejala dan tanda klinis sangat dipengaruhi oleh berat ringannya asma yang
diderita. Bisa saja seorang penderita asma hampir-hampir tidak menunjukkan gejala
yang spesifik sama sekali, di lain pihak ada juga yang sangat jelas gejalanya. Gejala
dan tanda tersebut antara lain:

 Batuk
 Nafas sesak (dispnea) terlebih pada saat mengeluarkan ekspirasi
 Wheezing
 Nafas dangkal dan cepat
 Ronkhi
 Retraksi dinding dada
 Hiperinflasi toraks (dada seperti gentong)
 Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasiyang memanjang. Saat melakukan ekspirasi inilah biasanya
penderita asma mengalami kesakitan
 Gejala asma memburuk dengan adanya status asmatikus.
Status Asmatikus yang dialami penderita asma dapat berupa
pernapasan whizzing, ronchi ketika bernapas (adanya suara bising ketika
bernapas),kemudian bisa berlanjut menjadi pernapasan labored (pepanjangan
ekshalasi), perbesaran vena leher, hipoksemia, respirasi alkalosis, respirasi
sianosis, dyspnea dan kemudian berakhir dengan tachypnea. Namun makin
besarnya obstruksi dibronkus maka suara whizzing dapat hilang dan biasanya
menjadi pertanda bahaya gagal pernapasan.

Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala
klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah,
duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja
dengan keras. Gejala klasik dari asma ini adalah sesak nafas, mengi (whezing),
batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejala-gejala
tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan. Pada serangan asma yang lebih berat,
gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain : silent chest, sianosis, gangguan
kesadaran, hyperinflasi dada, takikardi dan pernafasan cepat dangkal. Serangan asma
seringkali terjadi pada malam hari (Kumar, 2014).

F. PEMERIKSAAN FISIK ASMA

Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari normal sampai didapatkan kelainan.
Selain itu perlu diperhatikan tanda-tanda asma dan penyakit alergi lainnya. Tanda
asma yang paling sering ditemukan adalah wheezing (mengi) tetapi pada sebagian
pasien asma tidak didapatkan mengi diluar serangan. Pada serangan asma umumnya
terdengar mengi, disertai tanda-tanda lainnya, pada asma yang sangat berat mengi
dapat tidak terdengar (sillent chest) dan pasien dalam keadaan sianosis dan kesadaran
menurun. (Depkes, 2009)

Pasien yang mengalami serangan asma, dalam pemeriksaan fisik dapat ditemukan
(sesuai derajat serangan): (Depkes, 2009)

a. Inspeksi: pasien terlihat gelisah, sesak (napas cuping hidung, napas cepat,
refraksi sela iga, refraksi epigastrium, refraksi suprasternal), Sianosis.
b. Palpasi: biasanya tidak ada kelainan yang nyata (pada serangan berat dapat
terjadi pulsus paradoksus)

c. Perkusi: biasanya tidak ada kelainan yang nyata

d. Auskultasi: ekspirasi memanjang, wheezing, suara lender

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan fungsi pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis


Asma faal paru dengan alat Spirometer

b. Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter

c. Uji reversibilitas

d. Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya hipereaktivitas bronkus

e. Uji Alergiuntuk menilai ada tidaknya alergi

f. Foto thorax dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain selain asma

H. TATALAKSANA

Tatalaksana pasien asma adalah untuk memperbaiki dan mempertahankan kualitas


hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan aktivitas sehari-hari
(asma terkontrol). Tujuan.

1) Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma

2) Mencegah eksaserbasi akut

3) Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin


4) Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise

5) Menghindari efek samping obat

6) Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara

Mencegah kematian karena asma

8) Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi


genetiknya

Dalam penatalaksanaan asma perlu adanya hubungan yang baik antara dokter dan
pasien sebagai dasar yang kuat dan efektif, hal ini dapat tercipta apabila adanya
komunikasi yang terbuka dan selalu bersedia mendengarkan keluhan atau pernyataan
pasien ini merupakan kunci keberhasilan pengobatan.

Ada 5 komponen yang dapat diterapkan dalam penatalaksanaan asma. yaitu 1) KIE
dan hubungan dokter-pasien

2) Identifikasi dan menurun pajanan terhadap faktor risiko.

3) Penilaian, pengobatan dan monitor asma,

4) Penatalaksanaan asma eksaserbasi akut, dan melitus

5) Keadaan khusus seperti ibu hamil, hipertensi, diabetes militus, dll

Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 1) Penatalaksanaan


asma akut / saat serangan, dan 2) Penatalaksanaan asma jangka panjang

1. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)

Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui oleh
pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien dirumah (lihat bagan
1) dan apabila tidak ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan. Penilaiaan
beratnyaserangan berdasarkan riwayat serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik
dan sebaiknya pemeriksaan fisik faal paru, untuk selanjutnya diberikan pengobatan
yang tepat dan cepat

Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah :

 Bronkodilator (B2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida)

 kortkosteroid sistemik

Pada keadaan tertentu (seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya) kortikosteroid
oral (metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3-5 hari. Pada serangan
sedang diberikan B2 agonis kera cepat dan kortkosteroid oral. Pada dewasa dapat
ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV (bolus atau drip). Pada
anak belum diberikan ipratropium bromida inhalasi maupun aminofilin IV. Bila
diperlukan dapat diberikan oksigen dan pemberian cairan IV

Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, B2 agonis kerja
cepat ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin M (bolus atau
drip ). Bila B2 agonis kerja cepat tidak tersedia bisa digantikan dengan adrenalin
subkutan.

Pada serangan asma yang aman jiwa langsung dirujuk ke ICU. Pemberian obat-obat
bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan nebuliser Bila tidak
ada dapat menggunakan IDT (MDI) dengan alat bantu (spacer).

2. Penatalaksanaan Asma Jangka Panjang

Penatalaksanaan Asma Jangka Panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan


mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi
beratnya asma.

Prinsip pengobatan jangka panjang :


 Edukasi

 Obat asma (pengontrol dan pelega)

 Menjaga kebugaran

Edukasi yang diberikan mencakup :

 Kapan pasien berobat/mencari pertolongan

 Mengenali gejala serangan asma secara dini

 Mengethui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu


penggunaannya

 Mengenli dan menghindari faktor pencetus

 Kontrol teratur

Alat edukasi yang dapat digunakan oleh dokter dan pasien adalah pelangi asma untuk
dewasa, sedangkan pada anak digunakan lembaran harian. Bat asma terdiri dari obat
pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan pada saat serangan asma, sedangkan
obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan asma dan diberikan dalam
jangka panjang dan terus menerus. Untuk mengontrol asma digunakan anti inflamasi
(kortikosteroid inhalasi). Pada anak, kontrol lingkungan jutlak dilakukan sebelum
diberikan kortikosteroid dan dosis diturunkan apabila dua sampai 3 bulan kondisi
telah terkontrol.

Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain :

 Inhalasi kortikosteroid

 β-2 Agonis kerja panjang

 Antileukotrien

 Teofilin lepas lambat


JENIS OBAT ASMA
I. Prognosis

Pada umumnya baik. Sebagian asma anak hilang atau berkurang dengan
bertambahnya umur. Sekitar 50% asma episodik jarang sudah menghilang pada umur
10-14 tahun dan hnya 15% yang menjadi asma kronik pada umur 21tahun.
(Sidhartani, 2011)
Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta:
Departemen Kesehatan.

Kumar, V., Abbas, A. K., Fausto, N., & Aster, J. C. 2014. Robbins and Cotran
Pathologic Basis of Disease, Professional Edition E-Book. Elsevier Health Sciences

Smeltzer, S. C., et al. 2008. Brunner and Suddarth’s textbook of medicalsurgical


nursing 10th edition. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins.

Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan


Penyehatan Lingkungan. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Depkes RI :
Jakarta. 2009

Global Initiative For Asthma. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. Global Initiative For Asthma : Canada. 2012

Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. EGC : Jakarta

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2006. Asma: Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2011. PPOK (Penyakit paru Obstruktif
Kronik), pedoman praktis diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia.

Nelson, H.S. 2007. The National Asthma Education and Prevention Program.
Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma. Bethesda, MD: US
Department of Health and Human Service. National Institutes of Health: 07-4051.

Sidhartani M. 2011.Bronkiolitis. Dalam : Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi


pertama. Jakarta: UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia

You might also like