You are on page 1of 68

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO E BLOK 28 TAHUN 2017

Disusun oleh:
Kelompok B6

Dani Gemilang Kusuma 04011181419068


Aprita Nurkarima 04011181419216
Azora Khairani K. 04011281419082
M. Aufar Isytahar 04011281419086
Siti Thania Luthfyah 04011281419088
Syah Fitri 04011281419092
M. Afif Baskara E. 04011281419112
Fitria Masturah 04011281419116
Andini Karlina CH 04011281419120
Archita Wicesa Saraswati 04011281419132

Tutor: dr. Nursanti, Sp. PA

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat
rahmat yang diberikan-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Tutorial Skenario E Blok
Trauma, Gawat Darurat, dan Forensik dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
dalam pembuatan laporan ini, serta berbagai sumber yang telah penulis gunakan sebagai data
dan fakta pada makalah ini. Penulis juga berterima kasih kepada, dr. Nursanti, Sp. PA yang
telah memberikan pedoman dalam melakukan tutorial, membuat makalah hasil tutorial dan
telah memberi bimbingannya sebagai tutor sehingga kami dapat menyelesaikan masalah
skenario yang telah diberikan.
Penulis menyadari akan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Maka dari itu,
kritik dan saran sangat diharapkan untuk memperbaiki dan mengembangkan isi dari makalah
ini. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, serta penulis mohon maaf
apabila terdapat kesalahan penulisan dalam makalah ini. Akhir kata, apabila ada kesalahan
kata-kata, penulis meminta maaf dan diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Palembang, Oktober 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I ......................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 3
A. Latar Belakang ............................................................................................................ 3
B. Maksud dan Tujuan ..................................................................................................... 3
C. Data Tutorial ............................................................................................................... 3
BAB II........................................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 2
I. Klarifikasi Istilah ................................................................................................................ 2
II. Identifikasi Masalah .......................................................................................................... 4
III. Analisis Masalah .............................................................................................................. 5
IV. Learning Issue ............................................................................................................... 43
V. Kerangka Konsep ............................................................................................................ 56
VI. Sintesis ........................................................................................................................... 57
BAB III .................................................................................................................................... 63
PENUTUP................................................................................................................................ 63
I. Kesimpulan ...................................................................................................................... 63
DAFTAR
PUSTAKA...............................................................................................................59

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Blok Trauma, Gawat Darurat, dan Forensik adalah blok ke-28 dari Kurikulum
Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang. Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan
pembelajaran untuk menghadapi kasus yang sebenarnya pada waktu yang akan
datang. Kasus yang dipelajari adalah mengenai syok hemoragik.

B. Maksud dan Tujuan


1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis
pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.

C. Data Tutorial
1. Tutor : dr. Nursanti, Sp. PA
2. Moderator : Siti Thania Luthfyah
3. Sekretaris : 1. Azora Khairani Kartika
2. Dani Gemilang Kusuma
4. Waktu : 1. Senin, 9 Oktober 2017, pukul 13.00 – 15.30 WIB
2. Rabu, 11 Oktober 2017, pukul 13.00 – 15.30 WIB

iii
BAB II
PEMBAHASAN
Skenario E Blok 28 Tahun 2017

Tuan X, kisaran usia 27 tahun, datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit
tipe A diantar oleh polisi setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Dari saksi di tempat
kejadian diketahui mekanisme trauma ialah pasien yang mengendarai motornya dengan
kecepatan tinggi menabrak tiang listrik lalu terpelanting dan membentur trotoar. Saat itu
pasien tidak menggunakan helm. Baju dan celana pasien basah karena darah.
Hasil pemeriksaan di IGD:
Survey primer
Airway = bersuara saat dipanggil, aroma napas alkohol
Breathing = RR 32x/menit, SpO2 95% (dengan udara bebas), gerakan thorax statis
dan dinamis: simetris, auskultasi paru: vesikuler (+) normal, tidak ada ronkhi, tidak ada
wheezing
Circulation = nadi 145x/menit (isi dan tegangan kurang), TD: 70/50 mmHg, akral
dingin lembab pucat, CRT (capillary refill time) 4 detik
Dissability = respond to verbal (skala AVPU), GCS E3M6V4
Exposure = temperatur 35,5°C, jejas di abdomen kanan atas, tampak fraktur
terbuka os humerus sinistra dengan perdarahan aktif, fraktur terbuka os femur sinistra
dengan perdarahan aktif, dan fraktur terbuka os cruris dengan perdarahan aktif

I. Klarifikasi Istilah
No. Istilah Definisi
1. IGD Area di dalam sebuah RS yang dirancang dan digunakan
untuk memberikan standar perawatan gawat darurat untuk
pasien yang membutuhkan perawatan akut atau mendesak
2. RS tipe A Rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan
kedokteran spesialis dan subspesialis luas oleh pemerintah,
rumah sakit ini telah ditetapkan sebagai tempat pelayanan
rujukan tertinggi (top referral hospital) atau disebut juga

2
rumah sakit pusat
3. Survey primer Deteksi cepat dan koreksi segera terhadap kondisi yang
mengancam
4. Airway Airway harus diperiksa secara cepat untuk memastikan bebas
dan patennya atau tidak ada obstruksi atau hambatan jalan
napas. Jika terjadi gangguan lakukan head tilt chin lift atau
jaw thurst, namun bila memiliki peralatan yang lengkap
gunakan oral airway, nasal airway, atau intubasi ETT. Perlu
diwaspadai adanya fraktur servikal karena pada trauma atau
cedera berat harus dicurigai adanya cedera corda spinalis
5. Breathing Kualitas dan kuantitas ventilasi harus dievaluasi dengan cara
lihat, dengar, dan rasakan. Jika tidak bernapas maka segera
diberikan ventilasi buatan. Jika penderita bernapas
perkirakan kecukupan bagi penderita. Perhatikan gerakan
nafas dada dan dengarkan suara napas penderita jika tidak
sadar
6. SpO2 Saturasi oksigen atau kadar oksigen dalam darah
7. Vesikuler Bunyi lemah dan nadanya rendah, biasanya terdengar di
semua bagian parenkim paru. Panjang inspirasi lebih dari
ekspirasi
8. Ronkhi Suara napas tambahan bernada rendah sehingga bersifat
sonor, terdengar tidak mengenakan (raspy), terjadi pada
saluran napas besar seperti trakhea bagian bawah dan
bronkus utama
9. Wheezing Suara pernapasan frekuensi tinggi nyaring yang terdengar di
akhir ekspirasi
10. Circulation Oksigen sel darah merah tanpa adanya distribusi ke jaringan
tidak akan bermanfaat bagi penderita. Perkiraan status
kecukupan output jantung dan kardiovaskular dapat
diperoleh hanya dengan memeriksa denyut nadi, masa
pengisian kapiler, warna kulit dan suhu kulit
11. CRT Capillary refill time adalah tes yang dilakukan cepat pada

3
daerah dasar kuku untuk memonitor dehidrasi dan jumlah
aliran darah ke jaringan (perfusi)
12. Dissability Pemeriksaan status neurologi harus dilakukan yang meliputi
tingkat kesadaran dengan menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS) dan penilaian tanda lateralisasi, yaitu pupil
(ukuran, simetris dan reaksi terhadap cahaya, kekuatan tonus
otot (motorik)
13. Skala AVPU Metode yang digunakan tenaga kesehatan untuk mengukur
dan mencatat respon pasien yang mengindikasikan tingkat
kesadaran, yang diperiksa adalah kesadaran pasien (alert),
respon dengan kata-kata (verbal), rangsangan terhadap nyeri
(pain), dan ketidaksadaran sehingga tidak merespon baik
verbal maupun ransangan nyeri (unresponsive)
14. Exposure Buka pakaian penderita untuk memeriksa cedera agar tidak
melewatkan memeriksa seluruh bagian tubuh terlebih yang
tidak terlihat secara sepintas. Jika seluruh tubuh telah
diperiksa, penderita harus ditutup untuk mencegah hilangnya
panas tubuh
15. Fraktur Pemecahan atau kerusakan suatu bagian terutama tulang.
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas
jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya
disebabkan oleh trauma

II. Identifikasi Masalah


1. Tuan X, kisaran usia 27 tahun, datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit
tipe A diantar oleh polisi setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Dari saksi di
tempat kejadian diketahui mekanisme trauma ialah pasien yang mengendarai
motornya dengan kecepatan tinggi menabrak tiang listrik lalu terpelanting dan
membentur trotoar. Saat itu pasien tidak menggunakan helm. Baju dan celana pasien
basah karena darah.
2. Airway = bersuara saat dipanggil, aroma napas alkohol

4
3. Breathing = RR 32x/menit, SpO2 95% (dengan udara bebas), gerakan thorax statis
dan dinamis: simetris, auskultasi paru: vesikuler (+) normal, tidak ada ronkhi, tidak
ada wheezing
4. Circulation = nadi 145x/menit (isi dan tegangan kurang), TD: 70/50 mmHg, akral
dingin lembab pucat, CRT (capillary refill time) 4 detik
5. Dissability = respond to verbal (skala AVPU), GCS E3M6V4
6. Exposure = temperatur 35,5°C, jejas di abdomen kanan atas, tampak fraktur
terbuka os humerus sinistra dengan perdarahan aktif, fraktur terbuka os femur
sinistra dengan perdarahan aktif, dan fraktur terbuka os cruris dengan perdarahan
aktif

III. Analisis Masalah


1. Tuan X, kisaran usia 27 tahun, datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit
tipe A diantar oleh polisi setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Dari saksi di
tempat kejadian diketahui mekanisme trauma ialah pasien yang mengendarai
motornya dengan kecepatan tinggi menabrak tiang listrik lalu terpelanting dan
membentur trotoar. Saat itu pasien tidak menggunakan helm. Baju dan celana pasien
basah karena darah.
a. Bagaimana hubungan antara mekanisme trauma yang terjadi dengan kasus?
Tabrakan yang terjadi di depan pengendara motor biasanya mengakibatkan
pengendara motor sepenuhnya terlempar keluar atau terlempar sebagian melewati
stang. Beberapa cedera yang umum terjadi antara lain:
- Cedera kepala dan leher apabila tidak ada helm
- Cedera torakoabdominal akibat benturan dengan stang
- Fraktur pelvis open book, yaitu fraktur pelvis anterior dan posterior yang
membuka seperti buku akibat benturan dengan stang
- Cedera femur bilateral
- Abrasi dan laserasi
Dugaan mekanisme trauma pada kasus:
Pengendara motor melaju dengan kecepatan tinggi dan menabrak tiang listrik 
deselerasi  pasien terlempar melewati stang kiri  membentur trotoar pada sisi
tubuh sebelah kiri

5
Trauma kepala ringan: benturan dengan trotoar (tanpa pengamanan helm) 
trauma deselerasi  penurunan kesadaran
Trauma tumpul abdomen: benturan dengan stang  trauma abdomen kanan atas
Fraktur terbuka humerus sinistra: benturan dengan trotoar di tubuh sebelah kiri 
trauma deselerasi  fraktur
Fraktur terbuka femur sinistra: benturan dengan trotoar di tubuh sebelah kiri 
trauma deselerasi  fraktur
Fraktur terbuka cruris sinistra: benturan dengan trotoar di tubuh sebelah kiri 
trauma deselerasi  fraktur
Syok hemoragik : diawali dari Tn. X yang mengendarai motor dengan kecepatan
tinggi disertai dengan tidak menggunakan helm  terjadinya trauma pada tn.X
trauma tajam dan trauma tumpul  terjadi pendarahan yang bersifat akut 
Penurunan pada Venous return  penurunan pada Cardiac Output  perfusi ke
jaringan mengalami penurunan  tubuh akan kompensasi dengan mengaktivasi
saraf simpatis  terjadi vasokontriksi  perpindahan darah dari organ non vital
ke organ vital  terjadinya syok hemoragik pada Tn. X

b. Apa saja risiko berkendara tanpa menggunakan helm?


Helm berfungsi untuk melindungi kepala saat terjadi benturan pada kecelakaan.
Cedera kepala dapat berupa fraktur cranium, perdarahan dalam rongga tengkorak
berupa perdarahan epidural, subdural, dan subaraknoid, kerusakan selaput otak
dan jaringan otak.

Gambar 1. Ilustrasi cedera kepala


Bahaya yang ditimbulkan apabila tidak menggunakan helm saat berkendara,
antara lain:

6
- Mata dan hidung mudah terkena debu, kotoran, dan asap yang bisa
menyebabkan iritasi.
- Tinitus (telinga berdenging karena berkendaran lama tanpa helm)
- Kanker kulit karena paparan sinar ultraviolet secara langsung dan lama
- Cedera kepala akibat tidak ada perlindungan saat kecelakaan, hingga kematian

c. Apa makna klinis baju dan celana pasien basah karena darah?
Makna klinis baju dan celana pasien basah karena darah yaitu telah terjadi
perdarahan masif dan dapat menyebabkan syok hemoragik. Baju pasien basah
karena darah artinya terdapat perdarahan akibat fraktur terbuka regio ekstremitas
bagian atas dan celana pasien basah karena darah artinya terdapat perdarahan yang
berupa fraktur terbuka regio ekstremitas bagian bawah pada kasus ini.

Gambar 2. Perkiraan jumlah kehilangan darah berdasarkan fraktur

d. Bagaimana tindakan awal pada pasien ini dan tata cara pemindahan pasien dari
lokasi kecelakaan menuju IGD?
Aufar
Pada saat keadaan pra-RS titik berat diberikan pada penjagaan airway (jalan
nafas), kontrol pendarahan, imobilisasi penderita, dan segera bawa penderita ke
RS terdekat.
1) Penjagaan airway adalah mencegah terjadinya penyumbatan jalan nafas.
Penyumbatan jalan nafas ini dapat disebabkan karena darah, air liur ataupun
makanan yang keluar dari lambung. Semua hal tersebut dapat tertahan di

7
mulut, masuk ke jalan nafas dan akhirnya menyebabkan penderita tidak bisa
bernafas. Oleh karena itu usahakan agar pada mulut tidak terdapat sumbatan
tersebut. Namun prosedur ini tidak boleh membuat leher mengalami gerakan
terangkat terlalu banyak karena pada keadaan patah tulang leher berbahaya
bila bagian leher banyak bergerak.
2) Kontrol perdarahan. Misal terdapat luka terbuka berdarah, hal yang perlu
dilakukan adalah segera melakukan tindakan tampon (menekan perdarahan
aktif dengan gulungan kain). Hal ini untuk mencegah darah terus mengalir dan
menyebabkan kejadian syok hipovolemia (kehabisan darah) pada pasien.
Penekanan dengan ban pinggang pada daerah sebelum perdarahan tidak
disarankan dalam hal ini karena dapat menimbulkan kematian jaringan bagian
ujung.
3) Imobilisasi penderita. Jangan terlalu banyak melakukan gerakan kepada
penderita karena pada kasus patah tulang (terutama leher), terlalu banyak
melakukan gerakan yang tidak tepat akan memperberat keadaan pasien.
Mencegah kerusakan lanjut bagian yang fraktur dengan cara pembalutan dan
pemasangan bidai. Sebelum melakukan penilaian fraktur, perlu dilakukan
penilaian klinis, apakah luka itu tembus tulang, adakah trauma pembuluh
darah/saraf ataukah ada trauma alat-alat dalam yang lain. Mengembalikan
posisi patahan tulang ke posisi semula (reposisi). Mempertahankan posisi itu
selama masa penyembuhan fraktur (immobilisasi). Biasanya dengan
pembidaian. Bidai terbagi 2, yaitu bidai anatomis (body splint), menggunakan
bagian yang sehat sebagai bidai terhadap bagian yang lain dan bidai kayu
(rigid splint).
Imobilisasi pada kasus Tn X:
1) Immobilisasi bagian tubuh yang mengalami dan bila dicurigai adanya fraktur
sebelum pasien dipindahkan.
2) Pasang bidai untuk mengurangi nyeri gerakan fragmen tulang dan sendi
sekitar fraktur.
3) Pikirkan bidai sementara dengan bantalan yang memadai yang kemudian
dibebat dengan kencang. Immobilisasi ekstremitas bawah dapat dilakukan
dengan membabat kedua tungkai bersamaan, dengan ekstremitas yang sehat

8
bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Peredaran distal harus
dikaji untuk menentukan kecukupan perfusi jaringan perifer.

Gambar 3. Pembidaian untuk ekstremitas bawah


4) Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan kasa steril, jangan lakukan reduksi
fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka, pasang
bidai.
5) Di UGD pasien dievaluasi dengan lengkap, ekstremitas yang cedera jangan
digerakkan.
Setibanya di UGD, pastikan Tn. X mengalami syok dengan pemeriksaan klinis.
Berdasarkan pemeriksaan klinis yang didapat RR 32 x/menit, Nadi 145 x/menit
(isi dan tegangan kurang), TD 70/50 mmHg, urin output inisial 100 cc (warna
kuning pekat), CRT (capillary refill time) 4 detik, akral dingin lembab pucat, dan
temperatur 35,50C atau hipotermia ringan disertai bukti perdarahan yang jelas
berupa fraktur terbuka os humerus sinistra dan os femur sinistra dengan
perdarahan aktif. Hasil pemeriksaan klinis tersebut menunjukkan Tn. X
mengalami syok hipovolemia berat dengan >40% volume darah berkurang atau
hilang akibat perdarahan.
Manajemen syok hipovolemik pada Tn. X harus dilakukan simultan antara
stabilisasi ABC dan mengatasi sumber perdarahan. Penanganan di UGD terdapat
tiga objektif yang ingin dicapai di UGD pada pasien syok hipovolemik yakni (1)
memaksimalkan pemberian oksigen-lengkap dengan memastikan pemberian
ventilasi yang adekuat, meningkatkan saturasi oksigen ke dalam darah dan
mengembalikan aliran darah, (2) mengontrol perdarahan lanjut, dan (3) pemberian
resusitasi cairan. Selain itu, desposisi pasien haruslah ditentukan secara cepat dan
tepat. Manajemen syok hipovolemik:

9
1) Pastikan jalan napas dan pernapasan dalam kondisi baik (PaO2 >80 mmHg)
2) Tempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi dan lakukan resusitasi cairan
segera melalui akses intravena, atau katater vena sentral, maupun jalur
intraoseus.
3) Ambil darah 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium rutin, golongan darah, dan
uji silang.
4) Resusitasi cairan kristaloid Ringer’s Laktat (RL) bolus 2-4 L dalam 20-30
menit
5) Transfusi packed red cell (PRC) sesuai golongan darah. Pada perdarahan
masif, yakni perdarahan lebih dari sepertiga volume total darah dalam waktu
kurang dari 30 menit, dilakukan transfusi darah sebanyak lebih dari 1-2 kali
lipat volume darah pasien dalam waktu lebih dari 24 jam. Pertimbangkan
penghentian transfusi setelah Hb > 10 g/dL.
6) Atasi sumber perdarahan, hemostasis darurat secara operatif diperlukan
apabila terjadi perdarahan masif ≥40%.
7) Nilai ketat hemodinamik dan amati tanda-tanda perbaikan syok: tanda vital,
kesadaran, perfusi perifer, urin output, saturasi oksigen, dan analisis gas darah.
Parameter yang harus dipantau selama stabilisasi dan pengobatan yakni
denyut jantung, frekuensi pernapasan, tekanan darah, tekanan vena sentral
(CVP), dan pengeluaran urin. Pengeluaran urin yang kurang dari 30 ml/jam
(atau 0.5 ml/kg/jam) menunjukkan perfusi ginjal yang tidak adekuat.
Pada kondisi hipovolemia berat dan berkepanjangan, pertimbangkan
dukungan inotropik dengan dopamin, vasopresin, atau dobutamin untuk
meningkatkan kekuatan ventrikel setelah volume darah dicukupi terlebih
dahulu.

2. Airway = bersuara saat dipanggil, aroma napas alkohol


a. Apa makna klinis pasien bersuara saat dipanggil?
Pasien bersuara saat dipanggil menandakan respon pasien masih normal karena
tidak ada gangguan pada jalan napas.

b. Apa makna klinis aroma napas alkohol pada pasien?

10
Aroma napas alkohol pada pasien bermakna bahwa sebelumnya pasien
mengonsumsi alkohol. Alkohol mengganggu pengaturan eksitasi atau inhibisi di
otak, sehingga mengkonsumsi alkohol dapat mengakibatkan terjadinya disinhibisi,
ataksia dan sedasi. Efek-efek sedasi inilah yang meningkatkan kejadian
kecelakaan lalu lintas seperti pada kasus.

c. Bagaimana cara memeriksa jalan napas pasien pada kasus?


Pada korban kecelakaan atau kekerasan khususnya yang mengalami penurunan
kesadaran perlu dinilai apakah jalan nafas dalam keadaan bebas tanpa ada
hambatan, atau terdapat benda cair (darah, muntahan) maupun padat (makanan
padat, gigi palsu, lidah) yang menghambat jalan nafas. Sumbatan jalan nafas
ditandai dengan adanya suara suara serak maupun kesulitan bicara pada pasien
yang masih sadar, pasien gelisah karena hipoksia, adanya gerakan otat nafas
tambahan saat bernafas, terapat suara nafas yang tidak normal seperti snoring,
stridor (suara mendengkur), gargling (seperti berkumur) maupun hoarseness dan
munculnya sianosis pada pasien. Cara pemeriksaan jalan napas pasien
 Lakukan teknik Head tilt chin lift, untuk menilai jalur napas apakah terdapat
sumbatan (makanan, darah atau benda asing) atau tidak ada sumbatan.

Gambar 4. Teknik head tilt chin lift


 Lakukan teknik jaw thrust. Teknik dilakukan jika terdapat atau dicerugai
pasien mengalami cedera servikal.

11
Gambar 5. Teknik jaw thrust
Bau napas alcohol diperiksa secara objektif dengan membau napas pasien. Untuk
mengetahui seberapa banyak alcohol di darah, pasien dapat juga diminta untuk
mengeluarkan napas ke dalam balon yang kemudian dilepaskan ke dalam tabung
yang berisi pita dengan kristal berwarna kuning. Warna kristal berubah menjadi
hijau sesuai dengan kadar alkohol. Electronic alcohol meter dengan cara kerja
serupa tetapi lebih praktis juga bisa dipakai untuk melihat kadar alkohol.

Gambar 6. Pemeriksaan dengan electronic alcohol meter

3. Breathing = RR 32x/menit, SpO2 95% (dengan udara bebas), gerakan thorax statis
dan dinamis: simetris, auskultasi paru: vesikuler (+) normal, tidak ada ronkhi, tidak
ada wheezing
a. Mengapa RR meningkat pada kasus? Bagaimana mekanismenya?
Baroreseptor mendapat rangsangan dari perubahan tegangan dalam pembuluh
darah akibat volume darah yang berkurang. Bila terjadi penurunan tekanan darah,
maka rangsangan terhadap baroreseptor akan menurun, sehingga rangsangan yang
dikirim baroreseptor ke pusat juga akan berkurang. Sehingga terjadi penurunan
rangsangan terhadap cardio inhibitory centre dan hambatan terhadap pusat
vasomotor. Akibat dari kedua hal tersebut, maka akan terjadi vasokonstriksi dan

12
takikardi. Baroreseptor ini terdapat di sinus caroticus, arcus aorta, atrium dexta et
sinistra, ventrikel sinistra, dan dalam sirkulsi paru. Baroreseptor sinus caroticus
merupakan baroreseptor yang paling berperan dalam pengaturan tekanan darah.
Bila aliran darah ke otak menurun sampai <40mmHg, maka akan terjadi
symphathetic discharge massive. Respon dari reseptor di otak ini lebih kuat
darirespon perifer.

Gambar 7. Mekanisme kompensasi perdarahan masif

b. Apa definisi SpO2?


SpO2 (Saturation of Peripheral Oxygen) atau saturasi oksigen adalah ukuran
seberapa banyak persentase oksigen yang mampu dibawa oleh
hemoglobin. Hemoglobin merupakan molekul protein didalam darah yang dapat
mengikat oksigen. Salah satu indikator yang sangat penting dalam suplai oksigen
di dalam tubuh adalah saturasi oksigen (SpO2). Saturasi oksigen normal adalah
antara 95 – 100 %. Saturasi oksigen perifer (SpO2) adalah estimasi dari tingkat
kejenuhan oksigen yang biasanya diukur dengan pulse oxymeter.

c. Apa makna klinis nilai SpO2 95% (dengan udara bebas) pada kasus?
Pada kasus, saturasi oksigen perifer pasien saat bernafas dengan udara bebas
adalah 95% yang berarti perfusi oksigen pasien sedikit menurun karena volume
darah berkurang sehingga oksigen yang dialirkan juga berkurang. Saturasi oksigen
perlu selalu dipantau untuk menilai perfusi jaringan. Mekanismenya:

13
Perdarahan  hipovolemia  efektivitas perfusi oksigen di paru-paru menurun
 saturasi oksigen menurun.

d. Apa makna klinis gerakan thorax statis dan dinamis: simetris?


Tidak ditemukan gangguan pada rongga thorax, tidak ditemukan fraktur costae
ataupun trauma pada dinding thorax yang dapat mengakibatkan gangguan
respirasi.

e. Apa makna klinis auskultasi paru: vesikuler (+) normal, tidak ada ronkhi, tidak
ada wheezing?
Tidak ada penyempitan jalan napas akibat bronkokontriksi, edema, maupun
adanya benda asing yang masuk yang dapat menghalangi jalan napas.

f. Bagaimana tatalaksana pemberian oksigen pada kasus?


Terapi O2 merupakan salah satu terapi pernafasan dalam mempertahankan
oksigenasi. Tujuan pemberian terapi O2 adalah:
1. Mengatasi keadaan hipoksemia
2. Menurunkan kerja pernafasan
3. Menurunkan beban kerja otot Jantung (miokard)
Indikasi pemberian terapi O2 adalah kerusakan O2 jaringan yang diikuti gangguan
metabolisme dan sebagai bentuk Hipoksemia, secara umum pada: Kadar oksigen
arteri (PaO2) menurun, kerja pernafasan meningkat (laju nafas meningkat, nafas
dalam, bemafas dengan otot tambahan), adanya peningkatan kerja otot jantung
(miokard)
Indikasi klinisnya: Henti jantung paru, gagal nafas, gagal jantung atau ami, syok,
meningkatnya kebutuhan O2 (luka bakar, infeksi berat, multiple trauma),
keracunan CO, post operasi, dll.
Metode dan peralatan minimal yang harus diperhatikan pada terapi O2:
1. Mengatur % fraksi O2 (% FiO2)
2. Mencegah akumulasi kelebihan CO2
3. Resistensi minimal untuk pernafasan
4. Efesiensi & ekonomis dalam penggunanan O2

14
5. Diterima pasien PaO2 kurang dari 60 mmHg
Perkiraan konsentrasi oksigen pada alat masker semi rigid. Kecepatan aliran O2 %
FiO2 yang pasti 4 1/mnt 0,35 ; 6 1/mnt 0,50 ; 8 1/mnt 0,55 ; 10 1/mnt 0,60 ; 12
l/mnt 0,64 ; 15 l/mnt 0,70 ; Tidak ada peralatan yang dapat memberi O2 100 %,
walaupun O2 dengan kecepatan > dari Peak Inspiratory Flow Rate (PIFR).

METODE PEMBERIAN OKSIGEN


I. Sistem Aliran Rendah
1) Kateter Nasal Oksigen : Aliran 1 - 6 liter/ menit menghasilkan oksigen
dengan konsentrasi 24-44 % tergantung pola ventilasi pasien. Bahaya:
Iritasi lambung, pengeringan mukosa hidung, kemungkinan distensi
lambung, epistaksis.
2) Kanula Nasal Oksigen : Aliran 1 - 6 liter / menit menghasilkan O2 dengan
konsentrasi 24 - 44 % tergantung pada polaventilasi pasien. Bahaya : Iritasi
hidung, pengeringan mukosa hidung, nyeri sinus dan epitaksis
3) Sungkup Muka Sederhana Oksigen : Aliran 5-8 liter/ menit O2 dengan
konsentrasi 40 - 60 %. Bahaya : Aspirasi bila muntah, penumpukan CO2
pada aliran O2 rendah, Empisema subcutan kedalam jaringan mata pada
aliran O2 tinggi dan nekrose, apabila sungkup muka dipasang terlalu ketat.
4) Sungkup muka "Rebreathing" dengan kantong O2 : Aliran 8-12 l/menit
menghasilkan oksigen dnegan konsentrasi 60 - 80%. Bahaya : Terjadi
aspirasi bila muntah, empisema subkutan kedalam jaringan mata pada
aliran O2 tinggi dan nekrose, apabila sungkup muka dipasang terlalu ketat.
5) Sungkup muka "Non Rebreathing" dengan kantong O2 : Aliran 8-12 l/menit
menghasilkan konsentrasi O2 90 %. Bahaya : Sama dengan sungkup muka
"Rebreathing".
II. Sistem Aliran tinggi
1) Sungkup muka venturi (venturi mask) Oksigen : Aliran 4 -14 It / menit
menghasilkan konsentrasi O2 30 - 55 %. Bahaya : Terjadi aspirasi bila
muntah dan nekrosis karena pemasangan sungkup yang terlalu ketat.

15
2) Sungkup muka Aerosol (Ambu Bag) Oksigen : Aliran lebih dan 10 V
menit menghasilkan konsentrasi O2 100 %. Bahaya : Penumpukan air pada
aspirasi bila muntah serta nekrosis karena pemasangan sungkup muka
yang terialu ketat.

BAHAYA TERAPI OKSIGEN


Keracunan O2  pada pemberian jangka lama dan berlebihan dapat dihindari
dengan pemantauan AGD dan Oksimetri
1) Nekrose CO2 ( pemberian dengan FiO2 tinggi) pada pasien dependent on
Hypoxic drive misal kronik bronchitis, depresi pemafasan berat dengan
penurunan kesadaran. Jika terapi oksigen diyakini merusak CO2, terapi O2
diturunkan perlahan-lahan karena secara tiba-tiba sangat berbahaya
2) Toxicitas paru, pada pemberian FiO2 tinggi (mekanisme secara pasti tidak
diketahui). Terjadi penurunan secara progresif compliance paru karena
perdarahan interstisial dan edema intraalveolar
3) Retrolental fibroplasias. Pemberian dengan FiO2 tinggi pada bayi premature
pada bayi BB <1200 gr. Kebutaan
4) Barotrauma (ruptur alveoli dengan emfisema interstisial dan mediastinum), jika
O2 diberikan langsung pada jalan nafas dengan alat Cylinder Pressure atau
auflet dinding langsung.

4. Circulation = nadi 145x/menit (isi dan tegangan kurang), TD: 70/50 mmHg, akral
dingin lembab pucat, CRT (capillary refill time) 4 detik
a. Mengapa nadi meningkat tapi isi dan tegangan kurang? Bagaimana
mekanismenya?
Peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respons homeostasis saat
terjadi hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi
berfungsi mengurangi asidosis jaringan. Terjadinya perdarahan yang cukup berat
pada Tn. X menyebabkan pasokan aliran darah berkurang mengakibatkan denyut
nadi pasien lebih cepat dari biasanya. Isi dan tegangan kurang akibat perdarahan
→ hipovolemia yang disebabkan fraktur terbuka.

16
b. Mengapa TD menurun pada kasus?
Terjadinya perdarahan yang cukup berat pada Tn. X menyebabkan pasokan aliran
darah berkurang  tekanan darah ↓
Pada kasus syok hemoragik, terjadi penurunan tekanan darah baik sistol maupun
diastol. Penurunan tekanan darah sistolik lebih lambat terjadi karena adanya
mekanisme kompensasi tubuh terhadap terjadinya hipovolemia. Pada awal-awal
terjadinya kehilangan darah, terjadi respon sistem saraf simpatis yang
mengakibatkan peningkatan kontraktilitas dan frekuensi jantung. Dengan
demikian, pada tahap awal syok hemoragik, tekanan darah sistolik dapat
dipertahankan.
Fase Dekompensasi :
Pada fase ini metabolisme anaerob sudah mulai terjadi dan semakin meningkat.
Akibatnya sistem kompensasi yang terjadi sudah tidak lagi efektif untuk
meningkatkan kerja jantung. Produksi asam laktat meningkat, produksi asam
karbonat intraseluler juga meningkat sehingga terjadi asidosis metabolik.
Membran sel terganggu, akhirnya terjadi kematian sel. Terjadi juga pelepasan
mediator inflamasi seperti TNF. Akhirnya sistem vaskular mulai tidak dapat
mempertahankan vasokonstriksi. Sehingga terjadi vasodilatasi yang menyebabkan
tekanan darah turun dibawah nilai normal dan jarak sistol-diastol menyempit.

c. Apa makna klinis akral dingin lembab pucat pada kasus?


Akral dingin lembab dan pucat menandakan adanya aliran (perfusi) darah ke
bagian perifer tubuh (ujung tangan dan kaki) berkurang atau disebut hipoperfusi.
Syok hipovolemi (hemoragik) pada pasien menyebabkan hipoksia sehingga
pembuluh darah perifer bervasokonstriksi untuk mempertahankan aliran darah di
organ vital, yaitu otak.

d. Bagaimana cara mengukur CRT?


Cara mengukur CRT yaitu,
 Bagian pemeriksaan CRT yaitu jari tangan dan kaki.
 Lakukan penekanan pada ujung jari kaki atau tangan.
 Lihat perubahan warna pada jari tersebut.

17
 Normal jika jari tangan/kaki berwarna merah kurang 2 detik, tidak normal jari
tangan atau jari kaki berwarna merah lebih dari 2 detik.

Gambar 8. Perbandingan gambaran CRT normal dan delayed


Tes CRT dilakukan dengan memegang tangan pasien lebih tinggi dari jantung
(mencegah refluks vena. Pada bayi yang baru lahir, pengisian kapiler dapat diukur
dengan menekan pada tulang dada selama lima detik dengan jari telunjuk atau ibu
jari, dan catat waktu yang dibutuhkan untuk warna kulit kembali normal setelah
tekanan dilepaskan. Jika aliran darah baik ke daerah kuku, warna kuku kembali
normal kurang dari 2 detik. Pada bayibaru lahir batas normal pengisian kapiler
adalah 3 detik.

e. Apa makna klinis nilai CRT 4 detik pada kasus?


CRT memanjang (> 2 detik) terjadi akibat adanya gangguan perfusi (aliran darah)
ke jaringan perifer. CRT melambat ditemukan pada:
• Dehidrasi (hipovolumia)
• Syok
• Peripheral vascular disease
• Hipotermia
CRT memanjang paling banyak pada pasien yang mengalami keadaan
hipovolumia (dehidrasi, syok) dan bisa terjadi pada pasien yang hipervolumia
yang perjalanan selanjutnya mengalami ekstravasasi cairan dan penurunan
cardiac output dan jatuh pada keadaan syok. Pada kasus ini, CRT melambat
terjadi akibat syok hipovolemik.

f. Bagaimana tatalaksana terhadap hasil penilaian circulation?


Prinsip pada tahap ini adalah menjaga sirkulasi darah dan mengontrol perdarahan
agar korban tidak jatuh dalam keadaan syok (tidak tercukupinya aliran darah ke

18
seluruh tubuh sehingga terjadi kekurangan oksigen pada jaringan tubuh terutama
organ-organ vital), yang diantaranya ditandai dengan penurunan kesadaran,
menurunnya tekanan darah, meningkatnya denyut jantung dan berkurangnya
produksi urine. Produksi urine yang normal adalah 1 cc/kg BB/jam. Pada pasien
yang diduga mengalami syok, sebaiknya langsung dipasang kateter urine,
sehingga dapat dipantau secara obyektif produksi urine pasien.
Apabila terdapat luka terbuka sebagai sumber perdarahan, maka dilakukan
penekanan pada daerah tersebut sebagai upaya emergensi untuk
mengurangi/menghentikan perdarahan. Pada pasien langsung dilakukan
pemasangan infus dua line pada tangan kanan dan kiri untuk pemberian cairan.
Cairan kristaloid yang diberikan (misalnya NaCl 0,9%) dihangatkan terlebih
dahulu untuk menghindari terjadinya hipotermia. Keadaan hipotermia dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pembekuan darah. Sebelum diberikan cairan
infus diambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium dan cross match
golongan darah.
 Pasang infus bila perlu 2 jalur, tentukan jenis cairan
 Perbaiki kehilangan darah, bila perlu teruskan selama transportasi
 Pemasangan kateter urin
 Monitor kecepatan dan irama jantung
 Berikan diuretik bila diperlukan
 Bila curiga ada cedera cervikal dan tulang belakang
 Luka: - hentikan pendarahan dengan balutan
- profilaksis tetanus
- antibiotik bila perlu
Shock: pemberian cairan kristaloid (ringer lactat) IV 2-4 liter dalam 20-30 menit
dan kateter urin untuk monitoring perfusi ginjal dan hemodinamika pasien terkait
syoknya. Jaga suhu tubuh jangan sampai hipotermi.

5. Dissability = respond to verbal (skala AVPU), GCS E3M6V4


a. Apa makna klinis respond to verbal (skala AVPU) pada kasus?
Respond to verbal pada pemeriksaan dengan menggunakan skala AVPU
mengindikasikan bahwa pasien hanya merespon (menjadi fully alert atau partially

19
alert) jika diberi rangsangan verbal seperti panggilan atau teriakan yang artinya
pasien mengalami gangguan kesadaran kemungkinan karena adanya trauma pada
kepala.

b. Bagaimana cara menilai dengan skala AVPU?


Skala AVPU adalah metode cepat untuk menilai penurunan kesadaran pasien.
Tingkatan kesadaran pasien dilaporkan dengan A, V, P, atau U.
(1) A: Alert and oriented
Penilaian kesadaran dan orientasi terhadap orang, tempat, waktu, dan
kejadian. Pada level ini, pasien dalam kondisi sadar sepenuhnya. Untuk
menilainya, caranya dengan menanyakan pertanyaan yang jawabannya bukan
berupa ‘ya’ atau ‘tidak’ seperti ‘Tahun berapa sekarang?’atau ‘Sekarang anda
ada dimana?’
(2) V: response to Verbal stimulus
Hal ini mengindikasikan bahwa pasien hanya merespon (menjadi fully alert
atau partially alert) jika diberi rangsangan verbal seperti panggilan atau
teriakan.
(3) P: response to Pain
Pada level ini, menandakan pasien sudah tidak responsive lagi dengan
rangsangan verbal dan harus dirangsang dengan perlakuan fisik seperti
cubitan atau pukulan. Positif jika ketika dicubit atau dipukul, pasien meringis
atau mengerang.
(4) U: Unresponsive
Level terendah kesadaran. Terjadi jika sudah dilakukan rangsangan nyeri di
kedua sisi dan pasien tetap dalam kondisi flasid atau tidak sadarkan diti tanpa
adanya pergerakan atau suara.
Semua level dibawah Alert interpretasinya adalah gangguan kesadaran. Maka
pada kasus ini, Tn. X mengalami gangguan kesadaran dengan tingkat kesadaran di
level sadar jika distimulus dengan verbal.

20
Gambar 9. Derajat kesadaran berdasarkan skala AVPU
c. Apa interpretasi GCS E3M6V4 pada kasus?
Glasgow-Coma Scale  E3 V4 M6  13
E3. Pasien membuka mata ketika diajak bicara, dipanggil atau diperintahkan.
V4. Pasien bisa berbicara jelas, namun tidak terorientasi dengan baik.
M6. Pasien bisa mengerti dan melakukan tindakan sesuai perintah. Perlu
diperhatikan kesesuaian respon motoric pasien untuk memastikan ada tidaknya
jejas di belahan otak yang berbeda.
Interpretasi:
1. Berat  8-3
2. Sedang  9-12
3. Ringan  13-15
Kualitas Kesadaran
1. 14-15  Kompos mentis
2. 12-13  Apatis
3. 11-12  Somnolen
4. 8-10  Stupor
5. <5  Koma

21
d. Bagaimana cara menilai kesadaran dengan GCS?
Skala GCS dibuat untuk menilai keparahan penurunan kesadaran dan
memprediksi awal tingkat kerusakan otak. Terdiri dari 3 indikator yaitu bukaan
mata, respon verbal, dan respon motoric.
(1) Eye opening (1 to 4 points).
- (E4) Spontan: mata terbuka dan focus, pasien bias mengenali pemeriksa
dan mengikuti pergerakan mata.
- (E3) Terhadap suara: pasien membuka mata ketika diajak bicara, dipanggil
atau diperintahkan.
- (E2) Terhadap nyeri: pasien membuka mat ajika diberi stimulus nyeri
- (E1) Tidak membuka mata dengan respon apapun

(2) Verbal response (1 to 5 points).


- (V5) Sadar penuh: pasien bias berbicara dan menjawab pertanyaan perihal
lokasi, tempat, dan waktu saat ini. Bisa juga ditanyakan bagaimana
kejadian ini bias terjadi.
- (V4) Bingung: pasien bias berbicara jelas, namun tidak terorientasi dengan
baik.
- (V3) Kata-kata tidak sesuai: pasien menjawab rangsangan verbal dengan
jawaban tidak sesuai dengan situasi, tidak jelas dan terkadang dengan
jawaban kasar atau tidak senonoh
- (V2) Meracau: mengeluarkan kata kata yang tidak dimengerti orang
normal.
- (V1) Tidak ada respon suara apapun
(3) Motor response (1 to 6 points).
- (M6) Mengikuti perintah: pasien bisa mengerti dan melakukan tindakan
sesuai perintah. Perlu diperhatikan kesesuaian respon motoric pasien untuk
memastikan ada tidaknya jejas di belahan otak yang berbeda.

22
- (M5) Nyeri terlokalisir: jika pasien dapat dengan akurat mendorong atau
melepaskan cubitan yang dilakukan pemeriksa dengan tangannya, maka
pasien tersebut responsif dengan nyeri terlokalisir.
- (M4) Mengelak dari nyer: hal ini mengindikasikan bahwa tubuh pasien
hanya menjauh ketika diberikan rangsangan nyeri.
- (M3) Fleksi (postur dekortikasi): tubuh pasien menekuk menjadi postur
protektif dengan lengan fleksi ke dada. Hal ini terjadi pada trauma otak
berat.
- (M2) Ekstensi (postur decerebrasi): tubuh pasien ekstensi, kaki tungkai
dan lengan ekstensi dan kaku, bahkan sulit digerakkan.
- (M1) Benar-benar flacid

Gambar 10. Skala GCS

e. Bagaimana tatalaksana penurunan kesadaran pada kasus?


GCS 13-15 termasuk dalam cidera kepala ringan. Penatalaksanaan cedera kepala
secara umum dengan memperbaiki jalan napas (airway), pernapasan (breathing)
dan sirkulasi pasien, mencegah tidak sampai terjadi hipoventilasi dan hipovolemia
yang dapat menyebabkan secondary brain damage. Lakukan pemeriksaan fisik,
pemeriksaan CT Scan kepala sangat ideal pada penderita CKR jika curiga adanya

23
hematom intrakranial, misalnya ada riwayat lucid interval, pada follow up
kesadaran semakin menurun atau timbul lateralisasi, kecuali memang sama sekali
asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal. Lakukan juga pemeriksaan
laboratorium rutin. Observasi tanda vital serta pemeriksaan neurologis secara
periodik setiap ½- 2. Observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral disamping
tanda-tanda vital. Jaga jalan napas tetap terbuka. Berikan Infus 0,9 Normal Saline
1,5 ml/kgBB/jam, obat simptomatik IV atau supp .

6. Exposure = temperatur 35,5°C, jejas di abdomen kanan atas, tampak fraktur terbuka
os humerus sinistra dengan perdarahan aktif, fraktur terbuka os femur sinistra dengan
perdarahan aktif, dan fraktur terbuka os cruris dengan perdarahan aktif
a. Apa interpretasi temperatur 35,5°C? Bagaimana mekanisme hipotermi?
Temperatur normal: 36.5-37.5  35,50C = Hipotermia ringan.
Klasifikasi hipotermia pasien trauma adalah 34 – 36oC hipotermia ringan, 32 –
34oC hipotermia sedang, dan < 32oC hipotermia berat. Trauma dan perdarahan
dengan hipoperfusi jaringan mengganggu termoregulasi sehingga menyebabkan
hipotermia.
Tahap dekompensasi dimana tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsi-
fungsinya. Yang terjadi adalah tubuh akan berupaya menjaga organ-organ vital
yaitu dengan mengurangi aliran darah ke lengan, tungkai, dan perut dan
mengutamakan aliran ke otak, jantung, dan paru. Tanda dan gejala yang dapat
ditemukan diantaranya adalah rasa haus yang hebat, peningkatan denyut nadi,
penurunan tekanan darah, kulit dingin, pucat, serta kesadaran yang mulai
terganggu.
Perdarahan massif  penurunan perfusi jaringan  penurunan suplai oksigen dan
energi ke sel  penurunan metabolisme seluler  penurunan penghasilan energi
 penurunan panas
Perdarahan massif  respon stress: Vasokonstriksi  penurunan pelepasan panas
dari pembuluh darah  penurunan suhu.

b. Bagaimana tatalaksana hipotermi pada kasus?

24
Tatalaksana hipotermi pada kasus yang dialami oleh tuan X yaitu lepaskan semua
pakaian pasien untuk melihat adanya luka atau trauma lain, kemudian bungkus
pasien dengan handuk atau selimut tebal untuk mencegah hipotermi. Cairan saline
yang diberikan juga sebaiknya dihangatkan.

c. Bagaimana hubungan antara jejas yang terbentuk pada abdomen kanan atas
dengan gejala yang terjadi pada kasus?
Adanya jejas menandakan terlah terjadinya trauma benda tumpul. Jejas biasanya
berupa memar, perubahan warna, dan perubahan structural yang tampak secara
kasat mata. Regio abdomen kanan atas sebagian besar diisi oleh hepar. Tumbukan
benda tumpul menyebabkan gaya yang dihantarkan melalui jaringan kulit dan otot
abdomen ke organ internal. Akibat energi tersebut, jaringan organ yang terkena
mengalami kerusakan, contohnya pembuluh darah organ. Trauma pada abdomen
dapat menyebabkan perdarahan intraabdomen yang semakin memperberat
keadaan hipovolemik Tn.X.

Gambar 11. Pembagian sembilan regio abdomen

d. Bagaimana tatalaksana jejas yang terbentuk pada abdomen kanan atas?


MENEGAKKAN DIAGNOSIS

25
Trauma tumpul abdomen memerlukan pemeriksaan fisik yang cermat, untuk
menentukan adanya kerusakan organ intraperitoneal. Perlu dibedakan adanya
peritonitis atau reaksi peritonitis akibat tertumpahnya isi usus atau darah dalam
rongga peritoneum secara bebas, atau tanda-tanda peritonismus akibat rangsangan
perdarahan dinding perut atau perdarahan retroperitoneal. Bilamana secara klinis
fisis-diagnosis tidak diperoleh kepastian, perlu dibuat foto rontgen abdomen
dalam posisi tegak atau setengah duduk dan posisi lateral dekubitus, dengan
harapan ditemukannya udara bebas atau cairan bebas intraperitoneal.
Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) dapat membantu menemukan adanya darah
atau cairan usus dalam rongga perut. Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL
ini hanya berfungsi sebagai alat diagnostik. Bila ada keraguan, kerjakan
laparatomi (gold standard).
Indikasi untuk melakukan DPL sebagai berikut:
1. Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya
2. Trauma pada bagian bawah dari dada
3. Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas
4. Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,alkohol, cedera
otak)
5. Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang
belakang)
6. Patah tulang pelvis.
Dugaan perdarahan intraperitoneal didukung oleh lokasi trauma, keadaan umum
pasien, khususnya keadaan kadar hemoglobin dan hematokrit darah, dan bila
diperlukan pungsi dinding perut dengan kanula.
Dugaan trauma ginjal, yang diantarannya didukung dengan adanya hematuria,
dapat dievaluasi dengan pembuatan nefrografi dengan kontras intra vena (IVP)
dan ruptura buli- buli, dapat dideteksi dengan sistografi, bila mana ditemukan
trauma tumpul suprasimfisis disertai tanda-tanda peritonitis, hematuria dengan
diuresis yang relatif sedikit.
TINDAKAN PENANGGULANGAN
 Evaluasi keadaan jantung-paru
 Atasi keadaan syok serta perbaikan kondisi cairan dan balans elektrolit

26
 Pasang kateter secara dauer
 Eksplorasi luka/laparotomi pada semua kasus trauma tajam dan trauma
tembus peluru, dilaksanakan di kamar bedah, dalam narkose umum, dengan
persiapan alat untuk laparotomi.
 Eksplorasi luka untuk menyakinkan, apakah luka menembus peritoneum atau
tidak, bila luka menembus peritoneum, diteruskan tindakan eksplorasi
laparotomi.
 Eksplorasi laparotomi dilaksanakan terhadap trauma tumpul abdomen,
bilamana jejas adanya tanda-tanda perdarahan dan / atau udara bebas intra
peritoneal.
 Persiapan darah transfuse secukupnya dengan patokan kadar Hb minimal 10.
Kebijakan khusus :
 Perdarahan arteri : dikuasai dengan ligasi
 Perforasi usus/gaster : tertutup perforasi. Bila terdapat perforasi multipel usus,
atau laserasi luas dari usus/kolon, sebaiknya dilakukan reseksi sederhana
sampai hemikolektomi, agar trauma seminimal mungkin dan waktu operasi
dipersingkat.
 Ruptura hepar : dilakukan penjahitan sederhana sampai lobektomia hepar
secukupnya.
 Ruptura limpa : dilakukan splenektomi, penjahitan limpa tidak memuaskan,
karena kerapukan jaringan dan tingginya tingkat perdarahan.
 Kerusakan pankreas : dicoba rekonstruksi, bila mana trauma mengenai kepala
pankreas, bila kerusakan dibagian badan pankreas kearah kauda, sebaiknya
dilakukan reseksi pankreas.
 Ruptura buli-buli : biasanya cukup dengan penjahitan sederhana
 Ruptura ginjal : cenderung terapi konservatif, antibiotik dan hemostatikum.
Dalam keadaan “Hancur Ginjal” atau perdarahan progresif hilus ginjal,
dipertimbangkan tindakan nefrektomi.
 Prolaps omentum : tidak boleh sekali-kali memasukkan omentum bukan di
kamar bedah dalam kaitan dengan eksplorasi laparotomy

e. Bagaimana hubungan antara fraktur dengan gejala yang terjadi pada kasus?

27
Fragmen-fragmen patahan tulang berpotensi merobek arteri arteri kecil maupun
besar disekitar tulang. Pada paha, arteri besar yang besar kemungkinan rupture
adalah arteri femoralis yang terletak di bagian depan os femur. Arteri ini terletak
superficial, sangat rentan cedera dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang
sangat cepat. Pada tungkai bawah, arteri besar yang besar kemungkinan rupture
adalah arteri tibialis anterior atau posterior yang terletak di permukaan depan dan
belakang os tibia. Perdarahan yang terjadi menyebabkan berkurangnya volume
darah di sirkulasi yang kemudian membuat pasien jatuh dalam keadaan syok
hemoragik.

f. Bagaimana tatalaksana fraktur multiple disertai perdarahan aktif pada kasus?


Tatalaksana fraktur multiple yaitu imobilisasi fraktur. Tujuan imobilisasi fraktur
adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam posisi seanatomis mungkin dan
mencegah gerakan yang berlebihan pada daerah fraktur. Hal ini akan tercapai
dengan melakukan traksi untuk meluruskan ekstrimitas dan dipertahankan dengan
alat imobilisasi. Pemakaian bidai yang benar akan membantu menghentikan
pendarahan, mengurangi nyeri, dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih
lanjut. Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah fraktur.

Gambar 12. Alat imobilisasi ekstremitas bagian bawah

28
Fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction splint. Traction
splint menarik bagian distal dari pergelangan kaki atau melalui kulit. Di proksimal
traction splint didorong ke pangkal paha melalui ring yang menekan bokong,
perineum dan pangkal paha. Cara paling sederhana dalam membidai tungkai yang
trauma adalah dengan tungkai sebelahnya. pada cedera lutut pemakaian long leg
splint atau gips dapat membantu kenyamanan dan stabilitas. Tungkai tidak boleh
dilakukan imobilisasi dalam ekstensi penuh. Fraktur tibia sebaiknya dilakukan
imobilisasi dengan cardboard atau metal gutter, long leg splint. jika tersedia dapat
dipasang gips dengan imobilisasi meliputi tungkai bawah, lutut, dan pergelangan
kaki. Untuk fraktur terbuka, luka harus ditutupi dengan bahan terbersih yang
tersedia, sebaiknya kain atau kasa steril. Penutupan sementara awal ini tidak boleh
terganggu sampai pasien berada dalam lingkungan rumah sakit yang paling
bersih.

Gambar 13. Cara melakukan imobilisasi ekstremitas bagian bawah

7. Template
a. Apa definisi syok?
Syok adalah sindrom gangguan perfusi dan oksigenasi sel secara menyeluruh
sehingga kebutuhan metabolisme jaringan tidak terpenuhi. Akibatnya, terjadi
gangguan fungsi sel atau jaringan atau organ, berupa gangguan kesadaran, fungsi

29
pernapasan, sistem pencernaan, perkemihan, serta sistem sirkulasi itu sendiri.
Sebagai respons terhadap menurunnya pasokan oksigen, metabolisme energi sel
akan berubah menjadi metabolisme anaerobik. Keadaan ini hanya dapat
ditoleransi tubuh untuk sementara waktu, dan jika berlanjut, timbul kerusakan
nirpulih pada jaringan organ vital yang dapat menyebabkan kematian. Syok
bukanlah suatu penyakit dan tidak selalu disertai kegagalan perfusi jaringan.

b. Bagaimana cara menegakkan diagnosis syok pada kasus?


Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah
mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway, Breathing,
Circulation, Disability Limitation, Exposure)
A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah
kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas oleh
adanya benda asing atau fraktur di bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan
nafas harus memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat
digunakan. Pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya
memerlukan pemasangan airway definitive.
B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus
menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru paru
yang baik, dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien
dengan fraktur ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high flow
oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan reservoir bag.
C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di
sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering
menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah tulang
terbuka. Patah tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3–4
unit darah dan membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang terbaik
adalah menggunakan penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau
ekstrimitas yang mengalami pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai
yang baik dapat menurunkan pendarahan secara nyata dengan mengurangi
gerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan. Pada patah
tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan

30
pendarahan. Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting disamping
usaha menghentikan pendarahan.
D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat
terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spina.
E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara
menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka
penting bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia.
Pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma muskuloskeletal seperti fraktur
adalah imobilisasi patah tulang dan pemeriksaan radiologi.
Imobilisasi Fraktur
Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam
posisi seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan pada daerah
fraktur. Hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk meluruskan
ekstrimitas dan dipertahankan dengan alat imobilisasi. Pemakaian bidai yang
benar akan membantu menghentikan pendarahan, mengurangi nyeri, dan
mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut. Imobilisasi harus mencakup
sendi diatas dan di bawah fraktur. Fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara
dengan traction splint. Traction splint menarik bagian distal dari pergelangan kaki
atau melalui kulit. Di proksimal traction splint didorong ke pangkal paha melalui
ring yang menekan bokong, perineum dan pangkal paha. Cara paling sederhana
dalam membidai tungkai yang trauma adalah dengan tungkai sebelahnya. pada
cedera lutut pemakaian long leg splint atau gips dapat membantu kenyamanan dan
stabilitas. Tungkai tidak boleh dilakukan imobilisasi dalam ekstensi penuh.
Fraktur tibia sebaiknya dilakukan imobilisasi dengan cardboard atau metal gutter,
long leg splint. jika tersedia dapat dipasang gips dengan imobilisasi meliputi
tungkai bawah, lutut, dan pergelangan kaki.
Survey Sekunder
Survey sekunder adalah pemeriksaan secara rinci, evaluasi head-to-toe untuk
mengidentifikasi semua cedera yang tidak dijumpai di primary survey. Ini
terjadi setelah survei primer selesai, jika pasien cukup stabil dan tidak
membutuhkan perawatan definitif. Pentingnya survey sekunder adalah bahwa luka

31
ringan dapat ditemukan selama survei primer dan resusitasi, tapi menyebabkan
jangka panjang morbiditas jika diabaikan, misalnya dislokasi sendi kecil.
Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal adalah
anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah mencari
cedera - cedera lain yang mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun
terlewatkan dan tidak terobati.
Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat
AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past Medical History, Last Ate
dan Event (kejadian atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting
untuk ditanyakan untuk mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki
oleh pasien, terutama jika kita masih curiga ada cedera yang belum diketahui saat
primary survey, Selain riwayat AMPLE, penting juga untuk mencari informasi
mengenai penanganan sebelum pasien sampai di rumah sakit.
Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk dievaluasi adalah
(1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi, (2) fungsi
neuromuskular (3) status sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan tulang. Cara
pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada Look, kita
menilai warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan, dan memar.
Penilaian inspeksi dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan
eksternal aktif, begitu pula dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang
pucat dan tanpa pulsasi menandakan adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas
yang bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan adanya crush injury dengan
ancaman sindroma kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kita menggunakan
palpasi untuk memeriksa daerah nyeri tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi. Pada
periksaan Move, kita memeriksa Range of Motion dan gerakan abnormal.
Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian distal dari
fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian
membandingkan sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi
mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang dapat
mendeteksi aliran darah di ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang
normal, perbedaan besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan adanya
gangguan motorik menunjukkan trauma arteri. Selain itu hematoma yang

32
membesar atau pendarahan yang memancar dari luka terbuka menunjukkan
adanya trauma arteri.
Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat cedera
muskuloskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan iskemia sel
syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja sama pasien. Setiap syaraf
perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu diperiksa secara
sistematik.
Survey Tersier
Pemeriksaan laboratorium berupa analisis Complete Blood Count (CBC), kadar
elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin, kadar glukosa), analisis gas darah,
prothrombin time, urinalisis (pada pasien yang mengalami trauma). Selain itu,
sebaiknya ditentukan golongan darah guna trnasfusi.
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk melihat lokasi fraktur tulang panjang dan
menentukan tindakan yang harus dilakukan untuk tatalaksana fraktur pada kasus.

c. Apa saja klasifikasi syok?


1. Syok hipovolemik
Syok hipovolemik adalah syok yang terjadi akibat berkurangnya atau
penurunan volume cairan dalam tubuh. Jenis syok ini adalah yang paling sering
ditemui pada penderita. Cairan yang hilang bisa bermacam-macam, seperti :
- Darah, misalnya pada perdarahan, hematoma
- Plasma, misalnya pada kasus luka bakar, keradangan
- Elektrolit (± air), seperti pada gastroentritis, ileus.
Kehilangan cairan intravaskuler bisa berupa eksogen atau endogen. Pada
kehilangan cairan yang eksogen cairan betul-betul keluar dari jaringan tubuh
seperti pada perdarahan atau kasus luka bakar. Sedangkan pada kehilangan
cairan endogen maka cairan betul-betul telah keluar dari intravaskuler tetapi
masih dalam jaringan atau rongga tubuh namun belum keluar dari tubuh
sendiri.
Penyebab syok hipovolemik yang paling umum adalah perdarahan mukosa
saluran cerna dan trauma berat. Penyebab perdarahan yang terselubung adalah

33
trauma abdomen dengan ruptur aneurisma aorta, ruptur limpa atau ileus
obstruksi dan peritonitis.
Syok hipovolemik ditandai oleh :
- Penurunan volume cairan intra vaskuler
- Penurunan tekanan vena sentral
- Hipotensi arterial
- Peningkatan tahanan vaskular sistemik
Respon jantung berupa : takikardia
2. Syok Kardiogenik
Pada syok kardiogenik secara primer yang terganggu adalah fungsi jantung
sebagai pemompa darah (Pump failure). Syok kardiogenik merupakan suatu
aliran darah ke organ vital yang tidak mencukupi disebabkan karena cardiac
output yang kurang meskipun cardiac filling pressure normal.
Penyebab terjadinya syok kardiogenik dapat dikelompokkan sebagai berikut :
- Disfungsi miokardium (gagal pompa), terutama karena komplikasi infark
myokard akut (IMA).
- Pengisian diastolik ventrikel yang tidak adekuat, antara lain takiaritmia,
tamponade jantung, pneumotoraks akibat tekanan, emboli paru, dan infark
ventrikel kanan.
- Curah jantung yang tidak adekuat antara lain bradiaritmia, regurgitasi mitral
atau ruptur septum interventrikularis.
Tanda yang terdapat pada syok kardiogenik adalah :
- Penurunan tekanan darah
- Nadi yang lambat atau cepat atau tidak beraturan
- Peningkatan CVP
- Penurunan produksi urin
- Penurunan kardiak indeks
- PaO2 Menurun
- Produksi laktat meningkat
3. Syok Obstruktif
Pada syok obstruktif ini didapatkan adanya gangguan anatomis dari aliran
darah berupa hambatan aliran darah.

34
Biasanya penyebab dari syok jenis ini adalah :
- Kompresi vena cava
- Tamponade
- Ball – valve trombus
- Emboli paru
4. Syok Distributif
Merupakan gangguan distribusi aliran darah. Ada beberapa tahapan :
- Pada stadium dini dari bakteriemia, cardiac output meningkat namun
terdapat tanda-tanda penurunan ekstraksi oksigen. Pada tahap ini terdapat
Low Resistance Defect (tahap hiperdinamik/warm shock). Pada keadaan ini
kecepatan aliran darah meningkat sehingga waktu sirkulasi menurun.
- Pada tahap lanjut, setelah pelepasan endotoksin terjadi tahap High
Resistance Defect (tahap hipodinamik/cold shock). Pada keadaan ini cardiac
output menurun, tahanan arterial perifer meningkat, sehingga kecepatan
aliran darah menurun dan waktu sirkulasi menjadi meningkat.  Pemberian
cairan dalam jumlah banyak biasanya gagal, karena pengembangan dari
system kapasitansi dan sekuestrasi cairan.
Jenis syok lainnya yang termasuk syok distributif:
 Syok Anafilaktik
Syok anafilaktik adalah reaksi anafilaksis yang disertai hipotensi dengan
atau tanpa penurunan kesadaran. Anafilaksis adalah reaksi alergi umum
dengan efek pada beberapa sistem organ terutama kardiovaskular, respirasi,
kutan dan gastro intestinal yang merupakan reaksi imunologis yang
didahului dengan terpaparnya alergen yang sebelumnya sudah tersensitisasi.
Reaksi Anafilaktoid adalah suatu reaksi anafilaksis yang terjadi tanpa
melibatkan antigen-antibodi kompleks. Karena kemiripan gejala dan tanda
biasanya diterapi sebagai anafilaksis. Anafilaksis dikelompokkan dalam
hipersensitivitas tipe 1 atau reaksi tipe segera (Immediate type reaction).
 Syok Septik
Pada umumnya penyebab syok septik adalah infeksi kuman gram negatif
yang berada dalam darah (endotoksin). Jamur dan jenis bakteri lain juga
dapat menjadi penyebab septisemia. Ada beberapa faktor predisposisi

35
terjadinya syok septik antara lain : trauma, diabetes, leukemia,
granulositopenia berat, penyakit saluran kemih, terapi kortikosteroid,
immunosupresan, atau radiasi. Faktor pencetus yang umum meliputi
tindakan bedah, manipulasi saluran kemih, saluran empedu atau ginekologi.
Syok septik dapat menimbulkan adanya penimbunan cairan di sirkulasi
mikro, pembentukan pintasan arterio-venous dan penurunan tahapan
vaskular sistemik, kebocoran kapiler secara menyeluruh, depresi fungsi
miokard, semua hal tersebut diatas menyebabkan terjadinya syok septik
yang ditandai dengan hipovolemia dan hipotensi.
 Syok Neurogenik
Syok jenis ini terjadi karena kegagalan pusat vasomotor sehingga terjadi
hipotensi dan penimbunan darah pada pembuluh tampung (capacitance
vessels). Syok neurogenik ini sangat jarang terjadi. Penyebab utamanya
adalah trauma medulla spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia (syok
spinal). Syok neurogenik menyebabkan terjadinya kegagalan pusat
pengaturan vasomotor, sehingga terjadi iskemia jaringan menyeluruh
kemudian terjadi hipotensi dan menimbulkan gejala syok.

d. Bagaimana cara menentukan derajat syok?


Sistem klasifikasi syok hemoragik berdasarkan dari American College of Surgeon
Committee on Trauma dibagi menjadi 4 kelas. Sistem ini berguna untuk
memastikan tanda-tanda dini keadaan syok.

36
Gambar 14. Derajat syok hemoragik

e. Apa diagnosis kerja pada kasus?


Syok hemoragik disertai cedera kepala sedang, trauma tumpul abdomen, fraktur
terbuka os humerus sinistra, fraktur terbuka os femur sinistra, dan fraktur terbuka
os cruris sinistra.

f. Apa pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada kasus?


Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan pada kasus tuan X;
 X-ray atau foto rontgen  untuk menilai luka fraktur pada tuan X
 Complete Blood Count (CBC), mungkin terjadi penurunan hemoglobin,
hematokrit dan platelet.
 Blood Urea Nitrogen (BUN), mungkin meningkat menandakan adanya
disfungsi ginjal.
 Kadar elektrolit dalam serum mungkin menunjukkan abnormalitas.
 Produksi urin, mungkin <400ml/hari atau tidak ada sama sekali
 Pulse oximetry, mungkin menunjukkan penurunan saturasi oksigen
 AGDA, mungkin mengidentifikasikan adanya asidosis metabolik
 Tes koagulasi, menunjukkan pemanjangan PT dan APTT

g. Bagaimana tatalaksana awal syok pada kasus?

37
 Langkah awal dalam mengelola syok pada penderita trauma adalah mengetahui
tanda-tanda klinisnya. Tidak ada tes laboratorium yang dapat mendiagnosis
syok. Diagnosis awal didasarkan pada gejala dan tanda yang timbul akibat dari
perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Definisi syok
sebagai ketidak-normalan dari sistem peredaran darah yang mengakibatkan
perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat juga menjadi
perangkat untuk diagnosis dan terapi.
 Langkah kedua dalam pengelolaan awal terhadap syok adalah mencari
penyebab syok, yang untuk penderita trauma berhubungan dengan mekanisme
cedera. Kebanyakan penderita trauma akan mengalami syok hipovolemik.
 Dokter yang bertanggung jawab terhadap penatalaksanaan penderita harus
mulai dengan mengenal adanya syok. Terapi harus dimulai sambil mencari
kemungkinan penyebab dari keadaan syok tersebut.
 Diagnosis dan terapi syok harus dilakukan secara simultan. Untuk hampir
semua penderita trauma, penanganan dilakukan seolah – olah penderita
menderita syok hipovolemik, kecuali bila ada bukti jelas bahwa keadaan syok
disebabkan oleh suatu etiologi yang bukan hipovolemia. Prinsip pengelolaan
dasar yang harus dipegang ialah menghentingan perdarahan dan mengganti
kehilangan volume.

38
Gambar 15. Algoritma penatalaksanaan syok hemoragik

h. Bagaimana tatalaksana lanjutan pada kasus?


Pada kasus kita harus pertimbangkan melakukan foto rontgen cervikal, thorak
pelvis, dan melakukan pemeriksaan USG atau DPL. Kalau terbukti ada ruptur
hepar maka dilakukan laparatomi.
Untuk fraktur humerus, femur, dan cruris yang sudah terbukti mngalami fraktur
terbuka maka indikasi untuk dilakukan operasi.
Semua fraktur terbuka, tidak peduli seberapa ringannya, harus dianggap
terkontaminasi, penting untuk mencoba mencegahnya infeksi. Untuk tujuan ini,
perlu diperhatikan empat hal yang penting :
1. Pembalutan luka dengan segera.
2. Profilaksis antibiotika.
3. Debridement luka secara dini.
4. Stabilisasi fraktur.

39
i. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada kasus?
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus ini diantaranya adalah:
1. Kegagalan multi organ akibat penurunan aliran darah dan hipoksia jaringan
yang berkepanjangan.
2. Sindrom distress pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan alveolus
kapiler karena hipoksia.
3. DIC (Koagulasi intravascular diseminata) akibat hipoksia dan kematian
jaringan yang luas sehingga terjadi pengaktifan berlebihan jenjang koagulasi.
Beberapa kondisi kegawatdaruratan yang berkaitan dengan fraktur yang
mengancam nyawa
1. Pendarahan Arteri Besar
Trauma tajam maupun tumpul yang merusak sendi atau tulang di dekat arteri
mampu menghasilkan trauma arteri. Cedera ini dapat menimbulkan pendarahan
besar pada luka terbuka atau pendarahan di dalam jaringan lunak. Ekstrimitas
yang dingin, pucat, dan menghilangnya pulsasi ekstremitas menunjukkan
gangguan aliran darah arteri. Hematoma yang membesar dengan cepat,
menunjukkan adanya trauma vaskular. Cedera ini menjadi berbahaya apabila
kondisi hemodinamik pasien tidak stabil. Jika dicurigai adanya trauma arteri
besar maka harus dikonsultasikan segera ke dokter spesialis bedah.
Pengelolaan pendarahan arteri besar berupa tekanan langsung dan resusitasi
cairan yang agresif. Syok dapat terjadi akibat kurangnya volume darah akibat
pendarahan yang masif.
2. Crush Syndrome
Crush Syndrome atau Rhabdomyolysis adalah keadaan klinis yang disebabkan
oleh kerusakan otot, yang jika tidak ditangani akan menyebabkan kegagalan
ginjal akut. Kondisi ini terjadi akibat crush injury pada massa sejumlah otot,
yang tersering adalah paha dan betis. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan
perfusi otot, iskemia, dan pelepasan mioglobin.
Patofisiologi crush syndrome dimulai dari adanya trauma ataupun etiologi lain
yang menyebabkan iskemia pada otot. Trauma otot yang luas seperti pada paha
dan tungkai oleh trauma tumpul merupakan salah satu penyebab tersering pada
crush syndrome. Crush syndrome biasanya sering terjadi saat bencana seperti

40
gempa bumi, teror bom dan lain-lain dimana otot dan bagian tubuh remuk
tertimpa oleh benda yang berat. Pada keadaan normalnya kadar myoglobin
plasma adalah sangat rendah (0 to 0.003 mg per dl). Apabila lebih dari 100
gram otot skeletal telah rusak, kadar myoglobin melebihi kemampuan
pengikatan myoglobin dan akan mengganggu filtrasi glomerulus, menimbulkan
obstruksi pada tubulus ginjal dan menyebabkan gagal ginjal. Gejala yang
timbul oleh crush syndrome adalah rasa nyeri, kaku, kram, dan pembengkakan
pada otot yang terkena, diikuti oleh kelemahan serta kehilangan fungsi otot
tersebut. Urin yang berwarna seperti teh adalah gejala yang cukup khas karena
dalam urin terdapat myoglobin. Mendiagnosis crush syndrome sering
terlewatkan saat penyakit ini tidak dicurigai dari awal. Adapun komplikasinya
adalah hipovolemi, asidosis metabolik, hiperkalemia, Gagal Ginjal akut, dan
DIC (Disseminated Intravascular Coagulation).
3. Sindroma Kompartemen
Sindroma kompartemen dapat ditemukan pada tempat di mana otot dibatasi
oleh rongga fasia yang tertutup. Perlu diketahui bahwa kulit juga berfungsi
sebagai lapisan penahan. Daerah yang sering terkena adalah tungkai bawah,
lengan bawah, kaki, tangan, region glutea, dan paha. Iskemia dapat terjadi
karena peningkatan isi kompartemen akibat edema yang timbul akibat
revaskularisasi sekunder dari ekstrimitas yang iskemi atau karena penyusutan
isi kompartemen yang disebabkan tekanan dari luar misalkan balutan yang
menekan.
Gejala dan tanda-tanda sindroma kompartemen adalah:
 Nyeri bertambah dan khususnya meningkat dengan gerakan pasif yang
meregangkan otot bersangkutan
 Parestesia daerah distribusi saraf perifer yang terkena, menurunnya sensasi
atau hilangnya fungsi dari saraf yang melewati kompartemen tersebut.
 Asimetris pada daerah kompartemen
Kelumpuhan atau parese otot dan hilangnya pulsasi (disebabkan tekanan
kompartemen melebihi tekanan sistolik) merupakan tingkat lanjut dari
sindroma kompartemen. Diagnosis klinik didasari oleh riwayat trauma dan
pemeriksaan fisik.

41
Tekanan intra kompartemen melebihi 35 – 45 mmHg menyebabkan penurunan
aliran kapiler dan menimbulkankerusakan otot dan saraf karena anoksia.
Pengelolaan sindroma kompartemen meliputi pembukaan semua balutan yang
menekan, gips, dan bidai. Pasien harus diawasi dan diperiksa setiap 30 – 60
menit. Jika tidak terdapat perbaikan, perlu dilakukan fasciotomi.

j. Bagaimana prognosis pasien pada kasus?


Prognosis pada kasus ini adalah dubia, bergantung tatalaksana yang cepat dan
sesuai dengan derajat kehilangan darah pada kasus Tn. X. Jika penanganan yang
terlambat dapat mengakibatkan adanya banyak gejala-gejala yang dapat
megakibatkan terjadinya penurunan cairan plasma dalam tubuh yang dapat
mengakibatkan kematian.

k. Apa SKDI untuk kasus?


SKDI: 3B
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan- pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter misalnya
pemeriksaan laboratorium atau x-ray. Dokter dapat memutuskan dan memberi
terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan (kasus gawat darurat).

Gambar 16. SKDI

42
IV. Learning Issue
1. Fraktur
1.1 Pengertian Fraktur
Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi disintegritas tulang, penyebab
terbanyak adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses degeneratif
juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur.
Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang berupa retakan,
pengisutan ataupun patahan yang lengkap dengan fragmen tulang bergeser.

1.2 Klasifikasi Fraktur


Fraktur dapat dibedakan jenisnya berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan
disekitar, bentuk patahan tulang, dan lokasi pada tulang fisis.
Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar
Fraktur dapat dibagi menjadi :
a) Fraktur tertutup (closed),bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar.
b) Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka
terbagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo), yaitu:
1. Derajat I :
i. Luka <1 cm
ii. Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
iii. Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kominutif ringan
iv. Kontaminasi minimal
2. Derajat II :
i. Laserasi >1 cm
ii. Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi
iii. Fraktur kominutif sedang
iv. Kontaminasi sedang
3. Derajat III :

43
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur
kulit, otot, dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur terbuka
derajat III terbagi atas:
i. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat
laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur segmental/sangat kominutif yang
disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran
luka.
ii. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau
kontaminasi masif.
iii. Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa
melihat kerusakan jaringan lunak.

Gambar 17. Fraktur berdasarkan hubungan tulang

Berdasarkan bentuk patahan tulang


a) Transversal
Adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang
tulang atau bentuknya melintang dari tulang. Fraktur semacam ini biasanya
mudah dikontrol dengan pembidaian gips.
b) Spiral
Adalah fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul akibat torsi
ekstremitas atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini hanya menimbulkan sedikit
kerusakan jaringan lunak.

44
c) Oblik
Adalah fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana garis patahnya
membentuk sudut terhadap tulang.
d) Segmental
Adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen tulang yang
retak dan ada yang terlepas menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari
suplai darah.
e) Kominuta
Adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau terputusnya keutuhan
jaringan dengan lebih dari dua fragmen tulang.
f) Greenstick
Adalah fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak lengkap dimana
korteks tulang sebagian masih utuh demikian juga periosterum. Fraktur jenis
ini sering terjadi pada anak – anak.
g) Fraktur Impaksi
Adalah fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga yang
berada diantaranya, seperti pada satu vertebra dengan dua vertebra lainnya.
h) Fraktur Fissura
Adalah fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang yang berarti,
fragmen biasanya tetap di tempatnya setelah tindakan reduksi.

Gambar 18. Fraktur berdasarkan bentuk patahan tulang

45
1.3 Fraktur Terbuka
Definisi Fraktur Terbuka
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan.
Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma
tidak langsung. Dimana trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada
tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Trauma tidak langsung, apabila
trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh
dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula, pada keadaan
ini biasanya jaringan lunak tetap utuh (Sjamsuhidajat, 2005).
Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan
lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri sehingga timbul
komplikasi berupa infeksi. luka pada kulit dapat berupa tusukan tulang yang tajam
keluar menembus kulit atau dari luar oleh karena tertembus misalnya oleh peluru
atau trauma langsung (chairuddin rasjad,2008).
Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan
penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko infeksi. selain mencegah
infeksi juga diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota
gerak. beberapa hal yang penting untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur
terbuka yaitu operasi yang dilakukan dengan segera, secara hati-hati, debrideman
yang berulang-ulang, stabilisasi fraktur, penutupan kulit dan bone grafting yang
dini serta pemberian antibiotik yang adekuat (chairuddin rasjad,2008). Patah tulang
terbuka adalah patah tulang dimana fragmen tulang yang bersangkutan sedang atau
pernah berhubungan dunia luar (PDT ortopedi,2008)

Etiologi dan Patofisiologi Fraktur Terbuka


Penyebab dari Fraktur terbuka adalah Trauma langsung: benturan pada
tulang dan mengakibatkan fraktur pada tempat itu Trauma tidak langsung: bilamana
titik tumpul benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan. Sedangkan hubungan
dengan dunia luar dapat terjadi karena penyebab rudapaksa merusak kulit, jaringan
lunak dan tulang atau fragmen tulang merusak jaringan lunak dan menembus kulit.

46
Klasifikasi Fraktur Terbuka
Klasifikasi yang dianut adalah menurut Gustilo, Merkow dan Templeman (1990)
TIPE 1  Luka kecil kurang dr 1cm panjangnya, biasanya karena luka tusukan dari
fragmen tulang yang menembus kulit. terdapat sedikit kerusakan jaringan dan tidak
terdapat tanda2 trauma yang hebat pada jaringan lunak. fraktur yang terjadi
biasanya bersifat simple, transversal, oblik pendek atau sedikit komunitif.
TIPE 2  Laserasi kulit melebihi 1cm tetapi tidak ada kerusakan jaringan yang
hebat atau avulsi kulit. terdapat kerusakan yang sedang dari jaringan dengan sedikit
kontaminasi fraktur.
TIPE 3  Terdapat kerusakan yang hebat dari jaringan lunak termasuk otot, kulit
dan struktur neurovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. tipe ini biasanya di
sebabkan oleh karena trauma dengan kecepatan tinggi. Tipe 3 di bagi dalam 3
subtipe:
 TIPE 3 a  Jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah walaupun terdapat
laserasi yang hebat ataupun adanya flap. fraktur bersifat segmental atau
komunitif yang hebat.
 TIPE 3 b  Fraktur di sertai dengan trauma yang hebat dengan kerusakan dan
kehilangan jaringan, terdapat pendorongan periost, tulang terbuka, kontaminasi
yang hebatserta fraktur komunitif yang hebat.
 TIPE 3 c  Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan arteri yang
memerlukan perbaikan tanpa memperhatikan tingkat kerusakan jaringan lunak.

Diagnosis Fraktur Terbuka


Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik
yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk
menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat, karena
fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi pada
daerah lain.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia atau perdarahan

47
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau
organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen
3. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis
Pemeriksaan lokal
1. Inspeksi (Look)
 Bandingkan dengan bagian yang sehat
 Perhatikan posisi anggota gerak
 Keadaan umum penderita secara keseluruhan
 Ekspresi wajah karena nyeri
 Lidah kering atau basah
 Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan
 Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan
fraktur tertutup atau fraktur terbuka
 Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari
 Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
 Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organlain
 Perhatikan kondisi mental penderita
 Keadaan vaskularisasi
2. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh
sangat nyeri.
 Temperatur setempat yang meningkat
 Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
 Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-
hati
 Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis,
arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang
terkena
 Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah
trauma , temperatur kulit

48
 Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya
perbedaan panjang tungkai
3. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan
pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada
pederita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga
uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
4. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan motoris
serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia, aksonotmesis atau
neurotmesis. Kelaianan saraf yang didapatkan harus dicatat dengan baik karena
dapat menimbulkan masalah asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta
merupakan patokan untuk pengobatan selanjutnya.
5. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta
ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan jaringan lunak
selanjutnya, maka sebaliknya kita mempergunakan bidai yang bersifat
radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan
radiologis.

Penatalaksanaan Fraktur Terbuka


1. obati fraktur terbuka sebagai satu kegawatan.
2. adakan evaluasi awal dan diagnosis akan adanya kelainan yang dapat
menyebabkan kematian.
3. berikan antibiotic dalam ruang gawat darurat, di kamar operasi dan setelah
operasi.
4. segera dilakukan debrideman dan irigasi yang baik
5. ulangi debrideman 24-72 jam berikutnya
6. stabilisasi fraktur.
7. biarkan luka tebuka antara 5-7 hari
8. lakukan bone graft autogenous secepatnya

49
9. rehabilitasi anggota gerak yang terkena
Tahap-Tahap Pengobatan Fraktur Terbuka
1. pembersihan luka
pembersihan luka dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCl fisiologis
secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat.
2. eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debridemen)
semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya merupakan daerah tempat
pembenihan bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi pada kulit,
jaringan subkutaneus, lemak, fascia, otot dan fragmen2 yang lepas
3. pengobatan fraktur itu sendiri
fraktur dengan luka yang hebat memerlukan suatu fraksi skeletal atau reduksi
terbuka dengan fiksasi eksterna tulang. fraktur grade II dan III sebaiknya
difiksasi dengan fiksasi eksterna.
4. penutupan kulit
apabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas (6-7 jam mulai dari
terjadinya kecelakaan), maka sebaiknya kulit ditutup. hal ini dilakukan apabila
penutupan membuat kulit sangat tegang. dapat dilakukan split thickness skin-
graft serta pemasangan drainase isap untuk mencegah akumulasi darah dan
serum pada luka yang dalam. luka dapat dibiarkan terbuka setelah beberapa hari
tapi tidak lebih dari 10 hari. kulit dapat ditutup kembali disebut delayed primary
closure. yang perlu mendapat perhatian adalah penutupan kulit tidak dipaksakan
yang mengakibatkan sehingga kulit menjadi tegang.
5. pemberian antibiotic
pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. antibiotik diberikan
dalam dosis yang adekuat sebelum, pada saat dan sesuadah tindakan operasi
6. pencegahan tetanus
semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan tetanus.
pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan pemberian
toksoid tapi bagi yang belum, dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin
(manusia)

Komplikasi Fraktur Terbuka

50
1. perdarahan, syok septik sampai kematian
2. septikemi, toksemia oleh karena infeksi piogenik
3. tetanus
4. gangrene
5. perdarahan sekunder
6. osteomielitis kronik
7. delayed union
8. non union dan malunion
9. kekakuan sendi
10. Komplikasi lain oleh karena perawatan yang lama

Prognosis Fraktur Terbuka


Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat. Dengan terbukanya
barier jaringan lunak, maka patah tulang tersebut terancam untuk terjadinya infeksi.
Seperti kita ketahui bahwa periode 6 jam sejak patah tulang terbuka, luka yang
terjadi masih dalam stadium kontaminasi (golden periode) dan setelah waktu
tersebut, luka berubah menjadi luka infeksi.
Oleh karena itu penanganan patah tulang terbuka harus dilakukan sebelum
golden periode terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah tulang terbuka
tercapai walaupun ditinjau dari segi prioritas penanganannya, tulang secara primer
menempati urutan prioritas ke 6.

2. Syok Hipovolemik/Hemoragik
2.1 Pendahuluan
Syok hipovolemik adalah syok yang terjadi akibat berkurangnya atau
penurunan volume cairan dalam tubuh. Jenis syok ini adalah yang paling sering
ditemui pada penderita. Cairan yang hilang bisa bermacam-macam, seperti :
- Darah, misalnya pada perdarahan, hematoma
- Plasma, misalnya pada kasus luka bakar, keradangan
- Elektrolit (± air), seperti pada gastroentritis, ileus.

51
Kehilangan cairan intravaskuler bisa berupa eksogen atau endogen. Pada
kehilangan cairan yang eksogen cairan betul-betul keluar dari jaringan tubuh
seperti pada perdarahan atau kasus luka bakar. Sedangkan pada kehilangan
cairan endogen maka cairan betul-betul telah keluar dari intravaskuler tetapi
masih dalam jaringan atau rongga tubuh namun belum keluar dari tubuh sendiri.
Penyebab syok hipovolemik yang paling umum adalah perdarahan mukosa
saluran cerna dan trauma berat. Penyebab perdarahan yang terselubung adalah
trauma abdomen dengan ruptur aneurisma aorta, ruptur limpa atau ileus
obstruksi dan peritonitis.
Syok hipovolemik ditandai oleh :
- Penurunan volume cairan intra vaskuler
- Penurunan tekanan vena sentral
- Hipotensi arterial
- Peningkatan tahanan vaskular sistemik

2.2 Patofisiologi
Respon dini terhadap kehilangan darah adalah mekanisme kompensasi tubuh
yang berupa vasokonstriksi di kulit, otot, dan sirkulasi viseral untuk menjaga aliran
darah yang cukup ke ginjal, jantung, dan otak. Respon terhadap berkurangnya
volume sirkulasi akut yang berkaitan dengan trauma adalah peningkatan detak
jantung sebagai usaha untuk menjaga cardiac output. Dalam banyak kasus,
takikardi adalah tanda syok paling awal yang dapat diukur.
Pelepasan katekolamin endogen akan meningkatkan tahanan vaskular perifer.
Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan menurunkan tekanan nadi
tetapi hanya sedikit meningkatkan perfusi organ. Hormon-hormon lainnya yang
bersifat vasoaktif dilepaskan ke sirkulasi selama kondisi syok, termasuk histamin,
bradikinin, dan sejumlah prostanoid dan sitokin-sitokin lainnya. Substansi-substansi
ini mempunyai pengaruh besar terhadap mikrosirkulasi dan permeabilitas vaskular.
Pada syok perdarahan yang dini, mekanisme pengembalian darah vena dilakukan
dengan mekanisme kompensasi dari kontraksi volume darah dalam sistem vena
yang tidak berperan dalam pengaturan tekanan vena sistemik. Namun kompensasi

52
mekanisme ini terbatas. Metode yang paling efektif dalam mengembalikan cardiac
output dan perfusi end-organ adalah dengan menambah volume cairan tubuh/darah.
Pada tingkat selular, sel-sel dengan perfusi dan oksigenasi yang tidak memadai
mengalami kekurangan substrat esensial yang diperlukan untuk proses metabolisme
aerobik normal dan produksi energi. Pada tahap awal, terjadi kompensasi dengan
proses pergantian menjadi metabolisme anaerobik yang mengakibatkan
pembentukan asam laktat dan berkembang menjadi asidosis metabolik. Bila syok
berkepanjangan dan pengaliran substrat esensial untuk pembentukan ATP tidak
memadai, maka membran sel akan kehilangan kemampuan untuk mempertahankan
kekuatannya dan gradien elektrik normal pun akan hilang.
Pembengkakan retikulum endoplasma adalah tanda struktural pertama dari
hipoksia seluler, menyusul segera kerusakan mitokondria, robeknya lisosom, dan
lepasnya enzim-enzim yang mencerna elemen-elemen struktur intraseluler lainnya.
Natrium dan air masuk ke dalam sel dan terjadilah pembengkakan sel.
Penumpukan kalium intraseluler juga terjadi. Bila proses ini tidak membaik, maka
akan terjadi kerusakan seluler yang progresif, penambahan pembengkakan jaringan,
dan kematian sel. Proses ini meningkatkan dampak kehilangan darah dan
hipoperfusi jaringan.

2.3 Diagnosis
Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat
nonperdarahan serta perdarahan adalah sama meskipun ada sedikit perbedaan
dalam kecepatan timbulnya syok. Gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum
terlihat jika kekurangan darah kurang dari 10% dari total volume darah karena pada
saat ini masih dapat dikompensasi oleh tubuh. Bila perdarahan terus berlangsung
maka tubuh tidak mampu lagi mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-gejala
klinis. Secara umum, syok hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan frekuensi
jantung dan nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor
yang jelek, ujung-ujung ekstremitas dingin, dan pengisian kapiler lambat.
Keparahan dari syok hipovolemik tidak hanya tergantung pada jumlah kehilangan
volume dan kecepatan kehilangan volume, tetapi juga usia dan status kesehatan
individu sebelumnya. Secara klinis, syok hipovolemik diklasifikasikan menjadi

53
ringan, sedang dan berat. Pada syok ringan, yaitu kehilangan volume darah 20%,
vasokonstriksi dimulai dan distribusi aliran darah mulai terhambat. Pada syok
sedang, yaitu kehilangan volume darah 20-40%, terjadi penurunan perfusi ke
beberapa organ seperti ginjal, limpa, dan pankreas. Pada syok berat, dengan
kehilangan volume darah lebih dari 40%, terjadi penurunan perfusi ke otak dan
jantung.

2.4 Tatalaksana
Penatalaksanaan awal pada syok hipovolemik meliputi penilaian ABC, yaitu
pada airway dan breathing, pastikan jalan napas paten dengan ventilasi dan
oksigenasi yang adekuat. Pemberian oksigen tambahan dapat diberikan untuk
mempertahankan saturasi oksigen di atas 95%. Pada circulation, hal utama yang
perlu diperhatikan adalah kontrol perdarahan yang terlihat, lakukan akses intravena,
dan nilai perfusi jaringan.
Akses intravena dilakukan dengan memasang 2 kateter intravena ukuran besar
(minimal nomor 16) pada vena perifer. Lokasi terbaik untuk intravena perifer pada
orang dewasa adalah vena di lengan bawah atau kubiti. Namun, bila keadaan tidak
memungkinkan pada pembuluh darah perifer, maka dapat digunakan pembuluh
darah sentral. Bila kaketer intravena sudah terpasang, contoh darah diambil untuk
pemeriksaan golongan darah dan crossmatch, pemeriksaan laboratorium yang
sesuai, dan tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Setelah akses intravena
terpasang, selanjutnya dilakukan resusitasi cairan. Tujuan resusitasi cairan adalah
untuk mengganti volume darah yang hilang dan mengembalikan perfusi organ.
Tahap awal terapi dilakukan dengan memberikan bolus cairan secepatnya. Dosis
umumnya 1-2 liter untuk dewasa. Cairan resusitasi yang digunakan adalah cairan
isotonik NaCl 0,9% atau Ringer Laktat. Pemberian cairan terus dilanjutkan
bersamaan dengan pemantauan tanda vital dan hemodinamik.
Jumlah darah dan cairan yang diperlukan untuk resusitasi sulit diprediksi dalam
evaluasi awal pasien. Adalah sangat penting untuk menilai respon pasien terhadap
resusitasi cairan dengan adanya bukti perfusi dan oksigenasi yang adekuat, yaitu
produksi urin, tingkat kesadaran, dan perfusi perifer serta kembalinya tekanan darah
yang normal. Jika setelah pemberian cairan tidak terjadi perbaikan tanda-tanda

54
hemodinamik, maka dapat dipersiapkan untuk memberi transfusi darah (Harisman,
2013). Tujuan utama transfusi darah adalah untuk mengembalikan kapasitas angkut
oksigen di dalam intravaskular. Untuk melakukan transfusi, harus didasari dengan
jumlah kehilangan perdarahan, kemampuan kompensasi pasien, dan ketersediaan
darah. Jika pasien sampai di IGD dengan derajat syok yang berat dan golongan
darah spesifik tidak tersedia, maka dapat diberikan tranfusi darah dengan golongan
O. Golongan darah spesifik biasanya dapat tersedia dalam waktu 10-15 menit.
Evaluasi harus dilakukan untuk melihat perbaikan pasien syok hipovolemik.
Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif dari perfusi ginjal
karena menandakan aliran darah ke ginjal yang adekuat. Jumlah produksi urin yang
normal sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa. Defisit basa juga dapat
digunakan untuk evaluasi resusitasi, prediksi morbiditas serta mortalitas pada
pasien syok hipovolemik.

55
V. Kerangka Konsep
TUAN X, usia 27 tahun mengalami
kecelakaan lalu lintas

TUAN X, usia 27 tahun mengalami


kecelakaan lalu lintas

Dihantar ke rumah sakit tipe A

Mengalami Multiple Trauma

Trauma tumpul Trauma tajam

Trauma Kepala Trauma Abdomen Trauma Ektremitas:


Kanan atas Fraktur terbuka
Os humerus sinistra
Os femur sinistra
Penurunan GCS Perdarahan Os Kruris sinistra
Intraabdomen Dan perdarahan aktif

Jejas Abdomen
Volume darah menurun
Kanan atas

Syok hemoragik
Penurunan kesadaran Cardiac output menurun kelas III

Metabolisme Sel Aliran darah ke Kontraksi otot Kompensasi Kebutuhan


menurun perifer menurun jantung melemah pembuluh darah oksigen ke
mengalami organ dan
kontraksi kapiler
Suhu 145x/menit meningkat
CRT Penurunan
tubuh Akral dingin
memanjang tekanan
menurun dan lembab
>4 detik darah Takikardi RR
meningkat

Hipotensi

56
VI. Sintesis
Tuan X, kisaran usia 27 tahun, mengalami kecelakaan lalu lintas karena
mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi dan menabrak tiang listrik lalu
terpelanting serta membentur trotoar. Baju dan celana pasien basah karena darah
menandakan adanya perdarahan masif yang mengakibatkan Tuan X mengalami
syok hemoragik derajat III. Sistem klasifikasi syok hemoragik berdasarkan dari
American College of Surgeon Committee on Trauma dibagi menjadi 4 kelas. Sistem
ini berguna untuk memastikan tanda-tanda dini keadaan syok.

Pada saat kecelakaan Tuan X tidak memakai helm atau pelindung kepala yang
mengakibatkan Tuan X mengalami cedera kepala. Didapatkan dari hasil
pemeriksaan AVPU, Tuan X response to verbal yang menandakan adanya
penurunan kesadaran. Sedangkan dari pemeriksaan GCS, didapatkan skor 13 yang
menandakan adanya cedera kepala ringan.
Saat dilakukan survey primer, tidak didapatkan gangguan jalan napas karena
Tuan X bersuara saat dipanggil, namun didapatkan aroma napas alkohol yang
bermakna bahwa sebelumnya Tuan X mengonsumsi alkohol. Alkohol mengganggu
pengaturan eksitasi atau inhibisi di otak, sehingga mengkonsumsi alkohol dapat
mengakibatkan terjadinya disinhibisi, ataksia dan sedasi. Efek-efek sedasi inilah
yang meningkatkan kejadian kecelakaan lalu lintas seperti pada kasus. Terdapat
tanda kompensasi akibat syok hemoragik yaitu meningkatnya frekuensi napas dan
peningkatan nadi. Baroreseptor mendapat rangsangan dari perubahan tegangan

57
dalam pembuluh darah akibat volume darah yang berkurang. Bila terjadi penurunan
tekanan darah, maka rangsangan terhadap baroreseptor akan menurun, sehingga
rangsangan yang dikirim baroreseptor ke pusat juga akan berkurang. Kemudian
terjadi penurunan rangsangan terhadap cardio inhibitory centre dan hambatan
terhadap pusat vasomotor. Akibat dari kedua hal tersebut, maka akan terjadi
vasokonstriksi dan takikardi. Baroreseptor ini terdapat di sinus caroticus, arcus
aorta, atrium dexta et sinistra, ventrikel sinistra, dan dalam sirkulsi paru.
Baroreseptor sinus caroticus merupakan baroreseptor yang paling berperan dalam
pengaturan tekanan darah. Bila aliran darah ke otak menurun sampai <40mmHg,
maka akan terjadi symphathetic discharge massive. Respon dari reseptor di otak ini
lebih kuat darirespon perifer.

Pada kasus, saturasi oksigen perifer pasien saat bernafas dengan udara bebas
adalah 95% yang berarti perfusi oksigen pasien sedikit menurun karena volume
darah berkurang sehingga oksigen yang dialirkan juga berkurang. Gerakan thorax
statis dan dinamis menandakan tidak ada gangguan pada rongga thorax, tidak
ditemukan fraktur costae ataupun trauma pada dinding thorax yang dapat
mengakibatkan gangguan respirasi. Pada auskultasi paru: vesikuler (+) normal,
tidak ada ronkhi, tidak ada wheezing menandakan tidak adanya penyempitan jalan
napas akibat bronkokontriksi, edema, maupun adanya benda asing yang masuk
yang dapat menghalangi jalan napas.
Peningkatan laju jantung dan kontraktilitas pada kasus adalah respons
homeostasis saat terjadi hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke

58
mikrosirkulasi berfungsi mengurangi asidosis jaringan. Terjadinya perdarahan
yang cukup berat pada Tn. X menyebabkan pasokan aliran darah berkurang
mengakibatkan denyut nadi pasien lebih cepat dari biasanya. Isi dan tegangan
kurang akibat perdarahan → hipovolemia yang disebabkan fraktur terbuka.
Syok hemoragik yang dialami Tuan X, mengakibatkan terjadinya penurunan
tekanan darah baik sistol maupun diastol. Penurunan tekanan darah sistolik lebih
lambat terjadi karena adanya mekanisme kompensasi tubuh terhadap terjadinya
hipovolemia. Pada awal-awal terjadinya kehilangan darah, terjadi respon sistem
saraf simpatis yang mengakibatkan peningkatan kontraktilitas dan frekuensi
jantung. Dengan demikian, pada tahap awal syok hemoragik, tekanan darah
sistolik dapat dipertahankan. Pada fase dekompensasi, metabolisme anaerob
sudah mulai terjadi dan semakin meningkat. Akibatnya sistem kompensasi yang
terjadi sudah tidak lagi efektif untuk meningkatkan kerja jantung. Produksi asam
laktat meningkat, produksi asam karbonat intraseluler juga meningkat sehingga
terjadi asidosis metabolik. Membran sel terganggu, akhirnya terjadi kematian sel.
Terjadi juga pelepasan mediator inflamasi seperti TNF. Akhirnya sistem vaskular
mulai tidak dapat mempertahankan vasokonstriksi. Sehingga terjadi vasodilatasi
yang menyebabkan tekanan darah turun dibawah nilai normal dan jarak sistol-
diastol menyempit.
Akral dingin lembab dan pucat menandakan adanya aliran (perfusi) darah ke
bagian perifer tubuh (ujung tangan dan kaki) berkurang atau disebut hipoperfusi.
Syok hipovolemi (hemoragik) pada pasien menyebabkan hipoksia sehingga
pembuluh darah perifer bervasokonstriksi untuk mempertahankan aliran darah di
organ vital, yaitu otak. CRT memanjang (> 2 detik) terjadi akibat adanya
gangguan perfusi (aliran darah) ke jaringan perifer. Perdarahan massif
mengakibatkan timbulnya respon stress berupa vasokonstriksi mengakibatkan
penurunan pelepasan panas dari pembuluh darah sehingga terjadi penurunan suhu
pada Tuan X.
Adanya jejas menandakan telah terjadinya trauma benda tumpul. Jejas
biasanya berupa memar, perubahan warna, dan perubahan structural yang tampak
secara kasat mata. Regio abdomen kanan atas sebagian besar diisi oleh hepar.
Tumbukan benda tumpul menyebabkan gaya yang dihantarkan melalui jaringan

59
kulit dan otot abdomen ke organ internal. Akibat energi tersebut, jaringan organ
yang terkena mengalami kerusakan, contohnya pembuluh darah organ. Trauma
pada abdomen dapat menyebabkan perdarahan intraabdomen yang semakin
memperberat keadaan hipovolemik Tn.X.
Fragmen-fragmen patahan tulang berpotensi merobek arteri arteri kecil
maupun besar disekitar tulang. Pada paha, arteri besar yang besar kemungkinan
rupture adalah arteri femoralis yang terletak di bagian depan os femur. Arteri ini
terletak superficial, sangat rentan cedera dan dapat menyebabkan kehilangan
darah yang sangat cepat. Pada tungkai bawah, arteri besar yang besar
kemungkinan rupture adalah arteri tibialis anterior atau posterior yang terletak di
permukaan depan dan belakang os tibia. Perdarahan yang terjadi menyebabkan
berkurangnya volume darah di sirkulasi yang kemudian membuat pasien jatuh
dalam keadaan syok hemoragik.
Imobilisasi pada kasus Tn X:
6) Immobilisasi bagian tubuh yang mengalami dan bila dicurigai adanya fraktur
sebelum pasien dipindahkan.
7) Pasang bidai untuk mengurangi nyeri gerakan fragmen tulang dan sendi
sekitar fraktur.
8) Pikirkan bidai sementara dengan bantalan yang memadai yang kemudian
dibebat dengan kencang. Immobilisasi ekstremitas bawah dapat dilakukan
dengan membabat kedua tungkai bersamaan, dengan ekstremitas yang sehat
bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Peredaran distal harus
dikaji untuk menentukan kecukupan perfusi jaringan perifer.

60
9) Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan kasa steril, jangan lakukan reduksi
fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka, pasang
bidai.
10) Di UGD pasien dievaluasi dengan lengkap, ekstremitas yang cedera jangan
digerakkan.
Setibanya di UGD, pastikan Tn. X mengalami syok dengan pemeriksaan
klinis. Berdasarkan pemeriksaan klinis yang didapat RR 32 x/menit, Nadi 145
x/menit (isi dan tegangan kurang), TD 70/50 mmHg, urin output inisial 100 cc
(warna kuning pekat), CRT (capillary refill time) 4 detik, akral dingin lembab
pucat, dan temperatur 35,50C atau hipotermia ringan disertai bukti perdarahan
yang jelas berupa fraktur terbuka os humerus sinistra dan os femur sinistra dengan
perdarahan aktif. Hasil pemeriksaan klinis tersebut menunjukkan Tn. X
mengalami syok hipovolemia berat dengan >40% volume darah berkurang atau
hilang akibat perdarahan.
Manajemen syok hipovolemik pada Tn. X harus dilakukan simultan antara
stabilisasi ABC dan mengatasi sumber perdarahan. Penanganan di UGD terdapat
tiga objektif yang ingin dicapai di UGD pada pasien syok hipovolemik yakni (1)
memaksimalkan pemberian oksigen-lengkap dengan memastikan pemberian
ventilasi yang adekuat, meningkatkan saturasi oksigen ke dalam darah dan
mengembalikan aliran darah, (2) mengontrol perdarahan lanjut, dan (3) pemberian
resusitasi cairan. Selain itu, desposisi pasien haruslah ditentukan secara cepat dan
tepat. Manajemen syok hipovolemik:
1) Pastikan jalan napas dan pernapasan dalam kondisi baik (PaO2 >80 mmHg)
2) Tempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi dan lakukan resusitasi cairan
segera melalui akses intravena, atau katater vena sentral, maupun jalur
intraoseus.
3) Ambil darah 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium rutin, golongan darah, dan
uji silang.
4) Resusitasi cairan kristaloid Ringer’s Laktat (RL) bolus 2-4 L dalam 20-30
menit.
5) Transfusi packed red cell (PRC) sesuai golongan darah. Pada perdarahan
masif, yakni perdarahan lebih dari sepertiga volume total darah dalam waktu

61
kurang dari 30 menit, dilakukan transfusi darah sebanyak lebih dari 1-2 kali
lipat volume darah pasien dalam waktu lebih dari 24 jam. Pertimbangkan
penghentian transfusi setelah Hb > 10 g/dL.
6) Atasi sumber perdarahan, hemostasis darurat secara operatif diperlukan apabila
terjadi perdarahan masif ≥40%.
7) Nilai ketat hemodinamik dan amati tanda-tanda perbaikan syok: tanda vital,
kesadaran, perfusi perifer, urin output, saturasi oksigen, dan analisis gas darah.
Parameter yang harus dipantau selama stabilisasi dan pengobatan yakni denyut
jantung, frekuensi pernapasan, tekanan darah, tekanan vena sentral (CVP), dan
pengeluaran urin. Pengeluaran urin yang kurang dari 30 ml/jam (atau 0.5
ml/kg/jam) menunjukkan perfusi ginjal yang tidak adekuat.

62
BAB III
PENUTUP

I. Kesimpulan
Tn. X, kisaran 27 tahun, mengalami syok hemoragik derajat III yang disertai dengan
cedera kepala sedang, trauma tumpul abdomen, fraktur terbuka os humerus sinistra,
fraktur terbuka os femur sinistra, dan fraktur terbuka os cruris sinistra.

63
DAFTAR PUSTAKA

Antou, Stefie. 2013. Manfaat Helm dalam Mencegah Kematian Akibat Cedera Kepala
pada Kecelakaan Lalu Lintas. Universitas Sam Ratulangi Manado.
(https://ejournal.unsrat.ac.id). Diakses tanggal 10 Oktober 2017.
Ario, D. 2011. Journal of Emergency : Syok Perdarahan Berat. Vol 1: 1(23). (diakses di
http://journal.unair.ac.id) pada tanggal 9 Oktober 2017.
Collins, J.-A., Rudenski, A., Gibson, J., Howard, L., O’Driscoll, R., 2015. Relating
oxygen partial pressure, saturation and content: the haemoglobin–oxygen
dissociation curve.
de Jong, Wim dalam Sjamsuhidayat (Editor). 2016. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 4.
Jakarta: EGC.
Dewi, E. 2017. Kegawatdaruratan Syok Hemorragik. (diakses di
http://journals.ums.ac.id) pada tanggal 9 Oktober 2017.
Dugdale, David C. 2009. Capillary Nail Test. Medlineplus. diakses di
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus pada 10 Oktober 2017.
Hardisman, T. 2013. Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hemorragik. Jurnal
Kesehatan Andalas. 11: 2(3).
Heryanto, Y. 2003. Syok Hemorragik. diakses di www.ejournal.unesa.ac.id pada
tanggal 10 Oktober 2017.
Judi Marcin, MD. 2016. Hypovolemic Shock.
Klabunde, Richard D., The Pathophysiology of Hemorrhagic Shock. (2015).
Departement of Biomedical Sciences
McSwain & Frame (2003). PHTLS, Basic and advanced prehospital trauma life support.
5th Ed. USA: Mosby.
O'Connor PG. 2016. Alcohol use disorders. In: Goldman L, Schafer AI, eds. Goldman's
Cecil Medicine. 25th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders.

64
Price, A. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson, 2006, Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, Edisi 6, (terjemahan), Peter Anugrah, EGC, Jakarta.
Parahita, Putu S & Kurniyanta, Putu. 2013. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Pada
Cedera Fraktur Ekstrimitas. Bagian/SMF Ilmu Anastesi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar.
Parillo JE, Dellnger RP. 2008. Critical Care Medicine: Principle and Management in the
Adult. 3rd Edition.p.499.Copyright Elsevier.
Patria, Y. N. Dan Fairuz, M. 2012. Terapi Oksigen Aplikasi Klinis. EGC: Jakarta.
Privette, A. R. and Dicker, R. A. 2013. Recognition of Hypovolemic Shock: Using Base
Deficit to Think Outside of The ATLS Box. Critical Care. 17: 124.
Raharjo, Sri. 2013. Syok dan Penatalaksanaan Terapi Cairan.
https://clinicalupdates2011.files diakses 10 Oktober 2017.
Raza et al., 2013. Non operative management of abdominal trauma. Licensee BioMed
Central Ltd.
Salim, C. 2015. Sistem Penilaian Trauma. SMF Ilmu Bedah RSUD dr. Drajat
Prawiranegara, Serang, Banten, Indonesia.
Steven, Parks N. Advanced trauma life support (ATLS) for doctors. Jakarta: Ikatan Ahli
Bedah Indonesia (IKABI); 1104.
Student Course Manual Advanced Trauma Life Support. 2016. American College of
Surgeons Committee on Trauma.
Tritama, T. 2015. Konsumsi Alkohol dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan.
(http://jukeunila.com/wp- content /uploads/2015/11/7-10-TOPAZ-T.pdf) diakses
pada 10 Oktober 2017.
Udeani; John; 2010; Hemorrhagic Shock; New York: Department of Emergency
Medicine, Charles Drew University/ UCLA School of Medicine; Diunduh dari:
http://www.scribd.com/doc/19834799/Hemorrhagic-Shock diakses pada 10
Oktober 2017.
Wahyuhadi, Joni., dkk. 2014. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak Ed.2. Surabaya
(diakses di http://spesialis1. neurologi. fk. unair.ac.id/wp-
content/uploads/2017/03/Neurotrauma-Guideline 2014.pdf pada tanggal 10
Oktober 2017.
White CJ. 2016. Atherosclerotic peripheral arterial disease. In: Goldman L, Schafer AI,
eds. Goldman's Cecil Medicine. 25th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders.

65

You might also like