You are on page 1of 33

BAB I

PENDAHULUAN

Pnemonia dapat menjadi salah satu masalah kesehatan utama pada geriatri.

Kejadian Pnemonia meningkat pada geriatri dikaitkan dengan serangkaian perubahan

fisiologis yang terkait dengan penuaan, saluran pernapasan (pengurangan reflex batuk

dan pembersihan mukosiliar) dan sistem kekebalan tubuh (bawaan dan adaptasi)

bersamaan dengan adanya malnutrisi serta penyakit kronis yang melibatkan usia

(Diabetes Mellitus, PPOK, Gagal jantung kronis, Kanker dan Insufisiensi ginjal kronis)

membuat kelompok geriatric lebih rentan terhadap peningkatan infeksi, khususnya

pneumonia, dengan hasil yang lebih buruk.

Kelompok geriatri adalah semua orang yang berusia 60 tahun atau lebih (WHO)

yang dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun

keatas. Angka kejadian pneumonia pada geriatri diperkirakan mencapai 25-44 kasus

per 1000 penduduk, Kejadian Pnemonia di Semarang, pasien geriatri yang menjalani

rawat inap karena pneumonia sebanyak 16,6% orang.

Sejumlah faktor meningkatkan resiko infeksi pada pasien geriatri; interaksi

antara faktor-faktor resiko berupa komorbiditas, imunitas yang melemah dan faktor

usia sangat kompleks. Perubahan anatomi fisiologi akibat proses penuaan memberi

konsekuensi penting terhadap cadangan fungsional paru, kemampuan untuk mengatasi

penurunan komplain paru dan peningkatan resistensi saluran napas terhadap infeksi.

Sekali mikroorganisme pathogen berada di alveolus, akan dilepaskan mediator pro

inflamasi dan respon inflamasi terpicu sehingga menimbulkan manifestasi klinis.

Perawatan kesehatan pada geriatri umumnya lebih kompleks. Ini berhubungan

dengan terlambatnya diagnosis dan perawatan, peningkatan resiko komplikasi karena

perawatan lebih lama di rumah sakit. Semua hal di atas membuat pnemonia pada

1
geriatri menjadi masalah kesehatan yang perlu diperhatikan khusus, terlebih untuk

tatalaksana pneumonia pada kelompok geriatri.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Epidemiologi


Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari

bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli serta

menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.

Pneumonia termasuk dalam infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA) dan merupakan

ISNBA yang paling sering ditemukan. Pneumonia ini dapat terjadi secara primer atau

merupakan tahap lanjutan manifestasi ISNBA lainnya misalnya sebagai perluasan

bronkiektasis yang terinfeksi.1,3

Pneumonia dikategorikan berdasarkan lokasi penularan, yaitu komunitas,

rumah sakit (nosokomial) atau pusat perawatan kesehatan (nursing home). Pnemonia

komunitas merupakan pnemonia yang terjadi akibat infeksi di luar rumah sakit,

sedangkan pnemonia nasokomial adalah pnemonia yang terjadi >48 jam atau lebih

setelah di rawat di rumah sakit baik di ruangan rawat umum ataupun ICU tetapi tidak

sedang memakai ventilator. Pnemonia yang terjadi setelah 48-72 jam atau lebih setelah

intubasi tracheal disebut VAP ( Ventilator Associated Pnemonia)1

Pnemonia dapat menjadi salah satu masalah kesehatan utama pada geriatri.

Sejumlah faktor meningkatkan resiko infeksi, Kelompok geriatri adalah semua orang

yang berusia 60 tahun atau lebih (WHO). Menurut Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 43 Tahun 2004 lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia

60 (enam puluh) tahun keatas.1

Pnemonia komunitas merupakan proses inflamasi yang terjadi di parenkim paru

yang menjadi penyebab kematian tertinggi pada lanjut usia, berdasarkan World Health

prganization (WHO) tahun 2005 memperkirakan kematian pada usia lanjut berkisar

167 per 100 000 penduduk, di mana sekitar 70% terjadi di negara berkembang, terutama

3
di Afrika dan Asia Tenggara. Amerika Serikat sendiri memiliki 5-10 juta kasus

penmonia setiap tahunnya dan dirawat di rumah sakit sebanyak 1,1 juta serta 45.000

setiap tahunnya meninggal dunia. Pnemonia komunitas merupakan infeksi utama

penyebab kematian di negara-negara berkembang.11

Angka kematian akibat pnemonia di Asia mencapai 30-70% dan secara spesifik

diakibatkan karena penggunaan ventilasi mekanik berkisar 33-50% dari data pnemonia

di ICU. Sedangkan dari kematian yang diperoleh di Singapura lebih tinggi yaitu 73%

dari pnemonia secara keseluruhan. Riskesdas 2007 melaporkan bahwa prevalensi

pnemonia menurut diagnosa dan gejala adalah 2,13%. Data pnemonia menurut provinsi

menunjukkan bahwa provinsi dengan prevalensi pnemonia tinggi (diatas angka

nasional yaitu 3%) terdapat di provinsi Papua Barat, Gorontalo, NTT, Aceh, Sumatera

Barat, Jawa Barat, Kalimantan Selatan dan Maluku Utara12

2.2 Etiologi dan Fator Resiko


Terdapat lebih dari 100 mikroba (bakteri, virus, jamur, protozoa, dan parasit

lainnya) yang dapat menyebabkan pneumonia komunitas. Etiologinya di sesuaikan oleh

berbagai aspek seperti komorbiditas, situasi fungsional basal, keparahan episode akut,

pengobatan antimikroba yang diterima hingga kontak dengan rumah sakit atau tempat

tinggal. S. Pneumoniae adalah penyebab tersering dari Pneumonia komunitas pada

lansia, dengan presentasi > 50% dari seluruh kasus pneumonia. Tabel 2.1 menunjukan

urutan penyebab tersering dari Pneumonia komunitas dan mengidentifikasi petunjuk

yang didapatkan dari anamnesis untuk mendapatkan kemungkinan organisme

penyebab dari pneumonia.2,6

4
Tabel 2.1 2
Penyebab Terbanyak Community-Acquired Pneumonia (CAP) pada Dewasa Tua
1. S. Pneumoniae
2. C. pneumoniae
3. Enterobacteriaceae
4. L. pneumophila serogroups 1–6
5. Haemophilus influenzae
6. Moraxella catarrhalis
7. S. aureus
8. Influenza A virus
9. Influenza B virus
10. Respiratory syncytial virus
11. Legionella spp.
12. M. tuberculosis
13. HMPV
14. Pneumocystis jiroveci
15. Nontuberculous mycobacteria
16. M. Pneumoniae

Faktor resiko yang menyebabkan terjadinya pnemonia pada geriatri sekaligus yang

memperburuk fungsi paru antara lain :

1. Faktor merokok

Merokok akan memperburuk fungsi paru, yaitu terjadinya penyempitan saluran

nafas. Pada tingkat awal saluran pernafasan akan mengalami penyempitan dan

terjadi penurunan VEP yang besarnya tergantung pada beratnya penyakit paru. Pada

tingkat lanjut dapt terjadi obstruksi yang ireversibel.

2. Obsesitas

Kelebihan berat badan dapat memperburuk fungsi paru seseorang. Pada obesitas,

biasanya terjadi penimbunan lemak pada leher dan dinding perut dan akan

menggangu compliance dinding dada. Dan dapat berakibat terjadinya keterbatasan

gerakan pernafasan.

3. Imobilitas

Imoblitas akan mengakibatkan kekauan atau keterbatasan gerak saat otot-otot

berkontraksi, sehingga kapasitas vital paksa atau volume paru akan relatif

5
berkurang. Imobilitas karena kelelahan otot-otot pernafasan pada usia lanjut dapat

memperburuk fungsi paru.

4. Infeksi paru

Infeksi paru terutama yang berulang akan memperjelek fungsi paru

Penampilan suatu penyakit pada usia lanjut sering berbeda dengan pada usia muda.

Maka oleh karena itu harus dibedakan apakah kelainan yang terjadi berkenaan dengan

perubahan karena bertambahnya usia, atau memang ada suatu proses patologi sebagai

penyebab, beberepa problem klinik pada usia lanjut yang sering di jumpai sehingga

disebut sebagai Geritric Giants, adalah :

1. Imobility

2. Instability

3. Incontinence

4. Intelectual impairment

5. Infection (Pnemonia)

6. Impairment of hearing & vision

7. Impaction ( konsipasi)

8. Isolation

9. Inannition

10. Impecunity

11. Iatrogenic

12. Insomnia

13. Immune defeciency

14. Impotence

6
2.3 Klasifikasi 9

1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:

a. Pneumonia komunitas (CAP)

b. Pneumonia nosocomial (HAP)

c. Pneumonia aspirasi

d. Pneumonia pada penderita immunocompromised

2. Berdasarkan bakteri penyebab

a. Pneumonia bacterial / tipikal : Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa

bakteri memiliki tendensi menyerang seseorang yang peka, misalnya

Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphylococcus pada penderita

pasca infeksi influenza

b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella, Chlamydia

c. Pneumonia virus

d. Pneumonia jamur, sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi

terutama pada penderita dengan daya tahan lemah

3. Berdasarkan predileksi infeksi

a. Pneumonia lobaris, sering pada pneumonia bacterial, jarang pada bayi

dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada 1 lobus atau segmen

kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya:

pada aspirasi benda asing atau proses keganasan

b. Bronkopneumonia, ditandai dengan bercak infiltrat pada lapang paru.

Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus. Sering pada bayi dan

orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus

c. Pneumonia interstitial

7
2.4 Patofisiologi
Dalam kondisi normal, cabang tracheobronchial bersifat steril. Saluran nafas

memiliki sederet mekanisme perlindungan untuk mencegah masuknya patogen ke

dalam paru, yaitu :3,7

1. Didalam hidung terdapat concha dan rambut-rambut yang menahan benda asing

untuk masuk ke dlam paru.

2. Epiglottis menutupi trachea dan mencegah sekresi maupun makanan masuk

kedalam trakea.

3. Cabang trakeobronkial terdiri atas sel-sel yang mensekresikan musin. Musin ini

mengandung zat antibakterial seperti antibodi IgA, defesins, lisozim, dan

laktoferin. Selain itu musin juga bersifat lengketsehingga bakteri dan benda

asing lainnya yang berhasil melewati epiglottis akan terjebak.

4. Silia yang berada sepanjang dinding trachea dan bronkus bergetar sangat cepat,

berperan sebagai sabuk konveyer yang menggerakan musin keluar.

5. Ketika sejumlah cairan atau benda asing masuk ke dalam trakea, reflek batuk

akan bekerja, dan isi yang tidak diinginkan segera dikeluarkan dari cabang-

cabang trakeobronkial.

6. Apabila patogen dapat melewati seluruh mekanisme perlindungan tersebut dan

masuk ke dalam alveoli, patogen akan berada di ruangan yang pada keadaan

normal kering dan tidak dapat dihuni. Masuknya patogen akan memicu

masuknya netrofil dan makrofag alveolar yang akan memangsa dan membunuh

patogen tersebut. Immunoglobulin dan komplemen dapat ditemukan pada area

ini. Surfaktan juga memiliki fungsi perlindungannya sendiri.

7. Kelenjar getah bening yang berada di alveoli bertugas untuk mengeringkan dan

mengalirkan cairan, makrofag dan limfosit ke kelenjar getah bening

mediastinum.

8
Terdapat tiga rute masuknya patogen ke dalam parenkim paru yaitu, hematogen,

airborne, dan mikroaspirasi. Rute tersering adalah melalui mikroaspirasi. Penyebaran

secara hematogen mungkin disebabkan akibat adanya infeksi saluran kemih pada

lansia. Patogen berupa bakteri biasanya masuk ke dalam paru melalui aspirasi flora di

mulut atau melalui inhalasi droplet kecil (diameter <3 μm) yang dapat dihantarkan

melalui udara ke dalam alveoli. Ketika patogen dapat masuk dan bertahan, mulailah

timbul respon inflamasi. Respon-respon ini telah dipelajari dengan sangat teliti pada

pneumonia akibat S. pneumoniae.3, 7

Awalnya, akan dikeluarkannya sekret dan cairan kedalam alveoli sebagai akibat

reaksi inflamasi, yang dimana cairan tersebut adalah media kultur yang sangat baik bagi

bakteri untuk tumbuh. Saat sekret dan cairan tersebut terakumulasi, cairan tersebut akan

menyebar melalui pori-pori Kohn dan bronkiolus terminalis, menyebabkan terjadinya

penyebaran infeksi secara sentrifugal. Batuk dan pergerakan saat respirasi akan

membantu penyebaran. 3, 7

Patogen akan berperan sebagai chemotractant untuk polimononuklear leukosit.

Mediator proinflamasi (TNF-α, IL-1, dan IL-6) akan dibebaskan dari leukosit dan akan

meningkatkan respon inflamasi. Sel darah merah, fibrin dan leukosit akan mengisi

alveoli dan mengakibatkan timbulnya konsolidasi pada paru. Akibat dari respon

inflamasi ini maka timbulah demam, batuk, sputum yang purulen, nyeri otot, dan nyeri

sendi. Dan apabila sitokin pro-inflamasi didalam darah cukup tinggi, maka dapat terjadi

syok. Konsolidasi pada paru akan menyebabkan dispnoe (akibat dari berkurangnya

komplians) dan hypoxemia akibat dari gangguan ventilasi dan perfusi (paru yang

mengalami konsolidasi dapat terjadi perfusi akan tetapi tidak dapat mengalami

ventilasi). Setelah terjadi respon inflamasi berupa edema seluruh alveoli disusul

dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan

9
fagositosis sebelum terbentuknya antiobid. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke

permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui pseudopodosis

sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi

peperangan antara host dan bakteri maka akan tampak 4 zona pada daerah parasitic

tersebut yaitu:2,3,7

Stage 1 / zona luar (kongesti): alveoli yang terisi dengan bakteri dan cairan

edema

Stage 2 / zona permulaan konsolidasi ( red hepatization): terdiri dari PMN dan

beberapa eksudasi sel darah merah

Stage 3 / zona konsolidasi luas (gray hepatization): daerah tempat terjadi

fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak

Stage 4 / resolusi: daerah tempat terjadi resolusi dengan bakter yang mati,

leukosit dan alveolar makrofag

Gambar: 2 a) pertahanan paru terhadap benda asing. b) faktor yang mempengaruhi pertahanan paru

Pasien geriatri lebih mudah terinfeksi pnemonia karena adanya gangguan

refleks muntah, melemahnya imunitas, gangguan respons pengaturan suhu dan

berbagai derajat kelainan kardioplmoner. Kelainan sistem saraf pusat dan reflek muntah

juga turut berperan dalam mengakibatkan terjadinya pnemonia aspirasi. Sistem

imunitas humoral ergantung pada keutuhan fungsi limfosit B. Pasien geriatri memiliki

banyak gangguan sistemik yang dapat menggangu fungsi limfosit B sehingga

10
menurunkan produksi antibodi. Gangguan ini menjadi predisposisi infeksi

mikroorganisme patogen yang merupakan penyabab umum pnemonia bakterial. Dalam

penelitian membuktikan bahwa proses penuan meredam sel stroma sumsum tulang

untuk menyekresi interleukin yang merupakan sitokin penting dalam mengembangkan

limfosit. Kualitas imun humoral menurun sesuai usia. Perubahan ini ditandai dengan

respon antibodi yang lebih rendah dan penurunan produksi antibodi berafinitas tinggi.

2.5 Manifestasi Klinis


Onset gejala dari pneumonia dapat bersifat akut ataupun insidius. Pada tabel

dibawah, ditunjukan frekuensi dari setiap gejala atau tanda dari pneumonia. Pada suatu

studi, pada pasien lansia dengan pneumonia mengeluhkan gejala yang lebih sedikit

dibandingkan pada pasien yang berusia muda. Pada pasien lansia, gejala yang timbul

dapat berupa gejala klasik respiratorius yang disertai dengan delirium, kebingungan

kronis yang semakin memburuk dan terjatuh. Selain itu ditemukan angka insiden yang

tinggi dari “silent aspiration” pada pasien lansia dengan pneumonia. Pneumonia dapat

menjadi salah satu penyebab penurunan dari keadaan umum dan atau aktifitas secara

insidius atau non-spesifik, misalnya, kebingungan ataupun ataupun jatuh pada pasien

lansia. Infeksi, termasuk pneumonia, harus dipertimbangkan sebagai salah satu

penyebab dari penurunan atau melambatnya penyembuhan dari suatu penyakit primer

pada pasien lansia. 2,3,6

11
Frekuensi dari Berbagai Tanda dan Gejala
Dewasa dengan CAP
Symptoms and Signs %
Respiratory Signs
Cough 85
Dyspnea 75
Sputum production 73
Pleuritic chest pain 57
Hemoptysis 20
Non-Respiratory Signs
Fatigue 90
Fever 82
Anorexia 73
Chills 72
Sweats 70
Headache 50
Myalgia+ 45
Nausea 40
Sore throat 29
Confusion 38
Vomiting 32
Diarrhea 30
Abdominal pain 29

Signs
Altered mental status* 13
Respiratory rate (≥30/min) 30
Heart rate (≥125/min) 25
Temperature 0.7
<35.0oC
≥40.0oC 2

Systolic Blood Pressure, <90 mmHg 5.9

Diagnosis dari pneumonia ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik yang

memiliki sensitivitas berkisar 47%-69% dan spesifitas 58%-75%, maka dari itu

diagnosis klinis dari pneumonia harus dikonfirmasikan dengan menggunakan foto

rontgen dada. Ronchi, wheezing, dan tanda-tanda dari konsolidasi (pekak saat

dilakukan perkusi, suara nafas bronkial dan aegophoni mungkin dapat ditemukan.

Tanda yang paling sensitif yang dapat ditemukan pada pasien lansia adalah peningkatan

12
respiratory rate (yang dihitung dalam 1 menit) dengan respiratory rate > 28x/menit

menandakan pneumonia. Foto rontgen dada dapat sulit dinilai pada pasien lansia,

terutama bila foto dalam posisi AP. CT scan dada sangatlah akurat untuk menentukan

diagnosis dari pneumonia, akan tetapi tidak dapat dilakukan pada seluruh pasien yang

diduga mengalami pneumonia. 2,3,6

2.6 Diagnosis Klinis

Penegakan diagnosis dibuat dengan maksud pengarahan kepada pemberian

terapi yaitu dengan cara mencakup bentuk dan luas penyakit, tingkat berat penyakit,

dan perkiraan jenis kuman penyebab infeksi. Dugaan mikroorganisme penyebb infeksi

akan mengarahkan kepada pemilihan terapi emperis antibiotik yang tepat. Diagnosis

pnemonia didasarkan pada riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti

dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis1

Ditujukan untuk mengetahui kemungkinan penyebab yang berhubungan

dengan faktor infeksi: a. Evaluasi faktor pasien /predisposisi (PPOK ) H. Influenzae),

penyakit kronik (kuman jamak), Kejang /tidak sadar (asprasi gram negatif, anaerob),

penurunan imunitas ( kuman gram negatif) kecanduan obat bius (Staphtlococcus). b.

Bedakan lokasi infeksi PK (Streptococus pnemoni, H. Influenza, m.pnemoniae). PN

(Staphylococus aureus), Gram negatif. c. Usia Pasien Bayi (Virus), Muda

(M.Pnemoniae), Dewasa (S.Pnemoniae) d. Awitan : cepat, akut (S. Pnemoniae);

Perlahan, dengan batuk, dahak sedikit (M.Pnemoniae)

Pemeriksaan Fisik1

Presentasi bervariasi tergantung etiologi, usia dan keadaan klinis. Perhatikan

gejala klinis yang mengarah kepada tipe kuman penyebab/ patogenitas kuman dan

tingkat berat penyakit.

13
a. Pnemonia virus ditandai dengan mialgia, malaise, batuk kering dan non

produktif

b. Awitan lebih insidious dan ringan pada orang tua/imunitas menurun akibat

kuman yang kurang patogen misalnya : klebsiela, psedomonas,

enterobacteriaceae, kuman anaerob, jamur.

c. Tanda-tanda fisik pada tipe pnemonia klasik bisa didapatkan berupa demam,

sesak napas, tanda-tanda konsolidasi paru (perkusi paru pekak, rongki nyaring,

suara pernafasan brongkial)

d. Warna, konsistensi dan jumlah sputum penting untuk diperhatikan

Gejala atau bentuk tidak khas dijumpai pada pnemonia komunitas yang

sekunder ataupun pnemonia nasokomial sedangkan bentuk klasik pnemonia pnemonia

komunitas primer berupa brongkopnemonia, penmonia lobaris dan pleropnemonia.

Pemeriksaan Penunjang1

1. Pemeriksaan radiologis. Pola radiologis dapat berupa pnemonia alveolar dengan

gambaran air bronkhogram (airspace desease) misalnya oleh Streptococus

pnemoniae, brongkopnemoniae (segmental diseasse) diantara lain

Staphylococus, virus atau mikoplasma dan pnemonia intestisial oleh virus dan

mikoplasma. Distribusi infiltrat pada segmen bawah apikal lobus bawah atau

inferior lobus atas sugestif untuk kuman aspirasi. Infiltrat di lobus atas sering

disebabkan oleh Klebsiella Spp, tuberkulosis dan amilosidosis. Pada lobus

bawah dapat terjadi infiltrat akibat Staphylococcus atau bacterimia. Efusi pleura

dapat terjadi oleh S.Pnemoniae dapat juga oleh kuman anaerob. Ulangan foto

perlu dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya infeksi sekunder/tambahan,

efusi pleura penyerta yang terinfeksi atau pembentukan abses. Pada pasien yang

14
mengalami perbaikan klinis ulangan foto dada dapat ditunda karena resolusi

pnemonia berlangsung 4-12 minggu.

2. Pemeriksaan laboratorium. Leukosistosis umumnya menandai adanya infeksi

bakteri; leukosit normal /rendah dapat disebabkan oleh infeksi

virus/mikoplasma atau pada infeksi yang berat sehingga tidak terjadi respon

leukosit, orang tua atau lemah. Leukopenia menunjukkan depresi imunitas,

misalnya neutropenia pada infeksi kuman gram negatif atau S.Philococcus pada

pasien dengan gangguan kekebalan.

3. Pemeriksaan bakteriologis. Bahan berasal dari sputum,darah, aspirasi

nasotrakeal, aspirasi jarum trantorakal, torakosintesis, bronkoskopi atau biopsi.

4. Pemeriksaan khusus. Titer antibodi terhadap virus, legionella, dan mikoplasma.

Nilai diagnostik bila titer tinggi atau ada kenaikan titer 4 kali. Analisis gas darah

dilakukan untuk menilai tingkat hipoksia dan kebutuhan oksigen.

Differential diagnosis termasuk infeksius dan non-infeksius seperti bronkitis,

eksaserbasi akut dari bronkitis kronis, CHF, dan emboli paru. Anamnesa cukup

berperan penting dalam hal ini. Sebagai contoh, penyakit jantung yang sudah

diketahui dapat diperkirakan sebagai edema paru yang semakin memburuk, petunjuk

epidemiologi juga dapat membantu seperti bepergian ke daerah endemis suatu

patogen dapat diwaspadai untuk penyakit tertentu yang spesifik.3,6

Sayangnya sensitivitas dan spesifisitas dari pemeriksaan fisik kurang ideal,

dengan rata-rata 58% dan 67%. Akan tetapi foto rontgen dada seringkali diperlukan

untuk membedakan pneumonia dengan penyakit lain. Penemuan radiografi juga

merupakan salah satu faktor untuk menentukan tingkat keparahan dari pneumonia.

Pada kebanyakan pasien manifestasi klinis dan pemeriksaan radiologi cukup untuk

memastikan diagnosis klinis pneumonia sebelum dilakukan penanganan untuk

15
pneumonia itu sendiri, dikarenakan diperlukan waktu yang cukup lama untuk

melakukan pemeriksaan laboratorium. 3,6

Diagnosis pneumonia komunitas ditegakan jika ditemukan pada foto toraks terdapat

infiltrat ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini: 9

- Batuk-batuk bertambah

- Perubahan karakteristik dahak/purulent

- Suhu tubuh >= 37,5 / riwayat demam

- PF: terdapat ronki atau konsolidasi atau nafas bronkial

- Leukosit >= 10.000 atau <4.500

Sementara diagnosis pneumonia nosokomial (HAP) menurut CDC-Atlanta dapat

ditegakan bila: 10

- Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan

menyingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk rumah sakit.

- Foto toraks terdapat infiltrt atau progresif,

- Ditambah 2 diantara kriteria berikut:

- Suhu tubuh >38

- Sekret purulent

- Leukositosis

16
Gambar : Foto serial Pneumonia

2.7 Diagnosis Etiologi

Etiologi dari pneumonia biasanya tidak dapat ditentukan hanya dari

manifestasi klinis saja. Dokter perlu melakukan pemeriksaan laboratorium untuk

mendukung diagnosis etiologi ini. Keuntungan dari menentukan etiologi dari

pneumonia ini adalah untuk mempersempit penggunaan antibiotik sehingga

menurunkan kemungkinan untuk terjadinya resistensi.3,6

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah : 3,6

a) Pewarnaan Gram dan kultur sputum

Tujuan utama melakukan pewarnaan gram pada sputum adalah untuk

memastikan apakah sampel tersebut cocok untuk dikultur atau tidak. Akan

tetapi, pewarnaan gram mungkin juga dilakukan untuk mengidentifikasi

beberapa pathogen seperti S. pneumonia, S. aureus, dan bakteri gram negatif.

Dengan membedakan karakteristik dari masing-masing patogen. Sputum

yang adekuat untuk dikultur harus memiliki >25 netrofil, dan <10 sel epitel

squamosa per lapang pandang kecil. Sensitivitas dan spesifisitas dari

17
pewarnaan gram dan kultur sputum sangat bervariasi. Walaupun pada kasus

telah terbukti pneumonia pneumokokus bakteriemia, kemungkinan untuk

mendapatkan kulur positif dari sputum adalah 50%.

Pada beberapa pasien, terutama lansia, tidak dapat menghasilkan sampel

sputum yang cukup. Beberapa pasien mungkin sudah diberikan antibiotik

yang dapat mengganggu hasil kultur saat spesimen diambil.

Ketidakmampuan untuk memproduksi sputum mungkin disebabkan oleh

karena dehidrasi, dan koreksi dari keadaan ini dapat menyebabkan

meningkatnya produksi sputum dan semakin jelasnya gambaran infiltrate

pada foto rontgen. Pada pasien yang dirawat di ICU dan terintubasi, dapat

dilakukan “deep suction aspirate atau “bronchoalveolar lavage sample” dan

memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk kultur apabila segera

dikirimkan ke bagian mikrobiologi.

b) Kultur darah

Keberhasilan dari kultur darah, walaupun sampel dikumpulkan sebelum

terapi antibiotic diberikan, sangatlah rendah. Hanya 5-14% dari kultur darah

pasien dengan Pneumonia komunitas yang menunjukan hasil positif, dan

pathogen yang paling sering ditemukan adalah S. pneumonia. Dikarenakan

terapi empiric yang direkomendasikan telah mencakup bakteri

pneumokokus, hasil positif dari kultur darah ini hanya memiliki kegunaan

yang sedikit. Pada beberapa pasien dengan risiko tinggi seperti pasien

dengan neutropenia akibat dari pneumonia, asplenia atau defisiensi

komplemen, penyakit hati kronis atau pneumonia komunitas yang berat

sebaiknya dilakukan kultur darah.

18
c) Tes antigen

Dua tes yang saat ini ada dapat mendeteksi antigen pneumokokus dan

legionella dalam urin. Test untuk L. pneumophilla hanya dapat mendeteksi

serogroup1 akan tetapi serogroup ini yang sering menyebabkan pneumonia

komunitas. Sensitivitas dan spesifisitas dari tes antigen urin Legionella

sangatlah tinggi, 90% dan 99%. Tes antigen urine pneumokokus juga cukup

sensitive dan spesifik yaitu 80 dan 90%. Kedua test tersebut dapat

mendeteksi antigen walaupun setelah dilakukannya pemberian terapi

antibiotik.

d) PCR

Polymerase Chain Reaction (PCR), yang dimana memperbanyak DNA atau

RNA mikroorganisme, dapat mendeteksi beberapa pathogen, termasuk L.

pneumophilla dan mycobacteria. Sebagai tambahan, multiplex PCR dapat

mendeteksi asam nukleat dari Legionella spp., M. Pneumoniae, dan C.

pneumonia. Akan tetapi, penggunaan dari PCR sangatlah terbatas. pada

pasien dengan pneumonia pneumokokus, kenaikan jumlah bakteri lebih dari

normal menandakan meningkatnya risiko dari syok septic, kebutuhan

bantuan ventilasi mekanis, dan kematian. Tes ini dapat juga dihunakan untuk

menentukan apakah pasien membutuhkan perawatan di ICU atau tidak.

e) Serologi

Peningkatan 4 kali lipat dari titer antibodi spesifik IgM antara sampel fase

akut dan konvalsen pada umumnya dipertimbangkan sebagai diagnostik

infeksi dengan patogen yang dipertanyakan. Dahulu kala, tes serologi

digunakan untuk mengidentifikasi patogen atipikal dan organisme yang tidak

19
biasa seperti Coxiella burnetii. Akan tetapi baru-baru ini tes serologi ini

sudah tidak digunakan karena waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan

hasil akhir cukup lama.

2.8 Evaluasi
Tempat perawatan

Evaluasi dari pasien dengan pneumonia terdiri dari penentuan tingkat keparahan dari

pneumonia tersebut dan menggunakan hal tersebut untuk memutuskan apakah

pasien ini perlu dipindahkan ke rumah sakit (ke tempat perawatan biasa ataupun

ICU) atau tidak. Beberapa skoring untuk menentukan derajat keparahan dari

pneumonia telah dikembangkan.2,7

Sistem skoring yang dikembangkan oleh Fine et al. Memprediksikan angka

kematian akibat pneumonia tersebut. Sistem ini telah digunakan sebagai acuan untuk

memutuskan, dimana pasien dengan kelas I-III dapat ditangani dasar ambulatory dan

pada pasien dengan kelas IV-V harus segera dilakukan perawatan di rumah sakit.

Akan tetapi pada kenyataannya sistem ini memiliki beberapa kesalahan dan

keputusan dari pemeriksa adalah elemen terpenting untuk menentukan bagaimana

British Thoracic Society Rule for Severity of Community-Acquired


Pneumonia*
Respiratory rate >30 breaths/min
Diastolic BP <60 mmHg
BUN >7 mm/L
pasien dirawat. Sistem yang diterapkan oleh British Thoracic Society (BTS)

merupakan sistem atau acuan termudah dan paling akurat untuk menentukan tingkat

keparahan dari pneumonia. Sistem tersebut telah dimodifikasi menjadi CURB-65.

Tabel 2.4 2,7

20
CURB-65 Rule
Confusion
Urea >7 mm/L
Respiratory rate >30 breaths/min
Blood pressure: systolic <90 mmHg or diastolic < 60 mmHg
Age >65 yr
*Assign one point for each when present
* Mortality rate:
0 - 0.7%
1 - 3.2%
2 - 3%
3 - 17%
4 - 41.5%
5 - 57%.
* If 2 or more of the above are present, the pneumonia is severe and patient is likely to require
admission to an ICU.
Tabel 2.3 2,7
Transfer dari Pusat Perawatan Kesehatan ke Rumah Sakit

Beberapa studi telah menyediakan data untuk membantu kita dalam

menentukan keputusan pasien yang perlu dipindahkan dari pusat perawatan

kesehatan ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan dari pneumonia. Pada

salah satu studi beberapa keadaan brikut ini menandakan adanya kegagalan dalam

penanganan dari pneumonia pada pusat perawatan kesehatan, yaitu : 2

 Nadi > 90x/menit

 Suhu > 38oC

 Respiratory rate > 30x/menit

 Dependen terhadap NGT

Apabila tidak ditemukan faktor risiko tersebut maka tingkat kegagalan adalah

11%, apabila ditemukan ≤ 2 faktor risiko maka tingkat kegagalan mencapai 23%

dan apabila ≥ 3 faktor risiko maka tingkat kegagalan mencapai 59%. Pusat

21
perawatan kesehatan biasanya memiliki fasilitas yang memadai dan tenaga perawat

yang cukup untuk menyediakan perawatan dan penanganan pada pasien yang sakit.

Berbagai keputusan yang dibuat harus berdasarkan ilmu yang sudah ada.

Perawatan ICU
Sekitar 10% pasien yang dirawat dirumah sakit dengan pneumonia

memerlukan perawatan yang intensif. Dalam subgrup ini angka kematian

diperkirakan 3 kali lebih tinggi dibandingkan angka kematian pada pasien

pneumonia yang tidak memerlukan perawatan intensif. Selain itu pasien dengan

pneumonia yang dirawat di ICU biasanya memerlukan waktu perawatan yang lebih

lama dibandingkan dengan pasien yang dirawat di bangsal biasa. Penentuan untuk

memindahkan pasien ke ICU ditentukan berdasarkan tingkat keparahan dari

pneumonia dan sering juga berdasarkan kebutuhan akan mesin ventilator (>50%),

monitoring hemodinamik (30%) dan syok (15%). Umur saja tidak dapat menjadi

dasar untuk memutuskan pasien ini perlu dipindahkan ke ICU atau tidak. 2,7

2.9 Penatalaksanaan
Antibiotik
Dikarenakan dokter sulit untuk mengetahui etiologi dari pneumonia sebelum

didapatkan hasil kultur, maka digunakan terapi empirik yang dimana berfungsi

mencakup seluruh patogen yang mungkin menyebabkan pneumonia. Pada seluruh

kasus, antibiotik harus diberikan secepat mungkin. Untuk mencakup patogen atipikal

perlu ditambahkan makrolid atau dengan menggunakan fluoroquinolone yang dimana

menunjukan penurunan angka kematian dibandingkan apabila menggunakan β-lactam.

Namun pengetahuan tentang tingkat resistensi antibiotik dari tiap pathogen yang

menjadi penyebab pneumonia merupakan kunci untuk menghasilkan terapi empiris

yang adekuat dan menurunkan kemungkinan kegagalan terapi. Contohnya, MRSA

22
sensitive menggunakan kortimoksazol, karena itu, terapi empiris menggunakan

quinolone tidak dapat menjadi pilihan. 8

Pengobatan pneumonia pada usia lanjut harus mempertimbangkan

komorbiditas dan fungsional, situasi kognitif dan sosial serta faktor resiko individual

yang memungkinkan terjadinya resisten antibiotic. Terdapat 2 pertanyaan utama untuk

menentukan terapi empiris pada lanjut usia; apakah ada resiko dari mikroorganisme

yang tidak umum? Dan kedua: apakah ada kelemahan pada pasien? Bila ada, berada

pada tingkat berapa kelemahannya tersebut? 8

Berikut adalah rangkuman terapi dari tiap kemungkinan keadaan pasien lanjut usia. 8

A. Pasien tanpa adanya kelemahan

- Pasien rawat jalan  Amoxicilin/clavulanat atau cefditoren + clarithomicin

atau moxifloxacin atau levofloxacin

- Terapi saat masuk  Amoxicilin/clavulanat atau ceftriaxone + azitromicin

atau moxifloxacin atau levofloxacin

B. Pasien dengan kelemahan

- Kelemahan ringan  Amoxicilin/clavulanat atau ceftriaxone + azitromicin

atau moxifloxacin atau levofloxacin

- Kelemahan sedang-berat  Ertapenem atau amoxicillin/clavulanat.

Ertapenem merupakan terapi ideal untuk Home Hospitalization Unit

C. Uncommon pathogens

- Enterobakteria/anaerob  Ertapenem atau amoxicillin/clavulanat.

Ertapenem memiliki sensitifitas yang baik untuk bakteri anaerob,

S.pneumoniae dan semua enterobakteria.

- Methicilin-resistant S.Aureus (MRSA)  Tambahkan linezolid

23
- P. aeruginosa  Piperacilin/tazobactam atau imipinem atau merupenem

atau cefepime + levofloxacin atau ciprofloxacin atau tobramycin

Berikut ini adalah terapi empiris yang dilakukan pada pasien dengan pneumonia. 1,2,6

Pilihan Terapi Antibiotik (Pertama dan Kedua) untuk Pneumonia Bila Etiologi Belum

Diketahui 2,6

A. Pasien yang sebelumnya sehat dan tidak menggunakan antibiotic lain dalam 3

bulan terakhir

1. Makrolida (eritromisin 200 mg tiap 6 jam selama 10 hari, clarithomicin 500 mg

per oral 2x/hari selama 10 hari atau azitromicin 500 mg per oral 1x/hari lalu

dilanjutkan 250 mg 1x/hari selama 4 hari.

2. Doksisiklin 100 mg 2x/hari selama 10 hari

Bila terjadi COPD atau pasien meminum antibiotic dalam 3 bulan terakhir,

1. Fluoroqinolone: Levofloxacin, 750 mg 1x/hari per oral atau IV (bila creatinin

clearance <50 mL/min kurangi doisis jadi 250 mg 1x/hari. moxifloxacin, 400

mg 1x/hari per oral; gatifloxacin 400 mg 1x/hari per oral atau IV.

2. Kombinasi terapi beta-lactam dan makrolida

B. Pasien yang menjalani pengobatan rawat inap di rumah sakit

1. Fluoroqinolone: Levofloxacin, 750 mg 1x/hari per oral atau IV (bila

creatinin clearance <50 mL/min kurangi doisis jadi 250 mg 1x/hari.

moxifloxacin, 400 mg 1x/hari per oral; gatifloxacin 400 mg 1x/hari per oral

atau IV.

2. Ceftriakson 1 g 1x/hari IV atau cefotaxime 2 g tiap 6 jam IV plus azitromicin

500 mg 1x/hari

C. Pasien yang menjalani pengobtan di ICU

24
1. Azitomicin 1 g IV dilanjutkan 500 mg IV 1x/hari plus cefriakson 1 g tiap

12 jam IV atau cefotaxime 2 g tiap 6 jam IV (berikan ceftazidime dan

aminoglikosida jika curiga infeksi Pseudomonas aeruginosa;

piperacillin/tazobactam; imipenem, meropenem dan ciprofloxacin yang

memiliki kemampuan melawan P. Aeruginosa)

2. Fluoroquinolone tidak direkomendasikan sebagai pilihan pertama karena

minimnya data klinis di ICU

Jika curiga terjadi MRSA dalam kondisi setting manapun, tambahkan

Vancomicin 1 g tiap 12 jam atau Linezolid 600 mg IV atau oral tiap 12 jam.

D. Pasien yang menjalani pengobatan di rumah

1. Fluoroquinolne yang dapat melawan S.pneumoniae: Levofloxacin 750 mg

1x/hari per oral atau Moxifloxacin 400 mg 1x/hari per oral atau Gatifloxacin

400 mg 1x/hari per oral

2. Ceftriaxon 500-1000 mg IM 1x/hari atau cefotaxime 500 mg IM tiap 12 jam

plus makrolida

E. Pasien dengan pneuonia /pneumonitis aspirasi

1. Pneumonitis: ada riwayat atau mengaku terjadi aspirasi dari komponen

lambung dengan opasitas dalam foto X-Ray

Tunggu 24 jam – jika masih terdapat gejala, berikan antibiotik sesuai

dibawah ini.

2. Pneumonia:

a. Poor dental higiene dan curiga infeksi anaerob: metronidazole 500 mg

tiap 12 jam per oral, plus satu diantara: levofloxacin 500 mg 1x/hari per

oral atau moxifloxacin 400 mg 1x/hari per oral atau gatifloxacin 400 mg

1x/hari per oral atau ceftriakson atau cefotaxime.

25
b. Bila tidak dicurigai infeksi anaerob: sama seperti diiatas namun tidak

meliputi antibiotik untuk anaerob.

Terdapat sebuah kekhawatiran yaitu penggunaan fluoroquinolon secara luas

dapat menimbulkan keadaan resistensi terhadap patogen respiratori. Untuk itu, CDC

merekomendasikan penggunaan makrolid ataupun doksisiklin sebagai terapi lini

pertama dalam penanganan pneumonia dan penggunaan fluoroquinolon dibatasi

hanya pada pasien berusia dewasa yang mengalami kegagalan dalam pengobatan

dengan terapi lini pertama., timbul reaksi alergi terhadap obat lini pertama dan pada

mereka yang tercatat mengalami infeksi dengan pneumokokus yang resisten

terhadap obat-obatan. CDC merekomendasikan terapi lini pertama untuk pasien

dengan pneumonia yang sakit cukup berat dan dirawat di rumah sakit harus dengan

antibiotik β-lactam secara parenteral, yaitu : cefuroxime, cefotaxime, ceftriaxone

atau dengan kombinasi dari ampisilin dan sublactam dan makrolid seperti

eritromisin,azithromisin, atau clarithromisin.2,6

Apabila etiologi sudah dapat ditegakan maka perlu dilakukan pemberian antibiotik

yang sesuai dengan etiologi dari pneumonia tersebut, yaitu 6,7

a) S. pneumonia

Pada bakteri yang masih sensitif terhadap penisilin, obat pilihan utama

adalah penisilin G ataupun amoxicillin. Selain itu dapat juga digunakan

ceftriaxone. Apabila pasien tidak mengalami perbaikan dalam waktu 48 jam,

perlu dipikirkan kemungkinan bakteri tersebut telah resisten, maka dari itu

flouroquinolone untuk saluran nafas (gatofloxacin, levofloxacin,

moxifloxacin) adalah pilihan utama. Pada kasus yang dicurigai disertai

dengan adanya meningitis, flouroquinolone tidak direkomendasikan karena

golongan ini tidak dapat menembus Blood brain barrier sehingga pasien ini

26
perlu diberikan vancomycin. Apabila pasien tersebut alergi terhadap

penisilin, dapat diberikan flouroquinolone.6,7

b) Chlamydophilla pneumonia

Tidak terdapat pengobatan khusus untuk bakteri ini. Tetrasiklin dapat

diberikan sebagai pilihan utama. Golongan makrolid dan flouroquinolone

juga dapat diberikan.6,7

c) Staphylococcus aureus

Obat pilihan utama pada S. aureus yang masih sensitif terhadap methicilin

adalah nafcillin atau oxacillin intravena dosisi tinggi. Untuk pneumonia

MRSA, untuk menggunakan vancomycin.6,7

d) Pneumonia Aspirasi

Antibiotik yang efektif adalah klindamisin atau penisilin untuk pneumonia

aspirasi karena, kedua obat ini dapat membunuh baik bakteri aerob dan

anaerob. Apabila sudah terbentuk abses paru, klindamisin dipilih sebagai

obat utama. Pada aspirasi nosokomial, penggunaan antibiotik berspektrum

luas seperti cephalosporin generasi ke 3 bersamaan dengan metronidazole

sangatlah direkomendasikan. Pilihan alternative lainnya adalah penisilin

semisintetik diberikan bersamaan dengan lactamase inhibitor (ticarcillin-

clavunalate atau piperacillin-tazobactam) atau carbapenem (imipenem or

meropenem) dapat digunakan. Apabila diduga terdapat aspirasi benda asing,

diperlukan bronkoskopi untuk mengeluarkan benda tersebut.6,7

27
Perpindahan Penggunaan Obat Intravena Menjadi Obat Oral untuk

Pengobatan Pneumonia

Hasil studi penelitian menunjukan bahwa perpindahan dari penggunaan

antibiotik secara intravena menjadi oral dapat dilakukan apabila Pemeriksaan

leukosit mulai kembali normal, Suhu tubuh normal dengan dua kali pengukuran

dengan jarak 16 jam, dan terdapat perbaikan dari batuk dan sesak nafasnya.

Golongan quinolon diserap sangat baik pada traktus gastrointestinal. Pasien dapat

dipertimbangkan untuk pulang ke rumah setelah selesai rawat inap bila kondisinya

secara klinis stabil hingga hari ke 3-4, namun pasien lanjut usia biasanya memiliki
2,6,8
waktu yang lebih panjang untuk mencapai stabil 2-7 hari.

Kriteria Stabil Secara Klinis 8

- Heart rate < 100 x/m

- Respiratory Rate < 24 x/m

- Suhu Axilla < 37,2 C

- Tekanan sistolik > 90 mmHg

- Saturasi oksigen > 90%

- Kesadaran baik

- Toleransi per oral baik

Evaluasi Terapi

Yang paling sering digunakan untuk menilai hasil terapi adalah dengan

pengukuran tanda vital,dan pemeriksaan fisik yang berulang. Secara umum, akan

sangat jelas terlihat saat terjadi kegagalan dari terapi yang diberikan. Pada pasien

yang terjadi perbaikan klinis, hanya diperlukan melakukan foto rontgen dada ulang

sekali lagi untuk melihat perbaikannya. Sangatlah penting mengetahui kapan kita

harus melakukan foto rontgen ulang ini. Pada pasien dengan PPOK biasanya terjadi

28
penundaan dalam penyembuhan dari pneumonia dalam gambaran radiologi. Akan

tetapi, apabila dalam 12 minggu tidak terjadi penyembuhan, maka perlu dilakukan

bronkosopi.pada 2% pasien dengan CAP, pneumonia adalah salah satu manifestasi

dari kanker paru. Pada 50% pasien ini, diagnosa dapat diperkirakan secara radiografi

disaat timbulnya gejala. CT scan dada sangat membantu dalam penanganan pada

pasien yang tidak mengalami perbaikan. Dengan ini dapat terdeteksi efusi pleura

(kemungkinan besar empiema) dan kavitas dini sebelum dapat terlihat pada rongen

thorax biasa. 2,6

2.10 Komplikasi 9

Terdapat beberapa komplikasi dari pneumonia, diantaranya:

-Efusi pleura

- Empiema

- Abses Paru

- Pneumotoraks

- Gagal nafas

- Sepsis

2.11 Prognosis

Prognosis dari pneumonia sendiri sangatlah tegantung dari umur pasien,

komorbiditas, dan tempat perawatan pasien. Pada pasien dengan usia muda dan tanpa

komorbiditas, akan cepat pulih dan sembuh total setelah 2 minggu. Pada pasien yang

berusia tua dengan kondisi komorbid akan beberapa minggu lebih lama dalam

penyembuhan.2

2.12 Pencegahan

Pnemonia komunitas. Di anjurkan pemberian vaksinasi influenza dan pnemokokus

pada orang dengan resiko tinggi, dengan gangguan imunologis, penyakit berat

29
termasuk penyakit paru kronik, hati, ginjal dan jantung. Di samping itu vaksinasi juga

perlu diberikan untuk penghuni rumah jompo atau rumah penampungan penyakit

kronik, dan usia diatas 65 tahun

Penmonia nasokomial ditujkan pada upaya programpengawasan dan pengontrolan

infeksi termasuk pendidikan staf pelaksana, pelaksanaan teknik isolasi dan praktek

pengontrolan infeksi pada pasien dengan gagal organ dan dengan skor APACHE yang

tinggi dan penyakit dasar yang berakibat fatal perlu diberikan terapi pencegahan.

30
BAB III
KESIMPULAN

Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi yang cukup sering terjadi

pada pasien lansia karena berbagai macam faktor risiko yang dimiliki oleh pasien.

Pneumonia juga merupakan penyakit infeksi yang cukup serius dan memiliki angka

morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Oleh karena itu, keahlian untuk

mendiagnosis dini dan tepat, identifikasi etiologi dan pemilihan antibiotika yang tepat

sangatlah penting guna mencegah terjadinya kematian pada pasien.

Terdapat dua diagnosis yang perlu ditetapkan pada pasien dengan pneumonia,

yaitu diagnosis klinis dan diagnosis etiologi. Diagnosis klinis belum dapat ditegakan

secara pasti hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka dari itu diperlukan

pemeriksaan radiologi untuk membanttu dalam penegakan diagnosis. Sedangkan untuk

diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan laboratorium, terutama pewarnaan gram,

kultur, dan uji sensitivitas, untuk menemukan mikroorganisme penyebab dari

pneumonia tersebut sehingga dapat dipilih antibiotika yang tepat.

Identifikasi kuman penyebab membutuhkan pemeriksaan biakan kuman

dimana biakan kuman membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya,

sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Maka sebelum hasil kultur kuman dan

uji sensitifitas keluar, diberikan terapi antibiotik secara empiris. Pemberian antibiotik

secara empiris dapat berupa antibiotik golongan makrolid ataupun fluoroquinolone.

Setelah keluar hasil uji kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab diberikan

antibiotik yang sesuai. Pada pemberian antibiotik secara empiris jika terdapat

perbaikan, antibiotik dapat diteruskan, jika tidak maka antibiotik diganti sesuai uji

kepekaan.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Sitiyohadi B, Syam AF Pneumonia - Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Keenam, Jakarta: Internal Publisihing,

2014:1608-205.

2. Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME et al 2009, Pneumonia - Hazzard’s

Geriatric Medicine and Gerontology. 6th edition, New York: McGraw-Hill;

1531-45.

3. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL 2011, Pneumonia - Harrison Principle of

Internal Medicine 18th edition, London: McGraw-Hill.

4. Niederman MS, McCombs JS, Unger AN, et al 1998, The cost of treating

community-acquired pneumonia. Clin Ther; 20:820–837

5. Kaplan V, Angus DC, Griffin MF, et al 2002, Hospitalized community-

acquired pneumonia in the elderly: age- and sex-related patterns of care and

outcome in the United States: Am J Respir Crit Care Med; 165:766–772

6. Marie TJ, Yoshikawa TT 2003, Community-acquired Pneumonia in Elderly,

Am J Respir Crit Care Med ;31:1066-78

7. Southwick F 2007, Pulmonary Infection- Infcetious Disease a Clinical Short

Course 2nd ed, London: McGraw-Hill.

8. Castillo J G, Sanchez Francisco J et al 2014, Guidelines for the management

of community acquired pneumonia in the elderly paient, Madrid; 27 (1): 69-86

9. PDPI, 2003. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Komunitas

di Indonesia.

32
10. PDPI, 2003. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Nosokomial

di Indonesia.

11. Sligi WE, Marie T and Magindar S. Age Stil matters prognosticating short and

long term mortality for criticallyill patient with pnemonia. Crit Care Med.

2010;III (38):p.2126-32

12. Said M.Pnemonia Penyebab Utama Mortalitas Anak Balita di Indonesia. !st

ed. Jakarta:EGC;2007. Hal 45-55

33

You might also like