Professional Documents
Culture Documents
SYOK ANAFILAKSIS
OLEH:
SEISA GUMELAR NASTITY
PENDAMPING:
Dr. Erniek Saptowati
RS MUHAMMADIYAH BABAT
LAMONGAN
2018
HALAMAN PENGESAHAN
PORTOFOLIO
SYOK ANAFILAKTIK
Menyetujui
Dokter Pendamping
I. DEFINISI
Anafilaktik adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 dengan onset cepat, sistematik, berat dan
mengancam nyawa. Jika reaksi tersebut hebat dapat menimbulkan syok yang disebut syok
anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan tepat karena dapat berakibat
fatal.1 Australian Society of Clinical Immunology and Allergy (ASCIA) 2016 mendefinisikan syok
anafilaktik sebagai “Any acute onset illness with typical skin features (urticarial rash or
erythema/flushing, and/or angioedema), PLUS involvement of respiratory and/or cardiovascular
and/or persistent severe gastrointestinal symptoms. OR Any acute onset of hypotension or
bronchospasm or upper airway obstruction where anaphylaxis is considered possible, even if
typical skin features are not present.”2
II. ETIOLOGI
Reaksi anafilaktik dapat terjadi setelah paparan terhadap alergen dari beberapa sumber
seperti makanan, aeroallergen, gigitan serangga, obat-obatan dan imunisasi. Reaksi anafilaktik
sesudah imunisasi adalah kejadian serius namun jarang terjadi, yang terjadi dalam kisaran 1 – 10
per 1 juta dosis.2
III. PATOFISIOLOGI
Nomenklatur tradisional untuk anafilaktik adalah istilah anafilaktik untuk reaksi yang
dimediasi oleh imunoglobulin E (IgE) dan istilah anafilaktoid untuk reaksi yang tidak dimediasi
oleh IgE. Organisasi Alergi Dunia telah merekomendasikan untuk mengganti terminologi ini
dengan reaksi anafilaktik imunologi (IgE-mediated dan non-IgE-mediated [misalnya, IgG-
mediated]) dan reaksi anafilaksis non-immunologi (peristiwa yang mengakibatkan degranulasi sel
mast dan basophil mendadak dalam ketiadaan imunoglobulin).3 Coomb dan Gell (1963)
mengelompokkan anafilaktik dalam hipersensitivitas tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme
anafilaktik melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu
yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan
sel mast dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang
dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.4 Selain IgE, kita sekarang tahu bahwa IgG
juga bisa menginduksi reaksi passive systemic anaphylaxis (PSA), dengan manifestasi fisiologis
mirip dengan yang terlihat pada pasien dengan IgE-dependent PSA (terutama hipotermia,
vasodilatasi, dan perubahan cardiopulmonary). Anaphylaxis yang dimediasi IgG biasanya
membutuhkan dosis antigen yang jauh lebih besar daripada yang diperantarai IgE.5
Gambar 1. Respon imun IgE dan IgG-mediated.5
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh
Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan
mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma
(Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada
reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.4 IgE antibodies memegang peranan penting
memainkan peran penting dalam proses spesifisitas imunologi untuk aktivasi sel efektor pada
pasien dengan anafilaksis dan penyakit alergi lainnya. IgE adalah isotipe yang ditemukan pada
konsentrasi terendah dalam sirkulasi sekitar 50-200 ng / mL. Namun, IgE dapat ditemukan pada
tingkat yang jauh lebih tinggi pada pasien dengan penyakit alergi. IgE berikatan dengan reseptor
afinitas tinggi FcεRI pada permukaan basophil, sel mast, dan beberapa jenis sel lainnya termasuk
netrofil, eosinophil, monosit dan sel dendritic, serta platelet. Aktivasi kaskade komplemen terjadi
sebagai respon dari berbagai stimuli dan menyebabkan pelepasan C3a, C4a dan C5a, dimana ketiga
komplemen ini dikenal sebagai anaphylatoxins. Anaphylatoxins dapat mengaktifkan berbagai sel
myeloid termasuk sel mast dan basophil.5
Sel mast dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada
paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang
sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan
mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain
dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators. Ikatan antigen-antibodi merangsang
degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan
prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaktik) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ
tertentu. 4
Ada 4 reseptor histamin yang dikenal, bernama H1 hingga H4. Studi dengan antagonis reseptor
menunjukkan bahwa beberapa dari efek sistemik histamin, termasuk obstruksi saluran napas,
takikardia, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, pruritus, bronkospasme, dan rhinorrhea
terutama dimediasi melalui reseptor H1, sedangkan beberapa lainnya, termasuk flushing dan sakit
kepala, tampaknya dimediasi melalui kedua H1 dan H2 reseptor. Reseptor H2 meningkatkan
kontraktilitas atrium dan ventrikular, chronotropy atrium, dan vasodilatasi arteri koroner. Reseptor
H3 dalam model eksperimental anafilaksis anjing tampaknya mempengaruhi tanggapan
kardiovaskular terhadap norepinefrin. Pentingnya reseptor H3 pada manusia tidak diketahui. Sel
mast dan basofil kemungkinan merupakan sumber utama histamin dalam pasien dengan
anafilaksis.3,5 Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan
kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik
eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.4
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena
maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik
sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi
penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang
berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita. Tryptase jauh lebih stabil daripada
histamin dan dianggap sebagian besar produk yang dilepaskan dari sel mast. β-tryptase matur
disimpan dalam granula sel mast dan dilepaskan saat aktivasi seperti pada reaksi anafilaksis.5
V. FAKTOR RISIKO
Kelompok usia yang berisiko terutama anak-anak, remaja, wanita hamil dan lansia. Anak-
anak terutama pada usia remaja sangat rentan terhadap reaksi anafilaktik karena perilaku yang
cenderung berani mengambil risiko saat beralih dari masa pemantauan orang tua dan masa
pengambilan keputusan sendiri.8 Penyakit yang mungkin berkaitan dengan reaksi anafilaktik
adalah asma, terutama pada asma berat dan tidak terkontrol. Pasien yang memiliki alergi spesifik
terhadap kacang-kacangan dan biji-bijian berada pada risiko tertinggi untuk reaksi anafilaktik
berat. Pada pasien dengan alergi sengatan serangga, tingkat keparahan kasus meningkat pada
pasien-pasien dengan usia yang lebih tua, riwayat penyakit kardiovaskular, kelainan sel mast
seperti mastocytosis dan sindroma aktivasi sel mast, peningkatan konsentrasi baseline serum
tryptase, riwayat penggunaan beta-adrenergic-blocker dan/atau angiotensin converting enzyme
(ACE) inhibitor, serta riwayat reaksi berat sebelumnya. Co-factors adalah beberapa hal yang
meningkatkan risiko terjadinya reaksi alergi atau tingkat keparahan penyakit. Antara lain:
olahraga, demam, infeksi akut, premenstruasi, dan stress emosional.6,8
Gambar 5. Ilustrasi identifikasi tanda dan gejala syok anafilaktik oleh WAO.8
IX. DIAGNOSIS BANDING4,8
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak
spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit lainnya
yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh sistem
organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan
basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap
reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok
anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris,
Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika.
Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak
pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi
vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih
mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.Sementara infark miokard akut,
gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering
diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada
anafilaktik tidak ada nyeri dada.
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien
tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun
tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik
ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tanda-tanda
gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara.
Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare,
serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa
keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih
dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan
denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.
Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara
napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik,
dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini menyebabkan
gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang
disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.
X. PROGNOSIS
Prognosis keseluruhan dari anafilaktik adalah baik, dengan rasio kasus kematian kurang
dari 1% dilaporkan dalam kebanyakan studi berbasis populasi. Risiko kematian akan meningkat
pada mereka dengan asma yang sudah ada sebelumnya, terutama jika asma susah dikendalikan atau
pada mereka penderita asma yang gagal menggunakan, atau menunda pengobatan dengan
adrenalin. Ada sekitar 20 kematian anafilaktik yang dilaporkan setiap tahun di Inggris, meskipun
ini mungkin merupakan estimasi yang sangat rendah.6 Kematian pada anafilaktik biasanya terjadi
segera setelah kontak dengan pemicu. Dari serangkaian kasus, reaksi makanan yang fatal
menyebabkan pernafasan biasanya setelah 30–35 menit; sengatan serangga menyebabkan kolaps
dari syok setelah 10–15 menit; dan kematian yang disebabkan oleh obat intravena terjadi paling
sering dalam lima tahun menit. Kematian tidak pernah terjadi lebih dari enam jam setelah kontak
dengan pemicu.7
4. PLANNING
a. Diagnosis
-
b. Therapy
Posisikan trendenlenbug
O₂ 6 lpm via nasal canule
IVFD RL 1500 CC/24jam
Inj. Indexon 2x1 amp
Inj. Fordin 2x1 amp
c. Monitoring
Tanda-tanda vital
Keluhan pasien
d. Education
Menjelaskan pada pasien dan keluarga tentang penyakit yang diderita, penyebab
penyakit serta kemungkinan pencetus gejala
Menjelaskan pada pasien dan keluarga pasien tentang pemeriksaan yang akan
dilakukan dan terapi apa saja yang akan diberikan
Menjelaskan pada pasien dan keluarga bahwa pasien harus dirawat di RS dalam
minimal 1x24 jam untuk memantau perkembangan penyakit
Menjelaskan pada pasien dan keluarga cara pencegahan agar gejala tidak muncul
kembali dan penanganan awal bila terjadi kembali.
MANAJEMEN TERAPI
SYOK ANAFILAKTIK