You are on page 1of 2

DARI TRIKORA SAMPAI SUPERSEMAR

IRIAN, IRIAN, IRIAAAANNN…….

Itulah bait pertama lagu yang diajarkan kepada para pelajar pada awal tahun 60-an dalam rangka
kampanye perebutan Irian Barat. Lagunya amat menarik sehingga sebagi pelajar kami terbawa pada
retorika vokalnya. Gerakan Trikomando Rakyat (TRIKORA) untuk mengembalikan Irian Barat kepangkuan
Ibu Pertiwi saat itu nampaknya sudah menjadi bagian hidup sehari-hari bangsa Indonesia. Disekolah,
dikantor, ditempat-tempat umum topik pembicaran orang lebih sering kepada soal TRIKORA ini. Emosi
masa Setiap saat selalu bangkit, muncul berupa ketidak senangan kepada bangsa Belanda.

Apalagi semangat anti Belanda tidak pernah putus sejak pengambil alihan perusahaan milik
Belanda pada tahun-tahun sebelumnya. Kegandrungan masyarakat ini tentu saja terutama karena dipicu
pidato-pidato Presiden soekarno. Sejak tahun limapuluhan, Bung Karno memang tidak pernah
melupakan untuk menyelipkan soal Irian Barat dalam pidatonya. Dengan perkataan lain telah terjadi
etape politik memusuhi Belanda babak kedua setelah masa Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-1949.
Itulah suasana gejolak politik 60-an yang terjadi. Dalam suasana ini, tanpa disadari masyarakat, dua
kekuatan politik mulai berebut pengaruh dan bersaing habis-habisan, yaitu Angkatan Darat dan PKI.

Persaingan ini baru berahir nanti saat meletusnya peristiwa G30S pada tahun 1965. Tapi dalam
soal TRIKORA, keduanya melihat kalau kampanye perebutan Irian Barat akan menuai pembangunan
kekuatan politik masing-masing secara nyata. Pada bulan Juli 1962 anggota BTI (organisasi tani dibawah
PKI) berjumlah 5,7 juta orang, anggota SOBSI 3,3 juta orang, Gerwani 1,5 juta orang. Jumlah anggota PKI
yang tercatat pada ahir tahun 1962 telah mencapai lebih dari 2 juta orang. Jumlah kaum intelek anggota
PKI, LEKRA telah mencapai 100.000 orang pada medio tahun 1963. Semua ini telah menempatkan PKI
sebagai partai komunia terbesar diluar negara komunis. Bagi T.N.I, kampanye untuk merebut Irian Barat
dari tangan Belanda adalah kesempatan terbaik untuk membangun kekuatan militernya. Hal ini sejalan
dengan usaha memancing simpati Rusia sebagi blok sovyet yang sedang perang dingin dengan blok
Amerika. Bantuan hibah (grant) atau pinjaman ringan merupakan masa paling mewah bagi
pembangunan kekuatan militer Indonesia. Ketika tidak satupun negara Asia Tenggara yang memiliki
pesawat pembom jarak menengah, kita suda punya squadron Elyusin dengan semua perangkat
penunjangnya. Kekuatan udara pesawat tempur AURI tiba-tiba melompat dari pesawat propeler tua
kepada pancargas modern, seperti Mig 15, 17 dan terahir 21.

Tidak lupa untuk pertama kali kita juga diperkenalkan dengan sistim radar canggih dan peluru
kendali dari darat keudara. Demikian pula kekuatan laut kita saat itu tidak bisa dibilang kecil. Kita
memiliki sejumlah kapal perang besar, kapal selam, kapal cepat torpedo, penyapu ranjau, amtrack, tank
amfibi dan masih banyak lagi. Tapi semua itu yang paling mewah adalah angkatan darat. Sejumlah
perwira tinggi yang diketuai Jenderal AH. Nasution, telah mendapat undangan untuk berkunjung ke
Rusia untuk diperkenalkan pada kekuatan militer pakta warsawa. Angkatan darat dengan kekuatan
infantrinya akan ditunjang oleh kekuatan arteleri dan kavaleri tingkat dunia. Senjata pasukan yang
dimiliki mulai dari senjata ringan Kalasnikof (AK 47), Bren AK, pistol Tokaref, sampai peluncur granat yang
belum pernah kita miliki sebelumnya. Demikian juga telah diadakan pelatihan militer bagi personil ketiga
angkatan di negara-negara blok sovyet dan kunjungan konsultan militer Rusia juga bagi ketiga angkatan.
Semua kenyataan ini rupanya sukar dipahami secara arief oleh para pejabat Pemerintahan. Seyogyanya
persiapan perang ini juga diimbangi dengan penkondisian sosial, politik dan ekonomi secara baik pula.
Namun hal itu tidak segampang membalik tangan. Kondisi ekonomi nasional sedang merosot. Indonesia
justru sedang menghadapi hiper-inflasi yang permanen (sekitar 100 % pertahun) mulai tahun 1961
sampai tahun 1964. Padahal dilihat dari sudut pandang dunia luar dalam negeri kita sedang hanyut pada
keadaan radikalisme politik. Bagi kepentingan Amerika, hal ini rupanya bukan main-main. Melihat pihak
militer yang amat tergantung pada blok Sovyet, dan pembangunan politik dalam negeri yang dikuasai
PKI. Maka tidak ada pilihan lain. Amerika menekan Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Sebagai
negara kecil Belanda yang saat itu dipimpin Perdana menteri de Quai tidak punya pilihan lain.

Pada bulan Februari 1962, Presiden Kennedy mengutus adiknya Jaksa Agung Robert Kennedy
untuk bertindak sebagai penengah. Meskipun perundingan berjalan tidak terlalu mulus, pada tanggal 15
Agustus 1962, Belanda sepakat menyerahkan wilayah Irian Barat pada tanggal 1 Oktober 1962 kepada
suatu pemerintahan sementara PBB yang selanjutnya akan menyerahkan kepada pihak Indonesia tanggal
1 Mei 1963. Dan seperti tertulis dalam sejarah, setelah melalui PEPERA, Irian Barat yang kini bernama
PAPUA itu kembali kepangkuan Ibu Pertiwi.

Tapi dibalik itu meskipun Soekarno telah mencapai cita-citanya, dalam negeri Indonesia bagai api
dalam sekam. Pihak militer melihat PKI sebagai musuh, sebaliknya PKI melihat tentara sebagai seteru.
Ketegangan berhasil diatasi Soekarno dengan membangun musuh imajiner baru yang namanya Neo
Imperialisme, Neo Kolonialisme dan Neo Kapitalisme. Yang bentuk nyatanya digambarkan sedang
bercokol tidak jauh dari Indonesia, yaitu apa yang disebutnya negara boneka Malaysia. Malaysia dan
Singapura telah dimerdekakan Inggris sejak tahun 1957, tapi ada ganjalan Soekarno mengenai hal
tersebut. Bukan saja karena merasa satu rumpun, tapi sesungguhnya cita-cita Indonesia Raya itu tak
pernah padam. Pada suatu hari ketika kembali dari Dalat (tanggal 13 Agustus 1945), setelah menghadap
Marsekal Terauchi, dikota Taiping (Malaya Utara), Soekarno dan Hatta bertemu dengan sejumlah
pemuda perwakilan rakyat Malaya. Ketuanya bernama Ibrahim Yakub, dan atas nama rakyat Malaya,
mereka menginginkan bergabung dengan Republik Indonesia saat Proklamasi 17 Agustus 1945. Soekarno
menjanjikannya. Belakngan demikian juga rakyat Kalimantan Utara pernah menyampaikan petisi yang
sama ingin bergabung dengan Indonesia. Bagi Indonesia juga tidak terlalu bersih karena kerap campur
tangan dalam negari Indonesia. Misalnya berkaitan dengan gerakan PRRI-Permesta, Malasia merupakan
tempat transit kaum pemberontak. Mungkin saja ada dalam pikiran Soekarno saat itu, kalau peralatan
militer yang menggunung yang tidak sempat dipakai saat Irian Barat, bisa dipergunakan untuk
konfrontasi dengan Malasia. Tapi mimpi itu rupanya sukar diwujudkan, karena didalam negeri keadaan
politik sudah kadung bagaikan hamil tua. Persaingan politik dua kubu PKI dan Angkatan darat tidak bisa
menanti untuk didamaikan lagi. Tidak tahu bagaimana kejadiannya secara pasti karena sampai
sekarangpun orang masih banyak menyebutnya sebagai misteri. 7 orang jenderal Angkatan darat
kedapatan diculik dan dibunuh. Seperti apa yang disampaikan oleh yang empunya cerita…..PKI lah yang
dianggap biang keladinya. Maka sejak tanggal 12 Maret 1966, stelah menerima SP 11 Maret
(SUOERSEMAR) dari Soekarno, Jenderal Soeharto Men.Pangad pengganti Jenderal Yani (salah satu
korban G30S) mengadakan pembersihan nasional dari anasir PKI dan onderbownya…………..

You might also like