You are on page 1of 27

GENETIKA KELAMIN

RESUME, QUESTION & ANSWER

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAHGENETIKA 1


Yangdibinaoleh Prof. Dr. arg. Mohamad Amin, S.Pd, M.Si dan Andik Wijayanto, S.Si, M.Si

Oleh :
Kelompok 5
Lutfita Fitriana (160342606284)
SulistyaIkaRamadhani (160342606299)
Offering H

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PRODI BIOLOGI

SEPTEMBER 2018
KAJIAN GENETIK EKSPRESI KELAMIN
a. Ekspresi Kelamin Pada Makhluk Hidup Prokariotik
Pada ekspresi kelamin pada makhluk hidup prokariotik menggunakan bakteri E. coli. Sel-sel
kelamin jantan dan betina E. coli dikenal atas dasar ada atau tidak adanya “suatu kromosom
kelamin tidak lazim” yang disebut “faktor F” (F = fertility = kesuburan). Pada E. coli faktor F itu
dapat berupa suatu badan/ bentukan terpisah tetapi dapat juga berada dalam keadaan terintegrasi
dengan kromosom utama sel.
- Sel-sel Escherichia coli Jantan (F+)
Suatu sel E. coli dinyatakan berkelamin jantan jika dalam sel tersebut terkandung faktor F yang
berupa badan terpisah dari kromosom. Sel kelamin jantan disebut F+. Sel E. coli dinyatakan
berkelamin betina (F-) jika dalam satu sel tersebut tidak terkandung faktor F. Sel berkelamin
jantan (F+) mampu mentransfer gen-gen ke dalam sel berkelamin betina (F-).
- Sel-sel Escherichia coli Berkelamin Jantan (Hfr)
Sel-sel E. coli berkelamin jantan (F+) yang faktor F-nya terintegrasi ke dalam kromosom, yang
nanntinya akan berubah menjadi sel Hfr (High frequency of recombinant). Sel Hfr tetap
berkelamin jantan, hanya saja membentuk pilus konjugasi dan dapat berfusi sel berkelamin
betina (F-).
a. Ekspresi Kelamin Pada Makhluk Hidup Eukariotik
- Ekspresi Kelamin Pada Tumbuhan Eukariotik
Chlamydomonas
Sel-sel Chlamydomonas biasanya haploid dan dapat bereproduksi secara vegetative dengan
pembelahan. Sel yang berpotensi sebagai gamet dan reproduksi seksual terjadi saat sel-sel motil
yang berkelamin berlawanan saling bersatu membentuk zigot yang diploid.
Beberapa fungsi perkelaminan Chlamydomonas berhubungan dengan kerja senyawa-senyawa
tertentu serupa hormon, dimana tiap senyawa dibentuk dibawah kendali suatu gen tertentu.
Fungsi-fungsi itu adalah: 1) pertumbuhan flagel, 2) konjugasi gamet,
3) penentuan jenis kelamin, 4) faktor kemandulan, 5) prekursor dari senyawa penyebab
kemandulan.
Secara genetik ada 2 kelamin (mating type) yaitu tipe (+) dan (-), yang tidak dapat dibedakan
secara morfologi dan berada dibawah kontrol satu gen. Jenis kelamin Chlamydomonas
dinyatakan sebagai sifat jantan dan betina, dan perkelaminan tersebut bersifat relatif.
Saccharomyces dan Neurospora
S. cerevisiae dan N. crassa bersifat monogenik atau berada di bawah control satu gen. Pada S.
cerevisiae kelamin dibedakan menjadi kelamin atau mating type (+) dan (-) dibedakan menjadi
kelamin atau mating type (+) dan (-) yang secara morfologis tidak dapat dibedakan.
Kelas Jamur Basidiomycetes
Sekitar 90% spesies jamur dalam kelas Basidiomycetes tergolong heterotalik. Sekitar 37%
spesies heterotalik tersebut (bipolar) kompatibilitas kelamin dipengaruhi oleh 1 pasang faktor Aa
seperti halnya pada Murocales heterotalik atau semacam Ascomycetes seperti Neurospora
sitophila.
Lumut Hati
Perangkat kromosom sporofit lumut hati Sphaerocarpos dilaporkan terdiri dari 7 pasangan yang
masing-masing kromosomnya setangkup, serta sepasang (pasangan ke 8) yang tidak setangkup
kromosomnya. Pada pasangan ke 8 ini salah satu kromosom lebih besar daripada yang lainnya,
dan kromosom yang lebih besar itu disebut sebagai kromosom X sedangkan yang lebih kecil
disebut sebagai kromosom Y.
Saat meiosis, kromosom X dan Y memisah dari keempat meiospora yang dihasilkan tiap
meiocyte, dua diantaranya menerima kromosom Y. Meiospora yang mengandung kromosom Y
berkembang menjadi gametofit jantan, dan yang mengandung kromosom X menjadi gametofit
betina. Dalam hal ini genotip gametofit betina adalah X dan genotip gametofit jantan adalah Y;
sedangkan genotip sporofit adalah XY.
Tumbuhan Berumah Satu dan Berumah Dua
Tumbuhan berumah satu (monocious) yang mana bunga jantan maupun bunga betina berada
bersama-sama pada satu individu tanpa memperhatikan apakah keduanya terletak pada kuntum
yang sama atau tidak. Keadaan ini bahwa sel kelamin jantan maupun betina dihasilkan oleh satu
individu. Di lingkungan hewan, keadaan semacam ini dikenal sebagai hewan yang bersifat
hermaprodit.
Pada jagung adalah tumbuhan berumah satu terdapat gen mutan ba (barren stalk) dan ts (tassel
sed). Dalam keadaan homozgit baba, tanaman jagung hanya akan berbunga jantan dalam
keadaan homozigot tsts, tanaman jagung hanya akan berbunga betina yang dikendalikan oleh dua
gen pada lokus yang berlainan.
Pada tumbuhan berumah dua yang dikendalikan oleh gen pada satu lokus saja. Misalnya pada
Ecballium elaterium yang mana jenis kelamin ditentukan oleh kombinasi pasangan dari tiga alela
aD, a+, dan ad. Dikatakan bahwa aD dominan terhadap a+ maupun ad. Pada kombinasi pasangan
aDaD, aDa+, dan aDad, individu yang bersangkutan berkelamin jantan. Pada kombinasi pasangan
a+a+ dan a+ad individu itu tergolong berumah satu, sedangkan pada kombinasi pasangan adad
individu itu berkelamin betina. Dalam hal ini Ecballium elaterium dapat merupakan tumbuhan
berumah satu maupun tumbuhan berumah dua.

Marga Melandrium
Melandrium (nama baru Lychnis) merupakan angota dari suku Caryophyllaceae. Ekspresi
kelamin pada M. Album ditentukan oleh perimbangan antara gen-gen penentu kelamin.
Dijelaskan bahwa ekspresi kelamin pada Melandrium terkait dengan perimbangan antar gen
dijelaskan bahwa perimbangan X/A tidak ada kaitannya dengan kelamin, sedangkan
perimbangan X/Y adalah yang paling berkaitan dengan kelamin. Rasio X/Y sebesar 0,5 dan 1,0
maupun 1,5 dapat memunculkan tumbuhan yang hanya memiliki stamen, sedangkan rasio X/Y
sebesar 2 dan 3 terkadang bunga sempurna terbentuk diantara semua bunga lainnya yang
berstamen. Analisis kromosom Y menunjukkan pula bahwa:
a. Daerah I hilang, akan muncul tumbuhan biseks,
b. Daerah II hilang, akan muncul tumbuhan betina,
c. Daerah III hilang, akan muncul tumbuhan jantan steril
Melandrium yang memiliki kromosom XX berkelamin betina, sedangkan Melandrium yang
memiliki kromosom XY berkelamin jantan.
Ekspresi Kelamin Pada Hewan Avertebrata
- Parameccium bursaria
Pada P.bursaria ditemukan beberapa kelamin, tepatnya 8 kelamin (mating type), tipe
kelamin secara fisiologis tidak dapat berkonjugasi dengan tipenya sendiri, tetapi dapat
berkonjugasi dengan satu dari ke-7 tipe lain.
- Ophryotrocha
Ophryotrocha merupakan salah satu marga Annelida yang memiliki kelamin terpisah,
ada individu jantan dan betina. Tipe kelamin pada Ophryotrocha ditentukan oleh ukuran tubuh
hewan tersebut. Jika ukuran tubuh kecil (karena masih muda atau akibat amputasi) hewan
tersebut akan menghasilkan sperma, jika ukuran tubuhnya besar, hewan yang sama itu akan
berubah menghasilkan telur. Dikatakan bahwa lingkungan gonad berubah karena pengaruh
pertumbuhan hewan yang bersangkutan
- Cacing Tanah
Cacing tanah merupakan kelompok hewan hemaprodit, yang mana terdapat 2 gonad yang
terpisah pada segmen-segmen yang berbeda. Satu gonad menghasilkan gamet jantan, dan satu
gonad menghasilkan gamet betina.
- Helix
Keong dalam marga ini merupakan salah satu kelompok hewan hemaprodit. Hewan ini
menghasilkan sperma maupun telur, telur dan sperma pada hewan ini dihasilkan oleh sel-sel
yang kadang-kadang terletak sangat dekat satu sama lain pada satu gonad.
- Crepidula
Marga Crepidula dalam Mollusca penempel kapal. Setiap individu mengalami suatu
urutan perkembangan, mulai dari tahap aseksual yang diikuti oleh suatu tahap jantan. Tahap
jantan itu diikuti oleh suatu tahap peristiwa perantara dan akhirnya tahap betina. Selama tahap
jantan, pada individu yang sudah cukup matang dan bersifat sedenter, transformasi ke tahap
betina akan menurun, tetapi jika tetap bebas, individu jantan relatif cepat mengalami perubahan
memasuki tahap betina. Jelas bahwa perubahan dari jantan ke betina dangat kuat dipengaruhi
oleh lingkungan
- Lygaeus turcicus
Pada serangga kutu tanaman Lygaeus turcicus sudah ditemukan kromosom X dan Y.
Kromosom X berukuran lebih kecil daripada kromosom Y. Zigot memiliki kromosom kelamin
XX akan emnjadi individu betina dan jika memiliki kromosom XY akan menjadi individu jantan.
- Hymenoptera
Lebah, semut, tawon serta “sawlies” ketika telur tidak dibuahi akan berkembang menjadi
individu jantan yang haploid, dan jika telur tersebut dibuahi maka akan berkembang menjadi
individu betina yang haploid. Individu jantan haploid menghasilkan sprema melalui meiosis.
Gamet yang dihasilkan oleh kedua individu mempunyai komposisi kromosom secara morfologis
identik (kemungkinan tidak sama kandungan alelnya). Ciri khas dari Hymenoptera bahwa
kromosom kelamin tidak berperan dalam ekspresi kelamin, selain itu jumlah dan mutu makanan
yang dimakan oleh larva yang diploid akan menentukan tumbuh dan berkembang menjadi
individu betina pekerja yang steril, ratu atau fertil. Lingkungan sangat menentukan sterilitas atau
fertilitas, tetapi tidak mengubah kelamin yang secara gentik telah ditetapkan.
Ekpresi kelamin semacam itu disebut dengan haplo-diploidy. Hasil eksperimen Whiting
menunjukkan bahwa status segmen kromosom tertentu yang homozigot, heterozigot atau
hemizogot menentukan ekspresi kelamin. Dalam hal ini ekspresi kelamin betina tergantung pada
heterozigositas bagian suatu kromosom. Jika ada 3 segmen kromosom Xa, Xb,Xc, maka individu
akan memiliki komposisi kromosom XaXb, XaXc, atau XbXc, seluruhnya betina atau individu
hemizigot tergolong berkelamin jantan. Whiting membuktikan bahwa ekspresi kelamin
tergantung pada komposisi genetik daerah/kelamin kromosom tersebut dan bukan tergantung
pada fenomena diploid dan haploid untuk menghasilkan individu jantan haploid homozigot.
Pada Habrobracon juglandis mekanisme ekspresi kelamin umumnya sama akan tetapi
pada tawon parasitik ini juga ditemukan individu jantan yang diploid. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa individu jantan yang diploid itu memang merupakan hasil fertilisasi.
Peristiwa ini terjadi pada turunan induk yang berkerabat dekat, penelitian lain memperkuat
bahwa adanya suatu alel ganda yang berperan.
Alel xa,xab,xc dan xd dan sebagainya itu bukanlah sebagai alel ganda, tetapi lebih
bermakna sebagai perangkat yang terdiri dari banyak alel pada suatu segmen kromosom.
Individu jantan yang haploid boleh jadi bergenotip xa,xb atau xc. Jika individu jantan diploid
boleh jadi bergenotip xaxa,xcxc atau xdxd. Tapi jika diploid heterozigot xaxb,xaxc atau xbxd
maka berkelamin betina.
Perilaku komplementer ini berawal dari ditemukannya gynadromorph yang aneh pada
Habrobracon yang disebut gynandroid. Gynandroid beraal dari sel telur berinti ganda yang
tidak dibuahi, kedua inti beralel x yang berbeda. Tawon ini haploid jantan dan berwujud mosaik,
akan tetapi pada daerah genital, tepatnya bagian depan tumbuh pula alat reproduksi betina yang
berukuran kecil.
- Drosophila melanogaster
D.melanogaster memiliki kromosom X dan Y. Pada keadaan normal diploid ditemukan
pasangan kromosom kelamin XX dan XY atau pasangan kromosom lengkap AAXX dan AAXY.
Mekanisme ekspresi kelamin dikenal sebagai suatu mekanisme perimbangan antara X dan A
(X/A). Hasil perimbngan itu oleh Herskowitz disebut degan “numerical sex index”. Pada
kromosom kelamin X terdapat perangkat gen untuk kelamin betina, sedangkan gen untuk
kelamin jantan terdapat pasangan autosom. Determinasi jantan sebesar 1, sedangkan tiap
kromosom X memiliki determinasi betina sebesar 1,5.
Tabel indeks kelamin numerik pada D. melanogaster

Sekalipun tidak dikaitkan dnegan mekanisme ekspresi kelamin X/A secara langsung,
dalam Tamarin dkk. (1991) ditemukan juga informasi tentang peranan gen dsx (doublesex) dan
gen tra (transformer) terhadap fenotip kelamin Drosophila. Baik gen dsx maupun gen tra sama-
sama merupakan gen resesif autosomal. Pada Stansfield (1983) ditemukan informasi definitif
yang menyatakan bahwa gen tra reletak pada kromosom 3. Gen dsx mengubah individu jantan
maupun betina menjadi individu intersex (tamarin dkk., 1991), sedangkan gen tra mengubah
individu betina (berdasarkan konstitusi kromosom) menjadi individu jantan steril. Selain
peranan gen dsx dan gen tra dikemukakan juga peranan suhu terhadap kelamin intersex (rasio
X/A adalah sebesar 0,67). Dinyatakan bahwa pada suhu tinggi individu intersex tersebut
berkembang ke arah ujung betina (dari spektrum intersex); dan pada suhu rendah individu
tersebut berkembang ke arah ujung jantan dari spektrum tersebut.
Berkenaan dengan gen tra (transformer) pada Drosophila sebagaimana yang telah
dikemukakan sebelum ini, ada juga beberapa informasi tambahan. Hampir semua angggota
populasi alami D. melanogaster bersifat homozigot dominana atau tra+tra+ (Hestkowitz, 1973).
Pada kondisi laboratorium, gen ini lebih mungkin dijumpai dalamkeadaan heterozigot sebagai
tra+ tra dan bahkan homozigot tratra. Individu jantan Drosophila yang muncul karena pengaruh i
gen tra bergenotip XX tratra. Individu yang bersangkutan, dari luar terlihat sebagai jantan
normal, tetapi secara anatomis testisnya sangat direduksi (Stanafield, 1983). Gen transformer
ini tidak ada pengaruhnya pada individu bergenotip XY. Dengan demikian, individu XY tratra
sekalipun tetap berfenotip kelamin jantan.
Caddies Filies, Kupu Siang (Butterfies), dan Kupu Malam (Moths), Serta Ulat
Sutera
Pada caddies flies (yang tergolong Trichoptera) kupu siang, kupu malam, serta ulat
sutera, individu yang bergenotip XX memiliki fenotip kelamin jantan. Akan tetapi juga dikatakan
bahwa kromosom kelamin pada hewan-hewan yang disimbulkan sebagai ZZ (jantan) dan ZW
atau ZO untuk betina.
Boniella
Boniella adalah cacing berbelalai yang tergolong filum Echiura, dan hidup di perairan
laut. Cacing Boniella mempunyai kelamin terpisah. Wujud dan aktivitas cacing sangat berbeda
pada kedua macam kelamin. Dikatakan bahwa individu betina memiliki belalai panjang,
sedangkan yang jantan berupa bentukan mikroskopis bersilia yang hidup sebagai parasit pada
tubuh individu betina.
Berkenaan dengan Boniella, individu-individu yang tetap hidup bebas selama seluruh
periode larva, akan menjadi betina; sedangkan larva yang menempelkan diri pada individu
betina dewasa, akan berubah menjadi jantan karena individu betina.
Ekspresi kelamin pada Boniella sebagai satu contoh fenomena perkelaminan yang non
genetik, dan tergantung pada faktor-faktor lingkungan luar. Dinyatakan pula bahwa individu
jantan dan betina yang memiliki genotip yang serupa, tetapi rangsangan dari lingkungan
memulai perkembangan ke arah salah satu kelamin atau yang lainnya; demikian pula,
determinan-determinan genetik untuk ke dua kelamin tampak jelas ada pada semua cacing muda.
Ekspresi Kelamin Pada Hewan Vertebrata
Pisces
Berkenaan dengan tipe perkelaminan gonochoristik, ikan-ikan yang memiliki gonad
dibedakan menjadi dua tipe, yaitu spesies yang memiliki gonad yang belum berdiferensiasi dan
yang memiliki gonad yang sudah berdiferensiasi ( Yamazaki, 1983). Dikemukakan lebih lanjut
bahwa di kalangan spesies yang belum gonadnya berdiferensiasi, pertama kali gonad tersebut
berkembang menjadi seperti gonad serupa ovarium; selanjutnya kira-kira separuhnya menjadi
individu jantan, sedangkan separuhnya lagi menjadi individu betina. Di lain pihak pada spesies
yang gonadnya sudah berdiferensiasi, gonad-gonad langsung berdiferensiasi menjadi suatu testis
atau suatu ovarium.
Pada individu hermaprodit sinkronous, telur dan spermatozoa masak pada waktu
bersamaan (Yamazaki,1983). Sebaliknya ikan hermaproditisma protogynous pertama kali
berfungsi sebagai individu betina, kemudian berbalik (beralih) kelamin menjadi individu jantan
pada tahapan pertumbuhan tertentu, dan pada individu hermaprodit protandrous, ovarium
menggantikan testis dengan pembalikan kelamin secara alami melalui suatu tahap perantara antar
kelamin.
Amphibia
Pada Amphibia tidak ada keseragaman pola ekspresi kelamin (Duellman dkk. 1986).
Banyak kelompok Amphibia yang sudah dikaji pola ekspresi kelaminnya, dan terlihat jelas
bahwa di kalangan tersebut sudah ada kromosom kelamin (tipe XY-XX maupun tipe ZZ-2W).
Ada pula beberapa kelompok yang tidak memiliki kromosom kelamin sepert Xenopus laevis
Heterogami jantan (tipe XY/XX) sudah ditemukan pada 3 kelompok Anura-Rana
esculenta (Schempp dan M. Schmid, 1981) Eupsophus migueli (Itura dan Veloso, 1981), dan
Gastrotheca riobambae (M. Schmid dkk., 1983); beberapa salamander- 5 spesies Necturus
(Sessions dan J. Wiley, 1985). Triturus alpestris, T helveticus dan T. vulgaris (M. Schmid
dkk.,1979), serta berbagai spesies Dendrotriton, Nototriton, Oedipina dan Thorius (P. Leon dan
Kezer, 1978).
Heterogami betina (tipe ZZrzw) sudah diketahui pada satu kelompok Anura,
Pyxicephalus adspersus (M. Schmid, 1980) dan mungkin pada Discogiossus pictus (Morescalchi,
1964), serta beberapa salamander, Pleurodeles poireti (Lacroix, 1970), P walti (Lacroix, 1968),
Triturus tatus (Callan dan L. Loyd, 1960). T marmoratus (Mancino dan Nardi, 1971), Siren
intermedia (P. Leon dan Kezer, 1971), Ambistoma laterale (Sessions, 1982), serta Ancides
ferreus (Kezer dan Sessions, 1979).
Reptilia
Informasi tentang ekspresı kelamin pada hewan reptil tidak banyak. Ayala dkk. (1984)
menyebutkan bahwa pada banyak jenis reptil, individu heterogametik berkelamin betina dengan
simbol ZW, dan yang homogametik berkelamin jantan dengan simbul ZZ. Keadaan ini sama
dengan yang terdapat pada kupu siang (butterfly), kupu malam (motsa), coddies flies", dan ulat
sutera sebagaimana yang dikemukakan oleh dengan Stansfield (1983).
Menurut Gardner dkk. (1991), pada beberapa reptil suhu pengeraman telur yang telah
dibuahi berpengaruh besar terhadap ekspresi kelamin haturunan. Dinyatakan pula bahwa pada
penyu Chrysema picta, suhu pengeraman yang tinggi biasanya menghasilkan turunan betina,
sedangkan pada kadal (lizard) Agama agama suhu pengeraman yang tingpi biasanya
menghasilkan turunan jantan.
Aves
Kromosom kelamin pada burung (sebagaimana kupu siang dan kupu malam) disimbulkan
XX atau ZZ untuk yang jantan, dan XO, ZW, atau ZO, untuk yang betina. Seperti yang telah
disebutkan, keadaan ini pun sama pada hewan reptilia.
Mammalia: Tikus dan Manusia
Atas dasar bagan pada bagian itu, terlihat bahwa konstitusi kromosom dalam inti ndalah
yang pertama kali menentukan diferensiasi kelamin dari gonad awal (yang belun mengalami
diferensiasi). Apabila kemudian terbentuk testis, maka akan disekresikan hormon testosteron.
Hormon testosteron ini selanjutnya disirkulasikan ke seluruh bagian tubuh embrio, dan
menginduksikan sel-sel somatik untuk berkembang dalam jalur jantan. Akan tetapi, jika ovarium
yang terbentuk, maka tidak adanya testoiteron ini memungkinkan sel-sel somatik untuk
berkembang dalam jalur betina.
Dewasa ini pada kromosom kelamin Y dari tilkus (tikus) sudah yditemukan gen atau
perangkat gen yang mengendalikan suatu ciri dominan yang disebut Sex reserved (Sxr) trait.
Gen atau perangkat gen termaksud menyebabkan zigot tikus yang bergenotip AAXX tumbuh dan
berkembang menjadi individu tikus yang berfenotip kelamin jantan lengkap dengan testis,
sekalipun tidak melaporkan spermatogenesis (Ayala dkk, 1984). Pada mulanya ada dugaan
pengendali ciri-ciri itu terpaut pada autosom. Akan tetapi dengan teknik DNA rekombinan
yang menggunakan satelit DNA ular betina, sudah dipastikan pengendali ciri itu (gen atao
perangkat gen) terpaut pada kromosom Y, tepatnya di bagian ujung. Diketahui pula dengan
teknik DNA-rekombinan satelit DNA (yang sudah dilabel/sudah bersifat radioaktif) tidak hanya
berhibridisasi dengan bagan ujung kromosom Y tikus. Satelit DNA itu ternyata berhibridisasi
juga dengan DNA dari: 1) kromosom polytene Drosophila pada bagian dekat dasar kromosom
X, 2) individu heterogametik dari hewan reptil lain atau burung, dan bahkan 3) manusia yang
merupakan individu heterogametik berkelamin jantan sebagaimana halnya juga pada tikus
(Itulah sebabnya satelit DNA itu disebut sebagai Garden of Eden DNA atau DNA dari Taman
Eden.
Tikus bergenotip AAXX, ternyata berfenotip kelamin jantan, hal itu berarti bahwa
selama spermatogenesis (induk jantan dari tikus bergenotip AAXX itu), bagian ujung kromosom
Y termaksud, karena suatu kejadian telah pindah dan bergabung dengan kromosom X. Temuan
penelitian mengungkapkan bahwa bagian ujung kromosom Y termaksud bergabung dengan
ujung kromosom X; dan kejadian yang memungkinkan
perpindahan itu sudah diketahui yaitu "Pindah Silang Nonresiprokal” antara kromosom X dan
Y pada metafase meiosis dari spermatogenesis.
Berkenaan dengan perkembangan testis menurut Gardner dkk.(1991) pada kromosom Y
manusia terdapat gen TDF (Testis Determining Facton) Gen TDF juga dinyatakan bertanggung
jawab terhadap perkembangan testis. Dalam hal ini gen TDF di diduga mengatur ekspresi gen
lain. Dinyatakan bahwa jika dugaan itu benar, maka gen TDF dipandang sebagai master
regulator yang merangsang ekspresi sejumlah besar gen yang menghasilkan fenotip kelamin
jantan. Dinyatakan lebih lanjut, jika tidak ada gen TDF, maka gen-gen yang menghasilkan
fenotip kelamin betina akan diekspresikan. Demikian pula gen TDF (mungkin juga gen-gen
penentu kelamin jantan yang lain pada kromosom Y) memperlihatkan efek yang sangat dominan
terhadap perkembangan fenotip kelamin; bahkan jika terdapat 3 atau lebibh kromosom X
sekalipun, satu kromosom Y biasanya cukup untuk menghasilkan testis dan ciri-ciri kelamin
jantan.
Masih dalam hubungan dengan perkembangan testis dikemukakan pula adanya gen lain
yang juga dinyatakan ikut bertanggung jawab. Gen H-Y yang terpaut kromosom kelamin Y,
dinyatakan ikut bertanggung jawab terhadap diferensiasi testis maupun spermatogenesis
(Maxson dkk 1985) Protein antigen H-Y yang pembentukannya dikontrol oleh gen H-Y
dinyatakan (tampaknya) berperan besar pada diferensiasi testis, dan dibutuhkan pula untuk
berlangsungnya proses spermatogenesis yang normal
Bagaimana gambaran perbandingan kerja gen-gen yang bertanggung presi kelamin
Mammalia termasuk manusia (gen Sxr, TDF, H-Y, dan Tfm) demikian pula informasi khusus
tentang hubungan TDF, H-Y, dan a antar gen-gen tersebut belum dapat dikemukakan di sini.
staka yang digunakan belum ditemukan informasi-informasi terkait, sekalipun ada pustaka yang
mengemukakan informasi yang cukup rinci Atas dasar tentang kerja gen tertentu, misalnya gen
H-Y sebagaimana yang akan dikemukakan pada bagian berikut.
Pada manusia dalam selang waktu sekurang-kurangnya pada bulan pertama kehamilan,
janin belum memperlihatkan dimorfisme kelamin (Maxson dkk., 1985). Pada tahap itu sistem
reproduksi embrional memiliki tiga komponen yaitu (1) gonad-gonad yang belum
berdiferensiasi, (2) dua sistem saluran genital (saluran Müller atau Müllerian ducts dan saluran
Wolff atau Wolffian ducts), dan suatu perangkat lipatan genital di bagian luar
Pada umur sekitar satu bulan, untuk perkembangan ke arah jantan (pria), sudah mulai
berlangsung proses diferensiasi; gonad gonad mulai berdiferensiasi menjadi testis (Maxson dkk.,
1985) Sekalipun prosesnya ya sebagian dipahami, mata rantai antara genotip XY dan tahap
terutama pada pertama diferensiasi kelamin tampaknya tergantung protein antigen H-Yyang
terdapat pada semua sel jantan (tidak ada pada Sel betina), Seperti yang telah disebutkan
sebelum ini, protein antigen erperanan pada diferensiasi testis dan spermatogenesis.
Tahap perkembangan fenotip kelamin berikutnya tergantung pada produk-produk testis
(Maxson dkk., 1985). Testis mensekresikan 2 hormon pengontrol yaitu substansi penghambat
(Millerian inhibiting subtance) dan testosteron. Substansi penghambat saluran Maller
mengakibatkan kemunduran sistem saluran Müller. Testosteron menginduksi "virilisasi" atau
diferensiasi jaringan embrional menjadi struktur jantan (maskulin). Pada embrio hal tersebut
mengakibatkan perubahan saluran Wolff menjadi epididimis, vasa deferentia dan vesicula
seninalis; dan sel-sel primordial berdiferensiasi membentuk kelenjar prostat dan kelenjar
Cowper. Demikian pula lipatan genital memanjang n mmbentuk penis, sedangkan jaringan yang
mengelilingi lipatarn genital membentuk scrotum.
BEBERAPA PEMIKIRAN
Kromosom, baik satu buah, sepasang, maupun seluruh pasangan, pada dasarnya bukanlah
yang menentukan (mengendalikan) jenis kelamin terwujud pada makhluk hidup. Oleh karena itu,
pandangan bahwa n Y pada manusia menentukan jenis kelamin, sesungguhnya tidak benar jika
diartikan sebagaimana yang tertulis. Arti yang benar adalah bahwa gen atau perangkat gen pada
kromosom kelamin Y, yang jenis kelamin pada manusia. Perbedaan-perbedaan kromosom yang
tampak, hanyalah berperan sebagai indikator awal, yang masih harus dikaji. Dalam hubungan ini
juga terlihat bahwa peranan kromosom kromoso menentukan kel lamin dalam penentuan jenis
kelamin (pada makhluk hidup yang Memikikinya) pada dasarnya sama halnya dengan autosom;
kromosom kelamin sams dengan autosom, yaitu sama-sama sebagai pembawa faktor keturunan.
Pengontrol ekspresi kelamin atau yang menentukan jenis kelamin faktor keturunan adalah
gen, sebagaimana karakter lain makhluk hidup. Dalam hal ini seluruh perbedaan kelamin selalu
harus dapat dijelaskan atas dasar auan genetik. Tidak satu pun perbedaan kelamin yang tidak
mempunyai dasar genetik.
Temuan penelitian tentang ekspresi kelamin dari Chlamydomonas hingga manusia seperti
yang telah ditemukan, sebenarnya memperlihatkan satu makna lain. Makna lain itu adalah ihwal
kelamin (perbedaan jenis kelamin) adalah sesuatu yang lain dari ihwal fertilitas. bahkan tidak
mustahil dapat dikatakan bahwa pada dasarnya ihwal kelamin tidak ada hubungannya dengan
ihwal fertilitas. Dari contoh yang ada, terlihat bahwa pada Chlamydomonas memang tidak ada
hubungan ihwal kelamin dan ihwal fertilitas. Dalam hubungan ini terdapat tanda-tanda bahwa
semakin tinggi tingkatan struktur makhluk hidup ihwal kelamin seolah-olah berhubungan dengan
ihwal fertilitas. Pustaka yang digunakan dalam penulisan naskah pada bab ini di berbagai
kesempatan terlihat membaurkan ke dua ihwal itu, atau sekurang- kurangnya memberi peluang
orang membaurkannya. Pada dasarnya ihwal kelamin adalah yang berkenaan dengan tingkat-
tingkat (valensi) kejantanan dan kebetinaan, sebagaimana yang terlihat pada Chlamydomonas;
ihwal fertilitas adalah yang berkenaan dengan dapat atau tidak dapat membuahi atau dibuahi.
BAB II
KROMOSOM KELAMIN
SEJARAH PENEMUAN KROMOSOM KELAMIN
Pada awal abad ke 20 E B. Wilson dkk., menyatakan bahwa X body yang dilaporkan
Henking adalah suatu kromosom yang menentukan kelamin. Sejak itu X body dikenal sebagai
kromosom kelamin atau kromosom X.
E.B. Wilson menemukan susunan kromosom yang lain pada Lygaeus turcicus (milkweed
bug). Pada serangga ini jumlah kromosom yang sama ditemukan pada sel-sel kedua macam
kelamin. Akan tetapi, kromosom “homolog" dari kromosom X ternyata lebih kecil ukurannya,
dan disebut kromosom Y. Lebih lanjut dinyatakan bahwa zigot XX akan menjadi individu
betina, sedangkan zigot XY akan menjadi individu jantan. Kemudian fenomena inilah
dinyatakan dalam hubungannya dengan mekanisme determinasi kelamin tipe XX-XY.
Atas dasar temuan pada berbagai hewan, tampaknya mekanisme XY lebih umum dikenal
dibanding mekanisme XO. Dewasa ini tipe XX-XY ini diduga menjadi ciri pada kebanyakan
hewan tinggi (termasuk manusia) dan ditemukan juga pada beberapa tumbuhan (misalnya
Melandrium al-bum). Tipe ini ditemukan juga pada Drosophila melanogaster.
EVOLUSI KROMOSOM KELAMIN
Evolusi Kromosom X dan Y
Pola transisi paling sederhana, dari keadaan kelamin tergabung menuju kepada suatu
keadaan kelamin terpisah sempurna, adalah melalui kejadian mutasi pada dua lokus. Salah satu
lokus itu adalah f, yang mengontrol fungsi betina; sedangkan lokus lainnya adalah m, yang
mengontrol fungsi jantan. Daya seleksi yang ada memungkinkan munculnya suatu transisi
evolusioner antara keadaan kelamin tergabung dan keadaan kelamin terpisah berupa tahap antara
dari gynodiocy (polimorfisme untuk individu jantan steril maupun individu berkelamin
tergabung).
Mekanisme mutasi pada dua lokus, sebagaimana yang telah disebutkan, diikuti oleh
proses seleksi dan pengurangan rekombinasi akan memuncılkan kromosom proto X maupun
kromosom proto Y. Setelah terbentuknya sistem kromosom proto X dan proto Y, masih terjadi
seleksi lebih lanjut. Proses seleksi lebih lanjut tersebut antara lain berkenaan dengan seleksi
alela-alela yang menguntungkan pada individu jantan tetapi yang merugikan pada individu
betina, yang akan mengarah kepada diferensiasi genetik selanjutnya antara kedua kromosom
kelamin.
Erosi Kromosom Y
Setelah terbentuknya kromosom proto Y mengalami proses evolusi spesifik yang disebut
sebagai erosi kromosom. Erosi kromosom proto Y terjadi melalui pola-pola yang hingga
sekarang masih bersifat hipotetis. Dikenal dua pola erosi evolusioner kromosom proto Y yang
utama.
Pola erosi kromosom pertama adalah yang melibatkan "Muller's Ratchet". Pola kedua
berupa fiksasi mutan-mutan terpaut Y yang merugikan “hitchhiking" dengan mutasi-mutasi yang
menguntungkan secara selektif pada kromosom proto Y.
“Muller's Ratchet" bersangkut paut dengan hilangnya kelompok kromosom yang
membawahi mutan-mutan merugikan dalam jumlah yang paling kecil, dari suatu populasi
terbatas akibat "genetic drift” Peristiwa tersebut mengakibatkan peningkatan progresif jumlah
rata-rata alela-alela merugikan per individu. Fiksasi mutasi-mutasi terpaut Y yang merugikan,
sebagaimana yang telah dikemukakan, terjadi karena ada mutasi-mutasi menguntungkan pada
bagian kromosom proto Y yang tidak mengalami rekombinasi. Proses selektif suksesif semacam
ini akan menyebabkan terjadinya fiksasi alela-alela merugikan pada banyak lokus terpaut Y.
Evolusi Determinasi Kelamin XVA dan Sistem Kromosom Kelamin XO
Pada dasarnya data komparatif tentang hubungan evolusioner antara sistem kromosom
kelamin dan pola determinasi kelamin pada berbagai kelompok, masih belum cukup untuk
menghasilkan suatu rekonstruksi sejarah evolusi sistem determinasi kelamin X/A. Spesies-
spesies yang mempunyai suatu gen semacam mF yang dibutuhkan untuk perkembangan ke arah
kelamin jantan, terpaksa mempertahankan suatu pola Y determinasi kelamin berupa kromosom
Y sebagai penentu kelamin jantan kecuali hal tersebut diganti oleh mekanisme genetik lain.
Dalam hubungan ini, perbedaan antara takson-takson besar berkenaan dengan pola determinasi
kelamin, tampaknya lebih merupakan suatu produk kecelakaan historis, yang memperlihatkan
tipe-tipe mutan yang terjadi di tahap-tahap awal evolusi mekanisme-mekanisme tersebut pada
berbagai kelompok, daripada merupakan hasil dari aneka ragam tekanan selektif.
Diduga pula bahwa ekspresi ff dibutuhkan untuk perkembangan kelamin betina; dan tidak
adanya produk ff – misalnya karena kehadiran suatu alela fs sterilisasi betina yang dominan-
mengarah kepada perkembangan parsial atau lengkap kelamin jantan. Dalam hal ini ada analogi
yang jelas antara fungsi ff yang diduga dan sifat Sx1 pada Drosophila. Ekspresi produk gen Sx1
dibutuhkan untuk perkembangan karakter betina, sekurang-kurangnya pada sel soma. Mutasi
kehilangan fungsi pada Sx1, yang mengarah kepada kegagalan perkembangan carrier betina,
dapat bersifat dominan penuh atau sebagian tergantung pada latar belakang genetik yang
konsisten dengan perilaku fs yang diduga.
Perkembangan parsial jantan, merupakan perkembangan keadaan kelamin tergabung ke
arah kelamin jantan, sesuai dengan perluasan skenario yang semula didiskusikan untuk evolusi
kromosom proto X dan proto Y. Pada perluasan ini, tahap kedua dari evolusi menuju keadaan
kelamin terpisah, mencakup karakter jantan yang lebih bersifat parsial daripada penuh. Dalam
hal ini diperlukan adanya faktor genetik lan yang menekan karakter betina karena ada fs, untuk
menyempurnakan evolusi keadaan kelamin terpisah. Penekanan karakter betina itu dapat terjadi
karena pengaruh alela-alela yang melakukan interaksi secara terpisah; dapat juga terjadi karena
alela-alela penekan karakter betina nonspesifik terpaut sangat dekat dengan fs.
Oleh karena itu, pembentukan suatu kromosom proto Y yang membawa fs dan mf
berakibat munculnya individu-individu jantan parsial pada tingkat fenotif). Berkenaan dengan
determinasi kelamin X/A yang bervolusi dari keadaan tersebut, tahap selanjutnya yang diduga
adalah evolusi suatu alela yang kehilangan fungsi yang terdapat pada kromosom Y; ekspresi
alela tersebut mengurangi ekspresi satu-satunya copy ff pada individu jantan yang mengarah
kepada peluang karakter jantan yang lebih tinggi Dalam hubungannya dengan mekanisme
keseimbangan X/A pada C elegans, perlu diperkirakan suatu skenario yang berbeda untuk
menjelaskannya. Sebagaimana diketahui pada C. elegans individu yang berkromosom XX
berkembang sebagai individu hermaprodit dan individu yang berkromosom XO berkembang
sebagai individu jantan. Sistem tersebut mungkin merupakan suatu akibat dari evolusi sekunder
menuju hermaproditisme dari sistem XX (betina), XO (jantan),yang terdapat kebanyakan spesies
lain dari Coenorhabditis
Evolusi sistem determinasi kelamin XX/XO juga merupakan suatu teka-teki; dibutuhkan
eksplorasi untuk pengkajiannya. Sulit dibayangkan bahwa mekanisme ini bukan merupakan
suatu produk dari erosi aktivitas gen-gen kromosom Y yang dapat diamati pada demikian banyak
sistem mun demikian, agar terjadi eliminasi lengkap gen-gen fungsional dari kromosom Y,
determinasi kelamin X/A harus berkembang; dan tiap gen yang dibutuhkan untuk fungsi
kejantanan harus dipindahkan ke kromosom lain, atau digantikan oleh lokus-lokus lain yang
memenuhi fungsi gen itu
Kenyataan tentang evolusi determinasi kelamin X/A yang berasal dari sistem determinasi
kelamin X/Y dapat dilihat pada marga Rumex. Di kalangan marga Rumex kedua sistem
determinasi kelamin itu ditemukan pada beberapa spesies. Akan tetapi, kajian terhadap
kenyataan tersebut membutuhkan analisis filogenetik atas kelompok itu untuk memastikan
apakah sistem determinasi X/Y sungguh-sungguh primitif atau tidak Kenyataan-kenyataan
komparatif yang ada menunjukkan bahwa sistem determinasi kelamin X/Y secara taksonomis
jauh lebih luas daripada sistenm X/A
KEBAKAAN YANG TERPAUT KELAMIN
Kebakaan yang terpaut kelamin dikontrol oleh gen-gen yang terpaut pada kromosom
kelamin (Gardner dkk., 1991). Jelaslah kajian tentang kebakaan yang terpaut kelamin, sama
sekali bukan bermaksud menyatakan bahwa macam kebakaan ini mempengaruhi ekspresi
kelamin.
Penemuan Morgan Tentang Kelamin Pada Drosophila
Temuan pertama tentang kebakaan yang terpaut kelamin adalah pada Drosophila, dan
gen terkait dengan kebakaan yang terpaut kelamin itu terletak pada kromosom kelamin X,
tepatnya pada lokus w (Gardner dkk, 1991). Persilangan berikut memperlihatkan hal tersebut
(Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Persilangan yang memperlihatkan kebakaan terpaut kelamin X (lokus w) pada
D.melanogaster
Pada persilangan tersebut terlihat bahwa seluruh turunan F1 bermata merah. Pada F2
75% turunan bermata merah, sedangkan 25% lainnya bermata putih. Ke 25% turunan F2 yang
berwarna putih itu berkelamin jantan. Terbukti pula 50% turunan jantan F2 bermata merah, 50%
lainnya bermata putih (ke 25% tersebut). Secara keseluruhan pada percobaan persilangan itu, alel
resesif diekspresikan hanya pada individu jantan. Atas dasar percobaan persilangan ini
disimpulkan bahwa gen warna mata tersebut terdapat pada kromosom kelamin X sehingga
kebakaan warna mata pada Drosophila terpaut kromosom kelamin (kromosom X).
Pola-Pola Kebakaan dari Gen-gen yang Terpaut Kelamin
Dikalangan makhluk hidup yang memiliki kromosom kelamin XX-XY (misalnya pada
manusia), gen yang terdapat pada kromosom kelamin X sehingga tidak ditemukan sama sekali
pada kromosom Y sehingga disebut terpaut kelamin lengkap (completely sex linked), sebagaian
dapat berekombinasi melalui pindah silang (crossing over) dengan gen yang terdapat pada
kromosom Y, seperti layaknya gen pada autosom homolog (incompletely sex linked/partially sex
linked). Pada kromosom Y juga ditemukan gen yang tidak terdapat pada kromosom X. Gen
tersebut disebut terpaut seluruhnya pada kromosom Y (completely Y linked) atau dikenal sebagai
gen holandrik.
Pewarisan sifat yang terpaut kromosom kelamin X mengikuti pola crisscross pattern of
inheritance (pola pewarisan menyilang). Dalam hal ini satu sifat fenotip yang ada pada induk
betina diwariskan dan terekspresi pada turunan jantan, dan yang ada pada induk jantan
diwariskan (tidak terekspresi) melalui turunan betina keturunan F2 dan diekspresikan.
Gen-gen yang Terpaut Kelamin pada Drosophila melanogaster
Pada Drosophila melanogaster gen yang terpaut kromosom kelamin X (ditunjukkan
dalam bentuk mutan) misalnya yellow, white, vermilion, miniature, dan rudimentary. Gen yang
tergolong terpaut kelamin tidak sempurna (incompletely sex linked genes) pada Drosophila
melanogaster antara lain bobbed bristles atau bb (tipe mutan), alela tersebut terdapat pada
kromosom X maupun Y tepatnya pada lengan pendek. Pada kromosom Y telah ditemukan 7 gen
holandric yang bersangkut paut dengan fertilitas jantan yaitu K1-1, K-2, K-3, K-4, K-5
(semuanya lengan panjang) serta Ks-1 dan Ks-2 (masing-masing pada lengan pendek).
Gen-gen yang Terpaut Kromosom Kelamin Z Pada Unggas
Pada pewaris terpaut kelamin ZZ-ZW bersifat homozigot pada individu betina, bukan
jantan. Alela dominan terpaut Z disebut dengan S, dan alela alternatif s pada bulu keemasan yang
ditemukan pada ayam. Ayam memiliki alela S berbulu keperakan disaat menetas dan dapat
digunakan membedakan kelamin. Contohnya dalam individu betina berbulu keperakan (SW) dan
individu jantan berbulu keemasan (ss), terjadilah crisscross inheritance yang memudahkan
pembedaan fenotip kelamin. Dari persilangan itu diperoleh turunan betina (semua) berbulu
keemasan, sedangkan keturunan jantan (semua) berbulu keperakan.
Sifat-sifat yang Terpaut Kromosom X pada Manusia
Gen Tfm yang terpaut kromosom kelamin X dapat mengendalikan pembentukan suatu
protein pengikat testosterone. Sedangkan pria yang memiliki gen Tfm akan mengidap sindrom
testicular ferminization yang mengakibatkan terbentuknya vagina buntu.
Ada lebih dari 200 sifat yang dinyatakan sebagai pautan kromosom kelamin X, sifat-sifat
tersebut berupa: atrofi optik (degenerasi syaraf mata), glaucoma juvenil (penebalan bola mata),
myopi (rabun dekat), defective iris, epidermal cyst, distichiasis (double eyelashes), white
occipital lack of hair, mitral stenosis (abnormalitas katup mitral jantung), dan beberapa bentuk
keterbelakangan mental. Sifat lain dari manusia yang terpaut kromosom kelamin X adalah
persepsi warna tertentu, seperti merah dan hijau.
Beberapa kriteria untuk identifikasi sifat-sifat terpaut kromosom kelamin X atas dasar
telaah silsilah akan dikemukakan lebih lanjut (Gardner, dkk., 1991).
1. Sifat tersebut lebih sering ditemukan pada laki-laki.
2. Sifat tersebut diwariskan oleh seorang pria yang memiliki sifat tersebut kepada separuh
cucu laki-laki melalui anak perempuannya.
3. Suatu alela yang terpaut X tidak pernah diwariskan langsung dari ayah kepada anak laki-
laki.
4. Semua wanita pemilik sifat tersebut mempunyai seorang ayah yang juga memiliki sifat
tersebut serta seorang ibu yang carrier atau juga yang memiliki sifat tersebut.
Contoh- contoh cacat bawaan resesif yang sangat merugikan terpaut kromosom kelamin
X pada manusia antara lain (Gardner, dkk., 1991).
1. Lesch-Nyhan Syndrome (Congenital Hyperuricemia), produksi asam urat berlebihan.
2. Duchene-type Muscular Dystrophy, ditandai dengan kemunduran otot yang
berkembang cepat pada saat berusia belasan tahun.
3. Hunter Syndrome, ditandai dengan keterbelakangan mental, tampang kasar,
hirsutism, dan memiliki tulang hidung lebar, serta lidah yang menjulur panjang.
Gen-gen yang Terdapat pada Kromosom Kelamin Y Manusia
Sifat-sifat pada manusia hingga saat ini dikontrol oleh gen-gen holandrik dan adapula
yang menyimpulkan bahwa kromosom Y manusia hanya mengandung sedikit gen yang
memperlihatkan efek secara fenotif. Beberapa gen holandrik pada manusia yang telah dilaporkan
antara lain gen h (hypertrichosis) yang menyebabkan tumbuhnya rambut di daerah tertentu di
tepi daun telinga. Gen hg (hystrixgravier) menyebabkan pertumbuhan rambut panjang dan kaku
dipermukaan tubuh, sehingga menyerupai landak. Gen wt menyebabkan tumbuhnya kulit
diantara jari-jari (terutama jari kaki).
Gen H-Y yang merupakan histocompabilitas terletak pada kromosom pendek dari
kromosom kelamin Y yang bertanggungjawab terhadap penentuan/pengenalan antigen pada
jaringan individu jantan. Pada vertebrata semacam burung, yang bersifat heterogametik, justru
antigen H-Y ditemukan pada individu betina. Gen TDF (Testis Determining Factor) merupakan
gen yang bertanggungjawab terhadap perkembangan testis dan berperan sebagai master
regalator. Gen tersebut dan Y, memperlihatkan efek yang sangat dominan terhadap
perkembangan fenotif kelamin.
SIFAT-SIFAT YANG TERPENGARUH KELAMIN
Gen-gen yang mengontrol sifat-sifat yang terpengaruh kelamin dapat terletak pada
autosom ataupun pada bagian homolog dari kromosom kelamin. Ekspresi dominan atau resesif
oleh alela-alela dari lokus-lokus yang terpengaruh kelamin berubah pada individu jantan dan
betina, terutama berkaitan dengan perbedaan lingkungan internal yang disebabkan oleh hormon-
hormon kelamin.
SIFAT-SIFAT YANG TERBATAS KELAMIN
Sifat-sifat yang terbatas kelamin bersangkut-paut dengan ekspresi gen yang berbeda pada
tiap kelamin. Beberapa gen autosomal hanya berekspresi pada salah satu kelamin. Fenomena
tersebut merupakan akibat perbedaan lingkungan hormonal internal atau akibat ketidaksamaan
anatomis. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa hormon-hormon kelamin merupakan
faktor pembatas terhadap ekspresi beberapa gen. Contoh sifat yang terbatas kelamin misalnya
kemampuan produksi susu yang hanya dijumpai pada sapi betina, padahal gen untuk produksi
susu juga terdapat pada sapi jantan. Contoh lain adalah pada bulu-bulu ekor ayam jantan yang
biasanya panjang dan lancip tetapi pada ayam betina bulu ekornya pendek dan tumpul.
Rasio Kelamin (Kajian pada Manusia)
Ekspresi kelamin pada manusia ditentukan gen pada kromosom Y dank arena pria
menghasilkan gamet-gamet pembawa kromosom X dan pembawa kromosom Ydalam jumlah
yang hampir sama, maka atas dasar pemisahan Mendel kedua kelamin seharusnya menunjukkan
proporsi 1:1. Tetapi rasio kelamin berbeda-beda berdasarkan dari berbagai kelompok umur.
Rasio kelamin primer (disaat konsepsi) sekitar 1,60 (jantan) : 1,00 (betina). Rasio kelamin
sekuder (dikalangan masyarakat Amerika berkulit putih) yaitu disaat kelahiran adalah 1,06
(jantan) : 1,00 (betina), dan rasio kelamin tersier (beberapa waktu setelah kelahiran) misalnya
pada usia 20 tahun kira-kira sama antara jantan dan betina, tetapi semakin tua maka jumlah
kelamin betina lebih banyak daripada jantan.
BAB III
FENOMENA KOMPENSASI DOSIS DAN DIFERENSIASI KELAMIN

BADAN KROMATIN DAN KOMPENSASI DOSIS


Chromatin Body atau Barr Body
Sel-sel individu betina Mammalia dapat dibedakan dari sel-sel individu jantan dengan
didasarkan pada ada atau tidaknya struktur Barr body . Barr body adalah chromatin body yang
pertama kali ditemukan oleh M.L.Barr pada sel-sel syaraf kucing betina. Chromatin Body hanya
ditemukan pada sel-sel betina manusia dan bisa juga dimanfaatkan untuk diagnosis berbagai
jenis abnormalitas kromosom kelamin.
Komposisi Dosis dan Hipotesis Lyon
Melalui mekanisme “kompensasi dosis”, “dosis gen” yang efektif dari kedua kelamin
dibuat sama atau hampir sama. Kompensasi dosis bersangkut paut dengan inaktivasi satu
kromosom kelamin X pada individu betina yang normal.
Hipotesis Lyon didasarkan atas pengamatan bahwa jumlah chromatin body pada sel-sel
interfase individu betina dewasa adalah jumlah kromosom kelamin teramati pada preparat
metafase dikurangi satu. Hipotesis Lyon memperlihatkan adanya konsekuensi genetik tertentu
dari gen pada Mammalia.
1. Kompensasi dosis untuk individu betina yang memiliki dua kromosom X yang mengatur
aktivitas enzim hingga ke tingkat individu jantan yang hanya mempunyai satu kromosom
X.
2. Keanekaragaman ekspresi pada individu betina heterozigot karena inaktivasi acak salah
satu
dari kedua kromosom kelamin X.
INAKTIVASI KROMOSOM KELAMIN X YANG REVERSIBEL
Inaktivasi satu dari kedua kromosom kelamin X pada individu Mammalia betina
(termasuk manusia) tentunya harus bersifat reversibel. Pengaktifan kembali kromosom kelamin
X heterokromatis (inaktif) pada individu betina Mammalia berlangsung pada tahap sel germ
yang mendahului oogenesis; kedua kromosom kelamin X suatu individu betina aktif pada sel-sel
oogonium. Oleh karena itu, dapat dijamin bahwa tiap ovum yang dihasilkan pada oogenesis akan
mewarisi kromosom kelamin X apa pun yang selalu fungsional.
KEGAGALAN PENGAKTIFAN KEMBALI KROMOSOM KELAMIN X
Pengaktifan kembali yang abnormal secara parsial dapat dihubungkan dengan sebagian
besar bentuk keterbelakangan mental menurun pada manusia yang disebut “fragile X syndrome”.
Frekuensi sindrom tersebut adalah 1 di dalam 2000 hingga 3000 kelahiran yang berhasil.
Kromosom kelamin X manusia tergolong fragile X mengandung suatu tapak fragil (fragil
site) di dekat ujung lengan panjang. Tapak fragil tersebut terletak pada posisi Xq27. Satu
hipotesis menyatakan bahwa perubahan Xq27 bagaimanapun berbenturan (terjadi bersama)
dengan pengaktifan kembali kromosom fragil X perempuan heterokromatis yang terjadi pada
sel-sel pra oogonium. Hal tersebut mengakibatkan perempuan pembawa sebuah kromosom fragil
X melahirkan turunan yang memiliki satu kromosom X inaktif atau yang tidak sepenuhnya aktif.
HORMON DAN DIFERENSIASI KELAMIN
Sistem hormon yang mengatur lingkungan internal atau fisiologis makhluk hidup tidak
mempengaruhi secara langsung proses fundamental determinasi kelamin. Namun demikian,
sistem hormon penting untuk perkembangan ciri-ciri kelamin sekunder seperti perbedaan
fisiologi (laju metabolisme, tekanan darah, denyut jantung, dan pernapasan), struktur tulang,
suara, perkembangan dada, dan rambut. Pada hewan-hewan tinggi (termasuk manusia), hormon-
hormon kelamin disintesis oleh indung telur, testis, dan kelenjar adrenalin, yang distimulasi oleh
hormon-hormon hipofisis.
BAB IV
HERMAPRODITISMA DAN BEBERAPA FENOMENA AKIBAT ANEUPLOIDI
KROMOSOM KELAMIN PADA MANUSIA
Hermaproditisma Sejati (True Hermaphroditism)
Individu sejati tersusun dari dua tipe sel yang memiliki kariotip berbeda, yang dapat
dijelaskan sebagai hasil dari fusi sel (Maxson dkk., 1985). Individu merupakan hasil fusi sel pada
awal perkembangan, antara zigot-zigot yang berbeda dan disebut dengan chimera. Individu-
individu hermaprodit sejati dapat muncul sebagai akibat dari kejadian gagal berpisah mitosis
(Maxson dkk., 1985). Kejadian gagal berpisah ini dapat terjadi pada awal perkembangan suatu
embrio berkromosom kelamin XX atau XXY, yang menghasilkan suatu mosaic dari galur-galur
sel XO/XY, XX/XY dan sebagainya.
Pada umumnya chimera ditemukan karena zigot-zigot yang mengalami fusi berkelamin
berbeda. Chimera dapat terbentuk melalui cara lain yaitu pada contoh suatu polar body yang
dibuahi oleh sperma pada waktu bersamaan pada saat ovum atau sel telur dibuahi oleh sperma
yang lain. Apabila satu sperma memiliki kromosom kelamin X, sedangkan lainnya memiliki
kromosom Y, maka zigot-zigot yang terbentuk memiliki kelamin yang berbeda dan fusi yang
terjadi antara dua zigot tersebut akan menghasilkan dua tipe sel yang berbeda pada individu
tersebut. Kariotip-kariotip chimera yaitu chi 46, XX/46, XY; chi 45, XO/46, XY; chi 46, XX/47,
XXY; chi 45, XO/46, XY/47, XYY.
Feminizing Male Pseudohermaphroditism
Pseudohermaproditisme jantan yang bersifat kebetinaan ini dimungkinkan dapat terjadi
karena adanya suatu gen mutan dominan autosomal yang dipengaruhi kelamin disamping m
enghubungkannya dengan suatu gen mutan resesif yang terpaut kromosom kelamin X. Memiliki
kariotip 46, XY atau 46, XY/45, X. Pengidap feminizing male pseudohermaphroditism memiliki
fenotip perempuan, dengan karakteristik kelamin sekunder yang kurang berkembang.
Masculinizing Male Pseudohermaphroditism
Individu pseudohermaprodit yang memiliki kariotip 46, XY atau mosaic 46, XY/45,X ini
tidak nampak sebagai laki-laki maupun perempuan karena memiliki testis yang tidak
berkembang sempurna, penis meragukan, tetapi payudara tidak berkembang dan tubuh berambut
seperti laki-laki.
Guevodoces
Adanya perkawinan sedarah yang terjadi di Republik Dominika (di desa Salinas)
mengakibatkan ditemukannya 24 individu pseudohermaprodit yang memiliki kariotip 46, XY.
Pada individu pseudohermaprodit tersebut memiliki scrotum yang tampak seperti labia, memiliki
kantung vagina yang buntu, dan penis serupa clitoris.
Pada awalnya individu tersebut berkembang menjadi gadis akan tetapi pada saat
memasuki masa pubertas suara menjadi besar, perkembangan otot bersifat maskulin, dan clitoris
membesar menjadi penis. Individu guevodoces ini pada akhirnya fungsional penuh sebagai
jantan, berorietasi psikologis maskulin serta fertil. Kelainan yang terjadi pada guevodoces
disebabkan karena adanya suatu alela autosomal resesif yang mempengaruhi penggunaan
testoteron.
Female Pseudohermaphroditism
Pada individu ini ditemukan adanya kariotip 46, XX yang seharusnya berjenis kelamin
perempuan akan tetapi tanda-tanda kelamin mengarah pada jenis kelamin laki-laki. Fenotip dari
individu ini seperti pria dengan alat kelamin eksternal yang meragukan dan memiliki ovarium
tetapi tidak sempurna. Hal ini disebabkan karena proliferasi kelenjar adrenalin janin perempuan
atau ketidakseimbangan hormonal ibu sebelum kelahiran dari anak pseudohermaprodit tersebut.
Proliferasi yang berlebihan pada korteks kelenjar anak ginjal mengakibatkan hormon
laki-laki berlebihan. Pertumbuhan yang berlebihan dari korteks anak ginjal janin tersebut
disebabkan oleh homozigositas gen-gen resesif yang bertanggungjawab terhadap enzim-enzim
pada metabolism steroid.
Sindrom Turner
Sindrom turner ini dapat terjadi karena aneuploidi pada kromosom kelamin. Fenotip pada
sindrom turner merupakan betina (perempuan) tetapi ovarium kurang berkembang, serta
memiliki karakteristik kelamin sekunder yang berkembang tidak sempurna, memiliki tubuh
pendek, leher bergelambir, serta mengalami keterbelakangan mental.
Sindrom turner terjadi karena individu betina yang mengalami gagal berpisah pada saat
meiosis gametogenesis atau karena peristiwa gagal berpisah selama mitosis pada masa awal
perkembangan perkembangan embrional.
Sindrom Klinefelter
Sindrom Klinefelter terjadi karena aneuploidi pada kromosom kelamin yang pada
dasarnya berkelamin jantan (pria). Kariotip yang umum pada sindrom ini adalah trisomy 47, XY.
Kelamin dari individu yang mengidap sindrom klinefelter mengalami feminisasi. Individu
tersebut memiliki testis kecil yang tidak normal dan tidak mampu mengalami spermatogenesis.
Para pengidap sindrom ini biasanya steril, sering berinteligensi rendah, serta cenderung
mempunyai anggota gerak yang lebih panjang.
Pria XYY
Sindrom pria XYY terjadii karena aneuploidy kromosom kelamin, kariotip dari sindrom
ini adalah 47, XYY. Pria yang memiliki sindrom ini biasanya terlihat seperti pria normal
termasuk fertile, tetapi memiliki tubuh yang tinggi melebihi tinggi rata-rata pria normal,
memiliki IQ rendah yaitu antara 85-90, tetapi ada juga yang menyatakan memiliki IQ 80-118,
dan terkadang ditemukan adanya kelainan alat kelamin eksternal maupun internal.
Penyimpangan karena Aneuploidi Kromosom Kelamin Lain
Individu perempuan yang terlahir dengan kariotip 47, XXX (trisomi), 48, XXXX
(tetrasomi), dan 49, XXXXX (pentasomi) memiliki sangkut-paut dengan aneuploidy kromosom
kelamin. Individu yang mengalami kelainan itu disebut dengan “betina super” atau metafemale.
Individu yang memiliki kariotip 47, XXX memiliki alat kelamin yang kurang berkembang,
kesuburan terbatas dan mengalami keterbelakangan mental.
BAB V
PEMBALIKAN KELAMIN
PEMBALIKAN KELAMIN PADA RAGI
Pada ragi dikenal kelamin (mating type) yang tersebut sebagai a dan α. Banyak strain ragi
tidak memiliki kelamin yang stabil, cepat beralih antara kelamin a dan α. Pada ragi yang
homotalus, gen-gen kelamin dari sel-sel haploid berubah jauh lebih cepat daripada yang dapat
diantisipasi oleh mekanisme lain yang mencakup mutasi spontan. Perubahan yang cepat
semacam itu tidak ditemukan pada strain-strain heterotalus. Sifat homotalus dan heterotalus
ditentukan oleh sebuah alela yang disebut Ho, yang terletak pada kromosom 4.
Pada mulanya pembalikan kelamin pada ragi dinyatakan berhubungan dengan alela MAT
a dan Mat α. Alela-alela itu terletak pada kromosom 3 tepatnya di lokus MAT. Alela MAT a
menspesifikasikan kelamin α, sedangkan kelamin α dimanifestasikan bilamana alela MAT α
menempati lokus MAT.
Selain gen MAT, ada juga dua lokus kelamin (tidak terekspresikan) yang terletak di
sebelah kiri dan kanan lokus MAT. Lokus disebelah kiri adalah HML terletak pada posisi 200 kb
dari lokus MAT, sedangkan yang terletak di sebelah kanan adalah HMR. HML mengandung suatu
kopi diam untuk informasi α. HMR juga merupakan gen diam, mengandung informasi yang
spesifik untuk a. Pemindahan gen-gen tersebut mencakup pemberian informasi genetik (disebut
suatu kaset) dari salah satu gen yang tidak terekspresi ke lokus MAT.
Empat gen SIR (SIR 1,2,3,dan 4) yang tidak terletak pada kromosom 3 juga berpengaruh
terhadap kerja gen HML α dan HML a. Jika salah satu dari gen-gen SIR tersebut tidak bekerja,
maka gen HML α dan HML a ditranskripsikan dengan kecepatan yang sama dengan gen pada
lokus MAT. Diketahui pula bahwa daerah E di dekat gen HML dan HMR juga ikut berperan
sehingga gen HML dan HMR tidak terekspresi.
PEMBALIKAN KELAMIN PADA IKAN
Pembalikan kelamin pada ikan bisa terjadi secara alami maupun buatan. Pembalikan
kelamin ikan dapat terjadi berupa pembalikan dari kelamin betina menjadi jantan atau
sebaliknya.
Pada ikan laut protogynous, individu-individu betina yang sudah matang secara
reproduktif berbalik kelamin menjadi individu-individu jantan yang fungsional secara
reproduktif. Pembalikan kelamin tersebut terkait dengan tranformasi struktur dan fungsi hipofise
maupun gonad. Pada Labroides dimidiatus, jika individu jantan mati, maka individu betina yang
paling dominan akan menolak individu-individu jantan (lain) yang akan memasuki kelompok
yang bersangkutan. Apabila upaya itu berhasil, maka individu betina itu akan berubah menjadi
individu jantan dan dalam jangka waktu dua minggu individu jantan baru itu sudah mampu
menghasilkan sperma yang fertil.
Sebenarnya faktor penginisiasi pembalikan kelamin pada kelompok sosial ikan bukan
hanya matinya (penghilangan) individu jantan (pada kelompok protogynous) dan individu betina
(pada kelompok ikan protandrous). Ada beberapa faktor lain yang diduga berperan sebagai
penginisiasi pembalikan kelamin, diantaranya perubahan-perubahan fisiologis endogen yang
terkait dengan beberapa keadaan atau kondisi. Kondisi tersebut diartikan sebagai “suatu ukuran
tertentu”, “tingkat perkembangan”, serta “peningkatan rasio kelamin (dewasa) betina terhadap
jantan”.
Pembalikan kelamin buatan pada ikan banyak dilakukan dengan bantuan sex inducer
berupa hormon steroid. Pembalikan kelamin pada ikan dari individu betina menjadi jantan
dilakukan dengan bantuan hormon-hormon steroid yang tergolong inducer jantan (misalnya
kelompok androgen), sedangkan pembalikan kelamin pada ikan dari individu jantan menadi
betina dilakukan dengan bantuan hormon-hormon steroid yang tergolong inducer betina
(misalnya kelompok estrogen).
PEMBALIKAN KELAMIN PADA BURUNG
Pada ayam betina (ZW) yang telah bertelur diketahui juga dapat mengalami pembalikan
kelamin berupa perubahan ciri-ciri yaitu seperti perkembangan bulu jantan, kemampuan
berkokok, dan juga dapat mengalami perkembangan testis yang dapat menghasilkan sel-sel
sperma. Hal tersebut dapat terjadi karena kerusakan pada jaringan ovarium karena penyakit, pada
keadaan disaat tanpa hormone kelamin betina , jaringan testiskuler rudimenter yang terdapat
ditengah ovarium mengalami proliferasi.
Pertanyaan + Jawaban :

1. Ada berapa pola erosi evolusioner kromosom proto Y ?


Jawab : Ada dua pola erosi evolusioner kromosom proto Y yang utama. Pola erosi
kromosom pertama adalah yang melibatkan “Muller’s Ratchel” bersangkut paut dengan
hilangnya kelompok kromosom yang membawahi mutan-mutan merugikan dalam jumlah
yang paling kecil, dari suatu populasi terbatas akibat “genetic drift”. Peristiwa tersebut
menyebabkan peningkatan progresif jumlah rata-rata alela-alela merugikan per-individu.
Pola kedua berupa fiksasi mutan-mutan terpaut Y yang merugikan melalui “hitchhiking”
dengan mutasi-mutasi yang menguntungkan secara selektif pada kromosom proto Y
2. Jelaskan bagaimana pembalikan kelamin buatan pada ikan ?
Jawab : Pembalikan kelamin buatan pada ikan banyak dilakukan dengan bantuan sex
inducer berupa hormon steroid. Pembalikan kelamin pada ikan dari individu betina
menjadi jantan dilakukan dengan bantuan hormon-hormon steroid yang tergolong
inducer jantan (misalnya kelompok androgen seperti 17a-methyltestosteron, 11-
ketotestosteron, dan testosteron propinat), sedangkan pembalikan kelamin pada ikan dari
individu jantan menadi betina dilakukan dengan bantuan hormon-hormon steroid yang
tergolong inducer betina (misalnya kelompok estrogen seperti estrone, estriol,
diethylstilbestrol dan estradiol butyryl asetat).
3. Sebutkan dan jelaskan mekanisme tumbuhan berumah dua!
Jawab : Pada tumbuhan berumah dua yang dikendalikan oleh gen pada satu lokus saja.
Misalnya pada Ecballium elaterium yang mana jenis kelamin ditentukan oleh kombinasi
pasangan dari tiga alela aD, a+, dan ad. Dikatakan bahwa aD dominan terhadap a+ maupun
ad. Pada kombinasi pasangan aDaD, aDa+, dan aDad, individu yang bersangkutan
berkelamin jantan. Pada kombinasi pasangan a+a+ dan a+ad individu itu tergolong
berumah satu, sedangkan pada kombinasi pasangan adad individu itu berkelamin betina.
Dalam hal ini Ecballium elaterium dapat merupakan tumbuhan berumah satu maupun
tumbuhan berumah dua.

You might also like

  • Data Pengamatan Tape
    Data Pengamatan Tape
    Document2 pages
    Data Pengamatan Tape
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Abstract Mikro
    Abstract Mikro
    Document3 pages
    Abstract Mikro
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Kerusakan Pangan
    Kerusakan Pangan
    Document5 pages
    Kerusakan Pangan
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Aice
    Aice
    Document2 pages
    Aice
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Asri Arumsari Tarbio
    Asri Arumsari Tarbio
    Document74 pages
    Asri Arumsari Tarbio
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Alt Sayur
    Alt Sayur
    Document6 pages
    Alt Sayur
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • PROSES
    PROSES
    Document3 pages
    PROSES
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Manisan Prosedur
    Manisan Prosedur
    Document5 pages
    Manisan Prosedur
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Pembahasan Tape
    Pembahasan Tape
    Document2 pages
    Pembahasan Tape
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Aice
    Aice
    Document2 pages
    Aice
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Grafik 3
    Grafik 3
    Document2 pages
    Grafik 3
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Evolusi Darwin
    Evolusi Darwin
    Document18 pages
    Evolusi Darwin
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Bolak Balik
    Bolak Balik
    Document80 pages
    Bolak Balik
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Analisis Data
    Analisis Data
    Document2 pages
    Analisis Data
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Nata Buah
    Nata Buah
    Document16 pages
    Nata Buah
    Arwinda
    No ratings yet
  • Bioremediasi Mikro
    Bioremediasi Mikro
    Document26 pages
    Bioremediasi Mikro
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Istilah Etnobotani
    Istilah Etnobotani
    Document3 pages
    Istilah Etnobotani
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Mikrobiologi Industri
    Mikrobiologi Industri
    Document26 pages
    Mikrobiologi Industri
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Regulasi Ekspresi Gen Dan Pengembangan Pada Eukariot
    Regulasi Ekspresi Gen Dan Pengembangan Pada Eukariot
    Document10 pages
    Regulasi Ekspresi Gen Dan Pengembangan Pada Eukariot
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • TANAMAN TOGA
    TANAMAN TOGA
    Document23 pages
    TANAMAN TOGA
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Darwin
    Darwin
    Document9 pages
    Darwin
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Darwin
    Darwin
    Document9 pages
    Darwin
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Darwin
    Darwin
    Document8 pages
    Darwin
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Resum HA'E
    Resum HA'E
    Document9 pages
    Resum HA'E
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Vitamin
    Vitamin
    Document9 pages
    Vitamin
    emi
    No ratings yet
  • Vitamin
    Vitamin
    Document15 pages
    Vitamin
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Identifikasi Protozoa Eimiria Pada Sapi
    Identifikasi Protozoa Eimiria Pada Sapi
    Document11 pages
    Identifikasi Protozoa Eimiria Pada Sapi
    awang_timur
    No ratings yet
  • Gum ++
    Gum ++
    Document11 pages
    Gum ++
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • Acanthophora Muscoides
    Acanthophora Muscoides
    Document5 pages
    Acanthophora Muscoides
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet
  • LAPORAN Pembuatan Tepung Fiks
    LAPORAN Pembuatan Tepung Fiks
    Document12 pages
    LAPORAN Pembuatan Tepung Fiks
    annysa vero styaningrum
    No ratings yet