You are on page 1of 26

MAKALAH

PENYAKIT DIARE, KONSTIPASI, DAN IBS

Disusun Oleh :
1. Abdul Hadi (F220165001)
2. Agung Dwi Saputra (F220165002)
3. Devi Alam Anggraheni (F2201650)
4. Herviana Firdaus (F220165030)
5. Siti Mu’ana (F220165063)

PRODI S1 FARMASI
STIKES MUHAMMADIYAH KUDUS
TAHUN PELAJARAN 2016 / 2017
Jl. Ganesha I, Purwosari, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah 59316, Indonesia
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa yang telah memberikan
rahmat dan bimbinganya, sehingga kami mampu membuat makalah tentang ‘’DIARE,
KONSTIPASI dan Irritable Bowel Syndrome (IBS)’’ dengan baik.

Saya berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh mahasiswa, sehingga mampu
menambahkan pengetahuan bagi mahasiswa dan meningkatkan kecerdasan bagi
mahasiswa.Karena itu, demi perbaikan makalah ini, kami mengharap kritikan, saran, dan
masukan yang membangun dan akan senantiasa saya terima dengan lapang dada.

Kudus, Juni 2018

Penulis
DAFTAR ISI
Judul
Kata Pengantar
Daftar
BAB I PENDAHULUAN
A. Latara belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. DIARE
a. Pengertian diare
b. Etiologi
c. Tanda dan gejala
d. Diagnosis
e. Alogaritma
f. Metode pengobatan
B. Irritable Bowel Syndrome (IBS)
a. Pengertian diare
b. Etiologi
c. Tanda dan gejala
d. Diagnosis
e. Alogaritma
f. Metode pengobatan
C. SEMBELIT (KONSTIPASI)
a. Pengetian Konstipasi
b. Etiologi dan Patofisiologi
c. Tanda dan gejala
d. Diagnosis
e. Alogaritma
f. Metode pengobatan
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi
lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih sering (biasanya
tiga kali atau lebih) dalam satu hari (Depkes RI, 2011). Diare menyebabkan kehilangan
banyak cairan dan elektrolit melalui feses (sodikin, 2012).
Diare merupakan penyebab utama keadaan sakit pada anak-anak balita . diare
akut didefinisikan sebagai keadaan peningkatan dan perubahan tiba-tiba frekuensi
defekasi yang sering disebabkan oleh agen infeksius dalam nafas (ISPA) atau saluran
kemih (ISK) (donna L. Wong let, 2009).
Sembelit atau konstipasi merupakan keadaan tertahannya feses (tinja) dalam usus
besar pada waktu cukup lama karena adanya kesulitan dalam pengeluaran. Hal ini terjadi
akibat tidak adanya gerakan peristaltik pada usus besar sehingga memicu tidak teraturnya
buang air besar dan timbul perasaan tidak nyaman pada perut (Akmal, dkk, 2010).
Konstipasi memiliki persepsi gejala yang berbeda-beda pada setiap anak
tergantung pada konsistensi tinja, frekuensi buang air besar dan kesulitan keluarnya tinja.
Menurut World Gastroenterology Organization (WGO) konstipasi adalah defekasi
keras (52%), tinja seperti pil/ butir obat (44%), ketidakmampuan defekasi saat diinginkan
(34%), atau defekasi yang jarang (33%) (Devanarayana dkk., 2010).
Irritable Bowel Syndrome (IBS) adalah kelainan kompleks dari saluran
pencernaan bagian bawah, adanya nyeri perut, distensi dan gangguan pola defekasi tanpa
gangguan organik (Sudoyo, dkk 2006). Menurut Carmilleri (2001), IBS merupakan
salah satu penyakit dari kelompok Functional Gastrointestinal Disorders (Gangguan
Fungsional Saluran Pencernaan) atau Functional Motility Disorders (Gangguan
Fungsional Pergerakan Usus). Seringkali disebut sebagai gangguan, bukan penyakit,
karena penyakit ini merupakan sekumpulan gejala yang terjadi akibat gangguan
fungsional saluran pencernaan, dimana tidak terdapat kelainan organik dari saluran
pencernaan itu sendiri (Carmilleri, 2001).
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu penyakit diare, sembelit, dan Irritable Bowel Syndrome (IBS) ?
2. Apa gejala dari penyakit tersebut ?
3. Apa faktor penyebab dari penyakit tersebut ?
4. Bagaimana cara pengobatannya ?

C. Tujuan
1. Dapat mengetahui seperti apa penyakit diare, sembelit, dan dan Irritable Bowel
Syndrome (IBS).
2. Dapat mengetahui gejala-gejala yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut.
3. Dapat mengetahui faktor yang menyebabkan penyakit tersebut.
4. Mengetahui bagaimana cara pengobatan penyakit tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Diare
a. Pengertian Diare
Diare diartikan sebagai buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cairan
atau setengah cair (setengah padat), dengan kandungan air pada tinja lebih banyak
dari biasanya (> 3 kali/hari)dengan /tanpa darah dan/atau lendir (Suraatmaja dkk,
2007) dan peningkatan kandungan feses lebih dari 200ml/24 jam.
Diare disebut akut ketika frekuensi meningkat dengan konsistensi tinja, lebih
lembek atau cair, bersifat mendadak dan berlangsung dalam waktu 7-14 hari pada
bayi dan anak yang sebelumnya sehat. Sedangkan diare kronik ketika terjadi lebih
dari 2-3 minggu dengan etiologi non infeksius (Subijanto & Pitono, 2001), dengan
kehilangan berat badan atau tidak bertambah selama masa diare (Suraatmaja dkk,
2007).
b. Etiologi
Mengenai penyebab diare (Suraatmaja, 2007) menyatakan 70-90% penyebab saat
ini sudah dapat diketahui dengan pasti. Penyebab dari diare dapat dibagi menjadi dua
bagian ialah penyebab tidak langsung atau faktor-faktor yang dapat mempermudah
atau mempercepat terjadinya diare.
Jika ditinjau dari sudut patofisiologi, penyebab diare dapat dibagi dalam 2
golongan yaitu:
a. Diare sekresi (secretory diarrhea) disebabkan oleh :
1. Infeksi virus, kuman-kuman pathogen dan apatogen.
2. Hiperperistaltik usus halus yang dapat disebabkan oleh bahan-bahan
kimia, makanan, gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan syaraf,
hawa dingin, alergi. Parasit (E. hystolytica, G. lamblia, T. hominis) dan
jamur (C.albicans).
3. Defisiensi imun terutama SIgA (secretory Immunoglobulin A) yang
mengakibatkan terjadinya bakteri atau jamur tumbuh berlipat ganda
(overgrowth).
b. Diare osmotik (osmotic diarrhea) disebabkan oleh :
1. Malabsorbsi makanan.
2. KKP (Kekurangan Kalori Protein).
3. BBLR (Bayi baru lahir yang berat badannya < 2500 gram tanpa
memperhatikan usia gestasi) dan bayi baru lahir.
Diare juga dapat disebabkan oleh :
a. Makanan dan minuman.
b. Jamur (Candida albicans).
c. Perubahan udara (suhu).
d. Intoleransi laktosa, hal ini dikarenakan defisiensi enzim lactase. Enzim lactase
di produksi oleh sel epitel intestine dari mulai lahir sampai umur anak-anak
dan akan menurun seiring bertambahnya usia. Inilah yang menyebabkan
seseorang tidak tahan dengan susu yang mengandung laktosa, dan
menyebabkan diare (Daldiyono, 1997).
e. Stress
c. Tanda dan Gejala
Jenis dan beratnya gejala tergantung pada jenis dan banyaknya mikroorganisme
atau racun yang tertelan. Gejalanya juga bervariasi tergantung pada daya tahan tubuh
seseorang. Gejala yang biasanya terjadi tiba-tiba yaitu mual, muntah, sakit kepala,
demam, dingin, badan tak enak, sering buang air besar, tanpa darah dan akhirnya
terjadi dehidrasi. Untuk gejala pada diare akut yaitu terjadi mendadak, feses cair,
biasanya berlangsung beberapa jam atau beberapa hari, disertai lemas kadang demam
dan muntah (Suraatmadja, 2007).
d. Diagnosa
Diagnosa biasanya ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya meskipun belum
jelas penyebabnya. Jika gejalanya berat dan lebih dari 48 jam, maka dilakukan
pemeriksaan laboratorium terhadap contoh tinja untuk mencari adanya sel darah putih
dan bakteri, virus atau parasit. Pemeriksaan laboratorium dari muntah, makanan atau
darah juga dapat membantu menemukan penyebabnya (Daldiyono, 1997).
e. Algoritma
f. Metode Pengobatan
Panduan pengobatan menurut WHO diare akut dapat dilakukan dengan sederhana
yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per-oral dan dilanjutkan pemberian makanan,
sedangkan terapi non spesifik dengan anti diare tidak direkomendasikan, sedangkan

terapi dengan antibiotik hanya diberikan bila ada indikasi. Pemberian cairan dan
elektrolit secara parenteral hanya untuk kasus dehidrasi berat (Soebagyo, 2008).
a. Cairan Rehidrasi Oral (CRO)
Cairan rehidrasi oral yang mengandung NaCl, KCL, NaHCO3 dan
glukosa, berbentuk serbuk yang dilarutkan dalam bentuk larutan, dikenal
dengan nama oralit. Oralit tidak menghentikan diare tetapi mengganti cairan
tubuh yang hilang bersama tinja (Siregar, 2003).

Cairan rehidrasi oral yang tidak mengandung komponen-komponen di atas


misalnya: larutan gula, air tajin,cairan-cairan yang tersedia di rumah dan lain-
lain, disebut CRO tidak lengkap.
b. Cairan Rehidrasi Parenteral (CRP)
Menurut kebijakan WHO dan UNICEF tahun 2003 suplemen zink
merupakan terapi utama selain oralit pada diare, dalam bentuk tablet, yang
merupakan salah satu mikronutrien yang dapat menurunkan morbiditas dan
mortilitas, yang mempengaruhi fungsi imun dan fungsi structural intestinal,
serta pemulihan epitel selama diare (Umar, 2007).
Dosis obat Zink (1 tablet = 20 mg)
1. Umur < 6 bulan : ½ tablet / hari.
2. Umur > 6 bulan : 1 tablet / hari.
c. Antidiare
Obat antidiare meski umum digunakan, tetapi tidak memiliki manfaat
praktis dan tidak pernah diindikasikan untuk pengobatan diare akut pada anak-
anak, karena beberapa dari mereka ada yang berbahaya. Produk dalam ini
meliputi : Adsorben ( misalnya kaolin, atapulgit, smectite, arang aktif,
cholestyramine ). Obat ini dipromosikan untuk pengobatan diare berdasarkan
kemampuannya untuk mengikat dan menonaktifkan racun bakteri atau zat lain
yang menyebabkan diare, dan untuk melindungi mukosa usus (Michael,
2003).
d. Antibiotik
Pemakaian antibiotik ini harus di bawah pengawasan seorang dokter,
karena obat ini dapat menimbulkan efek yang tidak dikehendaki dan dapat
mendatangkan kerugian yang cukup besar bila pemakaiannya tidak dikontrol
dengan betul (Widjajanti, 2006).
B. Irritable Bowel Syndrome (IBS)
a. Pengertian IBS
IBS merupakan gangguan fungsional pada defekasi. IBS utamanya
dikarakteristikkan dengan gejala-gejala yang khas dan diperburuk dengan stres
emosional (Sudoyo, dkk 2006). IBS merupakan salah satu penyakit yang tidak
mudah didiagnosa, dikarenakan tidak terdapat pemeriksaan fisik dan
laboratorium yang spesifik pada pasien IBS.
Oleh karenanya, diagnosa penyakit ini seringkali didasarkan pada kriteria
eksklusi, yaitu diagnosa ditegakkan setelah menyingkirkan semua kemungkinan
adanya penyakit organik saluran pencernaan lain (Carmilleri, 2001).
b. Etiologi
Menurut (Kusmobroto, 2003) IBS dapat disebabkan oleh berbagai macam
faktor. Penelitian-penelitian terakhir mengarah untuk membuat suatu model
terintegrasi sebagai penyebab dari IBS, antara lain:
o Gangguan motilitas.
o Intoleransi makanan.
o Abnormalitas sensorik (Abnormalitas sistem saraf otonom).
o Hipersensivitas visceral.
o Pasca infeksi usus. Biasanya disebabkan oleh giardia atau amoeba (biasanya
gejala berupa perut kembung, nyeri abdomen, dan diare).
o Faktor psikologis (stress).
o Faktor makanan.
c. Tanda dan Gejala
Menurut Sudoyo (2006), beberapa ahli membagi gejalanya dalam dua kelompok
besar, yaitu :
1. Tipe kolon spastik
Biasanya dipicu oleh makanan, menyebabkan konstipasi berkala (konstipasi
periodik) atau diare disertai nyeri. Kadang konstipasi silih berganti dengan diare.
Sering tampak lendir pada tinjanya. Nyeri bisa berupa serangan nyeri tumpul atau
kram, biasanya di perut sebelah bawah. Perut terasa kembung, mual, sakit kepala,
lemas, depresi, kecemasan dan sulit untuk berkonsentrasi.
2. Menyebabkan diare atau konstipasi yang relatif tanpa rasa nyeri.
Diare mulai secara tiba-tiba dan tidak dapat ditahan. Gejala paling khas adalah
diare yang timbul segera setelah makan. Beberapa penderita mengalami perut
kembung dan konstipasi dengan disertai sedikit nyeri.
d. Penegakan Diagnosa
Menurut Sudoyo (2006), panduan kriteria mutakhir yang banyak dipakai untuk
mendiagnosa penyakit IBS, yaitu :
Sedikitnya 12 minggu atau lebih (tidak harus berurutan) selama 12 bulan
terakhir dengan rasa nyeri atau tidak nyaman di abdomen, disertai dengan adanya 2
dari 3 hal berikut :
o Nyeri hilang dengan defekasi.
o Awal kejadian dihubungkan dengan perubahan frekuensi defekasi.
o Awal kejadian dihubungkan dengan adanya perubahan konsistensi feses.
o Gejala lain yang menunjang diagnosa penyakit IBS :
1. Ketidaknormalan frekuensi defekasi.
2. Kelainan bentuk feses.
3. Ketidaknormalan proses defekasi (harus dengan mengejan, inkontinensia
defekasi, atau rasa defekasi tidak tuntas).
4. Adanya lender.
5. Kembung.
e. Algoritma Diagnostik dan Tatalaksana IBS pada Pelayanan Primer

Terduga IBS

Nyeri abdomen berulang, kembung, atau rasa tidak


nyaman ≥3 bulan yang berhubungan dengan salah satu
dari:
- berkurang dengan defekasi
- perubahan bentuk feses (lihat Bristol Stool Scale)
- perubahan frekuensi defekasi

Tanda alarm:
o Usia pasien ≥45 tahun
o Adanya darah dalam kotoran
o Penurunan berat badan yang tidak direncanakan
o Gejala-gejala nocturnal
YA o Demam Tidak
o Massa di abdomen
o Asites
o Riwayat kanker kolorektal pada keluarga
o Adanya anemia

Tersangka IBS

Jelaskan mengenai IBS Obati gejala-


gejala utama

Ada gejala baru atau tanda


alarm Kembali berobat dalam 6 minggu Periksa adanya
gejala baru Periksa kembali tanda alarm Lanjutkan
atau ubah pengobatan sesuai kebutuhan

YA Hasil laboratorium: anemia, leukositosis, LED,


CRP tinggi, kimia darah abnormal, dan darah
samar pada feses

Rujuk ke pusat Pelayanan Jika gejala menetap


kesehatan yang lebih lengkap Kembali berobat dalam 6 minggu Periksa adanya
gejala baru Periksa kembali tanda alarm Lanjutkan
atau ubah pengobatan sesuai kebutuhan
f. Algoritma Diagnosis IBS pada Pelayanan Sekunder

Gejala-gejala IBS Tanpa


tanda alarm Usia <50 tahun

. Tanpa diare Prevalensi tinggi Prevalensi tinggi Diare persisten


. Prevalensi rendah penyakit celiac parasitosis intestinal
. Parasitosis intestinal
. Prevalensi rendah
. penyakit celiac . Tes serologi untuk
Tes serologi untuk Studi feses penyakit celiac.
penyakit . Studi feses.
celiac . Kolonoskopi.
Pemeriksaan sederhana:
(darah lengkap, LED,
darah samar feses,dan
diagnosis berbasis gejala
g. Metode Pengobatan
Pengobatan biasanya dilakukan dengan dua cara yaitu terapi non farmakologis
dan terapi farmakologis. Penting diperhatikan pada penderita IBS adalah
menjaga hubungan yang baik antara dokter dan pasien, diberi penjelasan tentang
penyakitnya yang jinak dan prognosisnya yang baik. Karena sifat penyakitnya kronis,
diperlukan hubungan baik jangka panjang (Camilleri, 2001).
o Terapi Non-farmakologis
Pasien IBS tipe konstipasi disarankan modifikasi diet dengan
meningkatkan konsumsi serat, namun hal ini tidak mengurangi nyeri perut.
Konsumsi air dan aktifitas olahraga yang rutin juga disarankan pada pasien IBS
tipe konstipasi. Sedangkan pasien dengan IBS tipe diare disarankan mengurangi
konsumsi serat.
Beberapa makanan atau minuman tertentu juga dapat mencetuskan
terjadinya IBS, oleh karena itu harus dihindari oleh pasien. Beberapa makanan
atau minuman tersebut antara lain gandum, susu, kafein, bawang, coklat, dan
beberapa sayur-sayuran, serta makanan yang mengandung lactose (Kenneth,
1999).
o Terapi Farmakologis
a. Konstipasi (sembelit)
Tegaserod suatu 5-HT4 reseptor agonis, merupakan obat IBS tipe
konstipasi yang relatif baru dan sudah beredar di Indonesia. Mekanisme
tegaserod mengurangi sembelit adalah mengkontrol kontraksi dari otot-otot
usus halus. Kontraksi usus halus yang lebih banyak dapat mempercepat transit
makanan di usus halus, kontraksi yang lebih sedikit memperlambat transit
makanan di usus halus. Pada pasien-pasien dengan sembelit, kontraksi-
kontraksi usus halus lebih sedikit. Pemberian tegaserod dapat meningkatkan
kontraksi usus halus, sehingga mempercepat waktu transit makanan di usus
halus dan waktu transit feces di kolon (Camilleri, 2001).
b. Diare
Obat yang paling luas dipelajari untuk perawatan diare pada IBS adalah
loperamide. Loperamide bekerja dengan menghalangi (memper lambat)
kontraksi-kontraksi dari otot-otot usus kecil dan usus besar. Loperamide 30%
lebih efektif dari pada suatu placebo dalam memperbaiki gejala pada
pasien IBS tipe diare.
Pemberian loperamide harus tepat dosis karena pemberian yang
berlebihan dapat menyebabkan konstipasi (sembelit), sehingga dosis harus
diberikan secara hati-hati. Dosis loperamid adalah 2x 16 mg sehari (Quigley,
2003).
Alosetron digunakan untuk merawat diare dan ketidaknyamanan perut
yang terjadi pada wanita-wanita dengan IBS parah yang tidak merespon pada
perawatan-perawatan sederhana lainnya. Alosetron, seperti tegaserod,
mempengaruhi reseptor reseptor serotonin.
Penggunaan dari alosetron hanya diizinkan pada wanita- wanita dengan
IBS parah dengan keutamaan diare yang telah gagal merespon dengan
perawatan konvensional untuk IBS. Efek samping yang paling umum
dengan alosetron adalah sembelit (Quigley, 2003).
c. Nyeri Perut
Obat yang sering digunakan untuk menghilangkan nyeri perut pada
pasien IBS adalah suatu kelompok dari obat-obat yang disebut smooth-
muscle relaxants. Obat-obat smooth muscle relaxant mengurangi kekuatan
kontraksi dari smooth muscles namun tidak mempengaruhi kontraksi otot-otot
lain. Smooth muscle relaxants 20% lebih efektif daripada suatu placebo dalam
mengurangi nyeri perut (Camilleri, 2001).
Smooth muscle relaxants yang umum digunakan dan sudah beredar
di Indonesia antara lain, mebeverine 3 x 135 mg, hiosin N-butilbromida
3 x 10 mg, alverine 3 x 30 mg, Chlordiazepoksid 5 mg/klidnium 2,5 mg 3
x1 tablet (Sudoyo, 2006).
C. Sembelit (Konstipasi)
a. Pengertian Konstipasi
Konstipasi merupakan masalah yang sering terjadi pada anak. Penelitian Loening-
Baucke (2007) didapatkan prevalensi konstipasi pada anak usia 4-17 tahun adalah
22,6%, sedangkan prevalensi konstipasi pada anak usia di bawah 4 tahun hanya
sebesar 16%. Konstipasi adalah kesulitan buang air besar dengan konsistensi feses
yang padat dengan frekuensi buang air besar lebih atau sama dengan 3 hari sekali.
Pada anak normal yang hanya buang air besar setiap 2-3 hari dengan tinja yang
lunak tanpa kesulitan bukan disebut konstipasi. Namun, buang air besar setiap 3 hari
dengan tinja yang keras dan sulit keluar, sebaiknya dianggap konstipasi (Drossman
dan Dumitrascu, 2006; Voskuijl dkk., 2004).
b. Etiologi

Penyebab terserang konstipasi pada anak yaitu fungsional, fisura ani, infeksi virus
dengan ileus, diet dan obat. Konstipasi pada anak 95% akibat konstipasi fungsional.
Konstipasi fungsional pada umumnya terkait dengan perubahan kebiasan diet,
kurangnya makanan mengandung serat, kurangnya asupan cairan, psikologis, takut
atau malu ke toilet (Van Dijk dkk., 2010; Uguralp dkk., 2003; Ritterband dkk., 2003;
Devanarayana dan Rajindrajith 2011).

Pengenalan dini faktor risiko terjadinya konstipasi dapat membantu untuk


mencegah konstipasi. Beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan
konstipasipada anak telah diteliti yaitu ketidak cukupan asupan serat dan cairan
harian, riwayat penyakit kronis, riwayat keluarga konstipasi, psikologis, alergi susu
sapi dan riwayat asupan susu sapi pada usia awal kehidupan, kelainan yang
berhubungan kolon dan rektum seperti irritable bowel syndrome, hirschsprung
disease, dan fisura ani (Borowizt dkk., 2003).

c. Patofisiologi
Frekuensi defekasi pada anak-anak bervariasi menurut umur. Pada anak umur 0-3
bulan dengan mengkonsumsi ASI frekuensi defekasi 3 kali/hari, anak umur 0-3 bulan
dengan mengkonsumsi susu formula frekuensi defekasi 2 kali/hari, dan anak umur ≥
1 tahun frekuensi normal defekasi yaitu 1 kali/hari. (Iacono dkk., 2005).
Gejala dan tanda klinis konstipasi pada anak dimulai dari rasa nyeri saat defekasi,
anak akan mulai menahan tinja agar tidak dikeluarkan untuk menghindari rasa tidak
nyaman yang berasal dari defekasi dan terus menahan defekasi maka keinginan
defekasi akan berangsur hilang oleh karena kerusakan sensorik di kolon dan rektum
sehingga akan terjadi penumpukan tinja (Degen dkk., 2005).
Proses defekasi yang tidak lancar akan menyebabkan feses menumpuk hingga
menjadi lebih banyak dari biasanya dan dapat menyebabkan feses mengeras yang
kemudian dapat berakibat pada spasme sfingter ani. Feses yang terkumpul di rektum
dalam waktu lebih dari satu bulan menyebabkan dilatasi rektum yang mengakibatkan
kurangnya aktivitas peristaltik yang mendorong feses keluar sehingga menyebabkan
retensi feses yang semakin banyak. Peningkatan volume feses pada rektum
menyebabkan kemampuan sensorik rektum berkurang sehingga retensi feses makin
mudah terjadi (Van Der Plas dkk., 2000).

Gambar 2.1 Patofisiologi defekasi (Van Der Plas dkk., 2000)


d. Gejala dan tanda klinis
Gejala klinis konstipasi menurut Rajindrajith, dkk (2010) sebagai berikut :
1. Frekuensi defekasi kurang dari tiga kali perminggu.
2. Nyeri saat defekasi.
3. Tinja keras.
4. Sering mengejan pada saat defekasi.
5. Perasaan kurang puas setelah defekasi.
Berikut beberapa gejala dan tanda yang timbul pada anak dengan konstipasi yaitu
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik :

e. Diagnosis
Diagnosis konstipasi sesuai dengan kriteria Rome III adalah sebagai berikut :
1. Frekuensi defekasi dua kali atau kurang dalam seminggu tanpa pemberian
laksatif.
2. Terdapat minimal satu kali episode soiling/enkopresis dalam seminggu.
3. Riwayat retensi tinja yang berlebihan.
4. Riwayat nyeri atau susah defekasi.
5. Riwayat pengeluaran feses yang besar sampai dapat menyumbat toilet.
6. Teraba masa fekal yang besar di rektum.
f. Algoritma
a. Algoritma tata laksana kolik infanil
b. Algoritma tata laksana konstipasi fungsional

c. Algoritma tata laksana regusgitsi


g. Pengobatan
1. Pencahar pembentuk tinja (bulk-forming laxantive).
- Bahan aktif : serat alami seperti psyllium, serat buatan seperti metil sellulosa dan
calcium polycarbophil.
- Cara kerja: pencahar ini membentuk gel di tinja yang membantu menahan lebih
banyak air di tinja. Tinja menjadi lebih besar yang merangsang gerakan di usus
untuk membantu mengeluarkan tinja lebih cepat.
Bulk-forming laxantive adalah pilihan yang baik untuk orang-orang
dengan sembelit kronis. Obat ini membutuhkan waktu lebih lama dari obat
pencahar lainnya untuk bekerja. Contoh: Mulax.
2. Pelembut tinja

- Zat aktif : Docusate sodium, docusate calcium, sodium docecyl sulfate (SDS).

- Cara kerja : obat ini mempunyai efek seperti surfaktan yang menurunkan
tegangan permukaan feses, sehingga dapat meresap dan tinja menjadi lembek.

Pelembut tinja paling baik untuk orang dengan sembelit sementara atau
konstipasi ringan dan kronis. Contoh : Triolax yang mengandung gliserin dan
sodium dodecyl sulfate.

3. Pencahar stimulan/perangsang
- Zat aktif : Ekstrak sena (Laxasium), dan bisacodyl
- Cara kerja : obat ini menstimulansi dan meningkatkan peristaltik atau gerakan
usus.
Obat ini tidak boleh digunakan secara teratur. Bila digunakan teratur
menyebabkan dehidrasi dan ketidakseimbangan eliktrolit. Contoh : Bicolax,
Custodiol, Laxana, Prolaxan dan stolax
4. Pencahar hiperosmolar (osmotic laxative)
- Zat aktif : Laktolusa, sorbitol (contoh: sorbitol corsa/sanofi Synthelabo) dan
gliserin – sodium docecyl sulfate (contohnya: triolax)
- Cara kerja: pencahar ini mempunyai efek menahan cairan dalam usus dan
mengatur distribusi cairan dalam tinja. Jenis ini mempunyai cara kerja seperti
spon sehingga tinja mudah melewati tinja.
Obat pencahar hiperosmolar juga dapat digunakan dalam jangka waktu
yang lebih lama dengan sedikit resiko efek samping. Seperti obat pencahar
pembentuk massal, ini adalah obat yang paling tepat untuk sembelit kronis dan
mereka membutuhkan waktu lebih lama dari obat pencahar lainnya untuk bekerja.
Sebaiknya tidak digunakan secara terus menerus dalam satu minggu tanpa saran
dokter. Contoh: Duphalac, Graphalac, lacons, Lactulax, lactulose ikapharmindo,
Lantulos, laxadilac, opilax, pralax, dan solac.
5. Pencahar lubrikan

- Bahan aktif: minyak mineral


- Cara kerja: minyak mineral melapisi tinja dan usus untuk mencegah kehilangan
air. Pencahar ini juga melumasi tinja untuk membantu bergerak lebih mudah.
Minyak mineral tidak digunakan secara teratur. Hal ini dapat mengganggu
penyerapan vitamin larut lemak tubuh seperti A,D,E, dan K. Obat pencahar ini
digunakan untuk menghilangkan sembelit dalam jangka pendek. Contoh :
laxadine, berisi fenolftalein, liquid paraffin, gliserin
6. Pencahar saline

- Zat aktif : Magnesium sitrat dan magnesium hidroksida (Laxasium)


- Cara kerja : Obat ini menarik lebih banyak air ke dalam usus. Hal ini
melembutkan tinja dan merangsang gerakan di usus untuk membantu anda
mengeluarkan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
 Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi
lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih sering
(biasanya tiga kali atau lebih) dalam satu hari.
 Sembelit atau konstipasi merupakan keadaan tertahannya feses (tinja) dalam usus
besar pada waktu cukup lama karena adanya kesulitan dalam pengeluaran. Hal ini
terjadi akibat tidak adanya gerakan peristaltik pada usus besar sehingga memicu
tidak teraturnya buang air besar dan timbul perasaan tidak nyaman pada perut
 Irritable Bowel Syndrome (IBS) bukanlah penyakit, karena penyakit ini
merupakan sekumpulan gejala yang terjadi akibat gangguan fungsional
saluran pencernaan, dimana tidak terdapat kelainan organik dari saluran
pencernaan itu sendiri
 Diare, sembelit dan Irritable Bowel Syndrome (IBS) adalah penyakit dan
gangguan saluran pencernaan yang menyerang anak-anak di usia balita sampai
remaja yang disebabkan oleh banyak faktor diantaranya makanan dan minuman,
bakteri, virus, gangguan psikologis (stress) dan penyakit kronis lainnya.

B. Saran
 Makan makakan yang bergizi dan seimbang, selalu jaga kebersihan diri dan
lingkungan guna untuk menghindari penyakit-penyakit tersebut.
 Periksakanlah sesegera mungkin apabila sudah terlihat tanda-tanda bahwa kalian
mengalami diare, sembelit atau IBS ke dokter.
DAFTAR PUSTAKA
 Borowitz SM, sutphen JL. Recurent vomiting and persistent gastroesophageal reflux
caused by unrecognized constipation. Clin pediatr. 2004;43:461-6
 Devanarayana NM. Recurrent abdominal pain in children: a sri lankan perspective. Sri
lanka journal of child health. 2010;39:79-92
 Drossman, douglas A dan L. Dumitrascu. 2006. Rome III : New standar for functionsl
Gastrintestinal diorders. Journal gastrintestin Liver disorders vol. 15, No. 3,237-24
 Gremse DA.Hixon J. Crutchfield A. 2002. Comparison of polyethylen glycol 3350 and
lactulose for treatment cronic constipation in children. Journal Of Clinical
Pediatric.41:225-9
 Loening-Baucke V, Miele E, Staiano A. Fiber (glucomannan) is beneficial in the
treatment of childhood constipation. Pediatrics. 2004; 113:259–64
 Pijper MAM, Bongers MEJ, Benninga MA, Berger MY. Functional constipation in
children: a systematic review on prognosis and predictive factors. JPGN. 2010; 50:256-
68
 Rajindrajith, S & Devanarayana, NM. 2011. Constipation in children: Novel Insight into
epidemiology, pathopisiology and Management. J neurigastroenterol Motil.17 (1) : 35-47
 Van der plas, R.N., Beninga,M.A., staalman, C.R., Akkermans, L., Redekop, W.,
Taminiau, J.A.2000. Megarectum In Constipation. Arc Dis Child. Vol. 83 (1):52-58
 Voskuijl W, Lorijn F,Nerwijs W, Hogeman P, Heijmans J, Mäkel W, et al. PEG 3350
(transipeg) versus lactulose in the treatment of childhood functional constipation: a
double blind randomised, controlled, multicentre trial. Gut. 2004; 53:1590-94

You might also like