Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tuberkulosis
2.1 Definisi dan Epidemiologi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh
respon imunitas diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag dan limfosit (biasanya
sel T) adalah sel imunoresponsif 6,8,9.
Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan
yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell-mediated
hypersensitivity). Penyakit biasanya terletak di paru, tetapi dapat mengenai organ lain.
Dengan tidak adanya pengobatan yang efektif untuk penyakit yang aktif, biasa terjadi
perjalanan penyakit yang kronik, dan berakhir dengan kematian4.
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat
lama dikenal manusia, misalnya dia dihubungkan dengan tempat tinggal didaerah
urban, lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan tulang
vertebra torak yang khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan
zaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding
piramid di Mesir kuno pada tahun 2000-4000 SM3.
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia
ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan
bahwa terdapat 8,8 juta kasus BTA (Basil Tahan Asam ) positif. Sepertiga penduduk
dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar
kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33% dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus
per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu
350 per 100.000 penduduk6.
1
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2-3 juta
setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar
kematian akibat TB terdapat di Asia Tenggara yaitu 625.000 orang atau angka
mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat
di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalensi HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul6.
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB
setelah India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar
140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu
diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah
jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia6.
Latar belakang penulisan sari pustaka ini adalah untuk mempelajari dan
mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, cara penularan, patogenesis, klasifikasi,
gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, DOTS,
pencegahan, cara pencatatan dan pelaporan Tuberkulosis paru.
2.2 Etiologi
Penyakit Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan
asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama
kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk
mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TB
pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP)11.
2
Gambar 1. Bakteri Mycobacterium tuberculosis11.
3
Gambar 2. Penyebaran bakteri Tuberkulosis11.
2.4. Patogenesis
2.4.1 Tuberkulosis Primer
Penularan Tuberkulosis paru dari orang ke orang terjadi karena kuman
dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita.
Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada
ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam suasana
lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila
partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas,
atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran parikel < 5
mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh
makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar
percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya3.
Bila kuman menetap dijaringan paru, berkembang biak di dalam sitoplasma
makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan
disebut sarang primer atau efek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini
dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka
terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal,
5
jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri
masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, dan
tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka akan terjadi penjalaran ke seluruh
bagian paru menjadi TB milier3.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal bersama-sama limfadenitis
regional dikenal sebagai kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu
3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi3:
1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >
5 mm dan ±10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman
yang dormant
3) Berkomplikasi dan menyebar secara :
a) Perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya.
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus
yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan
menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang
atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis
tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis6.
b) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru yang
disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus
c) Secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan
daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak
terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
6
keadaan yang cukup gawat seperti TB milier, meningitis TB,
typhobachillosis Landouzy6.
Semua kejadian diatas tergolong dalam perjalanan Tuberkulosis primer3.
2.5 Klasifikasi
American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang diambil
berdasarkan aspek kesehatan masyarakat2:
1) Kelas 0 : Tidak pernah terpajan TB, tidak terinfeksi. Orang-orang pada
kelas ini tidak mempunyai riwayat terpajan dan tes kulit tuberkulin
menunjukkan hasil negatif (jika dilakukan)
2) Kelas 1 : Terpajan TB, tidak ada bukti terinfeksi. Orang-orang pada
kelas ini mempunyai riwayat terpajan tuberkulosis, tetapi tes tuberkulin
menunjukkan hasil negative. Tindakan yang diambil untuknya tergantung
8
pada derajat dan kebaruan paparan M. tuberculosis, serta kekebalan
tubuhnya. Jika terpapar secara signifikan selama 3 bulan, tes tuberculin
lanjutan harus dilakukan 10 minggu setelah paparan terakhir, dan
sementara itu pengobatan terhadap infeksi tuberculosis laten harus
dipertimbangkan terutama pada anak-anak berusia kurang dari 15 tahun
dan penderita infeksi HIV.
3) Kelas 2 : Infeksi TB laten, tidak timbul penyakit. Orang-orang pada
kelas 2 menunjukkan hasil tes tuberculin positif, pemeriksaan radiologi
dan bakteriologi negatif.
4) Kelas 3 : Tuberkulosis, aktif secara klinis. Kelas 3 mencakup semua
pasien
dengan TB aktif secara klinis dengan prosedur diagnostik telah selesai.
Jika diagnosis masih tertunda, orang tersebut harus diklasifikasikan
sebagai tersangka tuberkulosis (kelas 5). Untuk masuk ke kelas 3,
seseorang harus memiliki bukti klinis, bakteriologis, dan/atau radiografi
TB saat ini. Hal ini dipastikan dengan isolasi M. tuberkulosis. Seseorang
yang menderita TB di masa lalu dan juga yang saat ini memiliki penyakit
aktif secara klinis termasuk dalam kelas 3. Seseorang tetap di kelas 3
sampai pengobatan untuk episode penyakit saat ini selesai.
5) Kelas 4 : TB tidak aktif secara klinis. Ditemukan radiografi yang
abnormal atau tidak berubah, dan reaksi tes kulit tuberkulin positif, dan
tidak ada bukti klinis.
6) Kelas 5 : Tersangka TB (diagnosis tertunda). Seseorang termasuk
dalam kelas ini ketika diagnosis TB sedang dipertimbangkan. Seseorang
seharusnya tidak tetap di kelas ini selama lebih dari 3 bulan. Ketika
prosedur diagnostik telah selesai, orang tersebut harus ditempatkan pada
salah satu kelas sebelumnya.
TB
TB paru BTA (-)
TB ekstraparu
11
Kasus baru
Kasus kambuh
Tipe penderita
TB paru Kasus Drop Out
Kasus gagal
pengobatan
Kasus kronik
3) Tuberkulosis Meningeal
Infeksi kronik ini berwujud tidak saja sebagai tanda meningeal tetapi
sering juga sebagai tanda saraf kranialis. Yang khas pada cairan serebrospinal
adalah kandungan protein yang tinggi, glukosa rendah, dan limfositosis.
Kemoterapi yang efektif adalah isoniazid, rifampisin dan etambutol.
Tuberkuloma pada selaput otak atau otak dapat menjadi nyata pada orang
dewasa, beberapa tahun setelah infeksi primer, dan kejang seringkali menjadi
manifestasi utamanya.
14
4) Tuberkulosis Laring dan Endobronkial
Tuberkulosis laring biasanya didapati bersama dengan penyakit paru
yang sudah sangat lanjut. Penyakit terjadi akibat terinfeksinya permukaan
mukosa selama ekspektorasi. Penyakit berkembang dari laringitis superficial
menjadi tukak dan granuloma. Suara parau merupakan gejala utama. Dengan
cara yang sama, mukosa bronkus dapat terkena yang menyebabkan bronchitis
tuberculosis. Batuk dan hemoptisis minor merupakan manifestasi klinis
utama. Pasien dengan laringitis tuberkulosis dan bronchitis yang luas biasanya
sangat infeksius.
5) Tuberkulosis Tulang
Penyakit yang mengenai tulang dan sendi bukanlah manifestasi
tuberculosis yang jarang. Penyakit Pott, yaitu tuberculosis tulang belakang,
biasanya mengenai vertebra midtorakal. Basilus tuberkel mencapai vertebra
secara hematogen atau melalui saluran limfatik dari rongga pleura ke kelenjar
limfe paravertebra(). Gejala awal yang paling umum adalah nyeri punggung
yang mungkin ada selama berminggu-minggu atau bulan sebelum diagnosis.
Tuberkulosis sendi paling sering mengenai sendi penopang berat
badan yag besar seperti panggul dan lutut. Tuberkulosis sendi berespon baik
terhadap imobilisasi dan kemoterapi. Sinovitis tuberkulosa dapat terjadi
sendiri atau bersama arthritis tuberkulosa.
6) Tuberkulosis Genitourinarius
Tuberkulosis ginjal biasanya berawal dari hematuria dan piuria
mikroskopik dengan biakan urin yang steril. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan ditemukannya basilus tuberkel pada biakan urin. Seiring dengan
berkembangnya penyakit, terjadi kavitas parenkim ginjal. Dengan kemoterapi
yang adekuat, pengangkatan ginjal secara bedah hamper tidak diperlukan.
Ureter dan kandung kemih dapat terinfeksi akibat penyebaran organism lewat
tubulus, dan dapat terjadi striktur ureter.
15
Salpingitis tuberculosis sering mengakibatkan sterilisitas pada
perempuan. Tuberculosis genital pada laki-laki paling sering mengenai
prostat, vesika seminalis dan epididimis. Tuberculosis epididimis dan prostat
ditandai oleh indurasi noduler yang tidak nyeri tekan yang dapat diketahui
dari pemeriksaan fisik. Diagnosis biasanya dibuat dengan kultur basil tahan
asam.
7) Adenitis Tuberkulosis
Gambar 4. Limfadenitis Tuberkulosis
16
dan kemudian dengan HIV, risiko perkembangan tuberculosis adalah 5 hingga
10 persen pertahun.
Limfosit dan monosit, yaitu sel-sel pertahanan primer yang dikerahkan
untuk infeksi tuberkulosis, dihancurkan oleh HIV. Reaktivasi uji kulit
tuberkulin dapat tidak ada pada individu yang terinfeksi HIV yang masih
sehat dan bebas gejala klinis AIDS, sekalipun begitu banyak dua pertiga
persen pasien yang terinfeksi HIV dengan tuberkulosis memiliki uji kulit
tuberkulin positif. Jumlah limfosit T CD4 pada pasien tuberkulosis
seropositif-HIV yang khas berada dalam rentang 150-200 sel per milimeter
kubik.
Hampir separuh pasien AIDS dengan tuberkulosis memiliki bentuk
ekstrapulmonal, dengan limfadenitis tuberkulosa yang menonjol, biasanya di
leher anterior. Hampir setengah pasien ditemukan gambaran rontgen yang
atipik, dengan infiltrat halus yang difus, infiltrat pneumonik, adenopati hilus,
dan infiltrat perihilus, serta seringkali tampak efusi pleura.
18
2.8 Pemeriksaan Penunjang
19
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya
ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain
diperlukan 5000 kuman dalam 1 mL sputum. (3) Kuman berbentuk batang
yang ramping (diameter kurang dari 0,5 µm), kadang melengkung, sering
bermanik-manik polikromatik, seringkali tampak pada specimen klinis
sebagai pasangan atau kelompok beberapa organism yang terletak bersisian 4.
20
Pemeriksaan dengan mikroskoskop fluoresens dengan sinar ultraviolet
walaupun sensitifitasnya tinggi sangat jarang dilakukan, karena pewarnaan
yang dipakai (auramin-rhodamin) dicurigai bersifat karsinogenik3.
Pewarnaan yang lebih pasti adalah dengan karbofluksin, pewarnaan ini
membutuhkan pembacaan yang teliti dengan mikroskop imersi minyak,
basilus tuberkulosa dapat dilihat dengan pembesaran 1000 kali4.
Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman
sputum dalam medium biakan, koloni kuman tuberkolosis mulai tampak. Bila
setelah 8 minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan dinyatakan
negative. Medium biakan telur yang sering dipakai yaitu Lowenstein Jensen,
Kudoh atau Ogawa3. Sementara medium biakan agar adalah Middle Brook6.
Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat
kuman BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi pada
fenomena dead bacilli, atau non culturable bacilli yang disebabkan
keampuhan panduan obat anti tuberculosis jangka pendek yang cepat
mematikan kuman BTA.panduan obat anti tuberkulosis jangka pendek yang
cepat mematikan kuman BTA3.
21
menjalani puasa selama 8-10 jam, dan lebih baik jika pasien
masih di tempat tidur.
c) Cairan pleura, peritoneum, dan perikardial dapat dianalisis
untuk mengetahui kadar protein dan glukosa (dibandingkan
dengan total serum simultan protein dan glukosa). Sel dan
diferensial jumlah harus diperoleh. Protein yang tinggi (50%
dari konsentrasi serum protein), limfositosis, dan glukosa yang
rendah biasanya ditemukan pada infeksi tuberkulosis.
d) Bilasan urin biasanya menunjukkan hasil negatif dan
karenanya tidak efektif untuk dilakukan2.
23
Gambar 7. Rontgen Toraks Tuberkulosis Paru
25
2) Penyakit sistemik berat (Sarkoidosi, LE),
3) Penyakit eksantematous dengan panas yang akut : morbili,
cacar air, poliomielitis,
4) Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit Hodgkin.
5) Pemberian kortikosteroid yang lama,
6) Usia tua, malutrisi, uremia, penyakit keganasan.
2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif 2-3
bulan dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan6. Pengobatan TB bertujuan untuk
menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan,
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman
terhadap OAT1.
27
Tabel 1. Jenis dan dosis OAT
Dosis Obat (mg)
Berat
Rifampisin INH Pirazinamid Etambutol Streptomisin
Badan
(R) (H) (Z) (E) (S)
< 40 300 150 750 750 Sesuai BB
40-60 450 300 1000 1000 750
>60 600 450 1500 1500 1000
28
b) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan
resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi
kesalahan penulisan resep
c) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga
pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan
kepatuhan pasien.
d) Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap
penatalaksanaan yang benar dan standar.
29
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2RHZES/1RHZE.
Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat
hasil uji resistensi dapat diberikan RHE selama 5 bulan.
4) Pasien TB paru kasus gagal pengobatan.
Paduan obat yang dianjurkan : 2RHZES/1RHZE/5RHE.
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2
(contoh paduan : 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid,
sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin).
Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan
2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila
tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan RHE selama 5 bulan.
5) Pasien TB kasus putus obat.
Paduan obat yang disediakan oleh Program Nasional TB :
RHZES/1RHZE/5R3H3E3.
Pasien TB paru kasus lalai berobat akan dimulai pengobatan kembali
sesuai dengan kriteria berikut :
a) Berobat < 4 bulan
Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih
lama. Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif, TB aktif
pengobatan diteruskan.
b) Berobat ≥ 4 bulan
Bila BTA saat ini negatif, klinis dan radiologi tidak aktif atau
ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila
gambaran radiolologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk
memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga
kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka
pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Bila BTA
saat ini positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
30
obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih
lama.
31
Tabel 3. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2
Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
3 kali seminggu
tiap hari
Berat RH (150/150) +
RHZE (150/75/400/275) + S
Badan E(400)
Selama 28
Selama 56 hari selama 20 minggu
hari
30-37 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin + 2 tab Etambutol
inj.
38-54 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg Streptomisin + 3 tab Etambutol
inj
55-70 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin + 4 tab Etambutol
inj.
>71 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 1000mg Streptomisin + 5 tab Etambutol
inj.
32
Tabel 4. Efek samping ringan OAT
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak ada nafsu Rifampisin Semua OAT diminum malam
makan, mual, sakit sebelum tidur
perut
Nyeri Sendi Pirasinamid Beri Aspirin
Kesemutan s/d rasa INH Beri vitamin B6 (piridoxin) 100mg
terbakar di kaki per hari
Warna kemerahan Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi perlu
pada air seni (urine) penjelasan kepada pasien
33
Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”1:
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-
gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin,
sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada
sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu
kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu
sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini
bertambah berat, pasien perlu dirujuk.
35
c) Bila gejala klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan: Bilirubin
> 2 OAT stop
d) SGOT, SGPT > 5 kali OAT stop
e) SGOT, SGPT > 3 kali teruskan pengobatan, dengan
pengawasan
36
7) Pasien TB dengan Diabetes Melitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti
diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula
darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral.
Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopati diabetika,
oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat
memperberat kelainan tersebut. Apabila kadar gula darah tdak terkontrol,
maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan.
8) Pasien TB Milier
Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE/4RH dan diindikasikan
untuk rawat inap. Pada gejala meningitis, sesak napas, gejala toksik, dan
demam tinggi dapat diberikan kortikosteroid prednison dengan dosis 30-40
mg per hari kemudian diturunkan secara bertahap.
1) Evaluasi klinis
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan. Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek
38
samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. Evaluasi klinis meliputi
keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis6.
2) Evaluasi bakteriologi
Evaluasi bakteriologi (0-2-6/9 bulan pengobatan). Tujuan untuk
mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan dan evaluasi
pemeriksaan mikroskopis sebelum pengobatan dimulai, setelah 2 bulan
pengobatan (setelah fase intensif) dan pada akhir pengobatan. Bila ada fasiliti
biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi6.
3) Evaluasi radiologis
Evaluasi radiologis (0-2-6/9 bulan pengobatan). Pemeriksaan dan
evaluasi foto toraks dilakukan pada saat sebelum pengobatan, setelah 2 bulan
pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan
dapat dilakukan 1 bulan pengobatan) dan pada akhir pengobatan6.
5) Kriteria sembuh6:
a) BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase itensif dan
akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang
adekuat.
b) Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap
sama/perbaikan.
c) Bila ada fasilitas biakan, maka criteria ditambah biakan
negatif.
40
1) Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional,
2) Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal
dengan istilah DOT (Directly Obsered Therapy),
3) Pengadaan OAT secara berkesinambungan,
4) Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku / standar.
42
4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang
mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera
memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.
5) Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien
mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan (UPK)1.
2.11 Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara :
1) Terapi pencegahan.
2) Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah
penularan
Terapi pencegahan4:
Kemoprofilaksis diberikan kepada pasien HIV atau AIDS. Obat yang
digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5
mg/kgBB (tidak lebih dari 300 mg) sehari selama minimal 6 bulan.
2.12 Penyuluhan
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting,
penyuluhan dapat dilakukan secara6:
43
1) Perorangan/Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat
dilakukan di unit rawat jalan, di apotik saat mengambil obat dan lain-
lain.
2) Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien,
kelompok keluarga pasien, masyarakat pengunjung rumah sakit, dan lain-
lain.
Cara memberikan penyuluhan :
a) Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada.
b) Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui
tingkat penerimaannyasebagai bahan untuk penatalaksanaan
selanjutnya.
c) Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal
yang belum jelasd.
d) Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah
dimengerti, kalau perludengan alat peraga (brosur, leaflet dan
lain-lain)
45
B. Meningoencefalitis TB
2.1 Definisi
Meningoencefalitis merupakan salah satu infeksi jaringan otak terjadi pada
susunan saraf pusat yang mengenai selaput otak dan selaput medulla spinalis yang
juga disebut sebagai meningens. Meningoencefalitis dapat disebabkan oleh berbagai
jenis mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan parasit. Meningoensefalitis
Tuberkulosis tergolong ke dalam meningitis yang disebabkan oleh bakteri yaitu
Mycobacterium Tuberkulosa. Bakteri tersebut menyebar ke otak dari bagian tubuh
yang lain.1
2.2 Epidemiologi
Meningoensfalitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer.
Morbiditas dan mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Komplikasi
meningitis TB terjadi setiap 300 TB primer yang tidak diobati. CDC melaporkan
pada tahun 1990 morbiditas meningitis TB 6,2% dari TB ekstrapulmonal. Insiden
meningitis TB sebanding dengan TB primer, umumnya bergantung pada status sosio-
ekonomi, higiene masyarakat, umur, status gizi dan faktor genetik yang menentukan
respon imun seseorang. Faktor predisposisi berkembangnya infeksi TB adalah
malnutrisi, penggunaan kortikosteroid, keganasan, cedera kepala, infeksi HIV dan
diabetes melitus. Penyakit ini dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih sering
dibanding dengan dewasa terutama pada 5 tahun pertama kehidupan. Jarang
ditemukan pada usia dibawah 6 bulan dan hampir tidak pernah ditemukan pada usia
dibawah 3 bulan.5
46
Pia meter : yang menyelipkan dirinya ke dalam celah pada otak dan sumsum
tulang belakang dan sebagai akibat dari kontak yang sangat erat akan
menyediakan darah untuk struktur-struktur ini.
Arachnoid : Merupakan selaput halus yang memisahkan pia meter dan dura
meter.
Dura meter : Merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari
jaringan ikat tebal dan kuat.
47
2.4 Etiologi
Kebanyakan kasus meningoensefalitis disebabkan oleh mikroorganisme,
seperti virus, bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar dalam darah ke cairan otak.
Penyebab infeksi ini dapat diklasifikasikan atas :
1. Bakteri:
Pneumococcus
Meningococcus
Haemophilus influenza
Staphylococcus
Escherichia coli
Salmonella
Mycobacterium tuberculosis
2. Virus :
Enterovirus
3. Jamur :
Cryptococcus neoformans
Coccidioides immitris
2.5 Patogenesis
Meningoensefalitis TB terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen ke
meningen dan jaringan otak. Dalam perjalanannya meningoensefalitis TB melalui 2
tahap. Mula-mula terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaran basil secara
hematogen selama infeksi primer. Penyebaran secara hematogen dapat juga terjadi
pada TB kronik, tetapi keadaan ini jarang ditemukan. Selanjutnya meningitis terjadi
akibat terlepasnya basil dan antigen TB dari fokus kaseosa (lesi permulaan di otak)
48
akibat trauma atau proses imunologik, langsung masuk ke ruang subarakhnoid.
Meningitis TB biasanya terjadi 3–6 bulan setelah infeksi primer.5
Infeksi SSP dimulai dari inhalasi partikel infektif. Tiap droplet mengandung
beberapa organisme yang dapat mencapai alveoli dan bereplikasi dalam makrofag
yang ada dalam ruang alveolar dan makrofag dari sirkulasi. Pada 2 – 4 minggu
pertama tak ada respons imun untuk menghambat replikasi mikobakteri, maka basil
akan menyebar ke seluruh tubuh menembus paru, hepar, lien, sumsum tulang.
Kuman mencapai susunan saraf pusat melalui aliran dan membentuk tuberkel
di selaput otak dan jaringan otak di bawahnya. Kemudian tuberkel akan pecah dan
bakteri masuk ke ruang subarachnoid. 4
49
Luschka serta pelebaran ventrikel. Terdapat pembendungan pembuluh-pembuluh
darah yang superficial. Pembuluh darah mengalami radang dan dapat tersumbat
sehingga terjadi infark otak. Tuberkel mengalami nekrosis pada bagian tengahnya dan
mengandung sel-sel epiteloid, limfosit, sel plasma, sel raksasa serta kumannya.4
50
MENINGITIS
ENSEFALITIS
Gejala meningitis tidak selalu sama, tergantung dari usia si penderita serta
virus apa yang menyebabkannya. Gejala yang paling umum adalah demam yang
tinggi, sakit kepala, pilek, mual, muntah, kejang. Setelah itu biasanya penderita
merasa sangat lelah, leher terasa pegal dan kaku, gangguan kesadaran serta
penglihatan menjadi kurang jelas.8
51
Gejala meningoensefalitis meliputi :8
Gejala infeksi akut
Panas (demam)
Nafsu makan tidak ada
Lesu
Gejala kenaikan tekanan intracranial
Nyeri kepala hebat
Muntah
Kesadaran menurun
Kejang-kejang
Gejala rangsangan meningeal
kaku kuduk
Kernig
Brudzinky I dan II positif
52
2.7 Diagnosis
53
2.8 Penatalaksanaan
Menurut consensus tatalaksana untuk infeksi TB di susunan saraf pusat adalah sama
walaupun mengenai lokasi yang berbeda seperti meningens, jaringan otak atau bagian
lain. Terapi Farmakologis yang dapat diberikan pada meningoensefalitis TB berupa :
Rifampicin ( R )
Efek samping : Hepatotoksik
INH ( H )
Efek samping : Hepatotoksik, defisiensi vitamin B6
Pyrazinamid ( Z )
Efek samping : Hepatotoksik
Streptomycin ( S )
Efek samping : Gangguan pendengaran dan vestibuler
Ethambutol ( E )
Efek samping : Neuritis optika
Regimen : RHZE / RHZS
Nama Obat DOSIS
54
OAT Kombo
Stadium Meningitis TB 5
Grade I : GCS 15, tanpa defisit fokal
Grade II : GCS 11 – 14 / GCS 15 + defisit fokal
Grade III : GCS ≤ 10
55
CSF percentage neutrophils
≥ 75 +4
< 75 0
Meningitis TB Grade I
- Minggu I : 0,3 mg / kg BB/ hari i.v
- Minggu II : 0,2 mg / kg BB/ hari i.v
- Minggu III-IV : mulai 4 mg / hari po dan diturunkan 1mg/hari
tiap minggu
56
Perbandingan LCS pada masing-masing infeksi
LCS Normal Bakteri Virus TBC Toxoplasma Jamur
Warna Jernih Keruh/Purulen Jernih Normal- Jernih Normal-
Keruh Keruh
2.9 Komplikasi
Komplikasi jangka panjang dari meniningoensefalitis berupa sekuele
neurologikus yang nampak pada 30 % anak dengan berbagai agen penyebab, usia
penderita, gejala klinik, dan penanganan selama perawatan. Perawatan jangka
panjang dengan terus mengikuti perkembangan penderita dari dekat merupakan
hal yang krusial untuk mendeteksi adanya sekuele secara dini. Walaupun sebagian
besar penderita mengalami perubahan serius pada susunan saraf pusat (SSP),
komplikasi yang berat tidak selalu terjadi. Komplikasi pada SSP meliputi tuli
saraf, kebutaan kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia muskulorum,
ataksia, epilepsi, retardasi mental dan motorik, gangguan belajar, hidrosefalus
obstruktif, dan atrofi serebral.1,3,7
57
2.10 Prognosis
2.11 Kesimpulan
58
C. HIDROSEFALUS
Hidrosefalus adalah berasal dari kata hidro yang berarti air dan chepalon yang
berarti kepala. Hidrosefalus merupakan penumpukan cairan serebrospinal (CSS)
secara aktif yang menyebabkan dilatasi sistem ventrikel otak dimana terjadi
akumulasi CSS yang berlebihan pada satu atau lebih ventrikel atau ruang
subarachnoid.1,2 Keadaan ini disebabkan oleh karena terdapat ketidak seimbangan
antara produksi dan absorpsi dari CSS.3
2.1 Anatomi
Struktur anatomi yang berkaitan dengan hidrosefalus, yaitu bangunan-
bangunan dimana CSS berada.
Sistem ventrikel otak dan kanalis sentralis :
1. Ventrikel lateralis
Ada dua, terletak didalam hemispherii telencephalon. Kedua ventrikel lateralis
berhubungan denga ventrikel III (ventrikel tertius) melalui foramen interventrikularis
(Monro).
2. Ventrikel III (Ventrikel Tertius)
Terletak pada diencephalon. Dinding lateralnya dibentuk oleh thalamus dengan
adhesio interthalamica dan hypothalamus. Recessus opticus dan infundibularis
menonjol ke anterior, dan
recessus suprapinealis dan recessus pinealis ke arah kaudal. Ventrikel III
berhubungan dengan ventrikel IV melalui suatu lubang kecil, yaitu aquaductus Sylvii
(aquaductus cerebri).
3. Ventrikel IV (Ventrikel Quartus)
Membentuk ruang berbentuk kubah diatas fossa rhomboidea antara cerebellum dan
medulla serta membentang sepanjang recessus lateralis pada kedua sisi. Masing-
masing recessus berakhir pada foramen Luschka, muara lateral ventrikel IV. Pada
perlekatan vellum medullare anterior terdapat apertura mediana Magendie.
59
4. Kanalis sentralis medula oblongata dan medula spinalis
Saluran sentral korda spinalis: saluran kecil yang memanjang sepanjang korda
spinalis, dilapisi sel-sel ependimal. Diatas, melanjut ke dalam medula oblongata,
dimana ia membuka kedalam ventrikel IV.
5. Ruang subarakhnoidal
Merupakan ruang yang terletak diantara lapisan arakhnoid dan piamater.
2.2 Patofisiologi
CSS dihasilkan oleh plexus choroideus dan mengalir dari ventrikel lateral ke
dalam ventrikel III, dan dari sini melalui aquaductus masuk ke ventrikel IV. Di sana
cairan ini memasuki spatium liquor serebrospinalis externum melalui foramen
lateralis dan medialis dari
ventrikel IV. Pengaliran CSS ke dalam sirkulasi vena sebagian terjadi melalui villi
arachnoidea, yang menonjol ke dalam sinus venosus atau ke dalam lacuna laterales;
dan sebagian lagi pada tempat keluarnya nervi spinalis, tempat terjadinya peralihan
ke dalam plexus venosus yang padat dan ke dalam selubung-selubung saraf (suatu
jalan ke circulus lymphaticus).4
Kecepatan pembentukan CSS 0,3-0,4 cc/menit atau antara 0,2-0,5% volume
total per menit dan ada yang menyebut antara 14-38 cc/jam. Sekresi total CSS dalam
24 jam adalah sekitar 500-600cc, sedangkan jumblah total CSS adalah 150 cc, berarti
dalam 1 hari terjadi pertukaran atau pembaharuan dari CSS sebanyak 4-5 kali/hari.
Pada neonatus jumlah total CSS berkisar 20-50 cc dan akan meningkat sesuai usia
sampai mencapai 150 cc pada orang dewasa.5
Hidrosefalus timbul akibat terjadi ketidak seimbangan antara produksi dengan
absorpsi dan gangguan sirkulasi CSS.6
60
Selain akibat gangguan pada produksi, absorpsi, dan sirkulasi, hidrosefalus
juga dapat timbul akibat : Disgenesis serebri dan atrofi serebri.2,3
II.2.2 Klasifikasi
Hidrosefalus dapat diklasifikasikan atas beberapa hal, antara lain :
1. Berdasarkan Anatomi / tempat obstruksi CSS
Hidrosefalus tipe obstruksi / non komunikans
Terjadi bila CSS otak terganggu (Gangguan di dalam atau pada sistem ventrikel yang
mengakibatkan penyumbatan aliran CSS dalam sistem ventrikel otak),yang
kebanyakan disebabkan oleh kongenital : stenosis akuaduktus Sylvius (menyebabkan
dilatasi ventrikel lateralis dan ventrikel III. Ventrikel IV biasanya normal dalam
ukuran dan lokasinya). Yang agak jarang ditemukan sebagai penyebab hidrosefalus
61
adalah sindrom Dandy-Walker, Atresia foramen Monro, malformasi vaskuler atau
tumor bawaan. Radang (Eksudat, infeksi meningeal). Perdarahan/trauma (hematoma
subdural). Tumor dalam sistem ventrikel (tumor intraventrikuler, tumor parasellar,
tumor fossa posterior).
Hidrosefalus tipe komunikans
Jarang ditemukan. Terjadi karena proses berlebihan atau gangguan penyerapan
(Gangguan di luar sistem ventrikel).
Perdarahan akibat trauma kelahiran menyebabkan perlekatan lalu
menimbulkan blokade villi arachnoid.
Radang meningeal
Kongenital :
- Perlekatan arachnoid/sisterna karena gangguan pembentukan.
- Gangguan pembentukan villi arachnoid
- Papilloma plexus choroideus
D.
DAFTAR PUSTAKA
62
Pennsylvania. 2006.
6. Tsumoto, S. Guide to Meningoencephalitis Diagnosis. JSAI KKD Chalenge 2001.
7. Komite Medik RSUP Dr. Sardjito, 2000, Ensefalitis dalam Sutoyo, Standar
Pelayanan Medis, Ed. 2, h : 198-200, Medika Fakultas Kedokteran UGM,
Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
1. Backgroud to desease. Last updated 2006. Available from
http://www.ocbmedia.com/meningitis/background.php
2. Neurology and Neurosurgery Illustrated
3. Israr YA. Meningitis. Last Updated 2008. Available from
http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/01/meningitis.pdf
4. Ramachandran TS. Tuberculous Meningitis. Last Updated 4 December 2008.
Available from http://emedicine.medscape.com/article/1166190-overview ----
5. Nofareni. Status imunisasi bcg dan faktor lain yang mempengaruhi terjadinya
meningitis tuberkulosa. Available from http://library.usu.ac.id/download/fk/anak-
nofareni.pdf
6. Koppel BS. Bacterial, Fungal,& Parasitic infections of the Nervous System in
Current Diagnosis and Treatment Neurology. USA; The McGraw-Hill
Companies. 2007. p403-08, p421-23.
7. Meningitis.Availablefromhttp://forbetterhealth.files.wordpress.com/2009/01/meni
ngitis.pdf
8. Pradhana D. Referat Meningitis. Last Updated 2009. Available from
http://www.docstoc.com/docs/19409600/new-meningitis-edit
9. Miller RD. lumbal puncture,5th ed. Churchill Livingstone. Philadelphia. 2000
63
10. Mulroy MF. Lumbal puncture, An Illustrated Procedural Guide. 2nd ed. Little,
Brownand Company. B oston 1996
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul A, et all. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007.
64
2. American Thorachic Society. Diagnostic Standards and Classification of
Tuberculosis in Adults and Children. Am J Respir Crit Care Med vol 161.
2000; p:1376–1395.
3. Amin Z dan Asril B. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi IV. Hal 988-992. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.
4. Isselbacher, Braunwald, Wilson et all. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Volume 2. Edisi 13. Hal 799-808. Jakarta: EGC, 1999.
5. Mansjoer A, et all. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid I. Hal 472-476.
Jakarta: Media Aesculapius, 2001.
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan
Pentalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika, 2006.
7. Perhimpunan Doter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Tuberkulosis Paru.
Panduan Pelayanan Medik. Hal 109-111. Jakarta: BP PAPDI,2009.
8. Sastroasmoro N, et all. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: RSUP Nasional DR. Cipto Mangunkusumo,2007.
9. Sylvia A, Loraine M. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Volume 2. Edisi 6. Hal 852-860. Jakarta: EGC, 2005.
10. http://www.emedicine.medscape.com
11. http://www.medicastore.com
12. http://www.scribd.com
65