Professional Documents
Culture Documents
A. Identitas Pasien:
1. Nama : An. MA
2. Umur : 3 tahun 7 bulan
3. Tanggal lahir : 7 Oktober 2013
4. Jenis Kelamin : Laki-laki
5. Agama : Islam
6. Alamat : Cipinang Jagol No. 18, Jakarta Timur
7. Tanggal masuk rumah sakit : 28 Mei 2017
8. Tanggal pemeriksaan : 28 Mei 2017
9. Ruang rawat : Bangsal mawar
10. Nomer rekam medis : 2013 516189
C. Anamnesa:
Anamnesa dilakukan secara Alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 28 Mei
2017.
1. Keluhan Utama:
Bengkak seluruh tubuh sejak 2 hari SMRS
2. Keluhan Tambahan:
BAK sedikit, jarang dan berwarna keruh
1
3. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poli anak RSUD Pasar Rebo dengan keluhan bengkak
seluruh tubuh sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya bengkak hanya
di mata pasien saja, namun makin lama makin terlihat bengkak di kaki, seluruh
tubuh pasien dan skrotum pasien, lalu orang tua memutuskan untuk membawa
pasien ke RSUD Pasar Rebo.
Selama 2 hari SMRS ibu pasien juga mengatakan bahwa anaknya sulit
untuk buang air kecil. BAK hanya sedikit-sedikit dan jarang walau pasien
minum banyak. Sakit saat BAK disangkal. Nyeri saat BAK disangkal. Ibu
pasien berkata kencingnya tidak berdarah, namun warnanya keruh. Selain
badan bengkak dan BAK yang sedikit dan jarang, demam disangkal. Batuk
pilek disangkal. Makan masih mau, BAB + normal. Mual dan muntah
disangkal.
2
5. Riwayat penyakit keluarga:
1. Sindroma Nefrotik (-)
2. Penyakit Ginjal (-)
Tn. A Ny. L
An. MA
Keterangan:
: Laki-laki : Pasien
: Perempuan
8. Riwayat Pribadi:
Kehamilan Masalah kehamilan Tidak ada
ANC Sebulan sekali
Kelahiran Tempat persalinan RSUD Pasar Rebo
3
Penolong persalinan Dokter/bidan
Cara persalinan Spontan
Usia gestasi 9 bulan (36 minggu)
Paska lahir Keadaan Bayi Berat lahir: 3000 gr
Panjang badan: 47 cm
Lingkar kepala: 34 cm
Menangis spontan: ya
Kelainan bawaan : -
Riwayat Lingkungan:
- Pasien tinggal bersama kedua orang tua kandungnya rumah yang cukup
sederhana dengan pencahayaan dan ventilasi yang baik.
- Sang ibu menceritakan bahwa dirumah mengunakan bak mandi di kamar
mandinyai. Lingkungan sekitar rumah tidak terlalu padat, saluran
pembuangan air dapat berjalan lancer dan tidak ada genangan.
4
12. Riwayat Kebiasaan:
Pasien tinggal bersama kedua orangtua. Setiap hari pasien
diasuh oleh ibu kandungnya. Pasien minum ASI sejak lahir, ibu pasien
memberi ASI setiap dua jam sekali, eksklusif sampai usia 6 bulan. Ibu
pasien mulai mencoba memberi makanan selain ASI yaitu pisang dan
pepaya setelah usia 6 bulan ini. Ibu pasien memberikan pasien makanan
tambahan bervariasi dan cukup gizi, diantaranya nasi tim dengan ayam,
ati, daging dan sayuran seprtti kentang dan wortel yang diselang seling
sehingga sang anak tidak bosan.
Pasien termasuk anak yang aktif dan ceria menurut sang ibu, dan
tidak mudah rewel. Pemeriksaan kesehatan perkembangan anak
dilakukan secara rutin dengan mengunjungi posyandu setiap bulan.
D. Status Generalis
28 Mei 2017
5
8. Status gizi berat menurut usia
6
10. Status gizi berat badan menurut tinggi badan
LILA = 16 cm
= P 25
= Gizi baik
7
BMI = x > P 95
= Obesitas
E. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
1. Bentuk : normochepal
2. Posisi : simetris
3. Wajah : Sembab
2. Kulit
8
8. Rambut : dalam batas normal
3. Mata
4. Hidung
1. Bentuk : Normotia
2. Napas cuping hidung : Tidak ditemukan
3. Septum deviasi : Tidak ditemukan
4. Sekret : Tidak ditemukan
5. Telinga
1. Bentuk : Normotia
2. Pendengaran : Normal
3. Darah & sekret : Tidak ditemukan
6. Mulut
1. Trismus : Tidak ada
2. Faring : faring hiperemis (-)
3. Lidah : lidah tidak kotor berwarna putih, deviasi (-)
4. Uvula : Letak ditengah, tidak deviasi
5. Tonsil : T1-T1 tenang, hiperemis (-)
7. Leher
1. Trakea : Tidak deviasi
2. Kelenjar tiroid : Tidak ada pembesaran
9
3. Kelenjar limfe : Tidak ada pembesaran
8. Paru-paru
1. Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris dalam keadaan statis dan
dinamis kanan kiri. Retraksi (-)
2. Palpasi : Tidak teraba kelainan dan masa pada seluruh lapang paru.
Fremitus taktil dan vokal statis kanan kiri.
3. Perkusi : Terdengar sonor pada seluruh lapang paru.
4. Auskultasi : Suara dasar napas vesicular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
9. Jantung
1. Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
2. Palpasi : Iktus cordis teraba pada ICS VI linea lateral midclavicula
sinistra
3. Perkusi :
a. Batas jantung kanan pada ICS V linea sternalis dekstra
b. Batas jantung kiri pada ICS VI linea lateral midclavicula sinistra
c. Batas pinggang jantung pada ICS II linea parasternalis sinistra
4. Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal regular, gallop (-) murmur (-)
10. Abdomen
1. Inspeksi : buncit simetris
2. Auskultasi : Bising usus (+) normal
3. Perkusi : Timpani di seluruh kuadaran, shifting dullness (+)
4. Palpasi : Supel, nyeri tekan ulu hati (-), hepar tidak teraba membesar,
lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), undulasi (-),
kandung kemih tidak teraba penuh.
11. Genitalia
Skrotum agak membengkak, kemerahan (-)
12. Ekstremitas
10
3. Capilarry refill time < 2 detik
13. Diuresis
Urin per 12 jam 100 mL
Diuresis 0,46 mL/kgBB/jam
F. Pemeriksaan Penunjang
Rujukan 28 Mei 1 Mei
Hematologi
Hemoglobin (g/dL) 10.8-12.8 11,4 12,2
Hematokrit (%) 35-43 L 34 36
Eritrosit (juta/ μL) 3.6-5.2 H 5,4 H 5,6
Leukosit (µL) 5.5-15.5 15,1 H 17,4
Trombosit (.000 µL) 217-497 H 592 468
Hitung Jenis
Basofil (%) 0-1 0 0
Eusinofil (%) 1-3 L0 1
Neutrofil Batang (%) 3-6 L0 L0
Neutrofil Segmen (%) 25-60 H 84 H 66
Limfosit (%) 25-60 L 15 25
Monosit (%) 1-11 1 8
Kimia Klinik
Albumin 3,5-5,2 L 2,73
Ureum Darah <48 46
Kreatinin Darah <1 0,4
eGFR 428,4
Gas Darah dan Elektrolit
Na 135-147 L 133 140
K 3,5-5 4,5 3,9
Ca Ion 1-1,15 H 1,16
Cl 98-108 104
11
Rujukan 29 Mei
Kultur Urin
Makroskopis
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Agak Keruh
Kimia urin
Berat Jenis 1.015-1.025 1.024
pH 4.8-7.4 6.5
Glukosa (mg/dL) Negatif Negatif
Bilirubin (mg/dL) Negatif Negatif
Keton (mg/dL) Negatif Negatif
Darah/ Hb (µL) Negatif 2+
Protein (mg/dL) Negatif 4+
Urobilinogen (mg/dL) Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit esterase (µL) Negatif 1+
Sedimen
Leukosit (µL) <6 H 52
Eritrosit (µL) <6 H 39
Silinder (µL) <0.5 0.3
Epitel (µL) <4 H 84
Kristal (µL) <20 0
Bakteri (µL) <23 H 47
RBC Info Dismorphic
12
G. Resume
Pasien laki-laki usia 3 tahun 8 bulan datang diantar oleh ibu dan ayahnya
dengan keluhan bengkak di seluruh tubuh sejak 2 hari SMRS. Selama 2 hari SMRS ibu
pasien juga mengatakan bahwa anaknya sulit untuk buang air kecil. BAK hanya
sedikit-sedikit dan jarang walau pasien minum banyak. Sakit saat BAK disangkal.
Nyeri saat BAK disangkal. Ibu pasien berkata kencingnya tidak berdarah, namun
warnanya keruh. Pasien pernah sakit seperti ini pada Oktober tahun 2016. Pasien
mengalami bengkak diseluruh tubuh lalu di diagnosis Sindroma Nefrotik oleh dokter
anak RS Cipto dan menjalani pengobatan selama 6 bulan (sampai dengan bulan April).
Pasien dinyatakan sembuh oleh dokter pada bulan April 2017 dan berhenti
mengonsumsi obat-obatan.
Pada pemeriksaan fisik didapati tekanan darah 90/50 mmHg, frekuensi nadi
104 kali/ menit, frekuensi nafas 32 kali/ menit, suhu 36,6 ˚C. Edema palpebra, edema
pada ekstremitas dan skrotum edema. Pada pemeriksaan darah lengkap pada tanggal
29 mei 2017 didapatkan penurunan hematokrit yaitu 34%, peningkatan jumlah
trombosit yaitu 592.000 / µL. Penurunan albumin 2,73 g/dL, Natrium 133 mmol/L.
Pada pemeriksaan urinalisa dan sedimen pada tanggal 29 Mei 2017 didapatkan warna
urin agak keruh, darah 2+, protein 4+, leukosit esterase 1+, peningkatan sedimen (52),
eritrosit (39), epitel (84), bakteri (47).
H. Diagnosis
- Sindroma Nefrotik
- ISK
I. Diagnosis Banding
Glomerulonefritis akut
13
J. Tatalaksana
Follow Up
29 Mei 2017
S: Bengkak di kelopak mata mulai berkurang, BAK mulai banyak dan lebih
bening
O:
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis
BB 17,5 kg
LP 52 cm
Tanda-tanda Vital
Tekanan darah : 90/50 mmHg
Frekuensi Nadi : 104 x/menit, kuat
Frekuensi Nafas : 32 x/menit, reguler
Suhu : 36,6˚C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema (+/+)
Abdomen : Supel, turgor baik, bising usus (+), nyeri tekan (-),
ascites (+)
Ekstremitas: Akral hangat, edema pada keempat
A: Sindrom Nefrotik
P : - Prednison 3 x 2 tab - Kultur urin
- Ij. Furosemid 2 x 20mg
Diuresis:
Urin dalam 24 jam 955cc
Diuresis 2,27 mL/kgBB/jam
14
30 Mei 2017
S: Edema palpebral berkurang, bengkak seluruh tubuh mulai berkurang,
BAK banyak dan sering
O:
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis
BB 16,7 kg
LP 50 cm
Tanda-tanda Vital
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Frekuensi Nadi : 108 x/menit, kuat
Frekuensi Nafas : 28 x/menit
Suhu : 37˚C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema
palpebra (+/+)
Abdomen : Supel, turgor baik, bising usus (+), nyeri tekan (-),
ascites (+)
Ekstremitas: terdapat edema pada keempat
ekstremitas.
A: Sindrom Nefrotik
P : - Prednison 3 x 2 tab - Cek ulang elektrolit
- Inj. Furosemid 2 x 20mg
- Diuresis
Urin dalam 24 jam 1195
Diuresis 2,98 mL/kgBB/jam
15
1 Juni 2017
S: Bengkak di tubuh berkurang, mata sudah tidak bengkak. BAK banyak
dan sering.
O:
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
BB 15,8 kg
LP 48 cm
Tanda-tanda Vital
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Frekuensi Nadi : 108 x/menit
Frekuensi Nafas : 32 x/menit
Suhu : 36.7˚C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema (-/-)
Abdomen : Supel, turgor baik, bising usus (+), nyeri tekan (-),
ascites (-)
Ekstremitas: Akral hangat, terdapat edema pada
ekstremitas bawah, tidak terdapat deformitas.
A: Sindroma Nefrotik
P : - Prednison 3 x 2 tab
- Ij. Furosemid 2 x 20mg
16
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang paling sering dijumpai pada
anak. Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari
proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin
pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥2+), hipoalbuminemia <2,5 g/dl, edema,
dan dapat disertai hiperlipidemia > 200 mg/dL terkait kelainan glomerulus akibat
penyakit tertentu atau tidak diketahui (Trihono et al., 2008).
Epidemiologi
Insidens sindrom nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan
Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar
12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di
Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun
(Trihono et al., 2008). Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan (2:1) dan kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6 tahun.
Telah dilaporkan terjadi paling muda pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa
dewasa.
Data Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta melaporkan
bahwa sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar pasien di
Poliklinik Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat
antara tahun 1995-2000 (Wila, 2002).
17
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer
terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Sekitar
90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik idiopatik. Termasuk
dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu
jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
Penyakit ini diturunkan secara resesif autosom atau karena reaksi fetomaternal.
Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus.
Pencangkokan ginjal pada masa neonatus telah dicoba, tapi tidak berhasil. Prognosis
buruk dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya
(Kliegman et al., 2007).
18
pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi (Bagga dan Mantan, 2005).
Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada
anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC.
Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan
minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak (Kliegman et al., 2007).
Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda
dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya 44.2% tipe kelainan
minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer
di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom
nefrotik primer yang dibiopsi (Wila, 2002).
b. Sindrom Nefrotik Sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab lain yang nyata. Penyebab yang sering dijumpai antara lain : (Eddy dan
Symons, 2003)
- Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport,
miksedema
- Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS
- Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga,
bisa ular
- Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schönlein, sarkoidosis
- Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
Patogenesis
Dinding kapiler glomerulus terdiri dari tiga struktur yang merupakan barier
yang selektif, yaitu : sel endotel dengan fenestrae, membran dasar glomerulus yang
terdiri atas jaringan matriks protein, dan sel-sel epitel khusus podosit yang terhubung
satu sama lain melalui jaringan interdigitating pada celah diafragma. Berikut ini
gambar skematis dinding kapiler glomerulus :
19
Gambar 1. Gambar Skematis Dinding Kapiler Glomerulus (Jalanko, 2009)
Pada kondisi normal, protein seperti albumin (69 kd) atau protein yang lebih
besar tidak akan terfiltrasi, restrisksi ini tergantung pada integritas celah diafragma
(Eddy dan Symons, 2003). Berikut ini gambar skematis proses filtrasi glomerulus :
20
Pada sindrom nefrotik, terjadi perubahan morfologi podosit, dimana kaki-kaki
podosit saling berdekatan, menyatu, serta lebih pipih sehingga fungsi filtrasi
glomerulus menjadi tidak optimal. Tiga hal memberikan petunjuk penting untuk
patofisiologi utama sindrom nefrotik idiopatik antara lain :
a. Mutasi Protein Podosit
Mutasi pada beberapa protein podosit telah diidentifikasi pada pasien sindrom
nefrotik yang diturunkan (Eddy dan Symons, 2003). Beberapa protein tersebut
antara lain dapat dilihat pada gambar 3.
21
proteins (WT1, LMX1B, SMARCAL1),7: basement membrane proteins (α5 chain
collagen IV).
22
- Reabsorpsi, sekresi dan katabolisme sel tubulus
- Degradasi intratubular dan urin
2. Hipoalbuminemia
Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar menempati
ruangan ekstra vaskular. Plasma terutama terdiri dari albumin yang berat molekul 69
kd. Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan
sejumlah protein, baik renal maupun non renal. Mekanisme kompensasi dari hepar
untuk meningkatkan sintesis albumin, terutama untuk mempertahankan komposisi
protein dalam ruangan ekstra vaskular dan intra vaskular.
Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat
hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini
mungkin disebabkan beberapa faktor, diantaranya :
- Kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (prooteinuria) dan usus
(protein losing enteropathy)
- Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan menurun
dan mual-mual
- Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal
Bila kompensasi sintesis albumin dalam hepar tidak adekuat, plasma albumin
menurun, keadaan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia ini akan diikuti oleh
hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-renal dan tidak jarang terjadi
oligouric acute renal failure. Penurunan faal ginjal ini akan mengurangi filtrasi natrium
Na+ dari glomerulus (glomerular sodium filtration) tetapi keadaan hipoalbuminemia
ini akan bertindak untuk mencegah resorpsi natrium Na+ kedalam kapiler-kapiler
peritubular. Resorpsi natrium na+ secara peasif sepanjang Loop of Henle bersamaan
dengan resorpsi ion Cl- secara aktif sebagai akibat rangsangan dari keadaan
hipovolemia. Retensi natrium dan air H2O yang berhubungan dengan system rennin-
angiotensin-aldosteron (RAA) dapat terjadi bila sindrom nefrotik ini telah
memperlihatkan tanda-tanda aldosteronisme sekunder. Retensi natrium dan air pada
23
keadaan ini (aldosteronisme) dapat dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian takaran
tinggi diuretik yang mengandung antagonis aldosteron.
3. Sembab
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-
kapiler glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan kejaringan interstisial, klinis
dinamakan sembab. Penurunan tekanan onkotik mungkin disertai penurunan volume
plasma dan hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan retensi Na dan air.
Proteinuria masih menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan tekanan
onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi sembab.
Mekanisme sembab dari sindrom nefrotik dapat melalui jalur berikut :
a. Jalur langsung/direk
Penurunan tekanan onkotik dari kapiler glomerulus dapat langsung menyebabkan
difusi cairan ke dalam jaringan interstisial dan dinamakan sembab.
b. Jalur tidak langsung/indirek
Penurunan tekanan onkotik dari kepiler glomerulus dapat menyebabkan penurunan
volume darah yang menimbulkan konsekuensi berikut:
- Aktivasi system rennin angiotensin aldosteron
- Kenaikan plasma rennin dan angiotensin akan menyebabkan rangsangan kelenjar
adrenal untuk sekresi hormone aldosteron. Kenaikan konsentrasi hormone
aldosteron akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion
natrium sehingga ekskresi ion natrium menurun.
- Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan circulating cathecolamines.
- Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin, menyebabkan
tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat. Kenaikan tahanan vaskuler
renal ini dapat diperberat oleh kenaikan plasma rennin dan angiotensin.
4. Hiperkolesterolemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein
(LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat
24
meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di
hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein,
VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan
sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan
tekanan onkotik.
Manifestasi Klinis
Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah sembab, yang
tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul
secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal
sembab sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang
mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau
labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka) (Hammersmith et
al., 2006).
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab
muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada
ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas
bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan sembab hebat, kulit menjadi lebih
tipis dan mengalami oozing. Sembab biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM
dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena
proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM (Atalas et al., 2002).
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom
nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan sembab
mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema
atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat
terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau
pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya
protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-
steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani (Wisata et
al., 2010).
25
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka
pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat
diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.
Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat dan
kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang
berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons
emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri.
Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama menyebabkan
perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu (Atalas et al., 2010).
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian
International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien
SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur
(Darnindro dan Muthalib, 2008).
2.6 Diagnosis
Diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 gejala klinis yang khas,
yaitu : (Trihono et al., 2008)
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL
26
- Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED)
- Albumin dan kolesterol serum
- Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus
Schwartz
- Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik, emeriksaan
ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-
DNA
Biopsi ginjal tidak diperlukan pada sebagian besar anak dengan sindrom
nefrotik. Lebih dari 80% anak dengan sindrom nefrotik adalah sindrom nefrotik
kelainan minimal dengan cirri khasnya berupa histology ginjal yang normal pada
pemeriksaamn mikroskopis. Sisanya berupa GFS, 7%, GNMes, 5%, GNMP, 7%. Dan
GNM, 1-2%. Pasien yang menunjukkan gambaran klinis dan laboratorium yang tidak
sesuai dengan gejala kelainan minimal, sebaiknya dilakukan biopsi ginjal sebelum
terapi steroid. Biopsi ginjal umunya tidak dilakukan pada sindrom nefrotik yang sering
kambuh atau dependen steroid selama masih sensitif steroid (Noer, 2002).
Penatalaksanaan
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah
sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua (Trihono
et al., 2008).
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan
berikut: (Trihono et al., 2008)
a. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
b. Pengukuran tekanan darah
c. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus
eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein
d. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun cacingan. Setiap infeksi perlu
dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
27
e. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6
bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat
antituberkulosis (OAT)
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau
syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan
kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah (Trihono et al., 2008).
DIETETIK
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein
akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan
anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (Recommended
Daily Allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya
diperlukan selama anak menderita edema (Trihono et al., 2008).
DIURETIK
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.
Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada
pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit
kalium dan natrium darah.
Berikut ini algoritma pemberian diuretic pada kasus sidrom nefrotik :
28
Gambar 4. Algortima Pemberian Diuretik (Trihono et al., 2008)
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi
karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus
albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari
jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb.
Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari
secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi
dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-
sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan.
Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi
asites berulang (Trihono et al., 2008).
IMUNISASI
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/ hari
atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais.
Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh
diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (Inactivated Polio Vaccine). Setelah
29
penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti
polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk
mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela (Trihono et al., 2008).
TERAPI KORTIKOSTEROID
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada
kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon. Untuk
menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom nefrotik
digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel berikut:
30
Responder lambat Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60
mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain
Nonresponder awal Resisten-steroid sejak terapi awal
Nonresponder lambat Resisten-steroid terjadi pada pasien yang
sebelumnya responsif-steroid
Terapi Inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi
steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari
atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi
remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap
tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu.
Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua
dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating
(selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid
dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
31
pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka
diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.
32
Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb,
sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating,
maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi,
diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan
menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb
setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat
terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating, tetapi
< 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau
langsung diberikan siklofosfamid (CPA).
2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13 Levamisol
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan.
Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan
neutropenia yang reversibel.
3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah
siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan
dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal maupun secara intravena atau puls. CPA
puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml
larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis,
dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek
samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis
hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan.
Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin,
leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin
33
<8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan
kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif
mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis
total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak. Klorambusil diberikan dengan dosis
0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat
terbatas karena efek toksik berupa kejang dan infeksi.
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100-
150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah
berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA
dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat
dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali
(dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat
pada bagian penjelasan SN resisten steroid.
34
Keterangan : Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau alternating (AD) 40
mg/m2 LPB/hari dan siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari, per oral, dosis tunggal selama 8
minggu
35
Berikut ini ringkasan tatalaksana anak dengan SN relaps sering atau dependen
steroid :
36
puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 –
750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama
2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi
pemberian CPA puls adalah 6 bulan) (Trihono et al., 2008).
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan
remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila
terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid
dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak
terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali, dapat
diberikan siklosporin.
2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.18 Efek samping CyA
adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat
nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian
CyA perlu pemantauan terhadap :
- Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
- Kadar kreatinin darah berkala
- Biopsi ginjal setiap 2 tahun3.
37
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam
literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat
selektif.
3. Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon
puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12
minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam
50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.
38
• Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan
• Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian siklofosfamid oral.
Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan,
dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
atau
• Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui infus satu
kali sebulan selama 6 bulan yang dapat dilanjutkan tergantung keadaan pasien.
• Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian siklofosfamid puls
(6 bulan). Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1
bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
39
Komplikasi
a. Komplikasi Infeksi
Infeksi berat, khususnya selulitis dan peritonitis bakteri spontan dapat menjadi
komplikasi sindrom nefrotik. Ketahanan terhadap infeksi bakteri bergantung pada
berbagai faktor predisposisi. Kerusakan pada proses opsonisasi bergantung pada
komplemen dapat memperlambat proses klirens mikroorganisme yang berkapsul,
khususnya Streptococcus pneumonia. Vaksinasi pneumokokus disarankan bagi
pasien dengan sindromnefrotik.
Sebagian besar anak-anak dengan sindrom nefrotik idiopatikterserang virus
varicella non-immune, sehingga diperlukan perlakuan khusus agar terhindar dari
paparan virus varicella.Terapi profilaksis denganimun globulin varicella zoster
disarankan untuk pasien non-imun yang mendapatkan perawatan imunosupresif.
Apabila terjadi serangan remisi, imunisasi dengan vaksin varisela dapat diberikan
karena aman dan efektif, meskipun dosis tambahan diperlukan untuk mencapai
imunitas penuh. Penggunaan asiklovir oral dapat mencegah infeksi varisela berat
pada pasien yang mengkonsumsi obat kortikosteroid.
b. Komplikasi Tromboembolik
Pasien nefrotik memiliki resiko yang signifikan terjadinya trombosis.
Meskipun angka resiko lebih kecil dari pada dewasa, kejadian thrombosis dapat
menjadi komplikasi yang hebat.Terdapat berbagai faktor yang memicu disregulasi
dari koagulasi pada pasien sindrom nefrotik, antara lain peningkatan sintesis faktor
pembekuan (fibrinogen, II, V, VII, VIII, IX, X, XII), antikoagulan (antithrombin
40
III) yang keluar melalui urine, abnormalitas platelet ( thrombositosis, peningkatan
agregabilitas), hiperviskositas, dan hiperlipemia. Meskipun demikian tidak ada satu
tes laboratorium pun yang dapat memprediksi resiko pasti trombosis. Faktor yang
dapat meningkatkan resiko thrombosis antara lain penggunaan diuretik, terapi
kortikosteroid, imobilisasi, dan adanyain-dwelling kateter. Apabila diketahui
terdapat klot pada anak dengan nefrotik sindrom, pemeriksaan abnormalitas
koagulasi dapat dilakukan.
Obat-obatan anti koagulan profilaksis tidak disarankan karena memiliki resiko
yang tinggi. Meski demikian, setelah diketahui adanya clot dan telah mendapatkan
terapi, penggunaan warfarin profilaksis disarankan selama 6 bulan dan selama
terjadi relaps. Pemasangan kateter intravena harus dihindari, namun amat penting,
sehingga pemberian antikoagulan profilaksis dapat dipertimbangkan.LMWH
merupakan agen alternatif, namun membutuhkan antithrombin III agar dapat efektif.
Aspirin dapat berguna sebagai antikoagulan, khususnya pada trombositosis berat.
c. Penyakit Kardiovaskular
Berbagai faktor dapat meningkatkan perhatian sekuel kardiovaskular pada anak
dengan nefrotik sindrom dalam jangka waktu yang lama, antara lain paparan
terhadap kortikosteroid, hiperlipidemia, stresoksidatif, hipertensi,
hiperkoagulabilitas, dan anemia. Resiko kardiovaskular pada anak dengan sindrom
nefrotik berkaca pada penelitian kasus sindrom nefrotik pada dewasa. Pada dewasa
pasien dengan sindrom nefrotik memiliki resiko terserang penyakit jantung koroner.
Akan tetapi penelitian tentang adanya penyakit jantung yang disebabkan oleh
sindrom nefrotik masih terdapatkontroversi, khususnya karena penyakit ginjal pada
sebagian besar anak dapat diatasi.
d. Komplikasi Medis yang Lain
Meskipun secara teoritis terdapat resiko penurunan kepadata ntulang
padapenggunaan kortikosteroid, prevalensi penyakit tulang pada anak dengan
sindrom nefrotik masih belum jelas.Selain Steroid, terdapat faktor lain yang
berpotensi menyebabkan penyakit tulang pada sindrom nefrotik. Protein pengikat
vitamin D yang keluar dalam urin dapat menyebabkan defisiensi vitamin D, dan
41
hiperparatiroid sekunder pada sebagian kecil kasus.Komplikasi medis lain yang
mungkin terjadi antara lain efek toksik obat, hipotiroidisme, dan gagal ginjal akut.
Prognosis
Prognosis tergantung pada kausa sindrom nefrotik. Pada kasus anak, prognosis
adalah sangat baik kerana minimal change disease (MCD) memberikan respon yang
sangat baik pada terapi steroid dan tidak menyebabkan terjadi gagal ginjal (chronic
renal failure). Tetapi untuk penyebab lain seperti focal segmental glomerulosclerosis
(FSG) sering menyebabkan terjadi end stage renal disease (ESRD). Faktor – faktor lain
yang memperberat lagi sindroma nefrotik adalah level protenuria, control tekanan
darah dan fungsi ginjal.
Prognosis umumnya baik kecuali pada keadaan-keadaan teretnrtu sebagai
berikut :
- Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun
- Jenis kelamin laki-laki
- Disertai oleh hipertensi
- Disertai hematuria
- Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
- Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
- Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnyaa gambaran
klinis
Pada umumnya sebagian besar (+80%) sindrom nefrotik primer memberi
respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di
antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan
pengobatan steroid.
42
DAFTAR PUSTAKA
Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar
Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.
Bagga, A. dan Mantan, M. 2005. Nephrotic syndrome in children. Indian Journal of Medical
Research, vol. 122, hal. 13-28.
Gunawan, AC. 2006. Sindrom Nefrotik: Pathogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia
Kedokteran, no. 150, hal. 50-54.
Darnindro, N dan Muthalib, A. 2008. Tatalaksana Hipertensi pada Pasien dengan Sindrom
Nefrotik. Maj Kedokt Indon, vol. 58, no. 2, hal. 57-61
Eddy, AA dan Symons, JM. 2003. Nephrotic syndrome in childhood. THE LANCET , vol 362,
hal. 629-639.
Hammersmith, J., Bradley Tirner, dan George H. Roberts. 2006. Nephrotic Syndrome.
Continuing Education Topics & Issues
Jalanko, H. 2009. Congenital nephrotic syndrome. Pediatric Nephrology, vol. 24, hal. 2121–
2128
Lasty Wisata, Dwi Prasetyo, Dany Hilmanto. Perbedaan Aspek Klinis Sindrom Nefrotik
Resisten Steroid dan Sensitif Steroid pada Anak. Maj Kedokt Indon, vol. 60, no. 12.
Noer, MS. 2002. Sindrom Nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia, hal. 73-87
Sophie de Seigneux dan Pierre-Yves Martin. 2009. Management of patients with nephritic
Syndrome. Swiss Med Weekly, vol.139 (29-30), hal. 416-422.
Trihono, PP., Atalas, H., Tambunan, T., Pardede, SO 2008. Konsensus Tatalaksana Sindrom
Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Edisi Kedua Cetakan Kedua 2012. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia, hal. 1-20.
Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, hal 381-426.
43