You are on page 1of 24

Reaksi Hipersensitivitas Tipe III

Makalah ini disusun demi memenuhi tugas Askep Imun dan Hematologi

Disusun oleh:
Ayu Oktviani

Bagus Ade

Dana syabila

Detrika

Cicilia Sri

Stefani

PRORAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS

PADALARANG BANDUNG

2016-2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini


disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam
jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal,
kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan
dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus,
lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan
membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut
sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga
terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut
akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat
memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian
koroid pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena
kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis
akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau
glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi
Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama
sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa diharapkan mampu mengaplikasikan konsep asuhan keperawatan pada
klien dengan reaksi hipersensitivitas Tipe III.

2. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
sistem imun Hipersensitivitas Tipe III dengan berbagai penyakit yang merupakan
bagian dari hipersensitivitas Tipe III yaitu arthritis reumatoid dan glomerulonefritis.

C. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan makalah inin , penulis menggunakan metode penulisan deskripsi dengan
studi kepustakaan, browsing internet, dan diskusi kelompok.
D. Metode Penulisan
Makalah ini disusun dalam 3 BAB yang terdiri dari:
BAB I: PENDAHULUAN, yang terdiri dari Latar Belakang, Tujuan Umum, Tujuan
Khusus, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan. BAB II: TINJAUAN TEOROTIS,
yang terdiri dari Pengertian, anatomi fisiologi rheumatoid atritis,etiologi, phatofisiologi,
manifestasi klinis, komplikasi, diagnotik, penatalaksanaan medik, askep artritis
reumatoid, yang terdiri dari pengkajian, diagnosis keperawatan, implementasi
keperawatan dan evaluasi.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Teori Dasar Hipersensitivitas Tipe III


1. Pengertian
Reaksi hipersensitif merujuk kepada reaksi berlebihan , tidak diinginkan (menimbulkan
ketidaknyamanan dan kadang-kadang berakibat fatal) dari sistem kekebalan tubuh. Pada keadaan
normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel
B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan
suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Menurut Gell dan Coombs ada 4 tipe reaksi hipersensitif yaitu :
1. Reaksi hipersensitif tipe I atau reaksi anafilaktik.
2. Reaksi hipersensitif tipe II atau sitotoksik.
3. Reaksi hipersensitif tipe III atau kompleks imun.
4. Reaksi hipersensitif tipe IV atau reaksi yang diperantarai sel.
Berdasarkan kecepatan reaksinya, tipe I, II dan III termasuk tipe cepat karena diperantarai
oleh respon humoral (melibatkan antibodi) dan tipe IV termasuk tipe lambat.
Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila kompleks
antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan
mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG sedangkan
komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag. Faktor kemotatik
yang ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai memfagositosis
kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang
berasal dari granula-granula polimorf, yakni berupa enzim proteolitik, dan enzim-enzim
pembentukan kinin.

2. Etiologi
Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :
1. Infeksi persisten
Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah organ
yang diinfektif dan ginjal.
2. Autoimunitas
Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah ginjal,
sendi, dan pembuluh darah.

3. Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan

Umumnya kerusakan terjadi karena ada pengendapan kompleks imun yang berlangsung
melalui 4 tahap yaitu:
 Ikatan antibodi dengan antigen membentuk kompleks imun

Pengenalan antigen protein memicu respon imun yang membuat dilakukannya produksi
antibodi, sekitar satu minggu sesudah injeksi protein. Antibodi tersebut disekresikan ke
dalam darah, di mana mereka dapat bereaksi dengan antigen yang masih ada di sirkulasi
dan membentuk kompleks antigen-antibodi.

 Kompleks imun akan mengendap pada jaringan tertentu seperti endotel, kulit, ginjal dan
persendian

Faktor yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun akan memicu deposisi
jaringan dan penyakit belum begitu dimengerti. Secara umum, kompleks imun yang
berukuran medium merupakan yang paling patogenik. Organ yang darahnya tersaring
pada tekanan tinggi untuk membentuk cairan lain seperti urin dan cairan sinovial lebih
sering terserang sehingga meningkatkan kejadian kompleks imun pada glomerulus dan
sendi.

 Faktor humoral seperti komplemen dan enzim fagosit dan faktor seluler akan berkumpul
di daerah pengendapan
 Berlangsung kerusakan jaringan oleh faktor humoral dan selular.

B. Teori Dasar Artritis Reumatoid


1. Pengertian
Artritis reumatoid adalah penyakit inflamasi nonbakterial yang bersifat sistemik,
progresif, cenderung kronis yang menyerang berbagai sistem organ. Artritis
reumatoid merupakan inflamasi kronis yang paling sering ditemukan pada sendi.(
Mutaqqin, 2008: 322)
Artritis Reumatoid atau Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun
sistemik (Symmons, 2006). Penyakit ini merupakan peradangan sistemik yang paling
umum ditandai dengan keterlibatan sendi yang simetris (Dipiro, 2008). Penyakit RA
ini merupakan kelainan autoimun yang menyebabkan inflamasi sendi yang
berlangsung kronik dan mengenai lebih dari lima sendi (poliartritis) (Pradana, 2012).
Jadi Artritis Reumatoid merupakan penyakit autoimun yang menyerang
persendian yang ditandai dengan inflamasi.
2. Anatomi Fisiologis
Sendi adalah pertemuan dua buah tulang atau beberapa tulang kerangka.
Persendian antara dua tulang atau lebih yang saling berhubungan dapat terjadi
pergerakan ataupun tidak. Pada awalnya rangka tulang terbentuk dari jaringan rawan
dan juga sebagai pengganti jaringan lainnya. Sendi di bagi menjadi 3 yaitu :
1. Sendi fibrus
Merupakan sendi yang tidak bergerak sama sekali, seperti : sutura,
schyndylosis, komposis, dan schindrosis
2. Amfiartrosis
Suatu sendi yang pergerakannya sedikit karena komponen sendi tidak cukup.
3. Diartrosis
Sendi dengan pergerakan bebas. Permukaan sendi dilapisi oleh lapisan tipis
rawan hialin dipisahkan rongga sendi, susunan ini yang memungkinkan sendi
bergerak bebas

3. Etiologi
Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya
dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
lingkungan (Suarjana, 2009). Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum
diketahui secara pasti, namun faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas
(antigen-antibodi), faktor metabolik, dan infeksi virus (Suratun, Heryati, Manurung
& Raenah, 2008).
penyakit ini belum dapat dipastikan mempunyai hubungan dengan faktor genetik.
Namun, berbagai faktor (termasuk kecenderungan genetik) bisa mempengaruhi reaksi
autoimun. Faktor-faktor yang berperan antara lain adalah jenis kelamin, infeksi
(Price, 1995), keturunan (price, 1995; Noer S, 1996), dan lingkungan (Noer S, 1996).
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang berperan dalam
timbulnya penyakitartritis reumatoid adalah jenis kelamin, keturunan, lingkungan dan
infeksi.
Dari penelitian mutakhir, diketahui parogenesis artritis reumatoiddapat terjadi
akibat rantai peristiwa imunologis yang terdapat dalam genetik. Terdapat kaitan
dengan pertanda genetik seperti HLA-Dw4 dan HLA-DR5 pada orang kulit
putih.namun pada orang Amerika berkulit hitam, Jepang, dan India Chippewa,hanya
ditemukan kaitan dengan HLA-Dw4.
Reumatoid Artritis bisanya menyerang sendi-sendi simetris (pada kedua sisi
tubuh), paling sering mengenai:

1. Pergelangan tangan
2. Tangan
3. Siku
4. Bahu
5. Pergelangan kaki

4. Patofisiologi
Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan sebelumnya) terutama
terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam
sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema,
proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan
menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah
menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut
terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degenerative dengan
menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot (Smeltzer & Bare, 2002).
Lamanya rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan adanya
masa serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari
serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada sebagian kecil
individu terjadi progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan sendi yang terus
menerus dan terjadi vaskulitis yang difus (Long, 1996).

5. Manifestasi Klinis
RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo, tetapi paling
sering di tangan. RA juga dapat menyerang sendi siku, kaki, pergelangan
kaki dan lutut. Sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa menebal akibat
radang yang diikuti oleh erosi tulang dan destruksi tulang disekitar sendi
(Syamsuhidajat, 2010).
Oleh karenanya penyakit ini memiliki manifestasi klinis yang sangat bercariasi.
 Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun dan demam. Terkadang dapat terjadi kelelahan yang hebat.
 Polartritis simetris, terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi
ditangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal.
Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
 Kekakuan di pagi hari selama lebih dari satu jam, dapat bersifat
generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda
dengan kekakuan sendi pada osteoatritis, yang biasanya hanya
berlangsung selama beberapa menit dan slalu kurang dari satu jam.
 Artitis erosif, merupakan ciri khas atritis reumatoid pada gambaran
radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi
tulang dan dapat dilihat pada radiogram.
Manifestasi klinis artritis reumatoid:
1. Setempat:
a. Sakit pada persendian diserta kaku dan gerakan terbatas.
b. Lambat-laun membengkak, panas, merah, dan lemah.
c. Perubahan bentuk tangan, jari tangan seperti leher angsa, deviasi ulna.
d. Semua sendi dapat terserang (panggul, lutut, pergelangan tangan, siku,
bahu, rahang).
2. Sistemik:
a. Mudah capek, lemah dan lesu.
b. Demam.
c. Takikardi.
d. Berat badan turun.
e. Anemia.
Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium, yaitu stadium sinovitis,
dtadium destruksi, dan stadium deformitas.
a. Stadium sinovitis.
Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh sinovitis, yaitu inflamasi
pada membran sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang terlibat umumnya simetris,
meski pada awal bisa jadi tidak simetris. Sinovitis ini menyebabkan erosi permukaan
sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi (Nasution, 2011). Sendi
pergelangan tangan hampir selalu terlibat, termasuk sendi interfalang proksimal dan
metakarpofalangeal (Suarjana, 2009).
b. Stadium destruksi
Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan
sinovial (Nasution, 2011).
c. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
 Kriteria Artritis Reumatoid (American Rheumatism Association, ARA)
Kriteria Tanda dan Gejala
1. Kekauan sendi jari tangan pada pagi hari (morning stiffness.
2. Nyeri pada pergerakan sendi atau nyeri tekan sekurang-
kurangnya pada satu sendi.
3. Pembengkakan (oleh penebalan jaringan lunak atau oleh efusi
cairan) pada salah satu sendi secara terus-menerus sekurang-
kurangnya selama 6 minggu.
4. Pembengkakan pada sekurang-kurangnya salah satu sendi lain.
5. Pembengkakan sendi yang bersifat simetris.
6. Nodul subkutan pada daerah tonjolan tulang didaerah ekstensor.
7. Gambaran foto Rontgen yang khas pada artritis reumatoid.
8. Uji aglutinasi faktor reumatoid.
9. Perubahan karakteristik histologis lapisan sinovia.
10. Gambaran histologis yang khas pada nodul.
11. Pengendapan cairan caousin yang jelek.

Hasil penilaian:
Klasik: Bila terdapat 7 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 6
minggu
Definitif: Bila terdapat 5 kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama
6 minggu
Kemungkinan reumatoid: Bila terdapat 3 kriteria dan berlangsung sekurang-
kurangnya selama 4 minggu.

6. Komplikasi
Artritis reumatoid bersifat sistemik, maka menimbulkan perubahan-perubahan
jaringan lain, seperti adanya proses granulasi dibawah lapisan kulit yang disebut
subotan module. Pada otot dapat mengalami myositis yaitu rposes granulasi jaringan
otot. Kelainan pada katup jantung sehingga katup menjadi kaku, pada pembuluh
darah terjadi tromboeboli, sedangkan pada klien terjadi splenomegali.

7. Diagnotik
Tes diagnotik yang dilakukan untuk penyakit artritis reumatoid antara lain:
 Radiologik :
Pada tahap awal, foto Rontgen tidak menunjukan kelainan yang mencolok.
Pada tahap lanjut, terlihat rarefaksi korteks sendi yang difus dan disertai
trabekulasi tulang, obliterasi ruang sendi yang memberi perubahan degeneratif
berupa densitas, iregularitas permukaan sendi, serta spurring marginal.
Selanjutnya bila terjadi destruksi tulang rawan, akan terlihat penyempitan
ruang sendi dengan erosi pada beberapa tempat.
 Pemeriksaan laboratorium:
Ditemukan peningkatan laju endap darah, anemia normositik hipokrom, reaksi
protein-C positif dan mukoprotein meningkat, faktor reumatoid positif 80%
(uji Rose-Waaler) dan faktor antinuklear positif 80%, tetapi kedua uji ini tidak
spesifik.
8. Penatalaksanaan Medik
o Terapi Artritis Reumatoid
RA harus ditangani dengan sempurna. Penderita harus diberi penjelasan
bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan (Sjamsuhidajat, 2010). Terapi RA
harus dimulai sedini mungkin agar menurunkan angka perburukan penyakit.
Penderita harus dirujuk dalam 3 bulan sejak muncul gejala untuk mengonfirmasi
diganosis dan inisiasi terapi DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs)
(surjana, 2009).
Terapi RA bertujuan untuk :
a. Untuk mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien
b. Mempertahakan status fungsionalnya
c. Mengurangi inflamasi
d. Mengendalikan keterlibatan sistemik
e. Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular
f. Mengendalikan progresivitas penyakit
g. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi

o Terapi Farmakologik Artritis Reumatoid


Dalam jurnal “The Global Burden Of Rheumatoid Arthritis In The Year
2000”, Obat-obatan dalam terapi RA terbagi menjadi lima kelompok, yaitu
(Symmons, 2006) :
1. NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs) untuk mengurangi rasa
nyeri dan kekakuan sendi.
2. Second-line agent seperti injeksi emas (gold injection), Methotrexat dan
Sulphasalazine. Obat-obatan ini merupakan golongan DMARD. Kelompok
obat ini akan berfungsi untuk menurukan proses penyakitdan mengurangi
respon fase akut. Obat-obat ini memiliki efek samping dan harus di monitor
dengan hati-hati.
3. Steroid, obat ini memiliki keuntungan untuk mengurangi gejala
simptomatis dan tidak memerlukan montoring, tetapi memiliki
konsekuensi jangka panjang yang serius.
4. Obat-obatan immunosupressan. Obat ini dibutuhkan dalam proporsi
kecil untuk pasien dengan penyakit sistemik.
5. Agen biologik baru, obat ini digunakan untuk menghambat sitokin
inflamasi. Belum ada aturan baku mengenai kelompok obat ini dalam terapi
RA.

C. Konsep Askep
1. Pengkajian
 Anamnase, dilakukan untuk mengetahui:
- Identitas, meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang
digunakan, status perkwinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, nomor registrasi, tanggal masuk rumah sakit, dan diagnosis medis.
- Riwayat penyait sekarang: pengumpulan data dilakukan sejak keluhan
muncul, seperti malaise, penurunan berat badan, rasa capek, sedikit pana,
dan anemia.
- Riwayat penyakit dahulu: ditemukan kemungkinan penyebab yang
mendukung terjadinya artritis reumatoid.
- Riwayat penyakit keluarga: adakah anggota keluarga dari generasi
terdahulu yang mengalami keluhan yang sama dengan klien.
- Riwayat psikososial: kaji respon emosi klien karena penyakit ini dapat
mengakibatkan perubahan bentuk sendi dan pandangan terhadapat dirinya
yang salah.

 Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan fisik dilakukan persistem dengan fokus pemeriksaan
muskuloskeletal yang dikaitkan dengan keluhan klien:
 Respirasi:. Klien tidak menunjukan kelainan sistem pernapasan .Palpasi
toraks menunjukan taktil fremitus seimbang kanan dan kiri. Pada
aukultasi, tidak ada suara napas tambahan.
 Kardiovaskuler : tidak ada iktus jantung pada palpasi. Nadi mungkin
meningkat, iktus tidak teraba. Pada auskultasi, ada suara S1 dan S2
tunggal dan tidak ada murmur.
 Saraf : kesadaran biasanya kompos mentis. Pada kasus yang lebih parah,
klien dapat mngeluh pusing dan gelisah.
- Kepala dan wajah : ada sianosis.
- Mata : Sklera biasanya tidak ikterik.
- Leher : Biasanya JVP dalam batas normal.
- Telinga : Tes bisik atau Weber masih dalam
keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
- Hidung : Tidak ada deformitas, tidak ada
pernapasan cuping hidung
- Mulut dan faring : Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak
terjadi pendarahan, mukosa mulut tidak
pucat.
- Status mental: penampilan dan tingkah laku klien biasanya tidak
mengalami perubahan.
- Pemeriksaan saraf kranial:
 Saraf I. Biasanya pada klien artritis reumatoid tidak ada
kelainan dan fungsi penciuman.
 Saraf II. Tes ketajaman penglihatan normal.
 Saraf III,IV, dan V!. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat
kelopak mata, pupil isokor.
 Saraf V. Klien umumnya tidak mengalami paralis pada otot
wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan.
 Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah
simetris.
 Saraf VIII. Tidak ditemukan tuli konduktif atau tuli persepsi.
 Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik.
 Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.
 Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan
tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
 Perkemihan : Produksi urine biasanya dalam batas normal dan tidak ada
keluhan pada sistem perkemihan.
 Pencernaan : Umumnya klien tidak mengalami gangguan eliminasi.
Meskipun demikian perlu dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feses. Frekuensi berkemih, kepekatan urine, warna, bau dan jumlah urine
juga harus diuji. Gangguan gastrointestinal yang sering adalah mual, nyeri
lambung, yang menyebabkan klien tidak nafsu makan, terutama klien
yang mengunakan obat reumatik dan NSAID. Peristaltik yang menurun
menyebabkan klien jarang defekasi.
 Muskuloskeletal :
- Look : Didapatkan adanya pembengkakan yang tidak biasa (ab-
normal), deformitas pada daerah send ikecil tangan,
pergelangan kaki, dan sendi besar lutut, panggul dan
pergelangan tangan. Adanya degenerasi serabut otot
memugkinkan terjadinya pengecilan, atrofi otot yang
disebabkan oleh tidak digunakannya otot akibat inflamasi
sendi. Sering ditemukan nodul subkutan multipel.
- Feel : Nyeri tekan pada sendi yang sakit.
- Move : Ada gangguan mekanis dan fungsional pada sendi dengan
manifestasi nyeri bila menggerakan sendi yang sakit. Klien
sering mengalami kelemahan fisik sehingga mengganggu
aktivitas hidup sehari-hari.

2. Diagnosis Keperawatan
Masalah keperawatan utama klien artritis reumatoid adalah sebgai berikut:
1. Nyeri
2. Hambatan mobilitas fisik
3. Gangguan konsep diri (citra diri)
4. Defisiensi pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan

4 Evaluasi
Hasil asuhan keperawatan yang diharapkan adalah sebagai berikut:
1. Terpenuhinya penurunan dan peningkatan adaptasi nyeri.
2. Terpenuhinya dukungan prikologis.
3. Tercapainya fungsi sedi dan mencegah terjadi deformitas.
4. Tercapainya peningkatan fungsi anggota gerak yang terganggu.
5. Terpenuhinya kebutuhan pendidikan dan latihan dalam rehabilitas.

D. Teori Dasar Penyakit Glomerulonefritis


1. Pengertian
Glomerulonefritis adalah suatu istilah yang lebih bersifat umum dan lebih
menggambarkan suatu proses histopatologi berupa proliferasi & inflamasi sel
glomeruli akibat proses imunologik.
Glomerulonefritis dibagi atas 3 tahapan:
 Glomerulonefritis Akut
Glumerulonefritis Akut dapat dihasilkan dari penyakit sistemik atau penyakit
glumerulus primer, tetapi glumerulonefritis akut post streptococcus (juga diketahui
sebagai glumeulonefritis prolifertif akut) adalah bentuk keadaan sebgian besar terjadi.
Infeksi dapat berasal dari faring atau kulit dengan streptococcus beta hemolitik A
adalah yang biasa memulai terjadinya keadaan yang tidak teratur ini. Stapilococcus
atau infeksi virus seperti hepatitis B, gondok atau varicela (chickenpox) dapat
berperan penting untuk glumerulonefritis akut pasca infeksi serupa (Porth,2005).

 Glomerulonefritis Kronik

Glumerulonefritis Kronik adalah suatu kelainan yang terjadi pada beberapa


penyakit, dimana terjadi kerusakan glomeruli dan kemunduran fungsi ginjal
selama bertahun-tahun. Pasien dengan penyakit ginjal (Glumerulonefritis ) yang
dalam pemeriksaan urinnnya mash selalu dapat hematuria dan proteinuria
dikatakan menderita glumerulonefritis kronik. Hal ini terjadi karena eksaserbasi
berulang dari glumerulonefritis kronik yang berlangsung dalam beberapa
bulan/tahun, karena setiap eksaserbasi akan menimbulkan kerusakan pada ginjal
yang berakibat gagal ginjal.

 Glomerulonefritis Progresif Cepat

Glumerulonefritis progresif cepat adalah peradangan glomerulus yang terjadi


sedemikian cepat sehingga terjadi penurunan GFR 50% dalam 3 bulan setelah
awitan penyakit. Glumerulonefritis progresif cepat (rapid progressive
glomerulonephritis/RPGN) yang juga dinamakan glomerulonefritis sub akut atau
ekstrakapiler. Penyakit ini bisa bersifat idiopatik atau disertai dengan penyakit
glomerulus proliferative, seperti glomerulonefritis pasca streptococcus.

2. Anatomi Fisiologi
Glo’merulus terdiri atas suatu anyaman kapiler yang sangat khusus dan diliputi oleh
simpai Bowman. Glomerulus yang terdapat dekat pada perbatasan korteks dan medula
(“juxtame-dullary”) lebih besar dari yang terletak perifer. Percabangan kapiler berasal dari
arteriola afferens, membentuk lobul-lobul, yang dalam keadaan normal tidak nyata , dan
kemudian berpadu lagi menjadi arteriola efferens. Tempat masuk dan keluarnya kedua arteriola
itu disebut kutub vaskuler.
Gambar 1.
Bagian-bagian
nefron

Di
seberangnya
terdapat kutub tubuler, yaitu permulaan tubulus contortus proximalis. Gelung glomerulus yang
terdiri atas anyaman kapiler tersebut, ditunjang oleh jaringan yang disebut mesangium, yang
terdi ri atas matriks dan sel mesangial. Kapiler-kapiler dalam keadaan normal tampak paten dan
lebar. Di sebelah dalam daripada kapiler terdapat sel endotel, yang mempunyai sitoplasma yang
berfenestrasi. Di sebelah luar kapiler terdapat sel epitel viseral, yang terletak di atas membran
basalis dengan tonjolan-tonjolan sitoplasma, yang disebut sebagai pedunculae atau “foot
processes”. Maka itu sel epitel viseral juga dikenal sebagai podosit. Antara sel endotel dan
podosit terdapat membrana basalis glomeruler (GBM = glomerular basement membrane).
Membrana basalis ini tidak mengelilingi seluruh lumen kapiler. Dengan mikroskop elektron
ternyata bahwa membrana basalis ini terdiri atas tiga lapisan, yaitu dari arah dalam ke luar ialah
lamina rara interna, lamina densa dan lamina rara externa. Simpai Bowman di sebelah dalam
berlapiskan sel epitel parietal yang gepeng, yang terletak pada membrana basalis simpai
Bowman.

Membrana basalis ini berlanjut dengan membrana basalis glomeruler pada kutub
vaskuler, dan dengan membrana basalis tubuler pada kutub tubuler . Dalam keadaan patologik,
sel epitel parietal kadang-kadang berproliferasi membentuk bulan sabit (” crescent”). Bulan
sabit bisa segmental atau sirkumferensial, dan bisa seluler, fibroseluler atau fibrosa.

Dengan mengalirnya darah ke dalam kapiler glomerulus, plasma disaring melalui dinding
kapiler glomerulus. Hasil ultrafiltrasi tersebut yang bebas sel, mengandung semua substansi
plasma seperti ektrolit, glukosa, fosfat, ureum, kreatinin, peptida, protein-protein dengan berat
molekul rendah kecuali protein yang berat molekulnya lebih dari 68.000 (seperto albumin dan
globulin). Filtrat dukumpulkan dalam ruang bowman dan masuk ke dalam tubulus sebelum
meningalkan ginjal berupa urin.

Laju filtrasi glomerulus (LFG) atau gromelural filtration rate (GFR) merupakan
penjumlahan seluruh laju filtrasi nefron yang masih berfungsi yang juga disebut single nefron
glomerular filtration rate (SN GFR).besarnya SN GFR ditentuka oleh faktor dinding kapiler
glomerulus dan gaya Starling dalam kapiler tersebut.

3. Etiologi

Timbulnya glumerulonefritis didahului infeksi eksternal, terutama disaluran nafas


atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta haemoliticus group golongan A.

Factor pencetus :

 Infeksi Saluran Nafas Atas.


 Reaksi Alergi (sengatan binatang, zat kimia).
 Dermatitis Kontak.

Prevalensi :

a. Terjadi pada semua usia


1. Wanita : Membranosa.
2. Anak-anak : Nefrosis lipoid.
b. Tidak ada perbedaan jenis kelamin
1. Wanita : Membranosa idiopatik.
2. Wanita > 40-60 tahun: Glomerulonefritis Progresif.
3. Remaja dan dewasa : Fokal glomerolus sklerosis.

Factor Penyebab Glomerulonefritis :

a. Glomerulonefritis Akut

Factor penyebab Glomerulonefritis Akut yang mendasari terjadinya sindrom ini


secara luas dapat dibagi menjadi kelompok infeksi dan noninfeksi. Infeksi
streptokokus terjadi sekitar 5-10% pada orang dengan radang tenggorokan dan 25%
pada mereka dengan infeksi kulit. Penyebab nonstreptokokus, meliputi bakteri, virus
dan parasit.

Sedangkan yang termasuk noninfeksi adalah penyakit sistemik multisystem,


seperti Sindrom Goodpasture. Kondisi penyebab lainnya adalah kondisi sindrom
Gillain-Barre.

b. Glomerulonefritis Kronis

Penyebab Glomerulonefritis kronik yang sering adalah diabetes mellitus dan


hipertensi kronik. Kedua penyakit ini berkaitan dengan cidera glomerulus yang
bermakna dan berulang. Hasil akhir dari peradangan tersebut adalah pembentukan
jaringan parut dan menurunnya fungsi glomerulus. Kerusakan glomerulus sering
diikuti oleh atrofi tubulus.
c. Glomerulonefritis Progresif Cepat
Dapat terjadi akibat perburukan glomerulonefriis akut, suatu penyakit autoimun
atau tanpa diketahui sebabnya (idiopatik).

4. Patofisiologi
Glomerulonefritis kompleks imun terjadi karena komplek imun dalam sirkulasi
akan menyangkut dini dan berakumulasi pada saringan glomerulus. Antigen berasal
dari luar yang akan merangsang pembentukan antibody dan akan membentuk
kompleks imun yang ikut dalam sirkulasi. Kompleks imun dapat pula terjadi
setempat, jika tidak ikut dalam sirkulasi darah. Endapan kompleks imun dapat terjadi
pada membrane basal daerah sub endotel, sub epitel atau intra membrane dan dapat
pula terjadi pada mesangium.

Pada Glomerulonefritis Akut terjadi perubahan structural pada bagian ginjal


yang meliputi : proliferasi seluler, proliferasi leukosit, hialinisasi atau sklerosis, serta
terjadi penebalan membrab basal glomerulus.

Proliferasi selular menyebabkan peningkatan jumlah sel di glomerulus karena


proliferasi endotel, mesangial dan epitel sel. Proliferasi tersebut dapat bersifat
endokapiler (yaitu dalam batas-batas dari kapiler glomerular) atau ekstrakapiler (yaitu
dalam ruang Bowman yang melibatkan sel epitel). Dalam proliferasi ekstrakpiler,
proliferasi sel epitel pariental mengarah pada pembentukan tertentu dari
glumerulonefritis progresif cepat. Terjadinya peroliferasi leukosit ditujukan dengan
adanya neutrofil dan monosit dalam lumen kapiler glumerolos dan sering menyertai
proliferasi selular. Penebalan menbran basal glomerulus muncul terjadi pada dinding
kapiler baik disisi endotel atau epitel membrane besar. Hialinisasi atau sklerosis pada
glomerulonefritis menunjukkan cedera irreversible.

Perubahan structural ini diperantai oleh reaksi antigen antibody agregat


molekul (kompleks) dibentuk dari beredar ke seluruh tubuh. Beberapa dari kompleks
ini terperangkap diglomerulus, suatu bagian penyaringan ginjal dan mencetuskan
respon peradangan. Sehingga terjadi reaksi peradangan di glomerulus yang
menyababkan pengaktifan komplemen dan terjadi peningkatan aliran darahdan juga
peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus serta filtrasi glomerulus. Protein-
protein plasma dan sel darah merah bocor melalui edema diruang intertisium
Bowman. Hal ini meningkatkan tekanan cairan intertisium , yang dapat menyebabkan
kolapsnya setiap glomerulus daerah tersebut. Akhirnya, peningkatan tekanan cairan
intertisium akan melawan filtrasi glomerulus lebih lanjut. Reaksi peradangan
mengaktifkan komplemen yang menarik sel-sel darah putih dan trombosit ke
glomerulus. Membrane glomerulus menebal fan dapat menyebabkan penurunan GFR
lebih lanjut. Glomerulonefritis akut memiliki kecenderungan untuk berkembang
menjadi Glomerulonefritis kronis.

5. Manifestasi Klinis
 Riwayat infeksi saluran pernapasan atas (infeksi mikroba)
 Hematuria
 Proteinuria
 Edema
 Menurunnya output urine
 Renal insufisiensi
 Hipertensi

6. Komplikasi
- GNA dapat menjadi GNK jika tidak mendapatkan pengobatan yang tuntas.
- GNA dengan manifestasi klinik ologuri menjadi anuri yang dikarenakan
terjadi penurunan filtrasi ginjal.
- Ensepalipati hipertensi dikarenakan terjadi spasme pembuluh darah otak.
- Protein darah rendah
- Dipsne, ronchi basah, pembesaran jantung, hipertensi
- Malnutrisi, anemia dan akselerasi arterosklerosis.
7. Tes Diagnotik
a. Pemeriksaan urine

Adanya protinuria (+1 sampai +4), kelainan sedimen urine dengan eritrosit
disformik, leukosituria serta torak selulet, granular, eritrosit (++), albumin (+),
silinder leukosit (+) dan lain-lain, analisa urine adanya streptococcus.

b. Pemeriksaan Darah :
1. Kadar ureum dan kadar kreatinin serum meningkat.
2. Jumlah elektrolit : hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipernatremia
dan hipokalsemia.
3. Analisa gas darah : adanya asidosis.
4. BUN dan kreatinin serum meningkat bila fungsi ginjal menurun.
5. Kliens kreatinin pada urine digunakan sebagai pengukur LFG
(Laju Filtrasi Glomerulus).
6. Komplemen hemolitik total serum (total hemolytic comploment)
dan C3 rendah.
7. Kadar albumin, darah lengakap (Hb, leukosit, trombosit dan
eritrosit) adanya anemia.
c. Pemeriksaan Kultur Tenggorokan

Untuk menentukan jenis mikroba adanya streptokokus.


d. Pemeriksaan serologis

Antisterptozim, ASTO, antihialurinidase dan anti Dnase.

e. Pemeriksaan Radiologi

Foto thorak adanya gambaran edema paru atau payah jantung.

f. IVP (Intra Venous Pyelograf)

Menunjukkan adanya abnormalitas pada system penampungan ginjal (Ductus


Kolingents)

g. ECG

Adanya gambaran gangguan jantung.

8. Penatalaksanaan Medik
Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan
di glomerulus.
- Pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi beratnya
glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi
Streptococcus yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin ini
dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian profilaksis yang
lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman penyebab tidak
dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap.
- Pemberian makanan rendah garam.
- Pengobatan terhadapat hipertensi.
Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedative untuk
menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi
dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin.
- Diet ketat pembatasan proteinjika terdapat oliguria dan BUN meningkat.
Pembatasan perlu diperketat bila mengarah ke gagal ginjal.
- Tingkatkan karbohidrat untuk membantu tenaga dan mengurangi
katabolisme protein.
- Asupan potasium dan sodium diperketan jika terdapat edema,
hiperkalemia, atau tanda gagal jantung (HF).
- Terapi untuk mempercepat progresif glomerulonefritis meliputi:
a. Pergantian plasma
b. Pemberian imunospressan
c. Dialisis jika retensi cairan dan ureum tidak dapat dikontrol.
E. Konsep Dasar

1.Pengkajian

a. Keluhan utama pada Glomerulonefritis Akut yang sering dikeluhkan bervariasi


meliputi keluhan nyeri pada pinggang atau kostovertebra, miksi berdarah, wajah
atau kaki bengkak, pusing atau keluhan badan cepat lelah.
Keluhan utama pada klien dengan glomerulonefritis kronik biasanya baru
ditemukan pada stadium yang sudah lanjut, biasanya pada saat pemeriksaan
ditemukan hipertensi atau peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum.
Sedangkan pada glomerulonefritis progresif cepat biasanya keluhan berhubungan
dengan kondisi Vaskulitis Anca (anti neutrophil cytoplasmic antibody) seperti flu
ditandai dengan malaise, demam, athralgia, mialgia, anoreksia, kehilangan berat
badan. Keluhan paling umum adalah sakit perut, gangguan kulitdengan adanya
nodul dan ulserasi. Bila ada keterlibatan saluran pernafasan klien mengeluh gejala
sinusitis, batuk dan hemoptusis. (Mutaqqin & Sari, 2011
b. Pemeriksaan fisik :
1. Keadaan umum
Keadaan umum klien biasanya lemah dan terlihat sakit berat.
2. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran biasanya compos menitis, tetapi akan berubah apabila
sistem saraf pusat mengalami gangguan sekunder dari penurunan perfusi
jaringan otak dan kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas
elektrolit dan uremia.
3. Tanda-tanda vital
Pada TTV sering didapatkan adanya perubahan: pada fase awal sring
didapatkan suhu tubuh meningkat, frekuensi denyut nadi meningkat, ferkuensi
pernafasan meningkat sesuai dengan peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi.
Tekanan darah terjadi perubahan dari hipertensi ringan sampei berat.
4. Pemeriksaan Review of Sistem :
a. Respirasi
Biasanya ada gangguan pola napas dan jalan napas yang merupakan
respon terhadap edema pulmoner dan adanya sindrom uremia. Bunyi nafas
ronki biasanya didapatkan pada kedua paru.
b. Kardiovaskuler
Didapatkan adanya tanda perikarditis disertai friksi pericardial dan pulsus
paradokus (perbedaan tekanan darah lebih dari retansi natrium dan air
yang memberikan dampak pada fungsi system kardiovaskuler dimana
akan terjadi penururnan perfusi jaringan akibat tingginya beban sirkulasi.
Pangkal vena mengalami distensi akibat cairan yang berlebihan.
Kardiomegali, irama gallop dan tanda gagal jantung kongesti lain dapat
terjadi.
c. Persarafan
Klien mengalami konfusi dan memperlihatkan rentang perhatian yang
menyempit. Pada retina ditemukan hemoraghie, adanya eksudat, arteriol
menyempit dan berliku-liku serta papiledema. Neuropati perifer disertai
hilangnya reflek tendon dan perubahan neurosensori muncul setelah
penyakit terjadi. Klien beresiko kejang sekunder gangguan elektrolit.

d. Perkemihan
Biasanya akan didapatkan tanda dan gejala infusiensi renal gagal ginjal
kronik. Penurunan warna urine output seperti berwarna kola, proteinuria,
silinderuri dan hematuria.
e. Pencernaan
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia dan diare sekunder dari
bau mulut ammonia, peradangan mukosa mulut, dan ulkus saluran cerna
sehingga sering didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan

f. Muskuloskeletal
Klien tampak sangat kurus, pigmen kulit tampak kuning keabu-abuan dan
terjadi edema perifer (dependen) dan periorbital. Di dapatkan adanya nyeri
panggul, sakitbkepala, kram otot, nyeri kulir, kulit gatal dan
ada/berulangnya infeksi. Pruritus , demam (sepsis, dehidrasi), keterbatasan
gerak sendi. Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum sekunder
dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi.

2.Diagnose Keperawatan
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan produksi urine yang menurun
akibat dari penurunan filtrasi ginjal.
b. Nyeri akut berhubungan dengan respon inflamasi, kontraksi otot-otot sekunder.
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan Intake
yang kurang.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik, bedrest.
e. Kecemasan berhunungan dengan prognosis penyakit, ancaman, kondisi sakit dan
perubahan kesehatan.
f. Resiko kerusakan integritas kulit (infeksi sekunder) berhubungan dengan
perubahan metabolisme dan sirkulasi tubuh.
3. Evaluasi Keperawatan
Diagnosa keperawatan : Kelebihan volume cairan.
a. Klien mengatakan terbebas dari edema, BB stabil.
b. Klien dapat mempertahankan bunyi paru bersih dan adanya kemudahan dalam
bernafas
c. Klien dapat mempertahankan turgor kulit normal, tidak ada oliguria.

Diagnosa Keperawatan : Nyeri akut

a. Klien dapat mengenal factor penyebab, onset nyeri, tindakan pencegahan dan
penanganan nyeri.
b. Klien dapat melaporkan nyeri, frekuensi nyeri.
c. Klien tidak gelisah, tidak ada perubahan respirasi, nadi dan tekanan darah.

Diagnosa Keperawatan : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebututhan tubuh

a. Klien menunjukkan asupan makanan dan cairan adekuat.


b. Klien menunjukkan berat badan dalam batas normal.

Diagnose keperawatan : Intoleransi aktivitas

a. Klien dapat menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas.


b. Klien mendemonstrasikan penurunan tanda fisiologis intoleransi aktivitas.

Diagnose Keperawatan : Kecemasan

a. Klien malporkan penggunaan teknik relaksasi untuk menurunkan kecemasan.


b. Klien dapat mempertahankan hubungan social.
c. Klien melaporkan tidur yang adekuat.
d. Klien dapat menurunkan stimulus lingkungan ketika cemas.

Diagnosa Keperawatan : Resiko kerusakan integritas kulit

a. Klien menunjukkan temperature jaringan dalam rentang normal.


b. Klien menunjukkkan elastisitas dalam rentang normal.
c. Klien dapat mempertahankan hidrasi dalam rentang normal.
d. Klien dapat menunjukkan pigmentasi dalam rentang normal.
e. Klien menunjukkan warna dan kelembapan dalam rentang normal.
DAFTAR PUSTAKA

Suratum, Heryati,dkk. 2006. Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta:EGC

Muttaqin, Arif.2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem


Muskuloskeletal. Jakarta:EGC

Lukman, Nurna Ningsih.2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan


Sistem Muskuloskeletal. Jakarta:Salemba Medika

http://www.medicinesia.com/kedokteran-dasar/imunologi/hipersensitivitas-tipe-3-reaksi-
kompleks-antigen-antibodi/

Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth.2002. Kepeawatan Medikal Bedah. Jakarta:EGC

Reeves, Charlene J., dkk. 2001. Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta: Salemba Medika

Guyton, arthur C,. Dkk. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC

You might also like