You are on page 1of 17

REFERAT

“Kegawatdaruratan Bedah pada Neonatus”

Disusun oleh :
Mustika Dinna Wikantari (2013730156)

Pembimbing :
dr. Lukman Nurfauzi, Sp B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


BLUD RUMAH SAKIT SEKARWANGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Assalammualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya kepada kita semua. Tak lupa salawat serta salam kepada junjungan besar
Rasulullah SAW beserta para sahabatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat
”Kegawatdaruratan Bedah pada Neonatus” dalam rangka mengikuti kepanitraan Klinik di
bagian/SMF Bedah RSUD Sekarwangi

Pada kesempatan ini, penyusun ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya


kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis:

1. dr. Lukman Nurfauzi, Sp. B selaku dokter pembimbing serta Dokter Spesialis Ilmu Bedah
RSUD Sekarwangi
2. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuan
kepada penyusun
Akhirnya penyusun menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, semoga Referat ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan
khususnya kepada penyusun dan kepada pembaca. Terimakasih

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Sukabumi, Oktober 2018

Penulis
TINJUAN PUSTAKA
A. INVAGINASI
a. Definisi
Invaginasi adalah suatu keadaan gawat darurat akut dimana suatu segmen usus masuk
kedalan lumen usus ke bagian distal sehingga menimbulkan gejala obstruksi
kemudian strangulasi usus.
b. Insidensi
Invaginasi dapat terjadi pada setiap umur, bahkan dapat terjadi saat intrauterine.
Tujuh puluh persen atau lebih terjadi pada penderita berumur dibawah 1 tahun. Umur
penderita tersering sekitar 6-7 bulan. Pria lebih sering daripada wanita.
c. Etiologi
1. Tidak jelas
2. 90%-95% invaginasi pada anak dibawah umur kurang 1 tahun tidak dijumpai
kelainan, didugak karena adanya penebalan dindng usus, khususnya dinding
ileum terminale berupa hyperplasia jaringan foliel submukosa yang diduga
sebagai akibat infeksi virus. Penebalan ini merupakan titik awal (lead point)
terjadinya invaginasi.
3. Pada penderita invaginasi yang lebih besar (lebih 2 tahun) adanya kelainan usus
sebagai penyebab invaginasi seperti: inverted meckel’s diveticum, polip usus,
leiomioma, leiosarkoma, blue rubber bleb nevi, duplikasi usus.
4. Terjadi specific leading points yaitu berupa eosinophilik, granuloma dari ileum,
papillary lymphoid hyperplasia dari ileum hemangioma dan perdarahan
submukosa karena hemophilia atau henoch’s purpura. Lympasarcoma sering
dijumpai sebagai penyebab invaginassi pada anak yang berusia diatas 6 tahun.
5. Invaginasi dapat juga terjadi setelah laparotomi, yang biasa timbul setelah dua
minggu pasca bedah, hal ini terjadi akibat gangguan peristaltic usus, disebabkan
manipulasi usus yang kasar dan lama, diseksi retroperitoneal yang luas dan
hipokssia local.

d. Patofisiologi
Suatu segmen usus berikut mesentrium atau mesekolon masuk ke lumen usus bagian
dista oleh suatu sebab. Selanjutnya adalah proses obstruksi yang tidak diketahui
penyebabnya, tetapi diduga oleh penebalan dinding usus, khususnya ileum. Penebalan
ini disebabkan oleh hipeplasia jaringan limfoid submukosa ileum terminal akibat
peradangan virus. Terjadi proses obstruksi usus strangulasi berupa rasa sakit dan
perdarahan perektal. Serangan rasa sakit mula-mula hilang timbul kemudian menetap
dan sering desertai rangsangan muntah. Darah yang keluar melalui anal merupakan
darah segar yang bercampur lendir. Proses obstruksi usus sebenernya terjadi sejak
invaginasi terjadi, tetapi manifestasi klinik obstruksi memerlukan waktu. Umumnya
setelah 10-12 jam sampai menjelang 24 jam dengann gejala dan tanda-tanda seperti
abdomen kembung dan muntah hijau atau fekal telah terjadi.
e. Diagnosis
Penemuan pemeriksaan klinis ini sangat bergantuk pada lamanya invaginasi terjadi.
1. Umumnya bayi dalam keadaan sehat, gizi baik, mungkin beberapa hari
sebelumnya terdapat peradangan saluran napas bagian atas.
2. Bayi tiba-tiba menangis seperti menahan sakit untuk beberapa menit kemudian
diam, main-main atau tidur kembali. Sering disertai rangsangan muntah. Muntah
berupa minuman atau makanan yang masuk.
3. Beberapa jam kemudian bayi defekasi disertai darah segar dan lendir. Selanjutnya
defekasi hanya darah dan lendir. Sementara gejala dan tanda-tanda obstruksi
belum tampak, pada pemeriksaan abdomen mungkin teraba massa. Bila massa
teraba dikanan atau kiri atass maka perabaan pada abdomen kanan bawah terus
kosong. Keadaan ini disebut sbagai Dance’s sign.
4. Pemeriksaan colok dubur terdapat darah segar serta lendir dan mungkin masih
terdapat feses pada sarung tangan.
5. Menjelang 24 jam sesudah invaginasi terjadi dapat ditemukan tada-tanda
obstruksi usus, seperti abdomen yang kembung dengan terlihat kontur dan
peristalsis usus. Muntah sudah berwarna hijau atau sudah fekal. Massa
intraabdomen sulit teraba lagi. Pemeriksaan cook dubur mungkin dapat teraba
ujung ingivant, seperti perabaan portio yang dikenal sebagai pseudoportio. Sarung
tangan hanya terdapat darah dan lendir , tidak ada feses lagi. Penderita sudah
terdapat tanda-tanda dehidrasi dan mungkin juga kenaikkan suhu.
6. Pemeriksaan radiologi dengan menggunakan enema barium. Pada foto ditemukan
gambar ‘cupping’ dan ‘coil spring’.
f. Penatalaksanaan
Tindakan perbaikan keadaan umum mutlak perlu dikerjakan sebelum melakukan
tindakan apapun
1. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi dan mencegah aspirasi.
2. Rehidrasi cairan elektrolit.
3. Antibiotic
4. Abat sedative/muscle relaxon/analgetika
5. Tinddakan operatif : lapataromi

B. HERNIA DIAFRAGMA HEPATIKA


a. Definisi
Hernia bochladeck dikenal juga dangan hernia diafragma hepatika yaitu masuknya
organ-organ abdomen melalui defek pada diafragma ke dalam rongga dada di daerah
posterolateral dari diagfragma.
b. Insiden
Inseiden hernia bochdalek berkisa 1 dari 2000-4000 kelahiran hidup dengan
perbandingan jenis kelamin laki-laki : perempuan 1,5:1, merupakan 8% dari seluruh
anomaly congenital mayor, serta terbanyak timbul didaerah sebelah kiri. Risiko
timbulnya hernia bochdalek padda kelahiran berikutnya sekitar 2%.
c. Etiologi
Belum diketahui secara pasti, dan tidak ada satupun mutasi gen yang
bertanggungjawab terhadap terjadinya kalainan ini. Hernia diafragma congenital
familial sangat jarang dijumpai dan diduga melibatkan banyak factor atau suatu pola
autosomal resesif. 30% janin dengan hernia diafragma hepatica meninggal sebelum
lahir dan terkait dengan kelainan kromosom atau congenital lain.

d. Patofisiologi
Pada usia kehamilan 2 bulan tidak ada penekanan terhadap diagfragma yang sedang
berkembang baik dari rongga dada maupun dari rongga abdomen. Di dalam ronga
dada, paru beelum berkembang. Sedangkan didalam rongga abdomen usus
mengambil tempat diluar abdomen yaitu di umbilicus. Tekanan mekanik pertama
yang diterima oleh diagfragma adalah ssaat usus kembali dari umbilicus ke intra
abdomen pada minggu ke-10. Saat itu bagian-bagian diagfragma telah menempati
tempat yang normal untuk menerima penekanan sebagai konsekuensi dari
perkembangan organ-organ. Hernia dapat timbul dari gagalnya pertumbuhan
diagfragma yang normal atau timbul dari daerah yang memang rawan terhadap
penekanan yaitu foramen bochdalek, foramen morgagni dan hiatus esophagus.
Gangguan pembentukkan diagfragma ini dapat berupa kegagalan pembentukkan
seebagian diagfrgama, gangguan fussi antar unsur-unsur pleuroperitonei atau
gangguan pembentukkan otot, yang dapat menyebabkan diafragma menjadi tipis dan
mengakibatkan terjadi eventrasi, sedangkan pelebaran tentang hiatus esogfagus dan
lemahnya ligamentum phrenoesophageal yang tidak diketahui secara jelas.
e. Diagnosis
Diagnosis hernia Bochdalek dapat ditegakkan saat antenatal dan perinatal
berdasarkan Anamnesis: terdapat polihidramnion 80% kasus hernia Bochdalek
disertai dengan polihidramnion.
Manifestasi klinis: distres pernapasan (Apgar score rendah) merupakan manifestasi
klinis hernia diafragmatika yang dapat terjadi segera setelah lahir atau timbul 24- 48
jam setelah periode stabil. Manifestasi awal meliputi takipneu, grunting, retraksi
dinding dada, pucat, sianosis dan tanda klinis shunting dan persistent fetal circulation.
Pada pemeriksaan fisik didapat abdomen yang scaphoid, barrel chest, distress nafas/
sianosis dan pulsasi apeks jantung ke arah kontralateral. Keempat kelainan ini (tetrad)
merupakan salah satu kriteria penting untuk penentuan diagnosis. Peristaltik pada sisi
toraks yang terkena, tidak selalu terdengar pada auskultasi. Keadaan klinis yang
dominan menurut adalah terganggunya fungsi pernapasan akibat desakan abdomen
terhadap paru, hipoplasia paru, dan hipertensi pulmonal yang akhirnya dapat
menimbulkan gagal napas akut.
f. Laboratorium
Analisis gas darah, untuk menentukan adanya asidosis respiratorik akibat distress
nafas, analisis gas darah dapat sebagai indikator sederhana untuk menilai derajat
hipoplasia paru dan dapat diduga adanya hipoplasia paru yang berat bila PCO2 diatas
50 torr.Pemeriksaan kromosom, untuk membantu menemukan adanya kelainan
kongenital lain sehingga dapat diperkirakan penyulit yang mungkin terjadi. Kadar
elektrolit serum, sebaiknya diperiksa dan dimonitor untuk mempertahankan
homeostasis.
g. Pemeriksaan radiologis
1. Pada foto dada ditemukan gambaran udara intestinal dalam rongga dada. Pada
hernia Bochdalek kiri dapat ditemukan adanya gambaran udara atau cairan usus
pada hemitorak kiri dan pergeseran bayangan jantung ke kanan. Pemeriksaan
radiologis dada juga dapat menentukan ada tidaknya pneumothorax.
2. Pemasangan pipa orogastric dapat membantu menentukan posisi lambung
(intraabdominal atau intra thorakal).
3. Ultrasonografi (USG), pemeriksaan USG jantung untuk mengetahui adanya
kelainan jantung bawaan. USG ginjal diperlukan untuk menentukan ada tidaknya
kelainan saluran urogenital. USG kepala diperlukan untuk evaluasi adanya
perdarahan intraventrikular, infark, atau kelainan intrakranikal yang lain.
Sedangkan USG antenatal (in utero) dapat mendeteksi adanya polihidramnion
(80% kasus hernia Bochdalek disertai dengan polihidramnion), tidak terdapat
gambaran udara dalam lambung di rongga abdomen, terdapat gambaran udara
lambung dalam rongga dada, pergeseran mediastinum dan proyeksi jantung, dan
walaupun jarang mungkin terdapat gambaran hydrops fetalis.
4. Pemasangan pulse oximetry, sangat membantu dalam diagnosis dan tata laksana
hipertensi pulmonal persisten yang timbul akibat adanya hipoplasia pulmonal.
Pulse oximetry dipasang pada preductal (tangan kanan) dan postductal (kaki sisi
berlawanan) untuk menentukan adanya shunt kanan ke kiri pada ductus arteriosus.
5. Ekokardiografi pada bayi baru lahir dengan hernia Bochdalek dan mengemukakan
bahwa terdapat korelasi terbalik antara hubungan arteria pulmonalis kiri dengan
derajat hipoplasia paru.
h. Penatalaksanaan
1. Pertahankan neonatus tetap hangat.
2. Bila perlu menggunakan intubasi endotrakeal dan pemaaian ventilator yang
disesuaikan dengan keparahan herniasi organ abdomen.
3. Pasang sonde lambung, pemeriksaan pH dan gas darah.
4. Pemberian glukortikotikoid antenatal untuk memperbaiki maturitas paru dan
meningkatkan oksigenasi kemampuan paru.
5. Pemberian surfaktan Gagal nafas pada bayi dengan hernia diafragmatika dapat
berhubungan dengan perkembangan paru yang abnormal dan defisiensi surfaktan.
Studi postmortem menunjukkan adanya penurunan ekskresi surfaktan apoprotein
A (SP-A) yang lebih berat pada sisi dengan hernia diafragmatika dibandingkan
dengan sisi yang lain. Hal ini menunjukan adanya penundaan pematangan
fungsional atau perkembangan dan sintesis SP-A. Analisis cairan amnion
mendukung kenyataan tersebut. Surfaktan sebaiknya diberikan segera saat bayi
menarik nafasnya untuk pertama kali.
6. Extracorporeal Membrane Oxygenation (ECMO) Alat ECMO adalah
perlengkapan paru buatan yang digunakan untuk mengembangkan sisa jaringan
paru agar oksigenasi tetap adekuat selama pembedahan untuk mencegah gagal
napas dan hipoksia berat. ECMO meningkatkan keberhasilan hidup bayi dengan
hernia diafragmatika sebesar 42% pada era awal, menjadi sebesar 79% pada era
sekarang ini. Waktu yang tepat untuk memberikan ECMO masih kotroversial.
7. Tindakan bedah dilakukan laparotomi.

C. OMFALOKEL
a. Definisi
Disebut juga exomfalos merupakan defek dinding abdomen pada garis tengah dengan
berbagai derajat ukuran, disertai hernia visera yang ditutupi oleh memban yang terdiri
atas peritoneum dilaposan dalam dan amnion dilapisan luar serta Wharton jelly
diantara lapisan tersebut.

b. Epidemiologi
1. Defek dinding abomen (diameter >4cm) pada daerah cincin umbilikus dan
terdapat herniasiasi organ-organ abdomen yang dilapisi oleh lapisan peritoneum
dan amnion, dari rongga abdomen
2. Insidensi 1:5000 kelahiran hidup
3. 60%-70% disertai anomali ongenital lain terutama kelainan jantung dan
kromosom
c. Diagnosis
Diagnosis omfalokel cukup dengan melihat defek didaerah umbilicus dengan bagian
yang tertutup selaput tipis transparan. Dibagian dalam dapat terlihat usus, sebagian
hepar, mungkin lambung dan lien tergantung pada luas defek.
Beberapa yang perlu diperhatikan :
1. Omfalokel yang pecah mempunyai prognosis buruk
2. Omfalokel dengan diameter 5 cm atau kurang pada bayi aterm umumnya dapat
ditutup primer dan mempunyai prognosis yang baik.
3. Pemeriksaan usg pada kehamilan
Ditemukan adanya kantong hernia dan letak korda umbilikalis pada apex dari
kantong hernia. Adanya gambar kantong tersebut mengkonfirmasi diagnosis
omfalokel .
4. Pemeriksaan radiologi
Penting pembuatan foto toraks untuk melihat adanya aspiasi pneumonia,
malformasi jantung dan sebagainya.
d. Penatalaksanaan
1. Bayi dipertahankan dalama lingkungan yang hangat untuk mempertahankan suhu
tubuhnya.
2. Pemasangan sonde lambung untuk mencegah distensi lambung dan usus-usus
3. Pertahankan selaput omfalokel tetap dalam keadaan basah dan steril
4. Pemberian antibiotika profilaksis untuk mencegah invasi kuman melalui dinding
omfalokel. Ini perlu dilakukan karena dinding omfalokel tidak mengandung
vaskularisasi yang cukup sehingga mudah terjadi nekrosis dan terinfeksi.
5. Pemebedahan definitif untuk menutup defek dinding abdomen perlu dilakukan
segera sebelum kantong omfalokel terinfeksi. Pembedahan ini mempunyai
prognosis lebih baik daipada konservatif. Tetapi konservatif dengan hapusan
merkurokrom tidak mencegah proses infeksi disamping terdapat kerugian-
kerugian lain seperti infeksi silang di rumah sakit, biaya perawatan mahal dan
sebagainya.
6. Pembedahan terdiri dari dua cara, yaitu : dengan penutupan primer atau
penutupan defek dengan bantuan Teflon atau silastik. Pada dasarnya membantu
daya tamping rongga abdomen dengan menutup defek memakai lembar
silastik/Teflon. Usus kemudian masuk ke rongga abdomen sedikit demi sedikit.
Jika omfalokel pecah maka penanganannya sama saperti gastroskisis.

D. GASTROSKISIS
a. Definisi
Defek pada dinding abdomen yang biasanya bagian dari abdomen keluar dari dinding
abdomen dengan tanpa adanya kantung yang menutupi.
b. Epidemiologi
Defek seluruh lapisan dinding perut anterior (diameter <4cm), usus diluar rongga
abdomen terbungkus peritonium dan amnion.
c. Etiologi
1. Belum jelas
d. Patofisologi
Gastroskisis terbentuk akibat kegagalan fusi somit dalam pembentukkan dinding
abdomen sehingga dinding abdomen sebagian tetap terbuka. Letak defek umumnya di
sebelah kanan umbilicus yang terbentuk normal. Usus sebagian berkembang di luar
rongga abdomen janin. Akibatnya, usus menjadi tebal dan kaku karena pengendapan
dari iritasi cairan amnion dalam kehidupan intrauterine. Usus juga tampak pendek.
Rongga abdomen janin sempit.
e. Diagnosis
1. Defek dinding abdomen terbuka tanpa tertutup peritoneum. Umbilikus tampak
normal. Usus terlihat tebal dan pendek.
2. Diagnosis prenatal dengan USG menunjukkan insersi korda umbilikalis yang
normal dan adanya hernia yang free-floating tanpa ada kantong yang
membungkus.
3. Bagian usus yang berada diluar rongga abdomen mengakibatkan bagian usus
menjadi tebal, udem, dan terlihat sebagai gambaran hiperkogenik “cauliflower-
shaped” atau gambaran hiperekogenik dengan sudut pinggir kasar.
f. Penatalaksanaan
1. Pemasangan sonde lambung dan pengisapan yang kontinyu untuk mencegah
distensi usus yang mempersulit pembedahan.
2. Pemberian cairan dan elektrolit atau kalori intravena.
3. Antibiotika dengan spektrum luas secara intravena pada dan pada pra bedah
4. Suhu tubuh harus dipertahankan dengan baik
5. Pencegahan kontaminasi usus dengna menutup menggunakan kasa steril lembab
dengan cairan NaCl steril
6. Pembedahan dilakukan sebelum penyulit seperti distensi usus, infeksi atau sepsis
dan hipotermi terjadi. Pembedahan segera dengan persiapan yang baik maka
gastroskisis mempunyai prognosis yang baik.

E. MALROTASI DAN VOLVULUS


a. Definisi
1. Malrotasi merupakan anomali kongenital berupa gagalnya suatu rotasi/perputaran
dan fiksasi normal pada organ, terutama usus selama perkembangan embriologik.
Malrotasi mengakibatkan kelainan congenital berupa posisi usus yang abnormal
didalam rongga peritoneum, dan biasanya meliputi baik usus halus maupun usus
besar. Malrotasi diikuti fiksasi usus yang abnormal oleh pita mesentrika atau tidak
adanya fiksasi dan nekrosisi usus.
2. Volvulus merupakan kelainan berupa puntiran dari segmen usus terhadap usus itu
sendiri, mengelilingi mesenterium dari usus tersebut dimana mesenterium itu
sebagai aksis longitudinal sehingga menyebabkan obstruksi saluran cerna.
Normalnya gelung usus primer berotasi 270° berlawanan dengan arah jarum jam.
Akan tetapi kadang putaran hanya 90° saa. Apabila ini terjadi, kolon dan sekum
adalah bagian usus pertama yang kembali dari tali pusat, dan menempati sisi kiri
rongga perut.gelung ususu yag kembali belakangan makin terletak di kanan,
sehingga mengakibatkan kolon letak kiri.
b. Etiologi
1. Dalam minggu ke-10 kehidupan intrauterine sekum dan usus halus kembali ke
rongga abdominal dari saluran tapli pusat.
2. Sekum mengadakan rotasi menuju ke kuadran kanan bawah. Usus halus
mengadakan rotasi dengan aksis arteri mesentika superior dan terfiksasi pada
dinding posterior abdomen.
3. Pembentukkan pita (Ladd’s band) yang menyilang duodenum dari sekum yang
tidak berotasi sempurna dan menyebabkan mesenterium usus halus tidak
terfiksasi pada dinding posterior abdomen sehingga usus halus tidak bebas
bergerak dan menyebabkan volvulus
c. Epidemiologi
1. Insiden malrotasi usus terdapat pada 1 dari 500 kelahiran.
2. Hampir 75% kasus terjadi pada bayi baru lahir.
3. Sekitar 20% kasus terjadi pada usia 1 bulan sampai 1 tahun, dan sisanya muncul
pada usia lebih dari 1 tahun, yaitu pada masa anak-anak bahkan dapat terjadi pada
orang dewasa dengan insiden yang lebih kecil dibandingkan anak.
d. Diagnosis
1. Gejala dan tanda berupa gangguan pasase saluran cerna setinggi duodenum terjadi
segera setelah terjadi malrotasi.
2. Muntah hijau dan lebih sering tidak disertai kembung abdomen.
3. Udara yang telah berada di usus distal duodenim akan keluar atau diabsorbsi
4. Obstruksi partial setinggi duodenum bila malrotasi tanpa disertai volvulus.
5. Pertumbuhan dan perkembangan terhambat.
6. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto polos abdomen sengan posisi tegak akan terlihat gambaran
double bubble seperti pada atresia duodenal tetapi disertai gambaran gelembung-
gelembung udara kecil yang minim dibagian distal. Pemeriksaan enema barium
terlihat sekum terletak dikuadran kanan atas dibawah hepar. Sebaiknya tidak
melakukan pemeriksaan foto barium meal karena tidak memberikan banyak
informasi dan terdapat bahaya aspirasi.
e. Penatalaksanaan
1. Persiapan prabedah dapat dilakukan seperti atresia duodenum (Anastomosis
duodeno-duodenostomi). Persiapan prabedah harus cepat tercapai, karena
pembedahan haruss segera dilakukan untuk menyelamatkan usus halus yang
terancam nekrosis.
2. Pembedahan berupa pemotongan pita yang menyilang doudenum dengan cara
membebaskan dan selanjutnya duidenum diletakkan vertikal disebelah kanan.
Sekrm dan kolon diletakkan di daerah sebelah kiri. Appendectomy selalu
dikerjakan (prosedur Ladd). Setelah derotasi, penilaian viabilitas usus harus
dilakukan dengan baik, usus jelas nekrosis harus direseksi, bila ragu dan panjang,
sebaiknya tidak direseksi dan dinilai 24-48 jam sebagai secong look procedure.
3. Untuk neonates atau bayi yang datang dengan malrotasi tanpa vovulus sempurna
dapat dilakukan pembedahan seperti tersebut diatas secara elektif.

F. Hirschsprung’s disease
1. Definisi
Penyakit Hirschsprung, megacolon aganglionik kongenital,
merupakan penyakit perkembangan (neurocristhophaty) dari sistem nervus
enterik, ditandai dengan tidak adanya sel ganglion di submukosa dan
plexus myenterika.
2. Prevalensi
Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang sering
menyebabkan obstruksi usus bagian bawah pada neonatus, dengan
insidensi 1 : 5000 kelahiran. Rasio laki – laki dan perempuan pada
penyakit Hirschsprung yaitu 4 : 1 untuk segmen pendek.
3. Patogenesis.
Dalam buku klasik yang berjudul Pediatric Surgery, Dr.Orvar
Swenson, yang cukup ternama terkait dengan salah satu perawatan bedah
klasik untuk penyakit Hirschsprung, menggambarkan kondisi ini sebagai
berikut: “Megacolon kongenital disebabkan oleh malformasi dalam sistem
parasimpatis panggul yang menghasilkan tidak adanya sel ganglion di
plexus Auerbach dari segmen kolon distal . Tidak hanya ada tidak adanya
sel ganglion , tetapi serabut saraf besar dan jumlah berlebih, menunjukkan
bahwa anomali mungkin lebih luas daripada tidak adanya sel ganglion."
Narasi penyakit Hirschsprung ini adalah akurasi hari ini seperti lebih dari
50 tahun yang lalu dan merangkum fitur patologis penting penyakit ini:
tidak adanya sel ganglion di plexus Auerbach dan hipertrofi batang saraf
yang terkait. Penyebab penyakit Hirschsprung tetap tidak sepenuhnya
dipahami, meskipun pemikiran saat ini menunjukkan bahwa hasil penyakit
terjadi dari cacat dalam migrasi sel pial neural, yang merupakan prekursor
embrio dari sel ganglion usus. Dibawah kondisi normal, sel-sel pial neural
bermigrasi ke usus dari cephalad ke caudal. Proses ini selesai pada minggu
kedua belas kehamilan, tetapi migrasi dari midtransverse usus ke anus
membutuhkan 4 minggu. Selama periode terakhir ini, janin merupakan
yang paling rentan terhadap cacat dalam migrasi sel pial neural. Hal ini
mungkin menjelaskan mengapa sebagian besar kasus aganglionosis
melibatkan rectum dan rectosigmoid. Panjang segmen aganglionik usus
karena itu ditentukan oleh wilayah yang paling distal yang yang
bermigrasi sel pial neural mencapai. Pada kasus yang jarang, Total
aganglionosis kolon dapat terjadi.
Studi terbaru menjelaskan dasar molekuler untuk penyakit
Hirschsprung. Pasien dengan penyakit Hirschsprung memiliki peningkatan
frekuensi mutasi pada beberapa gen termasuk GDNF, reseptornya ret, atau
coreceptor yang Gfra-1. Selain itu , mutasi pada gen ini juga menyebabkan
aganglionik megacolon pada tikus, yang menyediakan kesempatan untuk
belajar fungsi protein yang dikodekan. Penyelidikan awal menunjukkan
bahwa GDNF mempromosikan kelangsungan hidup, proliferasi, dan
migrasi populasi campuran dari sel pial neural dalam budaya. Penelitian
lain telah menunjukkan bahwa GDNF dinyatakan dalam usus sebelum
bermigrasi sel pial neural dan chemoattractive untuk sel pial neural dalam
budaya. Temuan ini meningkatkan kemungkinan bahwa mutasi pada
GDNF atau Purn gen dapat menyebabkan untuk gangguan migrasi pial
neural dalam rahim dan pengembangan penyakit Hirschsprung.
4. Presentasi klinis.
Insiden sporadis Penyakit Hirschsprung adalah 1 di 5000 kelahiran
hidup. Ada laporan dari peningkatan frekuensi penyakit Hirschsprung
dalam beberapa generasi keluarga yang sama. Kadang keluarga tersebut
memiliki mutasi pada gen dijelaskan sebelumnya, termasuk gen Purn.
Karena usus aganglionik tidak mengizinkan peristaltik yang normal
terjadi, presentasi anak-anak dengan penyakit Hirschsprung adalah
ditandai dengan obstruksi usus distal fungsional. Dalam periode baru lahir,
gejala yang paling umum adalah perut distensi, gagal untuk lulus
mekonium, dan emesis empedu. Apa saja bayi yang tidak lulus mekonium
melampaui 48 jam hidup harus diselidiki untuk keberadaan penyakit
Hirschsprung. Kadang-kadang, bayi hadir dengan komplikasi dramatis
Penyakit Hirschsprung disebut enterocolitis. Pola presentasi ditandai
dengan distensi abdomen dan nyeri tekan dan berhubungan dengan
manifestasi dari toksisitas sistemik yang meliputi demam, gagal tumbuh,
dan kelesuan. Bayi sering dehidrasi dan menunjukkan leukositosis atau
peningkatan dalam sirkulasi bentuk pita pada evaluasi hematologi. pada
dubur pemeriksaan, pengusiran kuat dari kotoran cairan berbau busuk
biasanya diamati dan merupakan akumulasi dari tinja di bawah tekanan
dalam usus distal terhambat. perawatan termasuk rehidrasi, antibiotik
sistemik, dekompresi nasogastrik, dan irigasi rektal sedangkan diagnosis
Hirschsprung Penyakit ini dikonfirmasi. Pada anak-anak yang tidak
menanggapi manajemen nonoperative, stoma decompressive diperlukan.
Hal ini penting untuk memastikan bahwa stoma ini ditempatkan di
ganglioncontaining usus, yang harus dikonfirmasi oleh bagian beku pada
saat penciptaan stoma.
Pada sekitar 20% kasus, diagnosis Penyakit Hirschsprung dibuat di
luar periode baru lahir. Anak-anak ini memiliki sembelit parah, yang
biasanya telah diobati dengan obat pencahar dan enema. Perut distensi dan
gagal tumbuh juga dapat hadir pada diagnosis.
5. Diagnosa.
Definitif diagnosis penyakit Hirschsprung dibuat dengan biopsi
rektal. Sampel mukosa dan submucosa diperoleh pada 1, 2, dan 3 cm dari
garis dentate. Hal ini dapat dilakukan di samping tempat tidur pada
periode neonatal tanpa anestesi, sebagai sampel yang diambil di usus yang
tidak memiliki persarafan somataik dan dengan demikian tidak
menyakitkan untuk anak. Pada anak-anak yang lebih tua, prosedur harus
dilakukan dengan menggunakan sedasi IV. Histopatologi yang penyakit
Hirschsprung adalah tidak adanya ganglion sel-sel di pleksus myenteric,
meningkat pewarnaan acetylcholinesterase, dan adanya berkas saraf
hipertrofi.
Hal ini penting untuk mendapatkan barium enema pada anak-anak
yang terdiagnosis penyakit Hirschsprung dicurigai. Tes ini dapat
menunjukkan lokasi zona transisi antara usus ganglionik melebar dan
distal terbatas segmen rektum aganglionik. Praktek kami adalah untuk
mendapatkan tes ini sebelum melakukan irigasi rektal bila memungkinkan,
sehingga perbedaan dalam ukuran antara usus proksimal dan distal yang
diawetkan. Meskipun barium enema hanya bisa menyarankan, tapi tidak
andal membangun, diagnosis penyakit Hirschsprung, sangat berguna
dalam tidak termasuk penyebab lain dari usus distal halangan. Ini
termasuk sindrom usus kiri kecil (seperti terjadi pada bayi dari ibu
diabetes), atresia kolon, meconium pasang sindrom, atau usus besar tidak
terpakai diamati pada bayi setelah pemberian magnesium atau agen
tokolitik.
Barium enema total aganglionosis kolon mungkin menunjukkan
usus nyata dipersingkat. Beberapa ahli bedah telah menemukan
penggunaan manometry dubur membantu, terutama pada anak-anak yang
lebih tua,meskipun relatif akurat.

6. Penatalaksanaan.
Diagnosis penyakit Hirschsprung membutuhkan operasi dalam
semua kasus. Pendekatan bedah klasik terdiri dari prosedur beberapa
tahap. Ini termasuk kolostomi di periode baru lahir, diikuti dengan operasi
tarik-melalui definitive setelah anak itu lebih dari 10 kg. Ada tiga yang
layak Pilihan untuk prosedur pull-through definitif yang yang saat ini
digunakan. Meskipun ahli bedah individu mungkin menganjurkan satu
prosedur di atas yang lain, penelitian telah menunjukkan bahwa hasil
setelah setiap jenis operasi serupa. Untuk setiap dari operasi yang
dilakukan, prinsip-prinsip pengobatan termasuk mengkonfirmasikan lokasi
di usus mana transisi zona antara ganglionic dan usus aganglionik ada,
resecting segmen aganglionik usus, dan melakukan suatu anastomosis
usus ganglionated baik anus atau manset mukosa dubur.
Sekarang mapan bahwa prosedur pull-through primer dapat
dilakukan dengan aman, bahkan pada masa neonatus. Pendekatan ini
mengikuti prinsip-prinsip pengobatan yang sama sebagai dipentaskan
Prosedur dan menyimpan pasien dari prosedur bedah tambahan. Banyak
ahli bedah melakukan pembedahan intra-abdomen menggunakan
laparoskop. Pendekatan ini sangat berguna dalam periode baru lahir,
karena hal ini memberikan visualisasi yang sangat baik dari panggul. Pada
anak-anak dengan distensi kolon yang signifikan, itu adalah penting untuk
memungkinkan untuk jangka waktu dekompresi menggunakan dubur
tabung jika pull-melalui single-dipentaskan harus dilakukan. di tua anak-
anak dengan sangat buncit, usus hipertrofi, mungkin bijaksana untuk
melakukan kolostomi untuk memungkinkan usus untuk dekompresi,
sebelum melakukan prosedur pull-through. Namun, harus ditekankan
bahwa tidak ada batas usia atas untuk melakukan primer tarik-melalui.
Dari tiga prosedur pull-through dilakukan untuk penyakit
Hirschsprung, yang pertama adalah prosedur Swenson asli. Dalam operasi
ini, rektum aganglionik dibedah di panggul dan dihapus turun ke anus.
The ganglionic usus kemudian dianastomosis ke anus melalui pendekatan
perineal. Dalam Prosedur Duhamel, diseksi luar rektum terbatas ke ruang
retrorectal, dan usus ganglionik yang dianastomosis posterior tepat di atas
anus. Anterior dinding ganglionic yang usus besar dan dinding posterior
rektum aganglionik yang dianastomosis menggunakan stapler. Meskipun
kedua prosedur ini yang sangat efektif, mereka dibatasi oleh kemungkinan
kerusakan pada saraf parasimpatik yang berdekatan dengan dubur. Untuk
menghindari potensi masalah ini, prosedur Soave melibatkan diseksi
sepenuhnya dalam rektum. dubur yang mukosa dilucuti dari lengan
berotot, dan ganglionic yang usus dibawa melalui lengan dan
dianastomosis untuk anus. Operasi ini dapat dilakukan sepenuhnya dari di
bawah. Dalam semua kasus, sangat penting bahwa tingkat di mana
ganglionated usus ada ditentukan. Kebanyakan ahli bedah percaya bahwa
anastomosis harus dilakukan minimal 5 cm dari titik di mana sel-sel
ganglion ditemukan. Hal ini untuk menghindari melakukan pullthrough a
di zona transisi, yang berhubungan dengan tinggi kejadian komplikasi
karena pengosongan yang tidak memadai dari pull-melalui segmen.
Hingga sepertiga dari pasien yang menjalani zona transisi tarik-melalui
akan membutuhkan operasi ulang a. Komplikasi utama dari semua
prosedur termasuk enterocolitis pasca operasi, sembelit, dan striktur
anastomosis.
Seperti disebutkan, hasil jangka panjang dengan tiga prosedur
sebanding dan umumnya sangat baik di tangan berpengalaman. Ketiga
prosedur juga dapat diadaptasi untuk keseluruhan aganglionosis kolon di
mana ileum digunakan untuk segmen tarik-melalui.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kartono, Darmawan. 2010. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Ciputat - Tangerang: bagian
ilmu bedah FKUI/RSCM.
2. Shanding B. Diaphragmatic hernia. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE,
Vaughan VC, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi keempat belas.
Philadelphia: W.B. Saunders company, 2000. h. 1032-3.
3. Sanjaya, putra. 2006. Hernia Bochladek. Sari Pediatri, Vol. 7, No. 4, hal 232-236. Bali:
bagian ilmu kesahatan anak. Dikutip: http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/7-4-10.pdf.
4. Sato TT. Abnormal rotation and fixation of the intestine. Dalam: Wyllie R, Hyams JS,
eds. Pediatric gastrointestinal and liver disease. Edisi 4. Philadelphia: Elsevier Sauders
Company, 2006: h. 757-63
5. Pierro A, Ong EGP. Malrotation, Dalam: Puri P, Hollwarth ME, eds. Pediatric surgery.
Germany: Springer-Verlag: 2006: h. 197-202

You might also like