You are on page 1of 37

LI 1.

Memahami dan menjelaskan asma anak


LO 1.1 Definisi
Global Institute for Asthma (GINA) yang disusun oleh National Lung, Heart,
and Blood Institute yang bekerja sama dengan WHO dan NAEPP (National
Asthma Education and Prevention Program (1997), mendefinisikan asma
secara lengkap sebagai berikut: gangguan inflamasi kronis saluran napas
dengan banyak sel yang berperan, antara lain sel mast, eosinofil, dan limfosit
T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episode mengi yang
berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada waktu
malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan
jalan napas yang luas dan bervariasi, sebagian besar bersifat reversibel baik
spontan maupun dengan pengobatan.Inflamasi ini juga berhubungan dengan
hiperreaktivitas jalan napas terhadap pelbagai rangsangan.

LO 1.2 Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma bronkhial.
Faktor predisposisi:

Genetik

Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga


menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat
mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus.
Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
Menurut Mengatas dkk, terdapat berbagai kelainan kromosom pada
patogenesis , antara lain pada:

a. Kromosom penyebab kerentanan alergi yaitu kromosom 6q, yang


mengkode human leucocyte antigen (HLA) kelas II dengan subset HLA-
DQ, HLA-DP dan HLA-DR, yang berfungsi mempermudah pengenalan
dan presentasi antigen.

b. Kromosom pengatur produksi berbagai sitokin yang terlibat dalam


patogenesis asma, yaitu kromosom 5q. Sebagai contoh gen 5q31-33
mengatur produksi interleukin (IL) 4, yang berperan penting dalam
terjadinya asma. Kromosom 1, 12, 13, 14, 19 juga berperan dalam
produksi berbagai sitokin pada asma.

c. Kromosom pengatur produksi reseptor sel T yaitu kromosom 14q.

Faktor presipitasi
 Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

a. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan


Contoh : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan
polusi
b. Ingestan, yang masuk melalui mulut
Contoh : makanan dan obat-obatan
c. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
contoh: perhiasan, logam dan jam tangan

 Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya
serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim,
seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan
dengan arah angin serbuk bunga dan debu.

 Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala
asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami
stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya
belum bisa diobati.

 Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat


Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya
terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

Faktor Resiko

Secara umum faktor risiko asma dibagi kedalam dua kelompok besar, faktor
risiko yang berhubungan dengan terjadinya atau berkembangnya asma dan
faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya eksaserbasi atau serangan
asma yang disebut trigger faktor atau faktor pencetus3). Adapun faktor risiko
pencetus asma bronkial yaitu:
1. Asap Rokok
2. Tungau Debu Rumah
3. Jenis Kelamin
4. Binatang Piaraan
5. Jenis Makanan
6. Perabot Rumah Tangga
7. Perubahan Cuaca
8. Riwayat Penyakit Keluarga

LO 1.3 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya
Asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe,yaitu :

1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor
pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-
obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering
dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.
Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang
disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.

2. Intrinsik (non alergik)


Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus
yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga
disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan
asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu
dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa
pasien akan mengalami asma gabungan.

3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari
bentuk alergik dan non-alergik.

Pembagian derajat penyakit asma menurut GINA adalah sebagai berikut :

1. Intermitten

Gejala kurang dari 1 kali/minggu

Serangan singkat

Gejala nokturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan (≤ 2 kali)
 FEV1≥80% predicted atau PEF ≥80% nilai terbaik individu
 Variabilitas PEF atau FEV1 < 20%

2. Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Geajala nokturnal >2 kali/bulan
 FEV1≥80% predicted atau PEF ≥80% nilai terbaik individu
 Variabilitas PEF atau FEV1 20-30%

3. Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala nokturnal > 1 kali dalam seminggu Menggunakan agonis 𝛽2 kerja pendek
setiap hari
 FEV1 60-80% predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu
 Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%

4. Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari

Serangan sering terjadi

Gejala asma nokturnal sering terjadi
 FEV1 ≤ predicted atau PEF ≤ 60% nilai terbaik individu
 Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%
Pembagian lain derajat penyakit asma
dibuat oleh Phelan dkk. (dikutip dari

Konsensus Pediatri Internasional III tahun 1998


Klasifikasi ini membagi derajat asma menjadi 3 (tiga), yaitu sebagai berikut:
1. Asma episodik jarang

Merupakan 75% populasi asma pada anak. Ditandai oleh adanya episode <1x tiap 4-
6 minggu, mengi setelah aktivitas berat, tidak terdapat gejala di antar episode
serangan, dan fungsi paru normal di antar tangan. Terapi profilaksis tidak
dibutuhkan pada kelompok ini.

2. Asma episodik sering



Merupakan 20% populasi asma.Ditandai oleh frekuensi serangan yang lebih sering
dan timbulnya mengi pada aktivitas sedang, tetapi dapatdicegah dengan pemberian
agonis 𝛽2 . Geala terjadi kurang dari 1x/ minggu dan fungsi paru di antara serangan
normal atau hampir normal.Terapi profilaksis biasanya dibutuhkan.

3. Asma persisten

Terjadi pada sekitar 5% anak asma. Ditandai oleh seringnya episode akut, mengi
pada aktivitas ringan, dan di antara interval gejala dibutuhkan agonis 𝛽2 lebih dari 3
kali/minggu
Arena anak terbangun di malam hari atau dada terasa berat di pagi
hari. Terapi profilaksis sangat dibutuhkan

Derajat Asma pada anak


LO 1.4 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara
maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia.
Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk
kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat
dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah
sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal
tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari
pedoman yang direkomendasikan GINA.
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian
pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC
(International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun
1995melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003
meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa
kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang,
Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak
SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP
di Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa
asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat
perhatian serius. (Iris, 2008)

LO 1.5 Patofisiologis
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang
menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas
bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada
asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut, seorang yang
alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE
abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila
reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama
melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan
erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil.

Bila seseorang menghirup alergen maka antibody IgE orang tersebut


meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast
dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya
histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient),
faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin.
Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal
pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam
lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga
menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.

Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada


selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa
menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian,
maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang
menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi.
Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan
adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea.
Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat
selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari
paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.
(Heru, Sundaru, Sukamto, 2007)
Asma Sebagai Penyakit Inflamasi

Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran nafas. Inflamasi
ditandai dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi) dan rubor
(kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor
(rasa sakit karena rangsangan sensoris) dan functio laesa (fungsi yang
terganggu). Akhir-akhir ini syarat terjadinya radang harus disertai satu syarat
lagi, yaitu infiltrasi sel-sel radang. Ternyata keenam syarat tadi dijumpai pada
asma tanpa membedakan penyebabnya baik yang alergik maupun non alergik.

Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non alergik
dijumpai adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran nafas. Oleh karena itu,
paling tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut. Jalur
imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada
jalur IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen
Presenting Cell; sel penyaji antigen), untuk selanjutnya hasil olahan alergen
akan dikomunikasikan kepada sel Th (sel T helper; penolong). Sel Th inilah
yang akan memberikan instruksi melalui IL (interleukin) atau sitokin agar sel-
sel plasma membentuk IgE, serta sel-sel radang lain seperti mastosit,
makrofage, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk
mengeluarkan mediator-mediator inflamasi. Mediator inflamasi seperti
histamin, prostaglandin (PG), leukotrin (LT), platelet activating factor (PAF),
bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain akan mempengaruhi organ sasaran
sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskuler, edema
saluran nafas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus dan fibrosis sub epitel,
sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran nafas (HSN). Jalur non alergik
selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang sistem saraf autonom
dengan hasil akhir berupa inflamasi dan HSN.
Hiperaktivitas Saluran Nafas (HSN)

Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran nafas
pasien asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan
(debu), zat kimia (histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada
asma alergik, selain peka terhadap rangsangan tersebut di atas pasien juga
sangat peka terhadap alergen yang spesifik. Sebagian HSN diduga didapat
sejak lahir, tetapi sebagian lagi didapat.
Berbagai keadaan dapat meningkatkan hiperekativitas saluran nafas seseorang,
yaitu:

a) Inflamasi Saluran Nafas


Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkan terbukti berkaitan
erat dengan gejala asma dan HSN. Konsep ini didukung oleh fakta bahwa
intervensi pengobatan dengan anti inflamasi dapat menurunkan derajat
HSN dan gejala asma.

b) Kerusakan Epitel
Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Pada asma
kerusakan bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan struktur ini
akan meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi serta
mengakibatkan iritasi ujung-ujung saraf autonom sering lebih mudah
terangsang. Sel-sel epitel bronkhus sendiri sebenarnya mengandung
mediator yang dapat bersifat sebagai bronkodilator. Kerusakan sel-sel
epitel bronkhus akan mengakibatkan bronkokonstriksi lebih mudah terjadi.

c) Mekanisme Neurologis
Pada pasien asma terdapat peningkatan respon saraf parasimpatis

d) Gangguan Intrinsik
Otot polos saluran nafas dan hipertrofi otot polos pada saluran nafas
diduga berperan dalam HSN

e) Obstruksi Saluran Nafas


Meskipun bukan faktor utama, obstruksi saluran nafas diduga ikut
berperan dalam HSN.
(Heru, Sundaru, Sukamto, 2007)

LO 1.6 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan
sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di
dada, dan pada asma alergik mugkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada
mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya
pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang
purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gealanya hanya batuk tanpa
disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila hal yang
terakhir ini dicurigai, perlu dilakukanpemeriksaan spirometri sebelum dan
sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin.
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala
asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala
terhadap faktor pencetus non-alergik seperti asap rokok, asap yang
merangsang, infeksi saluran napas ataupun perubahan cuaca.
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada
awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang
gejalanya tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan
membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti
misalnya. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan
bahan tersangka yang ada di lingkunagn kerja mungkin diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.
(Sudoyo, 2009)
Gejala asma berdasarkan dengan beratnya hipereaktivitas bronkus :
a. Bising mengi (Wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop
b. Batuk produktif pada malam hari
c. Nafas atau dada seperti ditekan
Gejalanya bersifat paroksismal, yaitu membaik pada siang hari dan
memburuk pada malam hari. Namun, biasanya pada pendeerita yang
sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat
serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk
dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan
bekerja dengan keras.

LO 1.7 Diagnosis dan diagnosis banding


Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,
disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan
beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik
sehingga penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh
gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa
berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang
baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan
jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru,
akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Anamnesa
Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak
yang tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari.Semua keluhan biasanya
bersifat episodic dan reversible. Mungkin ada riwayat keluarga dengan
penyakit yang sama atau penyakit alergi yang lain.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih
nyaman dalam posisi duduk
Jantung : Pekak jantung mengecil, takikardi
Paru
a. Inspeksi : Dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong
kebawah
b. Auskultasi : Terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang
c. Perkusi : Hipersonor
d. Palpasi : Fremitus vokal kanan sama dengan kiri
(Muttaqin, 2008)
Berdasarkan konsep B6, pemeriksaan fisik untuk asma secara spesifik
mencakup :
B1 (Breathing)
a. Inspeksi
Pada klien terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan,
serta penggunaan otot bantu pernapasan. Inspeksi dada terutama melihat
postur bentuk dan kesimetrisan, adanya peningkatan diameter antero
posterior, retraksi otot-otot intercostalis, sifat dan irama pernapasan dan
frekuensi napas.
b. Palpasi
Pada palpasi biasanya amati kesimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus
normal
c. Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sama hipersonor sedangkan
diafragma menjadi datar dan rendah.
d. Auskultasi
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan ekspirasi lebih
dari 4 detik atau 3 kali ekspirasi, dengan bunyi tambahan napas tambahan
utama wheezing pada akhir ekspirasi.
B2 (Blood)
Monitor dampak asma pada status kardiovaskular meliputi keadaan
hemodinamik seperti nadi, tekanan darah dan CRT.
B3 (Brain)
Diperlukan pemeriksaan GCS untuk penentuan status kesadaran
B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berkaitan intake cairan. Ada tidaknya
oliguria sebagai tanda awal gejala syok.

B5 (Bowel)
Perlu dikaji bentuk, turgor, nyeri dan tanda-tnada infeksi yang dapat
merangsang serangan asma. Pengkajian status nutrisi meliputi jumlah,
frekuensi dan kesulitan pemenuhan kebutuhan nutrisi karena pada pasien
sesak napas terjadi kekurangan. Hal ini terjadi karena dispnea saat makan dan
kecemasan klien.
B6 (Bone)
Adanya edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada ekstremitas
karena merangsang serangan asma. Pada integumen perlu dikaji permukaan
kasar,kering, kelainan pigmentasi, turgor kulit, kelembaban, besisik, pruritis,
eksim dan adanya bekas dermatitis. Pada rambut kaji kelembaban dan kusam.
Adanya wheezing, sesak danortopnea saat istirahat. Pola aktivitas olahraga,
pekerjaan dan aktivitas lainnya.

Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
a. Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal
eosinofil
b. Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari
cabang bronkhus
c. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkhus
d. Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat
mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug

2. Pemeriksaan Darah
a. Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis
b. Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH
c. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3
dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi
d. Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE
pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan

Pemeriksaan Penunjang Lain


1. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu
serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni
radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diafragma yang menurun
Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah
sebagai berikut:
a. Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan
bertambah
b. Bila terdapat komplikasi emfisema (COPD), maka gambaran
radiolusen akan semakin bertambah
c. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru
d. Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal
e. Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan
pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen
pada paru-paru

2. Pemeriksaan Tes Kulit


Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
3. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi
menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada
emfisema paru, yaitu:
a. Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis
deviasi dan clock wise rotation
b. Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya
RBB (Right bundle branch block)
c. Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES,
dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative

4. Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi
udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.

5. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang
paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon
pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan
sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau
nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak
lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol
bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting
untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat
obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi
pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.
Status Asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan
asma yang berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara
terhadap pengobatan yang lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya
perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan waktu
pengamatan antara satu sampai dua jam.
Gambaran Klinis Status Asmatikus
a. Penderita tampak sakit berat dan sianosis
b. Sesak nafas, bicara terputus-putus
c. Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab
penderita sudah jatuh dalam dehidrasi berat
d. Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi
lambat laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah
kemudian jatuh ke dalam koma

Peran pemeriksaan lain untuk diagnosis


Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita
dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi
bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang
tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan
diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa
penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti
rinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti
PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.
Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil
untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/
pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam
penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya
dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat
untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif
palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan
hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik
dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain
dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan
lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis
alergi/ atopi.
Alur Diagnosis Asma

Diagnosis banding
Bronkitis Kronis
Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun
paling sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya
terjadi pada penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk
di pagi hari, lama-lama disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan
jasmani pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pumonal.
Emfisema Paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema
biasanya tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat
melakukan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong,
gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara vesikuler sangat
lemah. Pada foto dada di dapat adanya hiperinflasi.

Gagal Jantung Kiri


Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai
paroksisimal dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena
sesak, tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya kardiomegali dan udem paru.
Emboli Paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan
tromboflebitis dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah,
nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik
didapat ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, gallop,
sianosis, dan hipertensi.

Diagnosis banding lainnya :


 Rinosinusitis
 Refluks gastroesofageal
 Infeksi respiratorik bawah viral berulang
 Displasia bronkopulmoner
 Tuberkulosis
 Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran
respiratorik intratorakal
 Aspirasi benda asing
 Sindrom diskinesia silier primer
 Defisiensi imun
 Penyakit jantung bawaan

LO 1.8 Tatalaksana

Asma tidak bisa disembuhkan, namun bisa dikendalikan, sehingga penderita


asma dapat mencegah terjadinya sesak napas akibat serangan asma.
Tujuan pengobatan anti penyakit asma adalah membebaskan penderita dari
serangan penyakit asma. Hal ini dapat dicapai dengan jalan mengobati
serangan penyakit asma yang sedang terjadi atau mencegah serangan penyakit
asma jangan sampai terjadi.

Mengobati disini bukan berarti menyembuhkan penyakitnya, melainkan


menghilangkan gejala-gejala yang berupa sesak, batuk, atau mengi. Keadaan
yang sudah bebas gejala penyakit asma ini selanjutnya harus dipertahankan
agar serangan penyakit asma jangan datang kembali.

Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever)
dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan
serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan
sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan
bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga obat
pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah
dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian
obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya
kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan
setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu.

Obat – obat Pereda (Reliever)

1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut
pada anak.Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot
pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot
lurik, hepar, dan pankreas.
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan
ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan
napas yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti
peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan
berkurangnya pelepasan mediator sel mast.

 Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada
β2 agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor
β1, β2, dan α sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit
kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi.
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi
efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek
samping, terutama pada jantung dan CNS.

 β2 agonis selektif(12)
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum
5mg/kgBB), interval 20 menit, atau
nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 –
0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15
mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.

Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit,


efek puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit,
efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.

Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.


Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.

Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada


keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan
napas. Efek samping takikardi lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1
mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit,
dilanjutkan dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala,
agitasi, palpitasi, dan takikardi.

b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi,
tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya
sempit, obat ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi
β2 agonist dan anticholinergick.
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5.Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral.Pemberian
teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang
lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat
kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya
absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati
plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui
metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin.

Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :

 1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
 6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
 1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
 > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam

Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala.Pada


konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia.

1. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida.Kombinasi dengan
nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih
baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam(12).
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis :
untuk usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes.
Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak
dimulut.Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi
asma jangka panjang pada anak.

2. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan(12) :
 Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai
perbaikan yang cukup lama.
 Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan
kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.
 Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat
sebelumnya.

Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk


mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 –
24 jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon,
atau triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3
kali sehari selama 3 – 5 kali sehari.

Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator.


Obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan
kemokin, menghambat sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan
basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan
permeabilitas vascular.

Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan


penetrasi kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar,
dan efek mineralokortikoid minimal.Dosis metilprednisolon IV yang
dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam.Dosis
Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6 jam. Dosis dexamethasone
bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8
jam.

Obat – obat Pengontrol


Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, theofilin,
cromones, dan long acting oral β2-agonist.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling
efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur.
Intervensi awal dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan
dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan
obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan inhalasi
glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma,
mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah
sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif
bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis,
mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi
terjadinya down regulation receptor β2 agonist.Dosis yang dapat
digunakan sampai 400ug/hari (respire anak).Efek samping berupa
gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan
gangguan pada gigi dan mulut

2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)


Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan
mungkin hasilnya lebih baik.Sayangnya, belum ada percobaan jangka
panjang yang membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA.
Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai berikut

 LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil


leukotriane;
 Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap
bronkokonstriktor;
 Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
 Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali
per hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati;
sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;
 Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan
transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan
terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta
diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-
inflamator.

Ada 2 preparat LTRA :


a. Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral
1 kali sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg
qhs. (gina)
b. Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia> 7 tahun
dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat
keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek
samping obat dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan
transaminase) sehingga perlu pemantauan fungsi hati.

3. Long acting β2 Agonist (LABA)


Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.
Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari
frekuensi serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,,
menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling.Kombinasi ICS dan
LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate
dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort).Seretide
dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI.Kombinasi ini
mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan memakai
obat.

4. Teofilin lepas lambat


Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid
yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis
pemeliharaan glukokortikosteroid.Tapi efikasi teofilin lebih rendah
daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi
ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang,
perdarahan lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari
10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial
5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.
Terapi Suportif
a. Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung,
masker atau headbox.Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen,
sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).
b. Campuran Helium dan oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai
tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan
nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna
menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi
sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi
karena helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen
menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.
c. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang
adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea
serta efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada
asma berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yan
memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi
pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah
cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.

Cara Pemberian Obat

UMUR ALAT INHALASI


< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
2-4 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler)
dengan alat perenggang (spacer)
5-8 tahun Nebuliser
MDI dengan spacer
Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler,
Rotahaler, Turbuhaler)
>8 tahun Nebuliser
MDI (metered dose inhaler)
Alat Hirupan Bubuk
Autohaler

Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangu deposisi obat dalam mulut


(orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga
mengurangi efek sistemik. Sebaliknya, deposisi dalamm paru lebih baik
sehingga didapat efek terapeutik yang lebih baik. Obat hirupan dalam bentuk
bubuk kering (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler) memerlukan
inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.
Sebagian alat bantu yaitu Spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber,
Babyhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas gelas
atau botol minuman atau menggunakan botol susu dengan dot susu yang telah
dipotong untuk anak kecil dan bayi.

Kurangnya pengertian mengenai cara-cara pengobatan yang benar akan


mengakibatkan asma salalu kambuh. Jika pengobatannya dilakukan secara
dini, benar dan teratur maka serangan asma akan dapat ditekan seminimal
mungkin.

Pada prinsipnya tata cara pengobatan asma dibagi atas:


1. Pengobatan Asma Jangka Pendek
2. Pengobatan Asma Jagka Panjang

Pengobatan Asma Jangka Pendek

Pengobatan diberikan pada saat terjadi serangan asma yang hebat, dan terus
diberikan sampai serangan merendah, biasanya memakai obat-obatan yang
melebarkan saluran pernapasan yang menyempit.

Tujuan pengobatannya untuk mengatasi penyempitan jalan napas, mengatasi


sembab selaput lendir jalan napas, dan mengatasi produksi dahak yang
berlebihan. Macam obatnya adalah:
Obat untuk mengatasi penyempitan jalan napas

Obat jenis ini untuk melemaskan otot polos pada saluran napas dan
dikenal sebagai obat bronkodilator. Ada 3 golongan besar obat ini,
yaitu:

- Golongan Xantin, misalnya Ephedrine HCl (zat aktif dalam Neo

A. Napacin)
- Golongan Simpatomimetika
- Golongan Antikolinergik

Walaupun secara legal hanya jenis obat Ephedrine HCl saja yang dapat
diperoleh penderita tanpa resep dokter (takaran < 25 mg), namun tidak
tertutup kemungkinannya penderita memperoleh obat anti asma yang
lain.
Obat untuk mengatasi sembab selaput lendir jalan napas

Obat jenis ini termasuk kelompok kortikosteroid. Meskipun efek

B. sampingnya cukup berbahaya (bila pemakaiannya tak terkontrol),


namun cukup potensial untuk mengatasi sembab pada bagian tubuh
manusia termasuk pada saluran napas. Atau dapat juga dipakai
kelompok Kromolin.

Obat untuk mengatasi produksi dahak yang berlebihan.

Jenis ini tidak ada dan tidak diperlukan. Yang terbaik adalah usaha
untuk mengencerkan dahak yang kental tersebut dan mengeluarkannya
C. dari jalan napas dengan refleks batuk.

Oleh karenanya penderita asma yang mengalami ini dianjurkan untuk


minum yang banyak. Namun tak menutup kemungkinan diberikan obat
jenis lain, seperti Ambroxol atau Carbo Cystein untuk membantu.

Pengobatan Asma Jangka Panjang

Pengobatan diberikan setelah serangan asma merendah, karena tujuan


pengobatan ini untuk pencegahan serangan asma.
Pengobatan asma diberikan dalam jangka waktu yang lama, bisa berbulan-
bulan sampai bertahun-tahun, dan harus diberikan secara teratur. Penghentian
pemakaian obat ditentukan oleh dokter yang merawat.

Pengobatan ini lazimnya disebut sebagai immunoterapi, adalah suatu sistem


pengobatan yang diterapkan pada penderita asma/pilek alergi dengan cara
menyuntikkan bahan alergi terhadap penderita alergi yang dosisnya dinaikkan
makin tinggi secara bertahap dan diharapkan dapat menghilangkan
kepekaannya terhadap bahan tersebut (desentisasi) atau mengurangi
kepekaannya (hiposentisisasi).

Dalam mengatasi dan mencegah asma paling tidak meminimalisir terjadinya


serangan asma secara tiba-tiba, kita perlu mengetahui bagaimana tata
pelaksanaan dalam menanggani asma

ALGORITMA
PENATALAKSANAAN SERANGAN ASMA DI RUMAH

Penilaian berat serangan


Klinis : Gejala (batuk, sesak, mengi, dada terasa berat) yang bertambah
APE , 80% nilai terbaik / prediksi

Terapi awal
Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat
(setiap 20 menit, 3 kali dalam 1 jam), atau Bronkodilator oral

Su
mb
er :
PD
PI,
As
ma.
Pe
do
ma
n & Penatalaksanaan Di Indonesia, 2004
Algoritma Penatalaksanaan Asma Di Rumah Sakit

-
Penilaian Awal

Riwayat dan pemeriksaan fisik

(auskultasi, otot bantu napas, denyut jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau
VEP1, saturasi O2), AGDA dan pemeriksaan lain atas indikasi

Serangan Asma Ringan Serangan Asma Sedang/Berat Serangan Asma Mengancam Jiwa

Pengobatan Awal

 Oksigenasi dengan kanul nasal


 Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (nebulisasi), setiap 20 menit dalam satu jam) atau agonis beta-2
injeksi (Terbutalin 0,5 ml subkutan atau Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan)
 Kortikosteroid sistemik :
- serangan asma berat,tidak ada respons segera dengan pengobatan bronkodilator, dalam
kortikosterois oral

Penilaian Ulang setelah 1 jam

Pem.fisis, saturasi O2, dan pemeriksaan lain atas indikasi

Respons baik Respons Tidak Sempurna Respons buruk dalam 1 jam

 Respons baik dan stabil dalam  Resiko tinggi distress  Resiko tinggi distress
60 menit  Pem.fisis : gejala ringan – sedang  Pem.fisis : berat, gelisah dan
 Pem.fisi normal  APE > 50% terapi < 70% kesadaran menurun
 APE >70% prediksi/nilai  Saturasi O2 tidak perbaikan  APE < 30%
terbaik  PaCO2 < 45 mmHg
 PaCO2 < 60 mmHg
Pulang Dirawat di RS Dirawat di ICU
 Pengobatan dilanjutkan  Inhalasi agonis beta-2 + anti— Inhalasi agonis beta-2 + anti
dengan inhalasi agonis beta-2 kolinergik kolinergik
 Membutuhkan kortikosteroid  Kortikosteroid sistemik Kortikosteroid IV
oral  Aminofilin drip Pertimbangkan agonis beta-2 injeksi
 Edukasi pasien  Terapi Oksigen pertimbangkan kanul SC/IM/IV
- Memakai obat yang nasal atau masker venturi Aminofilin drip
benar  Pantau APE, Sat O2, Nadi, kadar Mungkin perlu intubasi dan ventilasi
- Ikuti rencana pengobatan teofilin mekanik
selanjutnya

Perbaikan Tidak Perbaikan

Pulang
Dirawat di ICU
Bila APE > 60% prediksi / terbaik. Tetap Bila tidak perbaikan dalam 6-12 jam
berikan pengobatan oral atau inhalasi

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan Di


Indonesia, , 2004.
Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak

Klinik / IGD

Nilai derajat serangan(1)


(sesuai tabel 3)

Tatalaksana awal
 nebulisasi -agonis 1-3x, selang 20 menit (2)
 nebulisasi ketiga + antikolinergik
 jika serangan berat, nebulisasi. 1x
(+antikoinergik)

Serangan berat
Serangan ringan Serangan sedang
(nebulisasi 1-3x, respons (nebulisasi 1-3x, (nebulisasi 3x,
baik, gejala hilang) respons parsial) respons buruk)
 observasi 2 jam  berikan oksigen (3)  sejak awal berikan
 jika efek bertahan,  nilai kembali derajat O2 saat / di luar
boleh pulang nebulisasi
serangan, jika
 jika gejala timbul sesuai dgn  pasang jalur
serangan sedang, parenteral
 nilai ulang

Ruang Rawat Inap


Boleh pulang Ruang Rawat  oksigen teruskan
 bekali obat - Sehari/observasi  atasi dehidrasi dan
agonis (hirupan /  oksigen teruskan asidosis jika ada
oral)  berikan steroid oral  steroid IV tiap 6-8
 jika sudah ada  nebulisasi tiap 2 jam jam
obat pengendali,  bila dalam 12 jam  nebulisasi tiap 1-2
teruskan perbaikan klinis stabil, jam
 jika infeksi virus
sbg. pencetus,
boleh pulang, tetapi  aminofilin IV awal,
jika klinis tetap belum lanjutkan
dapat diberi membaik atau
rumatanjika
meburuk, alih rawat ke
Ruang Rawat Inap membaik dalam
4-6x nebulisasi,
Catatan: interval jadi 4-6
1. Jika menurut penilaian serangannya berat, nebulisasi cukup jam
1x langsung dengan -agonis + antikolinergik  jika dalam 24 jam
2. Bila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang perbaikan klinis
Rawat Intensif
3. Jika tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan
adrenalin subkutan 0,01ml/kgBB/kali maksimal 0,3ml/kali
4. Untuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2-4
L/menit diberikan sejak awal, termasuk saat nebulisasi
LO 1.9 Komplikasi
a. Pneumothorax
Keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga pleura, sehingga
paru – paru kesulitan untuk mengembang.
b. Pneumodiastinum
Adanya udara atau gas bebas yang ditemukan pada mediastinum.
c. Emfisema
Pembesaran permanen abnormal ruang udara distal ke bronkiolus terminal,
disertai dengan kerusakan dinding alveolar dan tanpa fibrosis yang jelas.
d. Atelektasis
pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paruakibat penyumbatan saluran
udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat
dangkal.
e. Bronchitis
Peradangan pada cabang tenggorokan/ bronkus.
f. Gagal nafas

g. Perubahan bentuk thorax


Thorax membungkuk kedepan dan memanjang. Pada foto rontgen terlihat
diafragma letaknya rendah, gambaran jantung menyempit, hilus kiri dan
kanan bertambah. Pada asma berat dapat terjadi bentuk dada burung
(pektus karinatum/ pigeon chest) dan tampak sulkus Harrison.

LO 1.10 Pencegahan
Pencegahan Primer
Ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan resiko asma (orangtua
asma), dengan cara:

 Penghindaran Asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/ anak
 Diet Hipoalergenik ibu hamil, asalkan/ dengan syarat diet tersebut tidak
mengganggu asupan janin
 Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan
 Diet Hipoalergenik ibu menyusui
Pencegahan Sekunder
Ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah tersentisisasi
dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam ruangan
terutama tungau debu rumah
Pencegahan Tersier
Ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah
menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter yang
dikenal dengan nama ETAC study (early treatment of atopic children)
mendapatkan bahwa pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak atopi
dengan dermatitis atopi dan igE spesifik terhadap serbuk rumput (pollen) dan
tungau debu rumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50% perlu
ditekankan bahwa pemberian Setirizin pada penelitian ini bukan sebagai
pengendali asma (controller)

LO 1.11 Prognosis
Pada umumnya prognosis pada kasus asma cukup baik. Hal tersebut
dikarenakan asma merupakan penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya.
Namun, apabila tidak dilakukan penanganan dapat menyebabkan kematian.
Hal tersebut berdasarkan data yang diperoleh dari WHO. WHO
memperkirakan pada tahun 2005, terdapat 255.000 didunia meninggal karena
asma. Sebagian besar (  80%) terjadi dinegara berkembang.

LI 2. Memahami dan menjelaskan terapi inhalasi


Pemberian obat pada asma dapat berbagai macam, yaitu parenteral, peroral, dan
perinhalasi. Pemberian perinhalasi adalah pemebrian obat secara langsung kedala
saluran napas melalu penghisapan. Pada asma penggunaan obat secara inhalasi dapat
mengurangi efek samping berupa gangguan gastrointestinal dan yg lainya yg sering
terjadi pada pemberian parenteral atau peroral. Hal tersebut dimungkinkan karena dosis
yang digunakan pada terapi inhalasi sangat kecil dibandingkan dengan pengobatan
parenteral atau peroral. Terapi pada dewasa telah banyak digunakan dan keberhasilnaya
cukup baik, tetapi pada anak belum banyak.
Prinsip terapi inhalasi
Prinsip farmakologis terapi inhalasi yang ideal untuk penyakit saluran napas adalah obat
dapat sampai pada organ target dengan menghasilkan partikel aerosol berukuran
optimal agar terdeposisi di paru, onset kerjanya cepat, dosis obat kecil, efek samping
minimal karena konsentrasi obat di dalam darah sedikit atau rendah, mudah digunakan,
serta efek terapeutik tercapai yang ditandai dengan tampaknya perbaikan klinis.
Meskipun saluran napas mempunyai beberapa mekanisme antara lain refleks batuk,
bersin serta klirens mukosilier yang akan melindungi terhadap masuk dan
mengendapnya partikel obat sehingga akan mengeliminasi obat inhalasi. Namun dengan
memperhatikan metode untuk menghasilkan aerosol serta cara penyampaian/delivery
obat yang akan mempengaruhi ukuran partikel yang dihasilkan dan jumlah obat yang
mencapai berbagai tempat di saluran napas maka diharapkan obat terdeposisi secara
efektif.
Ukuran partikel akan mempengaruhi sampai sejauh mana partikel menembus saluran
napas. Partikel berukuran > 15 mm tersaring oleh filtrasi rambut hidung sedangkan > 10
mm akan mengendap di hidung dan nasofaring. Partikel yang besar ini terutama
mengendap karena benturan inersial bila terdapat aliran udara yang cepat disertai
perubahan arah atau arus urbulen. Partikel berukuran 0,5 – 5 mm akan mengendap
secara sedimentasi karena gaya gravitasisedangkan partikel berukuran < 0,1 mm
akanmengendap karena gerak Brown. Dengan demikian untuk mendapatkan manfaat
obat yang optimal, obat yang diberikan secara inhalasi harus dapat mencapai tempat
kerjanya di dalam saluran pernapasan. Bentuk aerosol yang digunakan yaitu suspensi
partikel di dalam gas, dan partikel dalam aerosol yang mempunyai ukuran berkisar 2-10
Ïm atau 1-7 Ïm Penelitian lainnya mendapatkan bahwa partikel berukuran 1-8 Ïm
mengalami benturan dan pengendapan di saluran nafas besar, kecil, dan alveoli.
Jenis terapi inhalasi
Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak
mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di
saluran napas atas serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat, atau orang tua. Namun
keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapai dan masing-masing jenis alat
terapi inhalasi mempunyai beberapa keuntungan dan kerugian. Hingga saat ini dikenal 3
sistem inhalasi yang digunakan dalam klinik sehari-hari yaitu,:
1. Nebuliser
2. Metered dosed inhaler aerosol ( dengan atau tanpa spacer / alat penyambung)
3. Dry powder inhaler

1. Nebuliser
Alat nebuliser dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara
terus menerus dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau
gelombang ultrasonik sehingga dalam prakteknya dikenal 2 jenis alat nebuliser yaitu
ultrasonic nebulizer dan jet nebuliser. Hasil pengobatan dengan nebulizer lebih
banyak bergantung pada jenis nebuliser yang digunakan. Terdapat nebuliser yang
dapat menghasilkan partikel aerosol terus menerus ada juga yang dapat diatur
sehingga aerosol hanya timbul pada saat penderita melakukan inhalasi sehingga
obat tidak banyak terbuang.
Keuntungan terapi inhalasi menggunakan nebuliser adalah tidak atau sedikit
memerlukan koordinasi pasien, hanya memerlukan pernafasan tidal, beberapa jenis
obat dapat dicampur (misalnya salbutamol dan natrium kromoglikat).
Kekurangannya adalah karena alat cukup besar, memerlukan sumber tenaga listrik
dan relatif mahal.
• Ultrasonic nebuliser
Alat ini menghasilkan aerosol melalui osilasi frekuensi tinggi dari piezo-electric
crystal yang berada dekat larutan dan cairan memecah menjadi aerosol.
Keuntungan jenis nebuliser ini adalah tidak menimbulkan suara bising dan terus
menerus dapat mengubah larutan menjadi aerosol sedangkan kekurangannya
alat ini mahal dan memerlukan biaya perawatan lebih besar.
• Jet nebuliser
Alat ini paling banyak digunakan banyak Negara karena relatif lebih murah
daripada ultrasonic nebuliser. Dengan gas jet berkecepatan tinggi yang berasal
dari udara yang dipadatkan dalam silinder ditiupkan melalui lubang kecil dan
akan dihasilkan tekanan negatif yang selanjutnya akan memecah larutan menjadi
bentuk aerosol. Aerosol yang terbentuk dihisap pasien melalui mouth piece atau
sungkup. Dengan mengisi suatu tempat pada nebuliser sebanyak 4 ml maka
dihasilkan partikel aerosol berukuran < 5 Ïm, sebanyak 60-80% larutan
nebulisasi akan terpakai dan lama nebulisasi dapat dibatasi. Dengan cara yang
optimal maka hanya 12% larutan akan terdeposit di paru-paru.7 Bronkodilator
yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi yang
bermakna tanpa menimbulkan efek samping.

2. Metered dose inhaler (MDI)


Metered dose inhaler (MDI) atau inhaler dosis terukur merupakan cara inhalasi
yang memerlukan teknik inhalasi tertentu agar sejumlah dosis obat mencapai
saluran pernafasan. Pada inhaler ini bahan aktif obat disuspensikan dalam kurang
lebih 10 ml cairan pendorong (propelan) dan yang biasa digunakan adalah
kloroflurokarbon (chlorofluorocarbon = CFC) pada tekanan tinggi. Akhir-akhir ini
mulai dikembangkan penggunaan bahan non-CFC yaitu hidrofluroalkana (HFA)
yang tidak merusak lapisan ozon. Propelan mempunyai tekanan uap tinggi sehingga
di dalam tabung (kanister) tetap berbentuk cairan. Bila canister ditekan, aerosol
disemprotkan keluar dengan kecepatan tinggi yaitu 30 m/detik dalam bentuk droplet
dengan dosis tertentu melalui aktuator (lubang). Pada ujung aktuator ukuran partikel
berkisar 35 Ïm, pada jarak 10 cm dari kanister besarnya menjadi 14 Ïm, dan setelah
propelan mengalami evaporasi seluruhnya ukuran partikel menjadi 2,8-4,3 Ïm.
Dengan teknik inhalasi yang benar maka 80% aerosol akan mengendap di mulut dan
orofarings karena kecepatan yang tinggi dan ukurannya besar, 10% tetap berada
dalam aktuator, dan hanya sekitar 10% aerosol yang disemprotkan akan sampai ke
dalam paru-paru.
Pada cara inhalasi ini diperlukan koordinasi antara penekanan kanister dengan
inspirasi napas. Untuk mendapatkan hasil optimal maka pemakaian inhaler ini
hendaklah dikerjakan sebagai berikut:
1. terlebih dahulu kanister dikocok agar obat tetap homogen, lalu tutup kanister
dibuka
2. inhaler dipegang tegak kemudian pasien melakukan ekspirasi maksimal secara
perlahan
3. mulut kanister diletakkan diantara bibir, lalu bibir dirapatkan dan dilakukan
inspirasi perlahan sampai maksimal
4. pada pertengahan inspirasi kanister ditekan agar obat keluar
5. pasien menahan nafas 10 detik atau dengan menghitung 10 hitungan pada
inspirasi maksimal
6. setelah 30 detik atau 1 menit prosedur yang sama diulang kembali
7. setelah proses selesai, jangan lupa berkumur untuk mencegah efek samping.
Langkah-langkah di atas harus dilaksanakan sebelum pasien menggunakan obat
asma jenis MDI. Langkah di atas sering tidak diikuti sehingga pengobatan asma
kurang efektif dan timbul efek samping yang tidak diinginkan. Beberapa ahli
mengidentifikasi beberapa kesalahan yang sering dijumpai antara lain kurangnya
koordinasi pada saat menekan kanister dan saat menghisap, terlalu cepat inspirasi,
tidak berhenti sesaat setelah inspirasi, tidak mengocok kanister sebelum digunakan,
dan terbalik pemakaiannya. Kesalahankesalahan di atas umumnya dilakukan oleh
anak yang lebih muda, manula, wanita, dan penderita dengan social ekonomi dan
pendidikan yang rendah.
MDI dengan spacer
Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara aktuator dengan mulut
sehingga kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang dan akan
dihasilkan partikel berukuran kecil yang berpenetrasi ke saluran pernafasan perifer.
Hal ini merupakan kelebihan dari penggunaan spacer karena mengurangi
pengendapan di orofaring. Spacer ini berupa tabung (dapat bervolume 80 ml)
dengan panjang sekitar 10-20 cm, atau bentuk lain berupa kerucut dengan volume
700-1000 ml. Untuk bayi dianjurkan menggunakan spacer volume kecil (babyhaler)
agar aerosol yang dihasilkan lebih mampat sehingga lebih banyak obat akan
terinhalasi pada setiap inspirasi. Beberapa alat dilengkapi dengan katup satu arah
yang akan terbuka saat inhalasi dan akan menutup pada saat ekshalasi misalnya
Nebuhaler (Astra), Volumatic (A&H). Pengendapan di orofaring akan berkurang
yaitu sekitar 5% dosis yang diberikan bila digunakan spacer dengan katup satu arah.
Pada spacer tanpa katup satu arah, pengendapan di orofaring sekitar 8-60% dosis.
Dengan penggunaan spacer, deposit pada paru akan meningkat menjadi 20%
dibandingkan tanpa spacer. Penggunaan spacer ini sangat menguntungkan pada
anak karena pada anak koordinasinya belum baik. Dengan bantuan spacer,
koordinasi pada saat menekan kanister dengan saat penghisapan dapat dikurangi
atau bahkan tidak memerlukan koordinasi. Apabila spacer ini tidak tersedia maka
sebagai penggantinya bisa digunakan spacer sederhana yang murah dan mudah
dibuat yaitu dari plastic coffee cup yang dilubangi dasarnya untuk tempat aerosol.
Cara ini sudah terbukti bermanfaat hanya untuk bronkodilator dan belum dibuktikan
berguna untuk natrium kromoglikat dan steroid.
Easyhaler
Easyhaler adalah inhaler serbuk multidosis yang merupakan alternatif dari MDI.
Komponennya terdiri dari plastik dan cincin stainless steel dan mengandung serbuk
untuk sekurang-kurangnya 200 dosis. Masing-masing dosis obat dihitung secara
akurat dengan cara menekan puncak alat (overcap) yang akan memutari silinder
(metering cylindric) pada bagian bawah alat tersebut. Cekungan dosis berisi
sejumlah obat berhubungan langsung dengan mouth piece. Saluran udara ke arah
mouthpiece berbentuk corong dengan tujuan untuk mengoptimalkan deposisi obat di
saluran napas. Terdapat takaran dosis yang berguna untuk memberi informasi
kepada pasien mengenai sisa dosis obat. Pelindung penutup berguna untuk
mencegah kelembaban. Partikel obat yang halus (<10 Ï) sulit untuk melayang jauh
dan cenderung untuk menggumpal, oleh karena itu zat aktif tersebut dicampur
dengan sejumlah kecil laktosa yang berperan sebagai pembawa. Pada easyhaler
ukuran partikel laktosa cukup besar untuk deposit di saluran napas bawah sehingga
diharapkan akan jatuh di orofaring. Keadaan ini mempunyai keuntungan untuk
memberitahukan pada penderita bahwa obatnya benar terhisap dengan rasa manis di
mulut.
3. Dry Powder Inhaler
Pada awalnya di tahun 1957 jenis inhaler ini digunakan untuk delivery serbuk
antibiotik. Selanjutnya banyak penelitian uji klinis yang menunjukkan bahwa DPI
bisa digunakan untuk pengobatan asma anak. Dalam perkembangannya pada tahun
1970 dibuat inhaler yang hanya memuat serbuk kering dosis tunggal seperti
misalnya spinhaler dan rotahaler, dan akhir tahun 1980 diperkenalkan inhaler yang
memuat multiple dosis yaitu yang dikenal dengan diskhaler (8 dosis) dan turbuhaler.
Beberapa tahun terakhir ini diperkenalkan diskus (di Inggris dikenal dengan
accuhaler) yang memuat 60 dosis dan dapat dipergunakan untuk 1bulan terapi.6
Inhaler jenis ini tidak mengandung propelan sehingga mempunyai kelebihan dari
MDI. Penggunaan obat serbuk kering pada DPI memerlukan inspirasi yang cukup
kuat. Pada anak yang kecil hal ini sulit dilakukan mengingat inspirasi kuat belum
dapat dilakukan, sehingga deposisi obat pada saluran pernafasan berkurang. Pada
anak yang lebih besar, penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena
kurang memerlukan koordinasi dibandingkan dengan MDI. Dengan cara ini
deposisi obat di dalam paru lebih tinggi dan lebih konstan dibandingkan MDI
sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun. Cara DPI ini tidak
memerlukan spacer sebagai alat bantu sehingga mudah dibawa dan dimasukkan ke
dalam saku. Hal ini yang juga memudahkan pasien dan lebih praktis

Terapi inhalasi pada asma


Pada tata laksana asma harus dibedakan dua hal penting yaitu tata laksana serangan dan
tata laksana jangka panjang. Seorang anak yang telah didiagnosis asma harus ditentukan
klasifikasinya. Berdasarkan Konsensus Nasional Penanganan Asma (KNAA) klasifikasi
asma di luar serangan adalah asma episodik jarang, episodic sering, dan asma
persisten.23 Pada asma episodik jarang, tidak diperlukan obat pengendali (controller)
untuk tata laksana jangka panjangnya sedangkan pada asma episodik sering dan asma
persisten harus diberikan obat pengendali. Obat pengendali dari golongan antiinflamasi
yang sering digunakan adalah budesonid, beklometason dipropionat, flutikason, dan
golongan natrium kromoglikat.23 Bila terjadi serangan maka digunakan obat pereda
(reliever). Obat yang sering digunakan yaitu golongan bronkodilator seperti metilsantin
(teofilin), agonis, dan ipratropium bromida.
Obat-obat ini dapat digunakan secara oral, parenteral, dan inhalasi, tetapi untuk
metilsantin pemberian secara oral dan intravena lebih dipilih daripada inhalasi karena
obat ini menyebabkan iritasi saluran napas.Telah diketahui secara luas bahwa obat
antiinflamasi yang sering digunakan adalah golongan steroid. Mekanisme dasar asma
adalah terjadinya reaksi inflamasi sehingga pengendalian dengan obat antiinflamasi
sangat dianjurkan pada asma episodik sering dan persisten. Namun harus disadari
penggunaan kortikosteroid jangka panjang peroral atau parenteral dapat mengganggu
tumbuh kembang anak secara keseluruhan selain efek samping lain yang mungkin
timbul seperti hipertensi dan moon-face. Untuk itu pemberian inhalasi sangat
dianjurkan. Jenis terapi inhalasi yang diberikan dapat disesuaikan dengan usia pasien
dan patokan ini tidak berlaku secara kaku. Patokan yang diajukan oleh Dolovich dan
Everard di bawah ini dapat dipakai sebagai acuan.
Bagaimana sebenarnya penggunaan obat inhalasi pada asma anak dapat diterangkan
sebagai berikut:
Tata laksana saat serangan Pada saat serangan obat yang digunakan adalah obat
golongan bronkodilator dan yang sering digunakan yaitu β2 agonis yang dapat
diberikan sendiri atau bersama-sama dengar ́ipratropium bromid. Pada serangan asma
yang ringan obat inhalasi yang diberikan hanya β2 agonis saja meskipun ada juga yang
menambahkan dengan ipratropium bromida. Schuch dkk dalam penelitiannya
mendapatkan bahwa dengan menggunakan β2 agonis saja dapat meningkatkan FEV dan
menghilangkan gejala serangannya, sedangkan penambahan ipratropium bromida akan
meningkatkan FEV1 yang lebih tinggi lagi. Pada serangan asma yang berat, KNAA
menganjurkan pemberian β2 agonis bersama-sama dengan ipratropium
bromid.Pemberian cara nebulizer untuk usia 18 bulan- 4 tahun dianjurkan menggunakan
mouthpiece daripada masker muka untuk menghindarkan deposisi obat di muka dan
mata.
Apabila dengan pemberian inhalasi obat tersebut serangan asma tidak
teratasi/sedikit perbaikan maka dapat diberikan steroid sistemik. Pemberian steroid
sistemik perlu diperhatikan pada anak dengan serangan asma yang sering karena anak
ini berisiko mengalami efek samping akibat pemberian steroid sistemik berulang kali
seperti supresi adrenal, gangguan pertumbuhan tulang, dan osteoporosis. Untuk
mengurangi pemberian steroid oral berulang, maka sebagai alternatifnya dapat
diberikan inhalasi budesonid dosis tinggi (1600 mg perhari) pada anak yang serangan
asmanya tidak teratasi dengan penanganan inhalasi β2 agonis di rumah dan mereka
belum/tidak perlu perawatan di rumah sakit. Penggunaan obat pereda secara inhalasi
pada serangan asma sangat bermanfaat dan justru sangat dianjurkan, namun demikian
penggunaannya masih belum banyak. Hal ini dimungkinkan karena penggunaannya
yang belum banyak diketahui dan harga obat masih mahal. Hal ini berlaku bukan hanya
di Indonesia, tetapi juga berlaku di negara maju. Penggunaannya pada orang dewasa
lebih banyak dibandingkan dengan anak. Tata laksana di luar serangan Obat inhalasi di
luar serangan asma hanya diberikan apabila memerlukan obat pengendali; yang biasa
digunakan adalah natrium kromoglikat dan golongan steroid. Natrium kromoglikat
menurut KNAA diberikan apabila termasuk asma episodik sering sedangkan
penggunaan steroid dapat diberikan pada asma episodik sering dan asma persisten.
Natrium kromoglikat menunjukkan absorbsi yang tidak baik sehingga hanya efektif bila
diberikan secara inhalasi. Obat ini tersedia dalam nebuliser solution , serbuk aerosol
dan aerosol dengan dosis 20 mg untuk nebulizer atau 2 mg secara aerosol.
Penggunaan steroid pada asma anak masih jarang mengingat samping yang
mungkin ditimbulkan. Namun beberapa peneliti telah membuktikan bahwa dengan
penggunaan yang tepat dengan dosis, cara, dan jenis yang sesuai maka efek samping
dapat dikurangi. Penggunaan obat inhalasi yang salah akan meningkatkan efek samping
seperti jamur/kandidiasis di daerah mulut, suara serak, dan efek lainnya. Dengan
inhalasi sebagian obat juga akan beredar ke seluruh tubuh melalui sistem
gastrointestinal dan selanjutnya akan dielimininasi melalui hati sehingga dalam
peredaran sistemik kadarnya berkurang. Obat yang baik adalah yang dapat elimininasi
tubuh dengan baik artinya kadar di dalam sirkulasi menjadi kecil. Penggunaan steroid
inhalasi pada asma episodik sering dan asma persisten memerlukan waktu yang lama
dan dosis yang mungkin bervariasi. Pada awal pengobatan dapat diberikan dosis tinggi
(400-800 mg per hari) dan diturunkan secara perlahan sampai tercapai dosis optimum
untuk anak tersebut dan dipertahankan pada dosis optimum untuk beberapa lama dan
kemudian diturunkan secara bertahap sampai pada akhirnya kalau memungkinkan tidak
digunakan samasekali. Penggunaan waktu lama (sekitar 2-3 tahun) dengan dosis 400
mg perhari tidak mengganggu proses tumbuh kembang anak. Untuk bayi dan anak
berusia di bawah 4 tahun yang memerlukan steroid inhalasi dapat digunakan suspensi
budesonide inhalasi (pulmicort respules) yang diberikan dengan nebuliser. Jadi
penggunaan steroid inhalasi dapat lebih aman apabila kita mengetahui cara
penggunaannya.

Obat-obat yang umum digunakan


Takaran obat, cairan, dan waktu untuk nebulisasi
Cairan , Obat, Waktu Nebulisasi jet Nebulisasi ultrasonik
Garam faali (NaCl 0,9%) 5 ml 10 ml
b-agonis/antikolinergik/steroid Lihat tabel 2
Waktu 10-15 menit 3-5 menit

Obat untuk nebulisasi, jenis dan dosis


Nama generik Nama dagang Sediaan Dosis nebulisasi
Golongan b-agonis
Fenoterol Berotec Solution 0,1% 5-10 tetes
Salbutamol Ventolin Nebule 2,5 mg 1 nebule (0,1-0,15
mg/kg)
Terbutalin Bricasma Respule 2,5 mg 1 repsule

Golongan antikolinergik
Ipratropium Atroven Solution 0,025% > 6 thn : 8-20 tetes
bromide
£ 6 thn : 4-10 tetes

Golongan steroid
Budesonide Pulmicort Respule
Fluticasone Flixotide Nebule
Sediaan steroid yang dapat digunakan untuk serangan asma
Steroid Oral :
Nama Nama Dagang Sediaan Dosis
Generik
Prednisolon Medrol, Medixon Tablet 1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
Lameson, Urbason 4 mg
Prednison Hostacortin, Tablet 1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
Pehacort, Dellacorta
5 mg
Triamsinolon Kenacort Tablet 1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
4 mg

Steroid Injeksi :
Nama Generik Nama Dagang Sediaan Jalur Dosis
M. prednisolon Solu-Medrol Vial 125 mg IV / IM 1-2 mg/kg
Suksinat Medixon Vial 500 mg tiap 6 jam
Hidrokortison- Solu-Cortef Vial 100 mg IV / IM 4 mg/kgBB/x
Suksinat
Silacort Vial 100 mg tiap 6 jam
Deksametason Oradexon Ampul 5 mg IV / IM 0,5-1mg/kgBB bolus,
dilanjutkan 1
Kalmetason Ampul 4 mg
mg/kgBB/hari
Fortecortin Ampul 4 mg diberikan tiap 6-8 jam

Corsona Ampul 5 mg
Betametason Celestone Ampul 4 mg IV / IM 0,05-0,1 mg/kgBB tiap
6 jam

You might also like