Professional Documents
Culture Documents
LO 1.2 Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma bronkhial.
Faktor predisposisi:
Genetik
Faktor presipitasi
Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya
serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim,
seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan
dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala
asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami
stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya
belum bisa diobati.
Faktor Resiko
Secara umum faktor risiko asma dibagi kedalam dua kelompok besar, faktor
risiko yang berhubungan dengan terjadinya atau berkembangnya asma dan
faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya eksaserbasi atau serangan
asma yang disebut trigger faktor atau faktor pencetus3). Adapun faktor risiko
pencetus asma bronkial yaitu:
1. Asap Rokok
2. Tungau Debu Rumah
3. Jenis Kelamin
4. Binatang Piaraan
5. Jenis Makanan
6. Perabot Rumah Tangga
7. Perubahan Cuaca
8. Riwayat Penyakit Keluarga
LO 1.3 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya
Asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe,yaitu :
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor
pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-
obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering
dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.
Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang
disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari
bentuk alergik dan non-alergik.
1. Intermitten
Gejala kurang dari 1 kali/minggu
Serangan singkat
Gejala nokturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan (≤ 2 kali)
FEV1≥80% predicted atau PEF ≥80% nilai terbaik individu
Variabilitas PEF atau FEV1 < 20%
2. Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Geajala nokturnal >2 kali/bulan
FEV1≥80% predicted atau PEF ≥80% nilai terbaik individu
Variabilitas PEF atau FEV1 20-30%
3. Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala nokturnal > 1 kali dalam seminggu Menggunakan agonis 𝛽2 kerja pendek
setiap hari
FEV1 60-80% predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu
Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%
4. Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari
Serangan sering terjadi
Gejala asma nokturnal sering terjadi
FEV1 ≤ predicted atau PEF ≤ 60% nilai terbaik individu
Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%
Pembagian lain derajat penyakit asma
dibuat oleh Phelan dkk. (dikutip dari
3. Asma persisten
Terjadi pada sekitar 5% anak asma. Ditandai oleh seringnya episode akut, mengi
pada aktivitas ringan, dan di antara interval gejala dibutuhkan agonis 𝛽2 lebih dari 3
kali/minggu
Arena anak terbangun di malam hari atau dada terasa berat di pagi
hari. Terapi profilaksis sangat dibutuhkan
LO 1.5 Patofisiologis
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang
menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas
bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada
asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut, seorang yang
alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE
abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila
reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama
melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan
erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil.
Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran nafas. Inflamasi
ditandai dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi) dan rubor
(kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor
(rasa sakit karena rangsangan sensoris) dan functio laesa (fungsi yang
terganggu). Akhir-akhir ini syarat terjadinya radang harus disertai satu syarat
lagi, yaitu infiltrasi sel-sel radang. Ternyata keenam syarat tadi dijumpai pada
asma tanpa membedakan penyebabnya baik yang alergik maupun non alergik.
Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non alergik
dijumpai adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran nafas. Oleh karena itu,
paling tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut. Jalur
imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada
jalur IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen
Presenting Cell; sel penyaji antigen), untuk selanjutnya hasil olahan alergen
akan dikomunikasikan kepada sel Th (sel T helper; penolong). Sel Th inilah
yang akan memberikan instruksi melalui IL (interleukin) atau sitokin agar sel-
sel plasma membentuk IgE, serta sel-sel radang lain seperti mastosit,
makrofage, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk
mengeluarkan mediator-mediator inflamasi. Mediator inflamasi seperti
histamin, prostaglandin (PG), leukotrin (LT), platelet activating factor (PAF),
bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain akan mempengaruhi organ sasaran
sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskuler, edema
saluran nafas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus dan fibrosis sub epitel,
sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran nafas (HSN). Jalur non alergik
selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang sistem saraf autonom
dengan hasil akhir berupa inflamasi dan HSN.
Hiperaktivitas Saluran Nafas (HSN)
Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran nafas
pasien asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan
(debu), zat kimia (histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada
asma alergik, selain peka terhadap rangsangan tersebut di atas pasien juga
sangat peka terhadap alergen yang spesifik. Sebagian HSN diduga didapat
sejak lahir, tetapi sebagian lagi didapat.
Berbagai keadaan dapat meningkatkan hiperekativitas saluran nafas seseorang,
yaitu:
b) Kerusakan Epitel
Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Pada asma
kerusakan bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan struktur ini
akan meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi serta
mengakibatkan iritasi ujung-ujung saraf autonom sering lebih mudah
terangsang. Sel-sel epitel bronkhus sendiri sebenarnya mengandung
mediator yang dapat bersifat sebagai bronkodilator. Kerusakan sel-sel
epitel bronkhus akan mengakibatkan bronkokonstriksi lebih mudah terjadi.
c) Mekanisme Neurologis
Pada pasien asma terdapat peningkatan respon saraf parasimpatis
d) Gangguan Intrinsik
Otot polos saluran nafas dan hipertrofi otot polos pada saluran nafas
diduga berperan dalam HSN
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih
nyaman dalam posisi duduk
Jantung : Pekak jantung mengecil, takikardi
Paru
a. Inspeksi : Dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong
kebawah
b. Auskultasi : Terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang
c. Perkusi : Hipersonor
d. Palpasi : Fremitus vokal kanan sama dengan kiri
(Muttaqin, 2008)
Berdasarkan konsep B6, pemeriksaan fisik untuk asma secara spesifik
mencakup :
B1 (Breathing)
a. Inspeksi
Pada klien terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan,
serta penggunaan otot bantu pernapasan. Inspeksi dada terutama melihat
postur bentuk dan kesimetrisan, adanya peningkatan diameter antero
posterior, retraksi otot-otot intercostalis, sifat dan irama pernapasan dan
frekuensi napas.
b. Palpasi
Pada palpasi biasanya amati kesimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus
normal
c. Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sama hipersonor sedangkan
diafragma menjadi datar dan rendah.
d. Auskultasi
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan ekspirasi lebih
dari 4 detik atau 3 kali ekspirasi, dengan bunyi tambahan napas tambahan
utama wheezing pada akhir ekspirasi.
B2 (Blood)
Monitor dampak asma pada status kardiovaskular meliputi keadaan
hemodinamik seperti nadi, tekanan darah dan CRT.
B3 (Brain)
Diperlukan pemeriksaan GCS untuk penentuan status kesadaran
B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berkaitan intake cairan. Ada tidaknya
oliguria sebagai tanda awal gejala syok.
B5 (Bowel)
Perlu dikaji bentuk, turgor, nyeri dan tanda-tnada infeksi yang dapat
merangsang serangan asma. Pengkajian status nutrisi meliputi jumlah,
frekuensi dan kesulitan pemenuhan kebutuhan nutrisi karena pada pasien
sesak napas terjadi kekurangan. Hal ini terjadi karena dispnea saat makan dan
kecemasan klien.
B6 (Bone)
Adanya edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada ekstremitas
karena merangsang serangan asma. Pada integumen perlu dikaji permukaan
kasar,kering, kelainan pigmentasi, turgor kulit, kelembaban, besisik, pruritis,
eksim dan adanya bekas dermatitis. Pada rambut kaji kelembaban dan kusam.
Adanya wheezing, sesak danortopnea saat istirahat. Pola aktivitas olahraga,
pekerjaan dan aktivitas lainnya.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
a. Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal
eosinofil
b. Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari
cabang bronkhus
c. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkhus
d. Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat
mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug
2. Pemeriksaan Darah
a. Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis
b. Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH
c. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3
dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi
d. Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE
pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan
4. Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi
udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
5. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang
paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon
pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan
sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau
nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak
lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol
bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting
untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat
obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi
pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.
Status Asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan
asma yang berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara
terhadap pengobatan yang lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya
perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan waktu
pengamatan antara satu sampai dua jam.
Gambaran Klinis Status Asmatikus
a. Penderita tampak sakit berat dan sianosis
b. Sesak nafas, bicara terputus-putus
c. Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab
penderita sudah jatuh dalam dehidrasi berat
d. Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi
lambat laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah
kemudian jatuh ke dalam koma
Diagnosis banding
Bronkitis Kronis
Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun
paling sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya
terjadi pada penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk
di pagi hari, lama-lama disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan
jasmani pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pumonal.
Emfisema Paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema
biasanya tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat
melakukan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong,
gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara vesikuler sangat
lemah. Pada foto dada di dapat adanya hiperinflasi.
LO 1.8 Tatalaksana
Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever)
dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan
serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan
sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan
bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga obat
pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah
dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian
obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya
kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan
setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu.
1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut
pada anak.Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot
pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot
lurik, hepar, dan pankreas.
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan
ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan
napas yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti
peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan
berkurangnya pelepasan mediator sel mast.
Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada
β2 agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor
β1, β2, dan α sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit
kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi.
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi
efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek
samping, terutama pada jantung dan CNS.
β2 agonis selektif(12)
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum
5mg/kgBB), interval 20 menit, atau
nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 –
0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15
mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi,
tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya
sempit, obat ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi
β2 agonist dan anticholinergick.
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5.Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral.Pemberian
teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang
lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat
kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya
absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati
plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui
metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin.
1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
> 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
1. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida.Kombinasi dengan
nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih
baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam(12).
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis :
untuk usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes.
Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak
dimulut.Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi
asma jangka panjang pada anak.
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan(12) :
Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai
perbaikan yang cukup lama.
Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan
kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.
Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat
sebelumnya.
Pengobatan diberikan pada saat terjadi serangan asma yang hebat, dan terus
diberikan sampai serangan merendah, biasanya memakai obat-obatan yang
melebarkan saluran pernapasan yang menyempit.
Obat jenis ini untuk melemaskan otot polos pada saluran napas dan
dikenal sebagai obat bronkodilator. Ada 3 golongan besar obat ini,
yaitu:
A. Napacin)
- Golongan Simpatomimetika
- Golongan Antikolinergik
Walaupun secara legal hanya jenis obat Ephedrine HCl saja yang dapat
diperoleh penderita tanpa resep dokter (takaran < 25 mg), namun tidak
tertutup kemungkinannya penderita memperoleh obat anti asma yang
lain.
Obat untuk mengatasi sembab selaput lendir jalan napas
Jenis ini tidak ada dan tidak diperlukan. Yang terbaik adalah usaha
untuk mengencerkan dahak yang kental tersebut dan mengeluarkannya
C. dari jalan napas dengan refleks batuk.
ALGORITMA
PENATALAKSANAAN SERANGAN ASMA DI RUMAH
Terapi awal
Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat
(setiap 20 menit, 3 kali dalam 1 jam), atau Bronkodilator oral
Su
mb
er :
PD
PI,
As
ma.
Pe
do
ma
n & Penatalaksanaan Di Indonesia, 2004
Algoritma Penatalaksanaan Asma Di Rumah Sakit
-
Penilaian Awal
(auskultasi, otot bantu napas, denyut jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau
VEP1, saturasi O2), AGDA dan pemeriksaan lain atas indikasi
Serangan Asma Ringan Serangan Asma Sedang/Berat Serangan Asma Mengancam Jiwa
Pengobatan Awal
Respons baik dan stabil dalam Resiko tinggi distress Resiko tinggi distress
60 menit Pem.fisis : gejala ringan – sedang Pem.fisis : berat, gelisah dan
Pem.fisi normal APE > 50% terapi < 70% kesadaran menurun
APE >70% prediksi/nilai Saturasi O2 tidak perbaikan APE < 30%
terbaik PaCO2 < 45 mmHg
PaCO2 < 60 mmHg
Pulang Dirawat di RS Dirawat di ICU
Pengobatan dilanjutkan Inhalasi agonis beta-2 + anti— Inhalasi agonis beta-2 + anti
dengan inhalasi agonis beta-2 kolinergik kolinergik
Membutuhkan kortikosteroid Kortikosteroid sistemik Kortikosteroid IV
oral Aminofilin drip Pertimbangkan agonis beta-2 injeksi
Edukasi pasien Terapi Oksigen pertimbangkan kanul SC/IM/IV
- Memakai obat yang nasal atau masker venturi Aminofilin drip
benar Pantau APE, Sat O2, Nadi, kadar Mungkin perlu intubasi dan ventilasi
- Ikuti rencana pengobatan teofilin mekanik
selanjutnya
Pulang
Dirawat di ICU
Bila APE > 60% prediksi / terbaik. Tetap Bila tidak perbaikan dalam 6-12 jam
berikan pengobatan oral atau inhalasi
Klinik / IGD
Tatalaksana awal
nebulisasi -agonis 1-3x, selang 20 menit (2)
nebulisasi ketiga + antikolinergik
jika serangan berat, nebulisasi. 1x
(+antikoinergik)
Serangan berat
Serangan ringan Serangan sedang
(nebulisasi 1-3x, respons (nebulisasi 1-3x, (nebulisasi 3x,
baik, gejala hilang) respons parsial) respons buruk)
observasi 2 jam berikan oksigen (3) sejak awal berikan
jika efek bertahan, nilai kembali derajat O2 saat / di luar
boleh pulang nebulisasi
serangan, jika
jika gejala timbul sesuai dgn pasang jalur
serangan sedang, parenteral
nilai ulang
LO 1.10 Pencegahan
Pencegahan Primer
Ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan resiko asma (orangtua
asma), dengan cara:
Penghindaran Asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/ anak
Diet Hipoalergenik ibu hamil, asalkan/ dengan syarat diet tersebut tidak
mengganggu asupan janin
Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan
Diet Hipoalergenik ibu menyusui
Pencegahan Sekunder
Ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah tersentisisasi
dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam ruangan
terutama tungau debu rumah
Pencegahan Tersier
Ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah
menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter yang
dikenal dengan nama ETAC study (early treatment of atopic children)
mendapatkan bahwa pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak atopi
dengan dermatitis atopi dan igE spesifik terhadap serbuk rumput (pollen) dan
tungau debu rumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50% perlu
ditekankan bahwa pemberian Setirizin pada penelitian ini bukan sebagai
pengendali asma (controller)
LO 1.11 Prognosis
Pada umumnya prognosis pada kasus asma cukup baik. Hal tersebut
dikarenakan asma merupakan penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya.
Namun, apabila tidak dilakukan penanganan dapat menyebabkan kematian.
Hal tersebut berdasarkan data yang diperoleh dari WHO. WHO
memperkirakan pada tahun 2005, terdapat 255.000 didunia meninggal karena
asma. Sebagian besar ( 80%) terjadi dinegara berkembang.
1. Nebuliser
Alat nebuliser dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara
terus menerus dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau
gelombang ultrasonik sehingga dalam prakteknya dikenal 2 jenis alat nebuliser yaitu
ultrasonic nebulizer dan jet nebuliser. Hasil pengobatan dengan nebulizer lebih
banyak bergantung pada jenis nebuliser yang digunakan. Terdapat nebuliser yang
dapat menghasilkan partikel aerosol terus menerus ada juga yang dapat diatur
sehingga aerosol hanya timbul pada saat penderita melakukan inhalasi sehingga
obat tidak banyak terbuang.
Keuntungan terapi inhalasi menggunakan nebuliser adalah tidak atau sedikit
memerlukan koordinasi pasien, hanya memerlukan pernafasan tidal, beberapa jenis
obat dapat dicampur (misalnya salbutamol dan natrium kromoglikat).
Kekurangannya adalah karena alat cukup besar, memerlukan sumber tenaga listrik
dan relatif mahal.
• Ultrasonic nebuliser
Alat ini menghasilkan aerosol melalui osilasi frekuensi tinggi dari piezo-electric
crystal yang berada dekat larutan dan cairan memecah menjadi aerosol.
Keuntungan jenis nebuliser ini adalah tidak menimbulkan suara bising dan terus
menerus dapat mengubah larutan menjadi aerosol sedangkan kekurangannya
alat ini mahal dan memerlukan biaya perawatan lebih besar.
• Jet nebuliser
Alat ini paling banyak digunakan banyak Negara karena relatif lebih murah
daripada ultrasonic nebuliser. Dengan gas jet berkecepatan tinggi yang berasal
dari udara yang dipadatkan dalam silinder ditiupkan melalui lubang kecil dan
akan dihasilkan tekanan negatif yang selanjutnya akan memecah larutan menjadi
bentuk aerosol. Aerosol yang terbentuk dihisap pasien melalui mouth piece atau
sungkup. Dengan mengisi suatu tempat pada nebuliser sebanyak 4 ml maka
dihasilkan partikel aerosol berukuran < 5 Ïm, sebanyak 60-80% larutan
nebulisasi akan terpakai dan lama nebulisasi dapat dibatasi. Dengan cara yang
optimal maka hanya 12% larutan akan terdeposit di paru-paru.7 Bronkodilator
yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi yang
bermakna tanpa menimbulkan efek samping.
Golongan antikolinergik
Ipratropium Atroven Solution 0,025% > 6 thn : 8-20 tetes
bromide
£ 6 thn : 4-10 tetes
Golongan steroid
Budesonide Pulmicort Respule
Fluticasone Flixotide Nebule
Sediaan steroid yang dapat digunakan untuk serangan asma
Steroid Oral :
Nama Nama Dagang Sediaan Dosis
Generik
Prednisolon Medrol, Medixon Tablet 1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
Lameson, Urbason 4 mg
Prednison Hostacortin, Tablet 1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
Pehacort, Dellacorta
5 mg
Triamsinolon Kenacort Tablet 1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
4 mg
Steroid Injeksi :
Nama Generik Nama Dagang Sediaan Jalur Dosis
M. prednisolon Solu-Medrol Vial 125 mg IV / IM 1-2 mg/kg
Suksinat Medixon Vial 500 mg tiap 6 jam
Hidrokortison- Solu-Cortef Vial 100 mg IV / IM 4 mg/kgBB/x
Suksinat
Silacort Vial 100 mg tiap 6 jam
Deksametason Oradexon Ampul 5 mg IV / IM 0,5-1mg/kgBB bolus,
dilanjutkan 1
Kalmetason Ampul 4 mg
mg/kgBB/hari
Fortecortin Ampul 4 mg diberikan tiap 6-8 jam
Corsona Ampul 5 mg
Betametason Celestone Ampul 4 mg IV / IM 0,05-0,1 mg/kgBB tiap
6 jam