You are on page 1of 34

CASE REPORT

HIV PADA ANAK

Disusun Oleh:
Sydney Putriany Salean
1261050243

Pembimbing :
dr. Mas Wishnuwardhana, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD BEKASI
PERIODE 13 DESEMBER 2017 – 24 FEBRUARI 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Nama mahasiswa : Sydney Putriany Salean (1261050243)


Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi
Periode : Periode 13 Desember 2017 – 24 Februari 2018
Judul : HIV pada Anak
Pembimbing : dr. Mas Wishnuwardhana, Sp.A

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal :

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Bekasi

Jakarta, 2 Februari 2018

dr. Mas Wishnuwardhana, Sp.A

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan atas segala nikmat, rahmat,
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “HIV
pada Anak” dengan baik dan tepat waktu.
Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia di RSUD Bekasi Periode 13
Desember 2017 – 24 Februari 2018. Di samping itu, laporan kasus ini ditujukan untuk
menambah pengetahuan bagi kita semua tentang HIV pada anak.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar–besarnya
kepada dr. Mas Wishnuwardhana, Sp.A selaku pembimbing dalam penyusunan laporan kasus
ini, serta kepada dokter–dokter pembimbing lain yang telah membimbing penulis selama di
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada rekan–rekan anggota Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi serta berbagai
pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput
dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun saran
yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih yang sebesar–besarnya, semoga
tugas ini dapat memberikan tambahan informasi bagi kita semua.

Jakarta, 2 Februari 2018


Penulis

Sydney Putriany Salean

2
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ............................................................................................... 1

Kata Pengantar ....................................................................................................... 2

Daftar Isi .................................................................................................................. 3

BAB I Pendahuluan .......................................................................... ........... 4

BAB II Laporan Kasus .................................................................................. 6

BAB III Analisis Kasus ....................................................................... ........... 13

BAB IV Tinjauan Pustaka ....................................................... ......................17

Daftar Pustaka ........................................................................................................ 35

3
BAB I
PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS)


adalah infeksi yang membawa masalah besar bagi negara-negara di seluruh dunia termasuk
Indonesia. Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) pertama kali ditemukan pada anak
tahun 1983 di Amerika Serikat, yang mempunyai beberapa perbedaan dengan infeksi HIV pada
orang dewasa dalam berbagai hal seperti cara penularan, pola serokonversi, riwayat perjalanan
dan penyebaran penyakit, faktor resiko, metode diagnosis, dan manifestasi oral.1

Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan salah
satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian ibu dan anak. Human
Immunodeficiency Virus (HIV) telah ada di Indonesia sejak kasus pertama ditemukan yaitu
pada tahun 1987. Lebih dari 90% kasus anak terinfeksi HIV, ditularkan melalui proses
penularan dari ibu ke anak atau Mother To Child Hiv Transmission (MTCT). Virus HIV dapat
ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama kehamilan, saat persalinan dan
saat menyusui. Karena sebagian besar anak terinfeksi melalui penularan vertikal dari ibu ke
anak, maka bertambahnya jumlah anak terinfeksi HIV yang didapat saat perinatal sebanding
dengan peningkatan jumlah penularan secara heteroseksual dan jumlah ibu usia produktif
terinfeksi HIV. Angka penularan vertikal berkisar antara 14-39% dan malahan risiko penularan
pada anak diperkirakan 29-47%.2,3

Penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya cenderung meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah perempuan HIV positif yang tertular baik dari pasangan maupun
akibat perilaku yang berisiko. Meskipun angka prevalensi dan penularan HIV dari ibu ke bayi
masih terbatas, jumlah ibu hamil yang terinfeksi HIV cenderung meningkat. Laporan Kasus
HIV dan AIDS Kementerian Kesehatan RI tahun 2011 menunjukkan cara penularan tertinggi
terjadi akibat hubungan seksual beresiko, diikuti penggunaan jarum suntik tidak steril; dengan
jumlah pengidap AIDS terbanyak pada kategori pekerjaan ibu rumah tangga. Hal ini juga
terlihat dari proporsi jumlah kasus HIV pada perempuan meningkat dari 34% (2008) menjadi
44% (2011), selain itu juga terdapat peningkatan HIV dan AIDS yang ditularkan dari ibu HIV
positif ke bayinya. Jumlah kasus HIV pada anak 0-4 tahun meningkat dari 1,8% (2010) menjadi
2,6% (2011). Prevalensi kasus HIV/AIDS pada anak yang berusia antara 5-10 tahun sebanyak
26%.1,3

Saat ini, kurang dari 10% ibu hamil yang terinfeksi HIV di negara berkembang
menerima profilaksis antiretroviral (ARV) untuk pencegahan penularan HIV dari ibu-ke-bayi
(prevention of mother-to-child transmission/PMTCT. Serupa dengan orang dewasa, anak yang
terinfeksi HIV menanggapi ART dengan baik Tanpa ARV, pengembangan infeksi HIV sangat
cepat pada bayi dan anak.1,4

Perkembangan kelainan sistem imun dan munculnya gejala penyakit pada anak
terinfeksi HIV lebih cepat dibandingkan orang dewasa. Insidens AIDS yang tertinggi terjadi
pada tahun pertama kehidupan dan hampir seluruh kasus infeksi terjadi pada saat perinatal, dan

4
gejala kliniks. Berbagai gejala dan tanda yang bervariasi dapat bermanifestasi dan ditemukan
pada anak-anak yang sebelumnya tidak diperkirakan mengidap infeksi HIV harus menjadi
suatu tanda peringatan bagi para petugas kesehatan, terutama para dokter untuk memikirkan
kemungkinan terjadinya infeksi HIV. Gejala dan tanda-tanda yang mungkin terjadi meliputi
infeksi bakteri yang berulang, demam yang sukar sembuh, diare yang sukar sembuh, sariawan
yang sukar sembuh, parotitis kronis, pneumonia berulang, lymphadenopati generalisata,
gangguan perkembangan yang disertai failure to thrive, dan kelainan kulit kronis-berulang.
Munculnya penyakit pnemonia pneumocystis carinii, pnemonia interstisial limfoid, infeksi
bakteri berulang, dan kurang gizi merupakan gejala yang sangat sering ditemukan pada
penderita AIDS. Penyakit lain yang juga merupakan tanda spesifik AIDS pada anak adalah
tuberkulosis milier, diare persisten, dan otitis media. Oleh karena penyakit HIV pada anak
sangat rumit dan kompleks, maka diperlukan tatalaksana yang baik sehingga munculnya AIDS
dapat ditunda dan usia anak dapat diperpanjang.4,5

5
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
RS PENDIDIKAN : RSUD KOTA BEKASI

STATUS PASIEN
Nama Mahasiswa : Sydney Putriany Salean Pembimbing : dr. Mas Wishnuwardhana, Sp.A
NIM : 1261050243 Tanda tangan :

BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Data Pasien Ayah Ibu
Nama An. K Tn. B Ny. R
Umur 6 tahun 30 tahun meninggal
Jenis Kelamin Perempuan Laki laki Perempuan
Alamat Jl. Cikarang Barat 05/03 , Bekasi
Agama Islam Islam Islam
Suku bangsa Indonesia
Pendidikan - SMA SMA
Pekerjaan - Wiraswasta Wiraswasta
Penghasilan - - -
Tanggal Masuk RS 25 Januari 2018 - -
(Poli)

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis kepada ibu kandung pasien pada tanggal 25 Januari
2018 di Poli anak RSUD Kota Bekasi.

A. Keluhan Utama
Kontrol HIV

B. Keluhan Tambahan
 -

6
C. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang ke Poli Anak RSUD Kota Bekasi pada tanggal 2 Februari 2017 untuk
kontrol HIV. Selama ini pasien rutin kontrol 1 bulan sekali sejak didiagnosis HIV pada tahun
2013. Awal mula pasien diagnosis HIV positif yaitu sejak 5 tahun yang lalu. Saat itu terdapat
keluhan sering menderita batuk pilek yang tidak sembuh-sembuh. Selain itu, pasien juga sering
mengalami radang tenggorokan dan diare berulang. Demam juga sering timbul tiba-tiba namun
hilang timbul. Nenek pasien mengakui bahwa selama ini cucunya sering sakit-sakitan. Nafsu
makan juga terganggu dan berat badan sulit naik. Selama waktu tersebut, pasien hanya berobat
ke puskesmas dekat rumah. Baru pada tahun 2013 saat pasien berumur 1 tahun, pasien dibawa
berobat ke RSUD Kota Bekasi kemudian dilakukan pemeriksaan HIV dan imunoserologi
(Hitung CD4). Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa pasien HIV positif dengan kadar CD4
absolut 107 sel/uL. Sejak saat itu dimulai pengobatan ARV dan hingga saat ini pengobatan
ARV tetap dilanjutkan dengan rutin kontrol tiap sebulan sekali ke Poli Anak RSUD Kota
Bekasi.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur

Alergi - Candidiasis - Jantung -

Cacingan - Diare 1 Ginjal -

DBD - Kejang - Darah -

Thypoid - Gastritis - Radang paru -

Otitis - Herpes - Tuberkulosis -


Zooster paru

Parotis - Operasi - Morbili -

E. Riwayat Penyakit Keluarga :


Pasien merupakan anak pertama (anak tunggal) dari perkawinan pertama orang tuanya.
 Ibu pasien meninggal 4 tahun yang lalu pada usia 26 tahun. Ibu pasien pernah melakukan
hubungan intim dengan pasangan lain (tidak diketahui sejak kapan), dan perokok berat.
Pekerjaan ibu pasien ketika masih hidup adalah wiraswasta. Ayah pasien mengatakan
bahwa ia baru mengetahui istrinya positif HIV tidak lama sebelum istrinya meninggal
dunia
 Ayah pasien sebelumnya pernah diperiksakan tes HIV pada tahun 2013 dan dikatakan
negative. Pemeriksaan sudah dilakukan 4x.
7
Tidak ada riwayat transfusi darah kedua orangtua pasien.

F. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :


Morbiditas kehamilan Tidak ditemukan kelainan
KEHAMILAN
Perawatan antenatal Kontrol rutin ke bidan
Tempat kelahiran Klinik
Penolong persalinan Bidan
Cara persalinan Normal
Masa gestasi 39 minggu
KELAHIRAN Berat lahir 3000 g
Panjang badan tidak ingat
Keadaan bayi Lingkar kepala tidak ingat
Nilai apgar tidak tahu
Tidak ada kelainan bawaan

G. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :


Pertumbuhan gigi pertama : 5 bulan
Tengkurap dan berbalik sendiri : 7 bulan
Duduk : 8 bulan
Merangkak : 10 bulan
Berdiri : 12 bulan
Berjalan : 15 bulan
Berbicara : 12 bulan
Gangguan perkembangan :-
Kesan : Perkembangan sesuai usia

H. Riwayat Makanan
Umur (bulan) ASI/PASI Buah/biscuit Bubur susu Nasi tim
0-2 - - -
2-4  ASI - - -
4-6  Susu Formula - Cerelac -
6-8 Buah Cerelac Nasi Tim
Buah +
8-10 Susu Formula Bubur kacang hijau Nasi Tim
Biskuit
Buah +
10-12 Susu Formula - Nasi Tim
Biskuit
Kesan: Riwayat makan baik

8
I. Riwayat Imunisasi :
Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)
BCG 5 hari - - - - -
DPT/DT 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
POLIO Lahir 2 bulan 4 bulan 6 bulan 2 tahun -
CAMPAK 9 bulan - - - - -
HEPATITIS B Lahir - - - - -
Kesan: Imunisasi sesuai jadwal IDAI

J. Riwayat Perumahan dan Sanitasi :


Pasien tinggal di rumah pribadi, dinding terbuat dari tembok, atap terbuat dari genteng,
dan ventilasi cukup. Menurut pengakuan keluarga pasien, keadaan lingkungan rumah
padat, pencahayaan baik, sumber air bersih berasal dari air tanah dan PAM, sumber air
minum dari galon.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan dilakukan di Poli Anak pada tanggal 25 Januari 2018
Status generalis
a. Keadaan umum : Tampak sakit ringan
b. Tanda Vital
 Kesadaran : Compos mentis
 Frekuensi nadi : 110 x/menit
 Frekuensi pernapasan : 24 x/menit
 Suhu tubuh : 36,5⁰C
c. Data antropometri
 Berat badan : 26 kg
 Tinggi badan : 113 cm
 Status gizi berdasarkan grafik CDC :
26
 BB/U : 𝑥100% = 72%
20
113
 TB/U : 𝑥100% = 92%
115
26
 BB/TB : 𝑥100% = 136%
19
Kesan : Obesitas

9
d. Kepala
 Bentuk : Normocephali, simetris, , tidak ada deformitas
 Rambut : Rambut hitam sedikit kemerahan, tipis, distribusi merata, tidak
mudah dicabut
 Mata : Edema palpebra -/-, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik
-/-, pupil bulat isokor, RCL +/+, RCTL +/+
 Telinga : Normotia, serumen -/-, erosi dibelakang telinga -/-
 Hidung : Bentuk normal, sekret -/-, konka oedem (-) , hiperemis (-) ,
terdapat hematom (-)

10
 Mulut : Bibir kering (-), sianosis perioral (-), karies gigi (-), stomatitis (-),
oral thrush (-)
 Tenggorokan : Faring hiperemis -/-, Tonsil T2-T2
 Leher : KGB tidak membesar
Thorax
 Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi -/-
 Palpasi : Gerak napas simetris, vocal fremitus simetris
 Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi
Pulmo : Suara napas vesikuler, ronki basah halus -/-, wheezing -/-
Cor : BJ I dan II reguler, murmur -, gallop –
f. Abdomen
 Inspeksi : Perut datar
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Palpasi : Supel, turgor kulit > 2 detik, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan
limpa tidak membesar
 Perkusi : Shifting dullness -, timpani (+)
g. Kulit : Sawo matang, kering (+), sikatriks (-)
h. Extremitas : Akral hangat, sianosis (-), oedem (-), ikterik (-), CRT < 2 detik
i. Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium tanggal 10 januari 2013
Imunoserologi Test Hasil Nilai Rujukan
CD4 Absolut 107 410 – 1500 sel/ul
CD4 % 11 31 – 60 %
HIV Reaktif

V. RESUME
Seorang anak perempuan usia 6 tahun, BB 26 kg datang untuk kontrol HIV. Pasien di
diagnosis HIV positif yaitu sejak 5 tahun yang lalu. Saat itu terdapat keluhan sering menderita
batuk pilek yang tidak sembuh-sembuh, diare berulang. Demam juga sering timbul tiba-tiba
namun hilang timbul. Ibu pasien mengakui anaknya sering sakit-sakitan, nafsu makan
terganggu dan berat badan sulit naik. Pada tahun 2013 saat pasien berumur 1 tahun, pasien
dibawa berobat ke RSUD Kota Bekasi kemudian dilakukan pemeriksaan HIV dan
imunoserologi (Hitung CD4) dan didapatkan hasil HIV positif dengan kadar CD4 absolut 107
sel/uL. Sejak saat itu dimulai pengobatan ARV dan hingga saat ini pengobatan ARV tetap
dilanjutkan dengan rutin kontrol tiap sebulan sekali ke Poli Anak RSUD Kota Bekasi.

11
Pasien merupakan anak pertama dari perkawinan pertama orang tuanya. Riwayat ibu
pernah berhubungan intim dengan pasangan lain. Ibu pasien sebelum meninggal pernah
diperiksa tes HIV, hasilnya (+). Ayah pasien juga diperiksa tes HIV, hasilnya (-)

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Komposmentis
Frekuensi nadi : 110 x/menit
Frekuensi pernapasan : 24 x/menit
Suhu tubuh : 36,5⁰C
BB : 26 kg
TB : 113 cm
Status Gizi : Gizi baik
Tenggorokan : Faring hiperemis -/-, Tonsil T2-T2
Kulit : Sawo matang, kering (+), sikatriks (-)

VI. DIAGNOSIS KERJA


HIV stadium I

VII.PEMERIKSAAN ANJURAN
CD4+ untuk pemantauan terapi

VIII. PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa
 Edukasi penyakit dan perjalanan penyakit
Medikamentosa
 D4T FDC (Junior) 1 ½ – 0 – 1 ½

IX. PROGNOSIS
 Ad vitam : dubia
 Ad fungsionam : dubia ad malam
 Ad sanasionam : dubia ad malam

12
BAB III
ANALISIS KASUS

Infeksi HIV merupakan masalah kesehatan anak yang penting di banyak negara.
Transmisi HIV secara vertikal dari ibu kepada anaknya merupakan jalur tersering infeksi pada
masa kanak-kanak, Infeksi HIV pada anak menunjukkan gambaran klinis yang sangat
bervariasi.

Pada kasus, anak perempuan usia 6 tahun dengan berat badan 26 kg datang untuk
kontrol HIV. Saat dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan kulit pasien tampak kering. HIV
merupakan virus penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Virus ini
melemahkan kemampuan seseorang untuk melawan berbagai infeksi. Karena HIV
melemahkan sistem pertahanan tubuh, penderita AIDS akan lebih mudah mengalami berbagai
gangguan kesehatan, termasuk gangguan kulit. Kelainan kulit muncul hampir secara umum
pada perjalanan infeksi HIV sebagai akibat dari penurunan sistem kekebalan tubuh yang timbul
atau berhubungan dengan pengobatan. Manifestasi kulit pada infeksi HIV sangat luas dan
bervariasi serta dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur dan parasit lainnya. Bakteri
tersering yang menyebabkan infeksi kulit adalah Staphylococcus aureus. Selain bakteri, jamur
dan tungau juga sering menyebabkan penyakit kulit pada penderita HIV. Untuk mengurangi
gatal-gatal dapat digunakan antihistamin.

Dari anamnesis mengenai perjalanan penyakit, didapatkan klinis awal yaitu seringnya
pasien menderita batuk pilek yang tidak sembuh-sembuh, diare berulang. Demam juga sering
timbul tiba-tiba namun hilang timbul, nafsu makan terganggu dan berat badan sulit naik usia
1,5 tahun. Klinis yang terjadi pada pasien merupakan tanda suatu keadaan imunokompromais.
Imunokompromais dapat disebabkan oleh infeksi virus HIV, ataupun keganasan.
Kemungkinan imunokompromais dapat diperkuat oleh adanya diare berulang. Untuk
memastikan apakah benar pasien terinfeksi HIV dan mengalami imunokompromais perlu
dilakukan pemeriksaan serologi. Pemeriksaan test HIV dan imunoserologi hitung CD4 pada
pasien ini didapatkan bahwa pasien HIV positif dan didapatkan kadar CD4 dibawah normal
yaitu CD4 absolut 107 sel/uL (Normal : 410 – 1500 sel/uL), dengan persentase 11% (Normal
: 31 – 60%).

Menurut WHO, stadium klinis dari HIV dibagi menjadi 4 yaitu :

Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan

13
Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas

14
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
HIV/AIDS

A. Definisi
HIV ((Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia. Virus ini menyerang organ-organ vital sistem kekebalan tubuh
manusia, seperti sel T CD4+ , makrofag, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara
langsung dan tidak langsung, sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat
berfungsi baik. AIDS (Aquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan tahap akhir dari
infeksi HIV yang berupa kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya
kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus).10

HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau
media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi
tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik
akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi
oportunistik. 10

B. Epidemiologi 6,10,11

Pada tahun 2005, jumlah ODHA di seluruh dunia diperkirakan sekitar 40,3 juta orang dan
yang terinfeksi HIV sebesar 4,9 juta orang. Jumlah ini terus bertambah dengan kecepatan
15.000 pasien per hari. Jumlah pasien di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara sendiri
diperkirakan berjumlah sekitar 7,4 juta pada tahun 2005. Menurut catatan Departemen
Kesehatan, pada tahun 2005 terdapat 4.186 kasus AIDS. Saat ini, dilaporkan adanya
pertambahan kasus baru setiap 2 jam, dan setiap hari minimal 1 pasien meninggal karena AIDS
di Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan di Rumah Tahanan. Dan di setiap propinsi ditemukan
adanya ibu hamil dengan HIV dan anak yang HIV atau AIDS.
Sejak HIV menjadi pandemic di dunia, diperkirakan 5,1 juta anak di dunia terinfeksi HIV.
Setiap tahun diperkirakan lebih dari 800.000 bayi menjadi terinfeksi HIV akibat penularan dari
ibu ke anak. Dan diikuti adanya sekitar 610.000 kematian anak karena virus tersebut Infeksi
HIV/AIDS pada anak umumnya ditularkan oleh ibu secara vertikal pada saat hamil,
melahirkan, dan menyusui. Oleh karena itu, penderita terbanyak ditemukan pada anak yang
berusia di bawah 5 tahun (lebih dari 66%), sedangkan anak yang berusia antara 5-10 tahun
sebanyak 26%, dan yang berusia lebih dari 10 tahun hanya 7,9%. Sebagian besar penderita
(92,7%) berasal dari daerah perkotaan, kemudian sisanya berasal dari pedesaan. Sekitar 26%
penderita sudah kehilangan orang tua (ibu atau ayah) karena meninggal akibat menderita
penyakit HIV/AIDS.
Pada tahun 2009, 1,4 juta wanita hamil di negara berpendapatan menengah dan rendah
terdiagnosis HIV. Lebih dari 90% infeksi HIV pada bayi dan anak ditransmisikan oleh ibu

15
selama kehamilan, kelahiran, atau ASI. Tanpa intervensi apapun, 15-45% bayi yang lahir dari
ibu dengan HIV menjadi terinfeksi (5-10% selama kehamilan, 10-20% selama kelahiran, dan
10-20% lewat ASI). Sekitar 50% bayi yang terinfeksi HIV dari ibunya meninggal sebelum usia
2 tahun.

C. Etiologi6,12
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu virus RNA dari
famili Retrovirus dan subfamili Lentiviridae pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan
kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus
(LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian
atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV. Struktur
virus ini tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein
gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi
terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag.
Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di
dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase
enzyme)

Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai
lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi.
Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di
seluruh dunia adalah grup HIV-1

Struktur HIV :
Bagian luar HIV dilipuit oleh selubung yang disebut ‘envelope’ dan di bagian dalam
terdapat sebuah inti (CORE).
1. Envelope : HIV bergaris tengah 1/10.000 mm dan mempunyai bentuk bulat seperti
bola. Lapisan paling luar disebut ENVELOPE, terdiri dari dua lapisan molekul lemak
yang disebut lipids. Lapisan ini diambil dari sel manusia ketika partikel virus yang
baru terbentuk dengan membentuk tonjolan dan lepas dari sel tersebut.
Selubung virus terisi oleh protein yang berasal dari sel induk, termasuk 72 turunan
(rata-rata) protein HIV komplek yang menonjol dari permukaan selubung. Protein ini
disebut env, terdiri atas sebuah tutup (cap)terbuat dari 3-4 molekul
GLYCOPROTEIN (gp) 120 dan sebuah batang yang terdiri atas 3-4 molekul gp 41
sebagai rangka struktur dalam envelope virus.

2. Inti/ CORE : dalam envelope partikel HIV yang sudah matang terdapat inti yang
berbentuk peluruyang disebut capsid, terbentuk dari 2000 turunan protein virus
lainnya, P24. Capsid mengelilingi 2 helaian tunggal RNA HIV, yang masing-masing
memiliki 9 gen dari virus. 3 diantaranya gag, pol dan env, mengandung informasi
yang diperlukan untuk membuat protein terstruktur untuk partikel virus baru. Gen
env, misalnya mengkode protein gp 160 yang dipecah oleh enzim virus untuk
membentuk gp 120 dan gp 41, yang merupakan komponen env.3 buah gen pengatur,
tat, rev dan nef dan 3 gen tambahan, vif, vpr, dan vpu mengandung informasi yang

16
diperlukan untuk memproduksi protein yang mengatur kemampuan HIV menginfeksi
suatu sel, membuat turunan virus baru atau menimbulkan penyakit. Protein yang
dikode oleh nef misalnya menyebabkan virus dapat melakukan replikasi secara
efisien sacara efisien dan protein yang dikode oleh vpu berpengaruh terhadap
pelepasan partikel virus baru dari sel yang diinfeksi. Inti HIV juga mencakup sebuah
protein yang disebut P7, yaitu protein nucleocapsid HIV, dan 3 buah enzim yang
berperan dalam langkah berikutnya dalam siklus hidup virus, yaitu : reverse,
transcriptase, integrase dan protase. Protein HIV lainnya adalah P17 atau matriks
HIV, terletak antara inti dan envelope.

Gambar 1. Struktur virus HIV-1

D. Cara Penularan1,11,12
HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial
mengandung virus HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu. Sedangkan
cairan yang tidak berpotensi untuk menularkan virus HIV adalah cairan keringat, air liur, air
mata. HIV masuk tubuh manusia terutama melalui darah, semen dan sekret vagina serta
transmisi dari ibu ke anak.

Transmisi Seksual
Baik secara vaginal, oral maupun anal dengan pengidap HIV. Ini adalah cara yang paling
umum terjadi, meliputi 80-90% total kasus sedunia. Resiko penularan HIV tergantung pada
pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Transmisi secara
seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal dengan
rectum, alat kelamin, atau membrane mukosa mulut pasangannya.

Transmisi non seksual


 Kontak langsung dengan darah, produk darah atau jarum suntik
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah
terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum
suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum

17
suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko
tertular cara transmisi ini kurang dari 1%.
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum
tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang,
karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Transfusi darah/produk darah
yang tercemar mempunyai risiko sampai >90%, ditemukan 3-5% total kasus sedunia.

 Transmisi secara vertikal


Dari ibu pengidap HIV kepada bayinya (in utero, selama proses kelahiran dan melalui
ASI) dengan risiko penularan sebesar 25-40%. Meningkatnya infeksi HIV pada anak
adalah karena akibat penularan selama perinatal (periode kehamilan, selama dan setelah
persalinan). Penularan terhadap bayi bisa terjadi selama kehamilan, persalinan atau
postnatal melalui ASI.

Gambar 2. Persentase risiko transmisi HIV vertical

Pada ibu yang terinfeksi HIV, ditemukan virus pada cairan vagina 21%, cairan aspirasi
lambung pada bayi yang dilahirkan. Besarnya paparan pada jalan lahir sangat dipengaruhi
dengan adanya kadar HIV pada cairan vagina ibu, cara persalinan, ulkus serviks atau
vagina, perlukaan dinding vagina, infeksi cairan ketuban, ketuban pecah dini, persalinan
prematur, penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forsep,
episiotomi dan rendahnya kadar CD4 pada ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum
persalinan akan meningkatkan resiko transmisi antepartum sampai dua kali lipat
dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan.

Transmisi pasca persalinan sering terjadi melalui pemberian ASI (Air susu ibu). ASI
diketahui banyak mengandung HIV dalam jumlah cukup banyak. Konsentrasi median sel
yang terinfeksi HIV pada ibu yang menderita HIV adalah 1 per 104 sel, partikel virus ini
dapat ditemukan pada komponen sel dan non sel ASI. Berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi resiko transmisi HIV melalui ASI antara lain mastitis atau luka di puting,
lesi di mukosa mulut bayi, prematuritas dan respon imun bayi. Penularan HIV melalui ASI
diketahui merupakan faktor penting penularan paska persalinan dan meningkatkan resiko
transmisi dua kali lipat.

18
E. Patogenesis6,10,12
Mekanisme utama infeksi HIV adalah melalui perlekatan selubung glikoprotein virus
gp 120 pada molekul CD4. Molekul ini merupakan reseptor dengan afinitas paling tinggi
terhadap protein selubung virus. Partikel HIV yang berikatan dengan molekul CD4 kemudian
masuk ke dalam sel hospes melalui fusi antara membran virus dengan membran sel hospes
dengan bantuan gp 41 yang terdapat pada permukaan membran virus. Molekul CD4 banyak
terdapat pada sel limfosit T helper/ CD4+, namun sel-sel lain seperti makrofag, monosit, sel
dendritik, sel langerhans, sel stem hematopoetik dan sel mikrogial dapat juga terinfeksi HIV
melalui ingesti kombinasi virus-antibodi atau melalui molekul CD4 yang diekspresikan oleh
sel tersebut. Banyak bukti menunjukkan bahwa molekul CD4 memegang peranan penting pada
patogenesis dan efek sitopatik HIV. Percobaan tranfeksi gen yang mengkode molekul CD4
pada sel tertentu yang tidak mempunyai molekul tersebut, menunjukkan bahwa sel yang semula
resisten terhadap HIV berubah menjadi rentan terhadap infeksi tersebut. Efek sitopatik ini
bervariasi pada sel CD4+, namun paling tinggi pada sel dengan densitas molekul CD4
permukaan yang paling tinggi yaitu sel limfosit T CD4+.
Sekali virion HIV masuk ke dalam sel, maka enzim yang terdapat dalam nukleoprotein
menjadi aktif dan memulai siklus reproduksi virus. Nukleoprotein inti virus menjadi rusak oleh
protease dan genom RNA virus akan ditranskripsi menjadi DNA untai ganda oleh enzim
reverse transcriptase dan kemudian masuk ke nukleus. Enzim integrase akan mengkatalisa
integrasi antara DNA virus dengan DNA genom dari sel hospes. Bentuk DNA integrasi dari
HIV disebut provirus, yang mampu bertahan dalam bentuk inaktif selama beberapa bulan atau
beberapa tahun tanpa memproduksi virion baru. Itu sebabnya infeksi HIV pada seseorang dapat
bersifat laten dan virus terhindar dari sistem imun hospes.
Partikel virus yang infeksius akan terbentuk pada saat sel limfosit T teraktivasi.
Aktivasi sel T CD4+ yang telah terinfeksi HIV akan mengakibatkan aktivasi provirus juga.
Aktivasi ini diawali dengan transkripsi gen struktural menjadi mRNA kemudian ditranslasikan
menjadi protein virus. Karena protein virus dibentuk dalam sel hospes, maka membran plasma
sel hospes akan disisipi oleh glikoprotein virus yaitu gp 41 dan gp 120. RNA virus dan protein
core kemudian akan membentuk membran dan menggunakan membran plasma sel hospes yang
telah dimodifikasi dengan glikoprotein virus, membentuk selubung virus dalam proses yang
dikenal sebagai budding. Pada beberapa kasus aktivasi provirus HIV dan pembentukan partikel
virus baru dapat menyebabkan lisisnya sel yang terinfeksi.
Selama periode laten, HIV dapat berada dalam bentuk provirus yang berintegrasi
dengan genom DNA hospes, tanpa mengadakan transkripsi. Ada beberapa faktor yang dapat
mengaktivasi proses transkripsi virus tersebut. Secara in vitro telah dibuktikan pada sel T yang
terinfeksi virus laten, rangsangan TNF (Tumor Necrosis Factor) dan IL-6 dapat meningkatkan
produksi virus yang infeksius. Hal ini penting karena monosit pada individu yang terinfeksi
HIV cenderung melepaskan sitokin dalam jumlah besar sehingga dapat menyebabkan
meningkatnya transkripsi virus. Infeksi beberapa virus dapat meningkatkan transkripsi
provirus DNA pada HIV sehingga berkembang menjadi AIDS yaitu; HTLV-1,
cytomegalovirus, virus herpes simplex, virus Epstein-Barr, adenovirus, papovirus dan virus
hepatitis B.

19
Gambar 4. Siklus Hidup HIV

Biasanya virus masuk tubuh dengan menginfeksi sel Langerhans di mukosa rektum
atau vagina yang kemudian bergerak dan bereplikasi di kelenjar getah bening setempat. Virus
kemudian disebarkan melalui viremia yang disertai dengan sindrom dini akut berupa panas,
mialgia dan artralgia. Pejamu memberikan respons seperti terhadap infeksi virus umumnya.
Virus menginfeksi sel T CD4+, makrofag dan sel dendritik dalam darah dan organ limfoid.
Selama fase sindrom akut ini, dapat ditemukan p24 dalam darah. Fase ini kemudian dikontrol
sel T CD8+ dan antibodi dalam sirkulasi terhadap p24, gp120 dan gp41. Efikasi sel Tc dalam
mengontrol virus terlihat dari menurunnya kadar virus. Respon imun tersebut menghancurkan
HIV dalam kelenjar getah bening yang merupakan reservoir utama HIV selama fase
selanjutnya dan fase laten.
Dalam folikel limfoid, virus terkonsentrasi dalam bentuk kompleks imun yang diikat
sel dendritik. Meskipun dalam fase laten virus diproduksi dalam kadar rendah, destruksi sel T
CD4+ berjalan terus dalam kelenjar limfoid. Akhirnya jumlah sel T CD4+ dalam sirkulasi
menurun, banyaknya kematian sel T juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam
usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi. Dengan menurunya jumlah sel T, maka
sistem imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan
makrofag dan menurunnya fungsi sel Th. Seseorang yang terinfeksi HIV dapat tetap tidak
memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel
T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-
300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala
infeksi ( herpes zoster dan jamur oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat
timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang
parah. Seorang diagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml
darah, atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau demensia AIDS.
Pada saat sel T4 yang terinfeksi diaktifkan, replikasi serta pembentukan tunas HIV akan
terjadi dan sel T4 akan dihancurkan. HIV yang baru dibentuk ini kemudian dilepas ke dalam
plasma darah dan menginfeksi sel-sel CD4+ lainnya. Karena proses infeksi dan pengambil
alihan sel T4 mengakibatkan kelainan dari kekebalan, maka ini memungkinkan
berkembangnya neoplasma dan infeksi opportunistik.
Sesudah infeksi inisial, kurang lebih 25% dari sel-sel kelenjar limfe akan terinfeksi oleh
HIV pula. Replikasi virus akan berlangsung terus sepanjang perjalanan infeksi HIV; tempat
primernya adalah jaringan limfoid. Kecepatan produksi HIV diperkirakan berkaitan dengan
status kesehatan orang yang terjangkit infeksi tersebut. jika orang tersebut tidak sedang
menghadapi infeksi lain, reproduksi HIV berjalan dengan lambat. Namun, reproduksi HIV
tampaknya akan dipercepat kalau penderitanya sedang menghadapi infeksi lain atau kalau
sistem imunnya terstimulasi. Keadaan ini dapat menjelaskan periode laten yang diperlihatkan
oleh sebagian penderita sesudah terinfeksi HIV. Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV
(65%) tetap menderita HIV/AIDS yang simptomatik dalam waktu 10 tahun sesudah orang
tersebut terinfeksi

20
Patogenesis AIDS

Gambar 5. Patogenesis HIV/AIDS

Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu
kali orang seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang
yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk ke tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%
berkembang menjadi pasien AIDS setelah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang
yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit
terbeut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem
kekbalan tubuh yang juga bertahap.
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu stelah terinfeksi. Gejala
yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare,
atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik yang umumnya
berlangsung selama 8-10 tahun.Tetapi ada sekelompok kecil yang berjalan cepat, yakni hanya
sekitar 2 tahun, ada pula yang berjalan lambat.
Seiring dengan memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala-
gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurn, demam lama, rasa lemah,
pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain.
Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa bulan tidak menunjukkan gejala,
secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk, dan
akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk ke tahap AIDS.

21
Jadi, yang disebut laten secara klinik (tanpa gejala), sebetulnya bukan laten bila ditinjau dari
sudut penyakit HIV. Manifestasi dari awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh adalah
kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan
limfoid, yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi
HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan
gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi yang
cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan
dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4+ yang tinggi, untungnya tubuh masih
bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4+ sekitar 109 sel setiap hari.

F. Diagnosa & Manifestasi Klinis2,3,8


Gambaran klinis HIV pada anak sangat bervariasi. Beberapa anak dengan HIV positif
menunjukkan keluhan dan gejala terkait HIV yang berat pada tahun pertama kehidupannya.
Anak dengan HIV positif lainnya mungkin tetap tanpa gejala atau dengan gejala ringan selama
lebih dari setahun dan bertahan hidup sampai beberapa tahun.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, perlu dicari:
 Ibu atau ayah memiliki risiko untuk terinfeksi HIV (riwayat narkoba suntik,
promiskuitas, pasangan dari penderita HIV, pernah mengalami operasi atau transfuse
darah)
 Memiliki morbiditas yang khas maupun sering ditemukan pada penderita HIV, yaitu:
diare kronik, gagal tumbuh, pneumonia berat, pneumonia P.carinii, demam
berkepanjangan, TB paru, kandidosis orofaring

Gejala yang menunjukkan kemungkinan infeksi HIV:


 Infeksi berulang: 3 atau lebih episode infeksi bakteri yang lebih berat (seperti
pneumonia, meningitis, sepsis, selulitis) pada 12 bulan terakhir
 Thrush: eritema pseudomembran putih di langit-langit mulut, gusi, dan mukosa pipi.
Pasca masa neonatal, ditemukannya thrush tanpa pengobatan antibiotik, atau
berlangsung lebih dari 30 hari walaupun telah diobati, atau kambuh, atau meluas
melebihi bagian lidah-kemungkinan besar merupakan infeksi HIV. Juga khas apabila
meluas hingga ke belakang kerongkongan (kandidiasis esophagus)
 Parotitid kronik: pembengkakan parotid uni-atau bi-lateral selama ≥ 14 hari, dengan
atau tanpa diikuti rasa nyeri atau demam
 Limfadenopati generalisata: terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada dua atau
lebih daerah ekstrainguinal tanpa penyebab jelas yang mendasarinya
 Hepatomegali tanpa penyebab yang jelas: tanpa adanya infeksi virus yang bersamaan
seperti CMV
 Demam yang menetap dan/atau berulang : demam (>380C) berlangsung lebih dari 7
hari, atau terjadi lebih dari sekali dalam waktu 7 hari
 Dermatitis HIV:ruam yang eritematus dan papuler. Ruam kulit yang khas meliputi
infeksi jamur yang ekstensif pada kulit, kuku dan kulit kepala, dan moluscum
contagiosum yang ekstensif

22
 Herpers zoster
 Kelainan neurologis: kerusakan neurologis yang progresif, mikrosefal, perkembangan
terlambat, hipertonia, atau bingung

Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim ditemukan pada
anak yang sakit bukan infeksi HIV :
 Otitis media kronik: keluar cairan/nanah dari telinga dan berlangsung ≥ 14 hari
 Diare persisten: berlangsung ≥ 14 hari
 Gizi kurang atau gizi buruk

Gejala yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV positif :
 Pneumocystitis pneumonia (PCP)
 Kandidiasis esophagus
 Lymphoid intersititial pneumonia (LIP)
 Sarcoma kapossi

Stadium HIV pada Anak7

Klasifikasi klinik WHO


Stadium klinis dapat digunakan untuk memulai pemberian kotrimoksazol dan memulai
ART khususnya bila pemeriksaan CD4+ tidak tersedia.

Stadium Klinis WHO untuk bayi dan anak dengan infeksi HIV/AIDS yang sudah
terbukti, (2006)

23
Kriteria imunologis

24
CD4+ adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefsiensi. CD4+ digunakan
bersamaan dengan penilaian klinis.dan dapat menjadi petunjuk dini progresivitas penyakit
karena nilai CD4+ menurun lebih dahulu dibandingkan kondisi klinis. Pemantauan CD4+
dapat digunakan untuk memulai pemberian ARV atau penggantian obat. Makin muda umur,
makin tinggi nilai CD4+. Untuk anak < 5 tahun digunakan persentase CD4+. Bila ≥ 5
tahun, persentase CD4+ dan nilai CD4+ absolut dapat digunakan. Ambang batas kadar CD4+
untuk imunodefsiensi berat pada anak ≥ 1 tahun sesuai dengan risiko mortalitas dalam 12
bulan (5%). Pada anak < 1 tahun atau bahkan < 6 bulan, nilai CD4+ tidak dapat memprediksi
mortalitas, karena risiko kematian dapat terjadi bahkan pada nilai CD4+ yang tinggi.

Hitung limfosit total (TLC) digunakan bila pemeriksaan CD4+ tidak tersedia untuk
kriteria memulai ART (imunodefsiensi berat) pada anak dengan stadium 2. Hitung TLC tidak
dapat digunakan untuk pemantauan terapi ARV.

Perhitungan TLC = % limfosit X hitung total leukosit.

Diagnosis definitif infeksi HIV pada bayi dan anak membutuhkan uji diagnostik
yang memastikan adanya virus HIV. Uji antibody HIV mendeteksi adanya antibody HIV
yang diproduksi sebagai bagian respons imun terhadap infeksi HIV.

Pada anak usia ≥ 18 bulan, uji antibody HIVdilakukan dengan cara yang sama seperti
dewasa. Pada usia 12 bulan, seorang anak yang diuji antibody HIV menggunakan ELISA atau
rapid, dan hasilnya negatif, maka anak tersebut tidak mengidap infeksi HIV apabila dalam 6
minggu terakhir tidak mendapat ASI. Bila pada umur <18 bulan hasil pemeriksaan antibody
HIV positif, uji antibody perlu diulangi pada usia 18 bulan untuk menyingkirkan
kemungkinan menetapnya antibodi maternal. Bila pada usia 18 bulan hasilnya negatif, maka

25
bayi tidak mengidap HIV asal tidak mendapat ASI selama 6 minggu terakhir sebelum tes.
Untuk anak > 18 bulan, cukup gunakan ELISA atau rapid test.

Perjalanan HIV pada Anak12

Cara dan waktu penularan infeksi HIV-1 pada anak mungkin selanjutnya berkontribusi
dengan laju progresi penyakit HIV. Autologous neutralizing antibody (aNab) maternal terlibat
sebagai faktor protektif melawan penularan HIV selama intra uteri. Studi Bryson and
colleagues from the University of California at Los Angeles menilai adanya antibody netralisir
diantara 21 transmisi dan 17 non-transmisi ibu yang tidak menerima zidovudine untuk
mencegah transmisi ibu ke anak. Adanya aNab (autologous neutralizing antibody) juga
berhubungan dengan ketiadaan progresi pada anak yang terinfeksi. Bayi yang mengalami
progresi cepat selama 2 tahun pertama kehidupan memiliki kadar aNab yang sangat rendah
bahkan nol untuk melawan virus yang ada atau yang telah berlalu. Sedangkan penyakit dengan
progresi intermediet awalnya menunjukkan tidak adanya kemampuan aNab, namun setelah 12
bulan menjadi mampu menetralisir virus. Anak dengan progresi lambat menunjukkan
peningkatan kemampuan menetralisir virus pada titer tinggi.

Infeksi HIV-1 pada anak memiliki variasi, yang menyebabkan gejala dini pada hampir
20% (progresi cepat). Kebanyakan anak menunjukkan progresi moderat penyakit, dan
sekelompok kecil menunjukkan asimptomatik selama beberapa tahun. Beberapa faktor yang
berpengaruh adalah karakteristik virus dan pejamu. Mengenai faktor pejamu, literature
menekankan pada peran gen CCR5 yang mengkode permukaan sel, molekul reseptor kemokin
yang berperan sebagai ko-reseptor bagi makrofag-tropik strain HIV. Anak digolongkan ke
dalam progressor cepat, moderat, dan lambat berdasarkan gejala klinis yang timbul dalam 2
tahun pertama kehidupan, umur 2-8 tahun, dan setelah umur 8 tahun. Multipel faktor dapat
mempengaruhi progresi penyakit HIV-1 pada anak selama infeksi perinatal, seperti faktor
infeksi utero versus intrapartum, status penyakit ibu saat kelahiran, pengobatan dan profilaksis
ibu dan bayi, dan HLA genotip 11.

Prevention of Mother to Child Infection (PMTCT)

Jika wanita dengan HIV positif hamil, ia harus diberi pelayanan yang meliputi
pencegahan dengan obat ARV, (dan pengobatan jika ada indikasi klinis), praktek obstetric yang
lebih aman, dan konseling serta dukungan tentang pemberian makanan bayi. Konsep dasar
PMTCT adalah meminimalkan paparan HIV pada janin selama kehamilan dan bayi setelah
persalinan.

 Persalinan :
Faktor yang memperbesar resiko penularan adalah ketika terjadi kontraksi, maka akan terjadi
penekanan plasenta, sehingga kemungkinan akan terjadi pencampuran darah ibu dan bayi.
Perlu dilakukan konseling kepada ibu dan pasangan mengenai manfaat dan risiko persalinan
pervaginam dan persalinan dengan seksio sesarea berencana. Persyaratan untuk persalinan

26
pervaginam: Ibu minum ARV teratur, atau Muatan Virus/ Viral Load tidak terdeteksi .
Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan muatan virus/ viral load pada usia kehamilan 36
minggu ke atas.
 Pemberian ARV pada PMTCT
Prinsipnya, penggunaan ARV selama kehamilan akan menurunkan jumlah virus dalam darah
ibu sehingga mengurangi paparan HIV dari ibu ke bayi. Untuk PMTCT, semua ibu hamil
diberikan ARV pencegahan tanpa melihat jumlah CD4 atau limfosit. Rejimen lini-pertama
yang direkomendasikan untuk kelompok ini adalah: (d4T atau AZT) + 3TC + NVP. EFV
harus dihindari pada kelompok perempuan tersebut di atas oleh karena sifatnya yang
teratogenik. Ibu hamil harus dimonitor secara ketat terhadap toksisitas, misalnya yang paling
sering adalah hepatotoksik. Bayi yang dilahirkan harus mendapat profilaksis ZDV selama satu
minggu.
 Pemberian makanan sehubungan HIV
Pada konseling harus dijelaskan tentang:
 Jika anak diketahui terinfeksi HIV dan sedang mendapat ASI, semangati ibu untuk
melanjutkan ASI
 Jika ibu diketahui HIV (+) dan status anak tidak diketahui, harus dilakukan konseling
bagi ibu mengenai untuk perencanaan pemberian susu pengganti dengan syarat AFASS
Apabila penggantian pemberian susu pengganti (susu formula) memenuhi AFASS berarti
Acceptable (dapat diterima), Feasible (mudah dilakukan), Affordable (harga terjangkau),
Sustainable (berkesinambungan), Safe (aman), maka sangat dianjurkan untuk menghindari ASI
dari ibu yang terinfeksi HIV.
Jika dalam keadaan tidak terjaminnya ketersediaan susu formula, perlu diperhatikan
pada pilihan ASI, perlu Manajemen Laktasi yang baik untuk mencegah lecet dan radang
payudara (mastitis). Bila puting sedang lecet/ luka, ASI tidak diberikan melalui puting yang
lecet. Dan jika yang dipilih adalah ASI eksklusif, maka selama pemberian ASI eksklusif tidak
boleh dicampur tambahan lain karena dapat menyebabkan iritasi usus sehingga transmisi virus
lebih tinggi terutama pada bulan awal.

G. Penatalaksanaan1,2,3
Terapi Anti Retroviral (ARV)
Terapi saat ini tidak dapat mengeradikasi virus namun hanya untuk mensupresi virus untuk
memperpanjang waktu dan perubahan perjalanan penyakit ke arah yang kronis.

27
Catatan:
 Risiko kematian tertinggi terjadi pada anak dengan stadium klinis 3 atau 4, sehingga
harus segera dimulai ART.
 Anak usia <12 bulan dan terutama < 6 bulan memiliki risiko paling tinggi untuk
menjadi progresif atau mati pada nilai CD4+ normal.
 Pada anak > 12 bulan dengan tuberkulosis (TB), khususnya pulmonal dan kelenjar
serta lymphoid-interstitial pneumonitis (LIP), kadar CD4+ harus diperiksa untuk
menentukan kebutuhan dan waktu pemberian ART. Bila mungkin lakukan tes CD4+
saat anak tidak dalam kondisi sakit akut.
 Nilai CD4+ dapat berfluktuasi menurut individu dan penyakit yang dideritanya. Bila
mungkin harus ada 2 nilai CD4+ di bawah ambang batas sebelum ART dimulai.
 Bila belum ada indikasi untuk ART lakukan evaluasi klinis dan nilai CD4+ setiap 3-6
bulan sekali, atau lebih sering pada anak dan bayi yang lebih muda. Pemantauan TLC
tidak diperlukan.
 Bila terdapat > 2 gejala yang memenuhi stadium 2 WHO dan pemeriksaan
CD4+ tidak tersedia maka dianjurkan untuk memulai pemberian ART

28
Obat ARV terdiri dari 3 golongan utama: nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NRTI), nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor (NNRTI), dan protease inhibitor (PI).

Baku pengobatan adalah triple therapy. WHO merekomendasikan bahwa rejimen lini
pertama adalah 2 NRTI ditambah 1 obat NNRTI. EFV (efavirenz) adalah pilihan NNRTI untuk
anak yang diberi rifampisin

Dosis FDC Menurut Berat Badan Anak3

29
PROFILAKSIS PRIMER

30
31
Tanda klinis yang penting sebagai respon terhadap pengobatan ARV pada anak adalah:
adanya kemajuan tumbuh kembang anak yang pernah mengalami gangguan, perbaikan gejala
neurologi dan perkembangan anak yang pernah mengalami keterlambatan perkembangan
mental atau ensefalopati, dan/atau menurunnya frekuensi penyakit infeksi yang dialami (seperti
infeksi bakterial, kandidiasis oral, dan/atau infeksi oportunistik lain). Pemantauan
laboratorium pada anak yang mendapat ART sama dengan yang direkomendasikan pada
ODHA dewas . Dengan tambahan pada pemantauan klinis terapi ARV pada anak sebaiknya
juga dilakukan pemantauan:
• Gizi dan status gizi;
• Perkembangan berat badan dan tinggi badan;
• Tumbuh kembang anak

Alasan mengganti ART pada bayi dan anak3

Prinsip dasar penggantian terapi pada anak hampir sama dengan yang diterapkan pada
ODHA dewasa, demikian juga penatalaksanaan toksisitas obat. Bila dapat teridentifikasi obat
dalam rejimen yang berhubungan dengan reaksi toksik, maka obat tersebut dapat diganti
dengan obat lain yang tidak memiliki efek samping yang sama. Tanda klinik untuk kegagalan
terapi pada anak adalah: lambatnya tumbuh kembang anak, atau kemunduran dalam
pertumbuhan anak yang awalnya memberikan respon terhadap terapi; tiadanya perkembangan
neurologis anak atau berkembangnya ensefalopati; dan kambuhnya penyakit infeksi, seperti
kandidiasis oral, yang tidak mempan oleh pengobatan. Penggantian obat jangan didasarkan atas
kriteria klinis semata, seharusnya kesimpulan bahwa ada kegagalan ART diambil setelah anak
mendapatkan terapi yang cukup lama (contoh, anak harus telah mendapatkan rejimen ARV
tersebut paling sedikit 24 minggu). Oleh karena penurunan jumlah mutlak CD4 sangat
tergantung pada umur sampai anak berumur 6 tahun, sangat sulit untuk menilai adanya
kegagalan terapi pada anak yang lebih muda. Setelah umur 6 tahun jumlah CD4 hampir
mencapai jumlah dewasa dan CD4 dapat dipakai sebagai dasar kriteria. Untuk memantau
respon terhadap terapi dipakai persentase CD4 oleh karena variasinya lebih kecil dan tidak
tergantung pada umur. Belum ada data yang pasti tentang penggunaan limfosit total untuk
mengevaluasi hasil ART pada anak.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiawan, M. Tatalaksana infeksi HIV/AIDS pada bayi dan anak. Maj Kedokt Indon,
Volum: 59, Nomor: 12, Desember 2009.
2. Menkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.51 Tahun 2013 tentang
Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke anak . 2013. 08-10
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Tatalaksana dan Anti Terapi
Antiretroviral Pada Anak Indonesia. 2008
4. Bedri A, Lulseged S. Clinical description of children with HIV/ AIDS admitted to a
referral hospital in Addis Ababa. Ethiop Med J. 2001;39(3):203-11
5. Madhivanan-Aguilar G, Mothi SN, Kumarasami N, Yeptomi T, Venkatesan C, Lambert
JS, et al. Clinical manifestations of HIV infected Children. Indian J Peditr, 2003;
70(8):615-20
6. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
7. Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Anak Di Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan 2008
8. Bagus Rahmat Prabowo. Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke anak
terkini, symposium setengah ahri informasi pengobatan HIV terkini. Juni 2009. Atmajaya,
Jakarta. http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=3003
9. UNAIDS. 2010. Guidelines on HIV and infant feeding. 2010. Principles and
recommendations for infant feeding in the context of HIV and a summary of evidence.
World Health Organization.
10. Yuly. 2011. Aspek klinis HIV. Cermin Dunia Kedokteran. 182 (Januari-Februari): 21-24.
11. Riska, Darmadi. Diagnosis dan tatalaksana infeksi hiv Pada neonatus. Majalah Kedokteran
Andalas No.1. Vol.36. Januari-Juni 2012.
12. Fazidah AS. AIDS dan upaya penanggulangannya di Indonesia. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara. http://library.usu.ac.id/modules.

33

You might also like