You are on page 1of 3

2.

1 Acute Encephalitis Syndrome

2.1.1 Definisi

Acute encephalitis syndrome (AES) didefinisikan sebagai onset demam akut yang disertai

perubahan status mental atau penurunan kesadaran dan/atau kejang. Temuan klinis awal lainnya

dapat termasuk iritabilitas, somnolens, atau perilaku yang abnormal yang lebih parah daripada

yang biasanya didapatkan pada penyakit demam biasanya (WHO, 2003).

2.1.2 Epidemiologi

Prevalensi ensefalitis di Asia mencapai sekitar 68.000 kasus per tahun, dengan penyebab

utama JEV. Case fatality rate hampir mencapai 30% dan sequelae permanen dari aspek neurologis

atau psikiatrik dapat terjadi pada 30-50% pasien. Angka kematiannya relatif tinggi antara 7,3%

sampai 48,6% (Solomon dkk., 2000; Subanada dan Kari, 2013). Penelitian di Bali pada tahun 2015

mendapatkan hasil terdapat sebanyak 312 kasus baru AES selama tahun 2015. Infeksi JE positif,

yang didiagnosis melalui klinis dan pemeriksaan ELISA, didapatkan pada 17,7% subyek, dengan

insiden tahunan 1,2/100.000 pada tahun 2015, dengan 92% didapatkan pada anak usia kurang dari

15 tahun (Suwarba dkk., 2016). Penyebaran penyakit ini tergantung musim, terutama pada musim

hujan saat populasi nyamuk Culex meningkat, kecuali di Malaysia, Singapura, dan Indonesia

(diperkirakan sporadik, terutama di daerah pertanian) (Maha, 2012).

2.1.3 Etiologi

Beberapa mikroorganisme terbanyak yang dapat menyebabkan ensefalitis adalah herpes

simpleks, arbovirus, Eastern and Western Equine, La Crosse, St. Louis encephalitis, dan JEV.

Penyebab yang jarang antara lain enterovirus (coxsackie dan echovirus), parotitis, Lassa virus,
rabies, cytomegalovirus (CMV). Meskipun Indonesia memiliki insiden ensefalitis yang tinggi

secara klinis, tetapi etiologi yang berhasil dideteksi hanya JEV (Hom, 2017; Maha, 2012).

2.1.4 Manifestasi klinis

Masa inkubasi bervariasi antara 4 sampai 14 hari. Perkembangan gejala terbagi atas 4 stadium:

fase prodromal (2-3 hari), akut (3-4 hari), subakut (7-10 hari), dan penyembuhan atau

convalescence (4-7 minggu). Gejala biasanya datang tiba-tiba, seperti nyeri kepala, gangguan

pernapasan, penurunan nafsu makan, mual, sakit perut, muntah, dan gangguan kesadaran. Gejala

kerusakan otak sehubungan dengan infeksi dapat berupa kejang dan/atau pergerakan abnormal,

pergerakan bola mata yang tidak simetris, refleks kornea negatif, dan pernapasan tidak teratur.

Demam didapatkan tidak terlalu tinggi disertai gangguan pernapasan. Kejang dialami oleh 10-24%

penderita anak. Gejala peningkatan tekanan intrakranial mencakup nyeri kepala hebat, muntah,

pupil tidak reaktif terhadap cahaya, hemiplegia, bradikardia, dan hipertensi. Pada kasus fatal,

pasien dapat koma dan meninggal (Feigin dan Cherry, 1987; Maha, 2012).

Pemeriksaan fisis menunjukkan kelainan neurologis yang bervariasi antara lain kelemahan

menyeluruh, peningkatan tonus otot, dan peningkatan refleks (termasuk refleks patologis), diikuti

hiporefleksia. Papiledema ditemukan pada sekitar 10% pasien. Pada 33% pasien ditemukan lesi

saraf kranialis seperti strabismus. Tanda ekstrapiramidal sering didapatkan pada pemeriksaan

dengan klinis wajah seperti topeng, tremor, kaku, dan adanya gerakan tidak lazim. Pada

pemeriksaan laboratorium fase akut, biasanya pemeriksaan darah dan cairan otak menunjukkan

peningkatan leukosit. Beberapa hari kemudian, tampak limfosit dominan. Albuminuria sering

ditemukan (Swaiman dkk., 2017; Venkatesan dan Geocadin, 2014).

Pada kasus berat, sebanyak 40 sampai 75% ensefalitis dapat meninggalkan gejala sisa,

termasuk kelumpuhan dan keterbelakangan mental atau penurunan kognitif (Swaiman dkk., 2017).
2.1.5 Diagnosis

Dari pemeriksaan cairan serebrospinalis didapatkan cairan jernih, sel 10-200 dengan hitung

jenis polimorfonuklear kurang dari 50%, protein 50-100, glukosa di atas 50%, serta pemeriksaan

Nonne dan Pandy negatif. Diagnosis pasti adalah ditemukannya virus dalam darah atau cairan

spinal, tetapi isolasi virus sangat sulit pada manusia karena masa viremia yang mungkin pendek

sekali sehingga saat pasien mengalami gejala, masa viremianya sudah berlalu. Uji serologi yang

dapat dilakukan yaitu uji hemagglutination inhibition (HI) dan ELISA dengan serum fase akut dan

konvalesen sehingga dapat dilihat kenaikan titer antibodi terhadap virus, terutama JEV (Endy dan

Nisalak, 2002; Swaiman dkk., 2017).

2.1.6 Komplikasi

Ensefalitis dapat menyebabkan gangguan metabolik, salah satunya adalah gangguan elektrolit,

dimana hiponatremia adalah gangguan elektrolit yang sering ditemukan pada pasien rawat inap.

Pada pasien dengan AES, manifestasi klinis muntah, diare, asupan kurang, obat (agen osmotik,

karbamazepin, dan diuretik), syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic hormone

(SIADH), dan cerebral salt wasting (CSW) dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia. (Misra

dkk., 2017; Sorkhi dkk., 2013; von Vigier dkk., 2001). Penelitian oleh Misra dkk. (2017)

mendapatkan hiponatremia terjadi pada 27,8% penderita AES, dengan 55% diantaranya

disebabkan karena CSW. Gangguan elektrolit lebih jauh dapat menyebabkan ensefalopati,

sehingga memperberat gejala ensefalitis tersebut (Misra dkk., 2017).

You might also like