You are on page 1of 19

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/326447004

SINDROMA GUILLAIN-BARRE (GUILLAIN-BARRE SYNDROME) (GBS)

Chapter · July 2013

CITATIONS READS

0 1,650

1 author:

Shahdevi Nandar
Brawijaya University
33 PUBLICATIONS   7 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Dermatology and Neurology View project

All content following this page was uploaded by Shahdevi Nandar on 17 July 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


SINDROMA GUILLAIN-BARRE

GUILLAIN-BARRE SYNDROME (GBS)

HOW CITE THIS ARTICLE :

Kurniawan, S. N. 2013. Sindroma Guillain-Barre


dalam Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan II Neurologi
Malang 2013. PT Danar Wijaya, Malang. p27-42
SINDROMA GUILLAIN-BARRE (GBS)

Shahdevi Nandar Kurniawan

Sindrom Guillain Barre (GBS) atau dikenali sebagai acute inflammatory demyelinating
polyradiculopathy (AIDP), merupakan jenis neuropati akut yang paling umum dan dapat terjadi
pada semua golongan usia. Kasus terbanyak disebabkan oleh serangan autoimun pada mielin saraf-
saraf motor yang kebanyakan dipicu oleh infeksi. Penyebab infeksi terbanyak yang telah
diidentifikasi adalah Campylobacter jejuni, Cytomegalovirus, Eipstein-Barr virus, Mycoplasma
pneumonia, dan Haemophilus influenza. Penyebab lain GBS yang jarang adalah vaksinasi. Kira-
kira dari satu pertiga kasus tidak dapat ditemukan pemicu dari sistem autoimun.

Sindroma Guillain-Barre (GBS) mempunyai karakteristik yaitu disfungsi saraf kranial dan
perifer dengan onset akut. Infeksi virus pada saluran pernafasan ataupun pencernaan, imunisasi,
atau tindakan bedah biasanya seringkali terjadi 5 hari sampai 4 minggu sebelum terjadinya gejala
neurologis. Gejala dan tanda-tanda terjadinya sindroma Guillain-Barre termasuk kelemahan secara
simetris yang cepat dan progresif, hilangnya refleks tendon, diplegia wajah, parese otot orofaring
dan otot pernafasan, dan terganggunya sensasi pada tangan dan kaki. Terjadi perburukan kondisi
dalam beberapa hari hingga 3 minggu, diikuti periode stabil dan perbaikan secara bertahap menjadi
kembali normal atau mendekati fungsi normal. Plasmapharesis atau IVIG yang dilakukan lebih
awal akan mempercepat penyembuhan dan memperkecil angka kejadian kecacatan neurologis
jangka panjang.

Di Amerika Utara dan Eropa, angka polineuropati inflamasi demyelinasi akut terhitung
sebanyak lebih dari 90% adalah GBS. Termasuk GBS adalah neuropati axon motoris akut
(AMAN), neuropati axon motoris dan sensoris akut (AMSAN), sindroma Miller-Fisher, dan
neuropati autonom dan sensoris akut.

Etiologi

Penyebab GBS masih belum diketahui secara lengkap. Ada bukti bahwa dipengaruhi oleh
sistem imun. Terdapat patologi imun dan pasien akan membaik dengan terapi modulasi imun.
Sebuah penyakit dengan gambaran klinis serupa (serupa dalam patologi, elektrofisiologi dan
gangguan CSF) dapat diinduksi pada hewan coba dengan imunisasi saraf tepi utuh, mielin saraf
tepi, atau pada beberapa spesies oleh protein dasar mielin saraf tepi P2 atau galaktoserebrosid.
Sebuah langkah penting pada penyakit autoimun adalah terganggunya self-tolerance dan ada bukti
bahwa hal ini terjadi karena mimikri molekular pada 2 bentuk GBS, AMAN dan sindroma Miller-
Fisher, dengan reaksi silang epitope antara Campylobacter jejuni dan saraf tepi. Saat GBS
didahului oleh infeksi virus, tidak ada bukti langsung infeksi virus pada saraf tepi maupun radix
saraf.
Organisme penyebab GBS • Epstein-Barr virus • Mycoplasma pneumoniae
• Campylobacter jejuni • Cytomegalovirus
• HIV
Vaksinasi yang berpotensi • Rabies vaccine • Influenza vaccines
menimbulkan GBS • Oral polio vaccine • Smallpox vaccine
• Diphtheria and tetanus vaccines
• Measles and mumps vaccines
• Hepatitis vaccines

Elektrofisiologi dan Patologi

Secara histologis, GBS memiliki ciri-ciri demielinasi segmen fokal dengan infiltrat
perivaskular dan endonurial yang terdiri dari limfosit, monosit atau makrofag . Lesi ini tersebar
pada saraf, radik saraf, dan saraf kranialis. Pada beberapa lesi yang parah, terdapat degenerasi
akson dan demielinasi segmental. Pada proses penyembuhan, remielinasi terjadi, namun infiltrat
limfosit tidak menghilang.

Gambar 1 : Karakteristik model kelinci dengan neuropati aksonal motorik akut.


(a) Kelinci dengan kelemahan tungkai setelah disensitisasi dengan lipooligosakarida Campylobacter jejuni. Tubuhnya yang
lemas, semua ekstremitas ekstensi, kepala di lantai tidak berdiri tegak seperti biasanya dan postur membungkuk.
(b) Bagian longitudinal dari cauda equina. Nodus Ranvier diwarnai selektif dengan protein G (panah) skala 10 µm.
(c) Mikrograf elektron dari serat saraf dengan infiltrasi makrofag. Makrofag (M) menempati ruang periaxonal diantara akson
yang atrofi (A) dan diselubungi mielin yang hampir normal, skala bar 5 µm.
(d) Wallerian degenerasi serabut saraf pada kelinci yang lumpuh dan mati setelah 39 hari onset. Penampang saraf siatik dengan
pewarnaan toluidin biru. Myelin ovoids diproduksi oleh degenerasi Wallerian dari serat bermielin (panah), skala bar 10 µm.
Kecepatan konduksi saraf berkurang pada GBS, namun dapat menunjukkan nilai normal
pada awal penyakit. Distal latensi sensoris dan motoris dapat menjadi lebih lama. Karena
demielinasi pada radik saraf, latensi minimal pada gelombang F seringkali meningkat atau tidak
ada respon. Perlambatan konduksi dapat terjadi selama hitungan bulan atau menahun setelah
penyembuhan secara klinis. Secara umum, keparahan abnormalitas saraf tidak berhubungan
dengan derajat pelambatan konduksi, namun berkaitan dengan melebarnya blokade konduksi atau
hilangnya akson. Kelemahan yang bertahan lama adalah yang paling sering terjadi saat amplitudo
dari aksi potensial motoris (CMAP) berkurang hingga kurang dari 20% nilai normal.

Insiden

GBS adalah neuropati demielinasi yang paling sering terjadi, dengan angka insiden 0,6
hingga 1,9 kasus dalam 100.000 populasi. Insiden meningkat bertahap seiring meningkatnya usia,
namun penyakit ini dapat terjadi pada semua umur. Laki-laki dan perempuan secara setara
terpengaruh oleh penyakit ini. Insiden meningkat pada pasien dengan penyakit hodgkin, dan juga
pada pasien hamil atau pasien dengan tindakan bedah umum.

Gejala dan tanda

GBS seringkali muncul beberapa hari hingga beberapa minggu setelah gejala infeksi virus
pada saluran pernafasan atas atau pada saluran pencernaan. Biasanya gejala neurologis pertama
adalah kelemahan anggota gerak simetris, seringkali juga diikuti dengan mati rasa. Berlawanan
dengan kebanyakan neuropati, otot proximal kadang terpengaruh lebih besar dibandingkan dengan
otot distal. Pada beberapa kasus, otot wajah, mata, dan orofaring terpengaruh lebih dahulu. Lebih
dari 50% pasien mengalami diplegia wajah, dan disfagia maupun disartria terjadi dalam jumlah
kasus yang serupa. Beberapa pasien membutuhkan ventilasi mekanik. Refleks tendon bisa normal
dalam beberapa hari awal namun hilang pada hari-hari berikutnya. Derajat gangguan sensoris
memiliki banyak variasi. Pada beberapa pasien, semua modalitas sensoris terjaga dengan baik,
pada kasus lain terdapat penurunan pada persepsi posisi sendi, getaran, rasa sakit, temperatur
dengan distribusi pada telapak tangan dan kaki (glove-stocking). Pasien kadang mengalami
papiledem, ataksia sensoris, dan respon ekstensor plantar yang tidak permanen. Disfungsi autonom
termasuk hipotensi ortostatik, tekanan darah yang labil, takiaritmia, dan bradiaritmia, atau
takikardia menetap sering terjadi pada kasus yang lebih parah dan menjadi sebab utama morbiditas
dan mortalitas. Banyak juga kejadian nyeri otot, dan bisa terjadi peningkatan sensitivitas saraf pada
penekanan, namun tidak ada tanda iritasi meningen seperti rigiditas nuchal.

Variasi

AMAN adalah variasi GBS. Terdapat degenerasi akson motoris dengan sedikit atau banyak
tidak ada inflamasi. Terlepas dari keikutsertaan akson, proses penyembuhan mirip dengan bentuk
demielinasi. AMAN dapat mengikuti infeksi C. jejuni atau injeksi gangliosida parenteral.
Sindroma Miller-Fisher memiliki ciri-ciri ataksia cara jalan dan parese otot mata. Abnormalitas
pupil kadang terjadi. Dikatakan sebagai varian GBS, karena seringkali didahului oleh infeksi
saluran nafas, memburuk dalam beberapa minggu, lalu membaik, dan protein CSF meningkat.
Tidak ada kelemahan anggota gerak dan konduksi saraf secara umum normal, walaupun refleks H
dapat terpengaruh. Pada beberapa kasus, MRI menunjukkan lesi hiperinten pada batang otak.
Variasi GBS lainnya adalah AMSAN, neuropati atau neuronopati sensoris akut, dan neuropati atau
pandysautonomia autonom akut.

Tabel 1. Tipe-tipe dari GBS

Tipe Deskripsi
Acute inflammatory The most common form of GBS, accounting for 90% of cases in North
demyelinating America and Europe. The main features include ascending motor and
polyradiculoneuropathy sensory neuron loss.
(AIDP)
Acute motor axonal Account for approximately 3–5% of cases within the developed world
neuropathy (AMAN)/ but are more common in China, Japan and Mexico, accounting for 30–
acute motor and 47% of cases in Asia and Central and South America. Occur following
sensory neuropathy infection with Campylobacte jejuni. These forms of GBS have a more
rapid onset and severity, frequently leading to neuromuscular respiratory
(AMSAN)
failure and ventilator dependence and cranial nerve involvement.
Accounts for approximately 5% of all cases of GBS. Annual incidence
Miller Fisher syndrome is much lower than other forms of GBS at 0.1 per 100 000. Main
symptoms are oculomotor dysfunction, ataxia and absent reflexes. Many
patients develop facial and bulbar palsies and a few will require
mechanical ventilation.
Chronic idiopathic chronic relapsing remitting form of GBS that presents with chronic
demyelinating progressive or relapsing weakness, sensory loss and paraesthesia, absent
polyradiculoneuropathy reflexes and/or cranial nerve dysfunction. Prevalence is around 3–4 per
(CIDP) 100 000. Neuromuscular respiratory failure and cranial nerve
dysfunction can occur, although are less common than in AIDP.

Data laboratorium

Kandungan protein CSF meningkat pada kebanyakan pasien dengan GBS, namun dapat
menunjukkan nilai normal pada beberapa hari awal setelah onset. Jumlah sel CSF biasanya normal,
namun pada beberapa pasien dengan selain GBS tipikal memiliki 10 hingga 100 sel
mononuklear/ul pada CSF. Mononukleosis infeksiosa, infeksi CMV, hepatitis viral, infeksi HIV,
atau penyakit yang disebabkan oleh virus yang mendahului penyakit ini dapat didokumentasikan
menggunakan studi serologis. Meningkatnya titer antibodi IgG atau IgA menjadi GM-1 atau GD-
1a dapat ditemukan pada bentuk aksonal GBS. Antibodi anti-GQ-1b berhubungan erat dengan
sindroma Miller-Fisher.

Perjalanan penyakit
Gejala biasanya mencapai puncak keparahan dalam 1 minggu setelah onset dan berlanjut
sampai 3 minggu atau lebih. Kematian jarang terjadi namun dapat diikuti dengan pneumonia
aspirasi, emboli paru, infeksi interkuren, atau disfungsi autonom. Laju penyembuhan dapat
bervariasi. Beberapa kasus terjadi pengembalian fungsi normal dengan cepat dalam beberapa
minggu. Kebanyakan terjadi secara lambat dan tidak sembuh secara sempurna dalam hitungan
bulan. Penyembuhan dapat dipercepat dengan tindakan plasmapharesis lebih awal atau terapi
immunoglobulin intravena. Pada kejadian yang tidak diterapi, 35% pasien memiliki residu
hiporefleksi permanen, atrofi, dan kelemahan otot distal atau parese otot wajah. Sebuah penyakit
bifasik dengan penyembuhan sebagian diikuti oleh relaps terjadi pada 10% pasien. Rekurensi
setelah penyembuhan sempurna terjadi pada sekitar 2% pasien.

Diagnosis dan diferensial diagnosis

GBS didefinisikan dengan karakteristik riwayat perkembangan neuropati motor atau


sensorimotor subakut setelah infeksi virus, proses persalinan, atau tindakan bedah ditambah
dengan dengan elektofisiologi yang sesuai dan peningkatan kandungan protein CSF dengan jumlah
sel yang normal.

Di masa lalu, prinsip sebuah penyakit untuk dibedakan dengan GBS adalah polineuropati
difteri dan poliomyelitis akut. Saat ini keduanya jarang ditemui di amerika serikat. Polineuropati
difteri biasanya dapat dibedakan dengan adanya peiode laten yang lama antara infeksi saluran
nafas dengan inset neuritis., frekuensi kelumpuhan akomodasi, dan perkembangan gejala yang
relatif lambat. Poliomyelitis anterior akut dapat dibedakan dengan kelumpuhan asimetris, tanda
iritasi meningeal, demam, dan pleositosis pada CSF. Infeksi virus akut west nile dapat memberikan
gambaran yang sama. Ensefalitis akut adalah manifestasi neurologis yang paling sering pada west
nile, diikuti oleh sindroma paralisis akut. Kelemahan asimetris atau monomelic menjadi salah satu
karakteristiknya, namun pada beberapa kasus terjadi perkembangan seperti GBS. Beberapa kasus
menimbulkan presentasi prodromal seperti flu tanpa ensefalitis. Kadang pasien dengan HIV
memiliki gangguan yang sama seperti pasien GBS. Neuropati porphyric mirip dengan GBS secara
klinis namun dapat dibedakan dengan normalnya protein CSF, krisis abdomen yang rekuren, gejala
gangguan mental, onset setelah adanya paparan terhadap obat-obatan barbiturat atau obat-obatan
lainnya, dan tingginya tingkat asam gamma-aminolevulinic dan porphobilinogen pada urin.
Perkembangan sindroma seperti GBS selama pemberian zat makanan secara parenteral dalam
waktu yang lama meningkatkan kemungkinan terjadinya hipofosfatemia karena disfungsi saraf.
Neuropati toksik disebabkan oleh inhalasi n-hexana atau thalium atau ingesti arsenic dapat terjadi
secara akut dan subakut. Botulism sulit dibedakan dengan bentuk gangguan GBS yang murni pada
motoris karena manifestasi klinisnya yang sama., namun otot okuler dan pupil seringkali
terpengaruh. Tes elektrofisiologi pada botulism menunjukkan kecepatan konduksi saraf yang
normal dan memberikan respon pada stimulasi saraf berulang. Paralisis tick yang terjadi hanya
pada anak-anak harus dieksklusi dengan pemeriksaan kulit kepala dengan teliti.

Tabel 2. Gambaran diagnosis untuk evaluasi kemungkinan suatu GBS


Required for • Bilateral symptoms • Usually begins in the legs
diagnosis • Decreased myotatic reflexes • Complete areflexia often occurs in affected
limbs
• Subacute, weakness and • Peaks within four weeks: peaks by two weeks
diminished/absent reflexes in 50 percent of cases, and by three weeks in
80 percent of cases
Supportive of Clinical
diagnosis • Autonomic involvement • Cardiac arrhythmias, orthostasis, blood
pressure instability, urinary retention,
slowing of gastrointestinal motility; absent in
some subtypes
• Facial weakness occurs in 30 to 50 percent of
• Cranial nerve involvement cases; ophthalmoplegia is common with the
Miller Fisher subtype; rarely an initial feature
• Relatively symmetrical • Symptoms may not be absolutely symmetrical
in affected limbs or face
• Sensory involvement • Usually mild; absent in some subtypes,
prominent in others (i.e., acute motorsensory
axonal neuropathy)
• Symptom pattern over • Peak by two to four weeks, with variable
time plateau followed by recovery; permanent
sequelae are possible
Cerebrospinal fluid findings
• Elevated protein levels • Levels may be normal early, but they are
elevated by the end of the second week of
symptoms in 90 percent of cases
• Normal white blood cell • Less than 10 per mm3 (10 × 106 per L)
count
• Slowing (< 60 percent • Slowing of nerve conduction occurs in
normal velocity) or blockage 80 percent of cases, but this may take
weeks to develop8,9
of nerve
conduction
Rules out • Evidence of neurotoxic • Porphyria, diphtheria, botulism, toxic
diagnosis conditions neuropathy
• Hexacarbon or lead • Solvent abuse, exposure to some paints and
exposure vapors, occupational exposure
• Sensory symptoms are predominant in the very
• Only sensory symptoms
rare form of acute motor-sensory axonal
neuropathy, but other neurologic symptoms are
also present
Raises doubt • Cerebrospinal fluid • Polymorphonuclear leukocyte or monocytes
about diagnosis leukocytosis —
• Delineated level of
sensory dysfunction —
• Persistent and significant
asymmetry of symptoms • Occurring at onset or persistent symptoms
• Prominent bowel or
bladder symptoms
Pungsi lumbar harus dilakukan pada pasien yang dicurigai GBS. Konsentrasi protein
Cerebrospinal fluid (CSF) biasanya normal pada minggu pertama, tetapi meningkat >90% pada
pasien GBS pada akhir minggu kedua setelah muncul gejala. Peningkatan pleositosis menandakan
adanya kemungkinan penyakit lain seperti infeksi leptomeningeal, Lyme disease, infeksi virus
West Nile, SGB behubungan dengan HIV, atau poliomielitis.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, tes fungsi pulmonari termasuknya NIF dan FVC,
harus dilakukan setelah diagnosis ditetapkan. NIF<20 atau FVC<15cc/kg merupakan indikator
untuk melakukan intubasi endotrakea dan bantuan ventilasi. Penurunan konsisten parameter ini
menandakan kemungkinan akan terjadinya kolaps respiratori. Syok spinal disebabkan kompresi
atau inflamasi pada kordal juga menimbulkan gejala seperti kelemahan tungkai dan arefleksi.
Pasien yang dicurigai adanya disfungsi kordal spinal (didiskusikan pada seksi selanjutnya) harus
dilakukan pencitraan segera pada kordal, sebaiknya MRI. Walaupun bukannya dilakukan pada
saat emergensi, elektromiografi (EMG) dan studi konduksi saraf dapat membantu klarifikasi
diagnosis. Studi elektrodiagnostik adalah abnormal pada 90% pasien dalam jangka waktu 5
minggu setelah munculnya gejala, meskipun persentase signifikan pada minggu pertama atau
kedua dapat ditemukan demielinasi pada studi konduksi saraf.

Tabel 3. Diagnosa banding dari GBS


Central nervous system • Brainstem: infection, stroke
conditions • Spinal cord: compression myelopathy, poliomyelitis, transverse
myelitis
Muscle conditions • Metabolic: hypokalemia, hypophosphatemia
• Myopathy: infectious, inflammatory, toxic
• Periodic paralysis
• Rhabdomyolysis
Neuromuscular junction • Myasthenia gravis
conditions • Toxicity: industrial chemicals and other toxins
Polyneuropathies • Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy
• Critical illness Infection (Lyme disease)
• Metabolic: diabetes mellitus, porphyria, uremia Toxicity: biologic
toxins (diphtheria, botulism), heavy metals (arsenic), substance
abuse (n-hexane exposure from glue sniffing)
• Vasculitis
• Other: lymphoma, paraneoplastic disease, sarcoidosis

Pengobatan

Plasmapharesis lebih awal dan terapi IVIG terbukti berguna pada pasien GBS. Pemberian
glukokortikoid tidak memendekkan perjalanan penyakit ataupun memperngaruhi prognosis.
Bantuan nafas mekanik kadang dibutuhkan dan pencegahan terhadap aspirasi makanan atau isi
lambung harus dilakukan jika otot orofaring terganggu. Paparan pada keratitis harus dicegah pada
pasien dengan diplegia wajah.

Perawatan kegawatdaruratan pada GBS termasuk monitoring respirasi dan kardiovaskular


secara ketat. Bisa didapatkan indikasi untuk dilakukan intubasi.
Gangguan autonom yang labil dapat menimbulkan komplikasi pada penggunaan obat-obat
vasoaktif dan sedatif. Pada kasus yang berat, kelemahan otot dapat menimbulkan kegagalan nafas.
Sebuah penelitian epidemiologis pada tahun 2008 melaporkan bahwa terdapat 2-12% mortalitas
walaupun sudah dilakukan managemen pada ICU.

Plasma exchange dan imunoglobulin intravena bisa menjadi terapi yang efektif, namun
pasien bisa membutuhkan intubasi dan perawatan intensif yang lebih lama. Setelah keluar rumah
sakit, terapi selama rawat jalan dan terapi lewat aktivitas sehari-hari dapat memberikan perbaikan
pada pasien GBS untuk meningkatkan status fungsional mereka.

Sekitar setengah dari semua pasien penderita GBS mengalami neuropati residual jangka
panjang yang mempengaruhi serabut syaraf bermyelin baik dengan ukuran besar maupun sedang.
Secara keseluruhan, pasien yang menderita GBS cenderung berkurang kualitas hidup maupun
fungsi fisiknya. Pada kasus yang sangat langka, pasien dapat mengalami rekurensi GBS.

Diantara penderita GBS yang bertahan hidup, Khan et al menemukan bahwa faktor-faktor
berikut berhubungan dengan tingkat fungsi dan kondisi yang lebih buruk:
- Jenis kelamin perempuan
- Usia yang tua (57 tahun atau lebih)
- Masuk rumah sakit lebih dari 11 hari
- Perawatan di Intensive care unit
- Keluar rumah sakit untuk rehabilitasi
Outcome tidak menunjukkan hubungan dengan derajat keparahan penyakit saat onset.

Tabel 4. Komplikasi dan efek akut dari GBS

Tanda Tindakan
Neuromuscular respiratory failure Approximately 25% of patients will develop
neuromuscular respiratory failure requiring ventilation
Facial weakness and bulbar palsy These symptoms lead to dysphagia and are predictive
of the need for ventilation
Autonomic dysfunction, including cardiac Autonomic dysfunction, often due to involvement of
arrhythmias, labile blood pressure and the vagus nerve, affects 15% of patients with AIDP.
postural hypotension, paralytic ileus and These symptoms are associated with significant
urinary retention mortality
Syndrome of inappropriate ADH secretion Requires careful monitoring of electrolytes

ABCs, Intubasi, and Monitoring

Perawatan sebelum masuk rumah sakit pada pasien dengan sindroma Guillain-Barre (GBS)
membutuhkan perhatian yang ketat pada jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi (ABCs). Indikasi
pemberian oksigen dan bantuan pernafasan dapat ditemukan, bersamaan dengan pemasangan infus
untuk administrasi intravena. Petugas medis kegawatdaruratan harus memonitor aritmia jantung
dan mentransport pasien dengan secepat mungkin.
Pada departemen kegawatdaruratan (ED), ABCs, IV, oksigen, dan bantuan pernafasan
dapat tetap terindikasi untuk dilanjutkan. Intubasi harus dilakukan pada pasien yang mengalami
kegagalan nafas derajat berapapun. Indikatir klinis untuk intubasi pada ED termasuk hipoksia,
fungsi respirasi yang menurun dengan cepat, batuk yang lemah, dan curiga adanya aspirasi. Pada
umumnya, intubasi terindikasi pada saat Forced vital capacity (FVC) kurang dari 15 ml/kg.
Pasien harus dimonitor secara ketat untuk mengetahui perubahan tekanan darah, denyut
jantung, dan aritmia. Terapi jarang dibutuhkan untuk takikardia. Atropine direkomendasikan untuk
bradikardi simptomatik. Karena adanya labilitas dari disautonomia, hipertensi paling baik diterapi
dengan agen yang bekerja jangka pendek, seperti beta-blocker jangka pendek atau nitroprusside.
Hipotensi dari diautonomia biasanya merupakan respon yang timbul pada cairan intravena dan
pemposisian supinasi. Pacing secara temporer dapat dibutuhkan pada pasien heart block derajat
dua dan tiga.
Konsultasikan dengan spesialis neurologi jika ada ketidakpastian dan ketidakyakinan
dalam diagnosis. Konsultasikan pada tim ICU untuk evaluasi butuh tidaknya untuk dimasukkan
ke ICU. Keputusan untuk melakukan intubasi pada pasien GBS ditentukan berdasarkan kasus.
Seperti kelainan neuromuskular lain dengan potensi kelemahan diafragmatika, tanda-tanda kolaps
respiratori termasuk takipnea, penggunaan otot-otot tambahan inspirasi, negative inspiratory force
(NIF) kurang dari 20 atau forced vital capacity (FVC) kurang dari 15cc/kg merupakan indikator
untuk melakukan intubasi dan pemberian ventilasi artifisial. Namun demikian, parameter tersebut
tidak dapat digunakan sekiranya adanya kelemahan fasial dan ketidakmampuan untuk melakukan
pengiraan pada instrumen yang digunakan untuk mengukur. Sekresi tidak dapat dikeluarkan dan
resiko aspirasi merupakan indikasi lain untuk intubasi, kelemahan pada tungkai biasanya
merupakan petanda awal bahwa adanya keterlibatan komponen respiratori.

Plasma Exchange and Imunoglobulin

Hanya terapi pertukaran plasma (PE) dan imunoglobulin intravena (IVIG) yang terbukti
efektif untuk sindroma Guillain-Barre (GBS). Terapi tersebut dapat mengurangi produksi
autoantibodi dan meningkatkan kelarutan kompleks imun serta melepaskan kompleks imun.
Keduanya telah dibuktikan dapat mempersingkat waktu penyembuhan hingga 50%. IVIG
administrasinya lebih mudah dan lebih sedikit komplikasinya dibandingkan PE. Ditinjau dari
harga dan efektivitas relatif sama.
Pada penelitian randomized yang meneliti GBS yang parah menunjukkan bahwa IVIG
yang dimulai 4 minggu setelah onset mempercepat proses penyembuhan yang hampir setara
dengan plasma exchange. Menggbungkan PE dengan IVIG tidak dapat meningkatkan outcome
ataupun lebih memendekkan durasi penyakit. IVIG juga ditemukan lebih aman dan efektif pada
pasien pediatri dengan GBS.
Selain itu, IVIG adalah terapi yang lebih cocok pada pasien dengan ketidakstabilan
hemodinamik dan pada pasien yang memiliki keterbatasan ambulansi (transportasi). Beberapa
bukti menunjukkan pada pasien yang tidak merespon pada IVIG pada dosis inisial, dapat
memberikan perbaikan pada pemberian dosis kedua. Bagaimanapun hal ini masih belum menjadi
standar terapi dan perlu dilakukan penelitian lebih jauh terkait masalah ini.

Kortikosteroid

Kortikosteroid tidak efektif sebagai monoterapi. Menurut bukti bertingkat sederhana


(moderate-quality evidence), pemberian kortikosteroid sendiri tidak mempercepat penyembuhan
dari GBS atau mempengaruhi hasil jangka panjang secara signifikan. Menurut bukti bertingkat
rendah (low-quality evidence), pemberian kortikosteroid secara oral akan menunda penyembuhan.
Diabetes yang membutuhkan insulin secara signifikan lebih umum dan hipertensi dengan
pemberian kortikosteroid adalah tidak umum. Ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa
pemberian metilprednisolon secara IV tidak memberikan manfaat maupun bahaya yang signifikan.
Pemberian methilprednisolon secara IV secara kombinasi dengan IVIG, dapat mempercepat
penyembuhan namun tidak signifikan untuk hasil jangka panjang.

Obat yang masih diinvestigasi

Pada hewan cobaan, pemberian eculizumab secara intravena telah dilaporkan dapat
mencegah kelumpuhan pernapasan dan ciri-ciri khas terminal motor neuropati baik secara
fungsional maupun morfologi. Penelitian pada manusia belum dilaporkan. Dalam sebuah
penelitian kecil secara rawak (randomized control trial), beta interferon tidak membawa perbaikan
klinis yang signifikan jika dibandingkan dengan kontrol. Mycophenolate mofetil, digunakan
sebagai terapi tambahan dengan IVIG, tidak menunjukkan manfaat dalam sebuah studi. Tinjauan
Cochrane dari beberapa penelitian kecil tidak dapat menemukan bukti untuk mengkonfirmasi atau
menolak manfaat atau kerugian dari obat lain dalam pengobatan GBS akut. Pengobatan yang baru
untuk penyakit ini perlu dikembangkan lagi dan diuji keberhasilannya.

Adsorpsi Imun

Adsorpsi imun merupakan salah satu pengobatan alternatif untuk sindrom Guillain-Barré
yang masih dalam tahap awal penyelidikan. Sebuah penelitian prospektif kecil melaporkan tidak
ada perbedaan hasil antara pasien yang diobati dengan imunoadsorpsi dan mereka yang
diperlakukan dengan pertukaran plasma. Telah dilaporkan dari sebuah penelitian kecil Jerman
bahwa pengobatan dengan selective immune adsorption (SIA) tampaknya aman dan efektif pada
pasien yang sakit kritis. Terapi sekuensial dengan IVIG tidak lebih efektif jika dibandingkan
pengobatan dengan SIA saja.

Manajemen Nyeri

Analgesik sederhana atau obat NSAID (nonsteroidal anti-inflammatory) dapat digunakan


namun tidak dapat memberikan efek analgesik yang cukup. Dalam sebuah penelitian kecil yang
rawak, penggunaan gabapentin atau carbamazepine di unit perawatan intensif untuk manajemen
selama fase akut dari GBS telah didukung. Terapi tambahan dengan antidepresan trisiklik,
tramadol, gabapentin, carbamazepine, atau mexiletine mungkin dapat membantu dalam
pengelolaan nyeri neuropatik jangka panjang.

Pencegahan Tromboemboli

Tromboemboli vena adalah salah satu sekuele utama kelumpuhan ekstremitas. Waktu
untuk pengembangan deep vein thrombosis (DVT) atau emboli paru bervariasi antara 4-67 hari
setelah onset gejala. [3] Profilaksis dengan gradient compression hose dan low molecular weight
heparin (LMWH) secara subkutan dapat mengurangi kejadian tromboemboli vena secara dramatis.
True gradient compression stockings (30-40 mm Hg atau lebih tinggi) sangat elastis dan
menyebabkan kompresi sepanjang gradien dengan yang tertinggi pada jari kaki dan secara
bertahap menurun ke tingkat paha. Hal ini mengurangi kapasitas volume vena sekitar 70% dan
meningkatkan kecepatan pengaliran darah di pembuluh darah dalam dengan faktor 5 atau
lebih. Ubiquitous white stockings juga dikenali sebagai stoking antiembolik atau selang penyakit
tromboemboli menghasilkan kompresi maksimum 18 mm Hg dan jarang dipasang sedemikian
rupa untuk menyediakan kompresi gradien yang memadai. Hal ini karena belum ada bukti bahwa
cara ini efektif sebagai profilaksis terhadap tromboemboli.

Tabel 5. Prediktor pada GBS

Prekditor penggunaan ventilasi mekanik


• Bulbar symptoms
• Inability to raise the head or flex the arms
• Inadequate cough
• Maximum expiratory pressure: < 40 cm H2O
• Maximum inspiratory pressure: < 30 cm H2O
• Time from onset of symptoms to hospital admission is less than seven days
• Vital capacity: < 60 percent of predicted or < 20 mL per kg
• Vital capacity, maximum inspiratory pressure, or maximum expiratory pressure
reduced by at least 30 percent
Prediktor disabilitas jangka panjang
• Absence of motor response
• Antecedent diarrheal illness
• Axonal involvement
• Campylobacter jejuni or cytomegalovirus infection
• Inability to walk at 14 days
• Older age
• Rapid progression of symptoms
• Severity of symptoms at their peak

Rawat inap di ICU

Rawat inap di ICU harus dipertimbangkan untuk semua pasien yang labil untuk
disautonomia, forced vital capacity kurang dari 20 mL/kg, atau kelumpuhan bulbar yang parah. Di
samping itu, pasien yang mepunyai tanda-tanda klinis misalnya, gangguan pernapasan, dalam
tingkat apapun, juga harus dirawat di ICU. Selain kriteria yang digunakan untuk intubasi di UGD,
Medical Research Council merangkumkan bahwa skor serta kelemahan bulbar telah dilaporkan
menjadi prediksi untuk yang membutuhkan rawat inap dengan dipasang ventilasi mekanis. Risiko
sepsis dan infeksi dapat dikurangi dengan penggunaan sedasi minimal, fisioterapi yang lebih
kerap, dan ventilasi mekanis dengan end-expiratory pressure yang positip disesuaikan dengan
kondisi pasien. Rujukan adalah wajar jika fasilitas tidak memiliki sumber daya yang tepat untuk
merawat pasien yang mungkin memerlukan intubasi berkepanjangan atau perawatan intensif yang
panjang. Risiko trombosis vena dalam (DVT) dan emboli paru dapat diminimalkan dengan
pemberian heparin atau heparin berat molekul rendah dan alat kompresi pneumatik intermiten.
Penggunaan telemetri jantung dan pacing dalam kasus bradikadia yang parah mungkin dapat
mengurangi risiko morbiditas jantung dan kematian. Nyeri dapat dihilangkan dengan gerakan
pasif ekstremitas yang sering, pijatan lembut, perubahan posisi yang sering, serta penggunaan
karbamazepin dan gabapentin. Narkotika harus digunakan secara hati-hati karena pasien memang
sudah beresiko untuk ileus.

Referensi

Rashida YW & Steven CD. 2013. Emergent Management of Guillain-Barre Syndrome. Medscape
Reference.
Sue Woodward. 2013. Guillain-Barré syndrome. British Journal of Neuroscience Nursing. 9(2) :
59-61.
Shahrizaila N, Yuki N. 2011. Guillain-barré syndrome animal model: the first proof of molecular
mimicry in human autoimmune disorder. J Biomed Biotechnol. p1-5.
Anne DW, Gretchen D. 2013. Guillain-Barré Syndrome. American Academy of Family Physicians.
87:3,p191-197.

View publication stats

You might also like