You are on page 1of 44

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kolesistitis adalah inflamasi yang terjadi pada kandung empedu dan terbagi
menjadi akut dan kronis. Kolesistitis akut biasanya terjadi akibat adanya sumbatan duktus
sistikus oleh batu. Namun terdapat beberapa faktor risiko lain yang dapat meningkatkan
insidensi terjadinya kolesistitis. Di Amerika 10-20% penduduknya menderita
cholelithiasis (batu empedu) dan sepertiganya juga menderita kolesistitis akut. Penyakit
ini lebih sering terjadi pada wanita, usia tua dan lebih sering terjadi pada orang kulit
putih. Pada wanita, terutama pada wanita-wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat-
obatan hormonal, insidensi kolesistitis akut lebih sering terjadi. Beberapa teori
mengatakan hal ini berkaitan dengan kadar progesteron yang tinggi yang menyebabkan
stasis aliran kandung empedu.(Lambou, 2008). Di Indonesia, walaupun belum ada data
epidemiologis penduduk, insidensi kolesistitis dan kolelithiasis relatif lebih rendah
dibandingkan dengan negara-negara barat.(Nurhadi, 2012)
Cholelithiasis masih merupakan masalah gastrointestinal yang sering dijumpai.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi terjadinya cholelithiasis. Batu
empedu merupakan endapan dari salah satu atau beberapa komponen empedu, dimana
batu empedu tersebut dapat digolongkan menjadi batu kolesterol, pigmen coklat, dan
pigmen hitam. Terdapat 3 spektrum tahapan cholelithiasis, yakni asimtomatik,
simtomatik, dan kolesistitis dengan komplikasi. Gejala klinis spesifik untuk
mendiagnosis kolesistitis adalah kolik bilier. Metode pencitraan yang dapat digunakan
untuk mendiagnosis cholelithiasis adalah USG, ERCP, CT-scan, MRI, maupun MRCP.
Telah menjadi kesepakatan bahwa cholelithiasis asimtomatik tidak memerlukan terapi,
meskipun untuk tujuan profilaksis. Pilihan utama terapi cholelithiasis simtomatik adalah
kolesistektomi, tetapi penentuan waktu operasi masih menjadi perdebatan (Keshav et al,
2015).
Sampai saat ini cholelithiasis masih merupakan salah satu penyakit
gastrointestinal yang sering ditemui. Di beberapa negara Barat dilaporkan bahwa keluhan
1
yang berkaitan dengan penyakit batu empedu dan komplikasinya merupakan penyebab
terbanyak perawatan untuk kelompok kelainan gastrointestinal. Meskipun sebagian besar
memiliki batu tanpa gejala, manakala simptom muncul tidak jarang berlanjut dengan
masalah dan penyulit yang penatalaksanaannya membutuhkan biaya tinggi.(Keshav et al,
2015)
Kolesistektomi merupakan terapi definitif pada pasien dengan kolesistitis akut.
Kolesistektomi awal (early cholecystectomy) dilakukan dalam waktu 2 sampai 3 hari,
yang mana hal ini lebih disukai daripada kolesistektomi interval (interval
cholecystectomy) atau kolesistektomi tertunda (delayed cholecystectomy) yang dilakukan
dalam waktu 6 sampai 10 minggu setelah terapi medis awal. Sekitar 20% dari pasien
yang gagal dengan terapi medis awal dan memerlukan operasi selama pemberian terapi
medis awal atau sebelum akhir dari periode cooling-off yang direncanakan.(Saquib,
2013).
Sejak 20 tahun terakhir, sejumlah ahli bedah menyukai kebijakan operasi awal.
Beberapa penelitian acak yang dilakukan pada awal tahun 1980 telah menunjukkan
bahwa melakukan kolesistektomi awal (early cholecystectomy) pada kolesistitis akut
adalah lebih baik dari pada kolesistektomi tertunda (delayed cholecystectomy) dari segi
lamanya rawat inap di rumah sakit yang lebih singkat, kelayakan operasi dan kedua
operasi tersebut memiliki tingkat resiko mortalitas dan morbiditas yang sama.(Saquib,
2013)
Tindakan early cholecystectomy dan interval cholesistectomy memiliki
keuntungan dan kerugian , dimana keuntungan early cholecystectomy ialah lebih pendek
perawatan dirumah sakit dibandingkan interval cholecystectomy dan kerugiannya ialah
waktu operasi yang lebih lama dan tingkat kesulitan pre operatif yang lebih tinggi serta
komplikasi post operatif yang lebih banyak dibandingkan interval cholecystectomy.
(Saquib, 2013)

B. Rumusan Masalah Penelitian


Apakah terdapat perbedaan outcome klinis pada tindakan early cholecystectomy
dan interval cholecystectomy pada kolesistitis kalkulosus.

2
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui perbedaan outcome operasi antara tindakan early cholecystectomy
dan interval cholecystectomy pada kolesistitis kalkulosus.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teori
Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dalam bidang bedah
mengenai tindakan early cholecystectomy dan interval cholecystectomy pada kolesistitis
kalkulosus.
2. Manfaat Klinis
Melakukan penatalaksanaan yang tepat dan sesuai sehingga untuk ke depannya hal
ini dapat diaplikasikan dalam penatalaksanaan pada kolesistitis kalkulosus di Rumah
Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Anatomi Kandung Empedu


Kandung empedu merupakan kantong berbentuk alpukat yang terletak tepat
dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, infundibulum,
dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujungnya buntu dari kandung empedu. Korpus
merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah bagian yang sempit dari
kandung empedu.(Albert et al, 2016)
Ukuran kandung empedu pada orang dewasa adalah 7 cm hingga 10 cm dengan
kapasitas lebih kurang 30 ml. Kandung empedu menempel pada hati oleh jaringan ikat
longgar, yang mengandung vena dan saluran limfatik yang menghubungkan kandung
empedu dengan hati. Kandung empedu dibagi menjadi empat area anatomi: fundus,
korpus, infundibulum, dan kolum (Avunduk, 2002). Saluran biliaris dimulai dari
kanalikulus hepatosit, yang kemudian menuju ke duktus biliaris. Duktus yang besar
bergabung dengan duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bermuara ke duktus
hepatikus komunis di porta hepatis. Ketika duktus sistika dari kandung empedu
bergabung dengan duktus hepatikus komunis, maka terbentuklah duktus biliaris komunis.
Duktus biliaris komunis secara umum memiliki panjang 8 cm dan diameter 0.5-0.9 cm,
melewati duodenum menuju pangkal pankreas, dan kemudian menuju ampula Vateri
(Avunduk, 2002).
Suplai darah ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri sistika yang berasal
dari arteri hepatikus kanan. Asal arteri sistika dapat bervariasi pada tiap tiap orang,
namun 95 % berasal dari arteri hepatik kanan (Debas, 2004). Aliran vena pada kandung
empedu biasanya melalui hubungan antara vena vena kecil. Vena-vena ini melalui
permukaan kandung empedu langsung ke hati dan bergabung dengan vena kolateral dari
saluran empedu bersama dan akhirnya menuju vena portal. Aliran limfatik dari kandung
empedu menyerupai aliran venanya. Cairan limfa mengalir dari kandung empedu ke hati
dan menuju duktus sistika dan masuk ke sebuah nodus atau sekelompok nodus.
4
Dari nodus ini cairan limfa pada akhinya akan masuk ke nodus pada vena portal.
Kandung empedu diinervasi oleh cabang dari saraf simpatetik dan parasimpatetik, yang
melewati pleksus seliaka. Saraf preganglionik simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf
postganglionik simpatetik berasal dari pleksus seliaka dan berjalan bersama dengan
arteri hepatik dan vena portal menuju kandung empedu. Saraf parasimpatetik berasal dari
cabang nervus vagus (Welling & Simeone, 2009).
Empedu yang di sekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran empedu
yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran yang
lebih besar yang keluar dari permukaan hati sebagai duktus hepatikus komunis. Duktus
hepatikus bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus.(Albert et al,
2016)

Gambar 1. Gambaran anatomi kandung empedu (Winslow T, 2015)

2. Fisiologi

Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya antara 600-
1200 ml/hari.Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu. Diluar waktu
makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan di sini
mengalami pemekatan sekitar 50 %. Fungsi primer dari kandung empedu adalah
memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium. Kandung empedu mampu

5
memekatkan zat terlarut yang kedap, yang terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali
dan mengurangi volumenya 80-90%.(Albert et al, 2016).
Menurut Albert et al, 2016 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
1. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak, karena
asam empedu yang melakukan dua hal antara lain : asam empedu membantu
mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil
dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah pankreas, Asam empedu
membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui
membran mukosa intestinal.
2. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan
yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran
hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati.
Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin, hal ini
terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit setelah makan.
Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding kandung empedu,
tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan relaksasi yang bersamaan dari sfingter
oddi yang menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis kedalam duodenum. Selain
kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh serat-serat saraf yang
menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik. Kandung empedu
mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam duodenum terutama sebagai respon
terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam makanan,
pengosongan kandung empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang
adekuat dalam makanan, normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam
waktu sekitar 1 jam.
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%)
cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam
empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol. Pengaturan
produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali
produksi normal kalau diperlukan.(Albert et al, 2016)

3. Definisi

6
Cholelithiasis atau batu empedu pada hakekatnya merupakan endapan satu atau
lebih komponen empedu (kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium dan protein.
(Bravo et al, 2016).
Cholelithiasis (kalkuli atau batu empedu) biasanya di bentuk dalam kadung
empedu dari bahan-bahan padat empedu dalam hal bentuk, ukuran, dan komposisinya ada
dua jenis utama batu empedu : batu pigmen yang terdiri atas pigmen empedu tak jenuh
yang jumlahnya berlebihan, dan batu kolestrol, yang merupakan bentuk paling umum.
Faktor-faktor resiko pada batu empedu termasuk sirosis, hemolisis, dan infeksi
percabangan saluran empedu faktor-faktor resiko untuk batu kolestrol termasuk
kontrasepsi oral, estrogen, dan klofibrat. Wanita mengalami batu kolesterol dan penyakit
kandung empedu empat kali lebih sering di banding pria : biasanya di atas 40 tahun, multi
para, dan obesitas.
Cholelithiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam
kandung empedu. Komposisi dari cholelithiasis adalah campuran dari kolesterol, pigmen
empedu, kalsium dan matriks inorganik.(Gustawan, 2011).
Cholelithiasis adalah adanya batu yang terdapat di dalam kandung empedu atau
saluran empedu (duktus koledokus) atau keduanya.

Gambar 2. Batu Empedu (Albert J,2016)

7
4. Epidemiologi

Dari mereka yang dirawat di rumah sakit karena penyakit traktus bilier, 20%
mengalami kolesistitis akut. Dan jumlah kolesistektomi secara perlahan meningkat,
terutama pada lansia. Distribusi jenis kelamin untuk batu empedu adalah 2-3 kali lebih
sering pada wanita dibandingkan pada pria, sehingga insiden kolesistitis kalkulus juga
lebih tinggi pada wanita. Kadar progesteron yang tinggi selama kehamilan dapat
menyebabkan empedu stasis, sehingga insiden penyakit kandung empedu pada wanita
hamil juga tinggi. Kolesistitis kalkulus dijumpai lebih sering pada pria usia lanjut.
Insidensi kolesistitis meningkat seiring dengan usia. Penerangan secara fisiologi
untuk meningkatnya kasus penyakit batu empedu dalam populasi orang yang lebih tua
kurang difahami. Meningkatnya kadar insidensi untuk laki-laki yang lebih berusia telah
dikaitkan dengan rasio perubahan androgen kepada estrogen.(Parmar et al, 2015)
5. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti, adapun faktor
predisposisi terpenting, yaitu : gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya
perubahan komposisi empedu, statis empedu, dan infeksi kandung empedu.
Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam
pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol mengekskresi
empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap
dalam kandung empedu (dengan cara yang belum diketahui sepenuhnya) untuk
membentuk batu empedu.
Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi
progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-unsur tersebut. Gangguan
kontraksi kandung empedu atau spasme spingteroddi, atau keduanya dapat menyebabkan
statis. Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin) dapat dikaitkan dengan
keterlambatan pengosongan kandung empedu.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu.
Mukus meningkatkan viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan
sebagai pusat presipitasi/ pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya
batu, dibanding penyebab terbentuknya batu.(Keshav et al, 2015; Albert et al, 2016)
6. Patofisiologi
8
Seperti telah disebutkan sebelumnya, sembilan puluh persen kasus kolesistitis
melibatkan batu di saluran sistikus (kolesistitis kalkulus), dan 10% sisanya merupakan
kasus kolesistitis kalkulus. Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis
akut adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu.
Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh tersumbatnya duktus sistikus hingga
menyebabkan distensi kandung empedu.
Biasanya sumbatan ini adalah disebabkan adanya batu empedu yang mempunyai 2
tipe yaitu batu kolesterol dan batu pigmen. Pada batu kolesterol, empedu yang
disupersaturasi dengan kolesterol dilarutkan dalam daerah hidrofobik micelle, kemudian
terjadinya kristalisasi dan akhirnya prepitasi lamellar kolesterol dan senyawa lain
membentuk matriks batu. Pada batu pigmen, ada dua bentuk yakni batu pigmen murni
dan batu kalsium bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil, sangat keras dan
penampilannya hijau sampai hitam. Proses terjadinya batu ini berhubungan dengan
sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan pigmen abnormal yang
mengendap di dalam empedu. Sirosis dan statis biliaris merupakan predisposisi
pembentukan batu pigmen.(Albert J, 2016)
Batu empedu yang mengobstruksi duktus sistikus menyebabkan cairan empedu
menjadi stasis dan kental, kolesterol dan lesitin menjadi pekat dan seterusnya akan
merusak mukosa kandung empedu diikuti reaksi inflamasi atau peradangan dan supurasi.
Seiring membesarnya ukuran kantong empedu, aliran darah dan drainase limfatik
menjadi terganggu hingga menyebabkan terjadinya di dinding kandung empedu iskemia,
nekrosis mukosa dan jika lebih berat terjadinya ruptur.(Albert J,2016)
Sementara itu, mekanisme yang akurat dari kolesistitis akalkulus tidaklah jelas,
namun beberapa teori mencoba menjelaskan. Radang mungkin terjadi akibat kondisi
dipertahankannya konsentrat empedu, zat yang sangat berbahaya, di kandung empedu,
pada keadaan tertentu. Misalnya pada kondisi puasa berkepanjangan, kantong empedu
tidak pernah menerima stimulus dari kolesistokinin (CCK) untuk mengosongkan isinya,
dengan demikian, empedu terkonsentrasi dan tetap stagnan di lumen.(Keshav et al, 2015;
Albert et al, 2016)

9
Gambar3. Kolesistitis Akut yang disebabkan oleh batu empedu.(Albert J,2016)

Batu empedu terjadi karena adanya zat tertentu dalam empedu yang hadir dalam
konsentrasi yang mendekati batas kelarutan mereka. Bila empedu terkonsentrasi di dalam
kandung empedu, larutan akan berubah menjadi jenuh dengan bahan-bahan tersebut,
kemudian endapan dari larutan akan membentuk Kristal mikroskopis. Kristal
terperangkap dalam mukosa bilier, akan menghasilkan suatu endapan. Oklusi dari saluran
oleh endapan dan batu menghasilkan komplikasi penyakit batu empedu.(Debas,2004)
Pada kondisi normal kolesterol tidak mengendap di empedu karena mengandung
garam empedu terkonjugasi dan lesitin dalam jumlah cukup agar kolesterol berada di
dalam larutan misel. Jika rasio konsentrasi kolesterol berbanding garam empedu dan
lesitin meningkat, maka larutan misel menjadi sangat jenuh. Kondisi yang sangat jenuh
ini mungkin karena hati memproduksi kolesterol dalam bentuk konsentrasi tinggi. Zat ini
kemudian mengendap pada lingkungan cairan dalam bentuk kristal kolesterol.
(Debas,2004)
Bilirubin, pigmen kuning yang berasal dari pemecahan heme, secara aktif
disekresi ke dalam empedu oleh hati. Sebagian besar bilirubin di dalam empedu berada
dalam bentuk konjugat glukoronida yang larut dalam air dan stabil, tetapi sebagian kecil
terdiri dari bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi, seperti lemak, fosfat,
karbonat, dan anion lainnya cenderung untuk membentuk presipitat tak larut dengan
kalsium. Kalsium memasuki empedu secara pasif bersama dengan elektrolit lain. Dalam
situasi pergantian heme tinggi, seperti hemolisis kronis atau sirosis, bilirubin tak
10
terkonjugasi mungkin berada dalam empedu pada konsentrasi yang lebih tinggi dari
biasanya. Kalsium bilirubinat mungkin kemudian mengkristal dari larutan dan akhirnya
membentuk batu pigmen hitam.(Debas,2004)
Empedu yang biasanya steril, tetapi dalam beberapa kondisi yang tidak biasa
(misalnya ada striktur bilier), mungkin terkolonisasi dengan bakteri. Bakteri
menghidrolisis bilirubin terkonjugasi dari hasil peningkatan bilirubin tak terkonjugasi
dapat menyebabkan presipitasi terbentuknya kristal kalsium bilirubinat, bakteri hidrolisis
lesitin menyebabkan pelepasan asam lemak yang komplek dengan kalsium dan endapan
dari larutan lain. Konkresi yang dihasilkan memiliki konsistensi disebut batu pigmen
coklat.(Debas,2004)
Batu empedu kolesterol dapat terkoloni dengan bakteri dan dapat menimbulkan
peradangan mukosa kandung empedu. Enzim dari bakteri dan leukosit menghidrolisis
bilirubin konjugasi dan asam lemak. Akibatnya, dari waktu ke waktu, batu kolesterol bisa
mengumpulkan proporsi kalsium bilirubinat dan garam kalsium, lalu menghasilkan
campuran batu empedu.(Debas,2004)
Kondisi batu kandung empedu memberikan berbagai manifestasi keluhan pada
pasien dan menimbulkan berbagai masalah keperawatan. Jika terdapat batu empedu yang
menyumbat duktus sistikus dan biliaris komunis untuk sementara waktu, tekanan di
duktus biliaris akan meningkat dan peningkatan peristaltik di tempat penyumbatan
mengakibatkan nyeri visera di daerah epigastrum, mungkin dengan penjalaran ke
punggung. Respon nyeri, gangguan gastrointestinal dan anoreksia akan meningkatkan
penurunan intake nutrisi.(Debas,2004)
Respon komplikasi akut dengan peradangan akan memberikan manifestasi
peningkatan suhu tubuh. Respon kolik bilier secara kronis akan meningkatkan kebutuhan
metabolisme sehingga pasien cenderung mengalami kelelahan. Respon adanya batu akan
dilakukan intervensi medis pembedahan, intervensi litotripsi atau intervensi endoskopi.
(Debas,2004)

7. Manifestasi Klinis

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah nyeri perut di
sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh.
11
Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif dan nyerinya bersifat konstan.
Kadang-kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung
sampai 60 menit tanpa reda.(Debas,2004)
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau
pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering mual.
Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi volume
vaskular dan ekstraselular. Pada pemeriksaan fisik, kuadran kanan atas abdomen hampir
selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung
empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi
subkostae kuadran kanan atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi
terhenti yaitu Murphy sign positif menandakan adanya peradangan kandung empedu.
Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin<4,0 mg/dl).
Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu
ekstra hepatik misalnya duktus koledokus. Gejalanya juga bertambah buruk setelah
makan makanan yang berlemak. Pada pasien-pasien yang sudah tua dan dengan diabetes
mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual
saja.(Parmar et al, 2015).
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan dengan
kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan inflamasi
kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat tanda-tanda
kolik kandung empedu.(Parmar et al, 2015)
a. Kolik Billier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan
mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier
disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas yang menjalar ke
punggung atau bahu kanan; rasa nyeri ini biasanya disertai mual dan muntah dan
bertambah hebat dalam makan makanan dalam porsi besar. Pada sebagian pasien
rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten. Serangan kolik bilier
semacam ini disebabkan kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan
empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi,

12
bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah
kartilago kosta 9 dan 10 kanan. Sentuhan ini menimbulkan nyeri tekan yang
mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam dan
menghambat pengembangan rongga dada.
b. Ikterus
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam dudodenum akan
menimbulkan gejala yang khas, yaitu: gatah empedu yang tidak lagi dibawa ke
dalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat
kulit dan membran mukosa berwarna kuning.
c. Defisiensi vitamin
Obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu absorbsi vitamin A, D, E, K yang
larut lemak. Karena itu pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-
vitamin ini jika obstruksi bilier berlangsung lama. Defisiensi vitamin K dapat
mengganggu pembekuan darah yang normal.
d. Kolesistitis Akut
Sebagian besar (90-95%) kasus kolesistitis akut disertai cholelithiasis dan
keadaan ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan
peradangan organ tersebut. Respon peradangan dapat dicetuskan tiga faktor yaitu:
a) inflamasi mekanik yang dicetuskan oleh kenaikan tekanan intra lumen dan
distensi menyebabkan iskemia mukosa dan dinding kandung empedu, b) inflamasi
kimiawi akibat pelepasan lesitin, c) inflamasi bakteri yang memegang peran pada
sebagian besar pasien dengan kolesititis akut.
Pasien dianggap menderita kolesistitis akut jika mereka memiliki kriteria
berikut.(Saquib, 2013)

1. Nyeri akut region hypochondria kanan dan / atau nyeri epigastric durasi > 8-12
jam.

2. Nyeri tekan/ teraba massa di kuadran kanan atas.

3. Peningkatan suhu (> 37.50C) dan / atau leukositosis (> 10x109 / L).

4. Bukti kolesistitis akut pada ultrasonografi.

13
e. Koledokolitiasis dan Kolangitis
Batu kandung empedu dapat bermigrasi masuk ke duktus koledokus
melalui duktus sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga
terbentuk dalam saluran empedu (koledokolitiasis primer). Gambaran klinis
koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruksif, kolangitis dan
pankreatitis. Tujuh puluh empat pasien dengan koledokolitiasis simtomatik
memperlihatkan bahwa nyeri dan ikterus merupakan gejala utama.
f. Kolesistolitiasis
Kolesistolitiasis atau kolesistitis kalkulosus yaitu adanya batu di dalam
kandung empedu yang biasanya disertai proses inflamasi. Batu empedu yang
terdapat di dalam kandung empedu dapat memberikan gejala nyeri akut episodik
akibat kolesistitis akut, kolik bilier, rasa tidak nyaman pada perut yang berulang
dan kronik akibat episode berulang dari kolik bilier ringan atau gejala-gejala
dyspepsia. Tertanamnya batu dalam leher kandung empedu diduga menyebabkan
spasme belakang, kandung empedu di daerah kosong dan nyeri berhenti, dan jika
batu tetap berada di leher kandung empedu akan terjadi nyeri yang terus menerus.
Cairan empedu yang terperangkap akan berubah komposisinya menyebabkan
inflamasi lokal dan menyebabkan rasa nyeri yang menetap beberapa saat, Isi
kandung empedu dapat terinfeksi akibat adanya toksemia yang dapat
menyebabkan empiema, gangren atau perforasi. Kontraksi kandung empedu
akibat batu adalah penjelasan tradisional terhadap post prandial discomfort, tetapi
tidak terdapat hubungan yang jelas antara gejala ini dengan adanya batu empedu
pada populasi umum. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda
toksemia, kuadran kanan atas abdomen secara klasik ditemukan Murphy’s sign.
Pada kasus yang lebih lanjut dapat diraba massa inflamasi akibat pembengkakan
kandung empedu yang dikelilingi oleh omentum.(Albert et al, 2016).
8. Penatalaksanaan
Untuk kasus kolesistitis akut, tindakan umum yang dapat dilakukan adalah tirah
baring, pemberian cairan intravena dan nutrisi parentral untuk mencukupi kebutuhan
cairan dan kalori, diet ringan tanpa lemak dan menghilangkan nyeri dengan petidin
(demerol) dan buscopan dan terapi simtomatik lainnya.

14
Antibiotik pula diberikan untuk mengobati septikemia serta mencegah peritonitis
dan empiema. Antibiotik pada fase awal adalah sangat penting untuk mencegah
komplikasi Mikroorganisme yang sering ditemukan adalah Eschteria coli, Stretococcus
faecalis, dan Klebsiella, sering dalam kombinasi. Dapat juga ditemukan kuman anaerob
seperti Bacteriodes dan Clostridia.Antibiotik yang dapat dipilih adalah misalnya dari
golongan sefalosporin, metronidazol, ampisilin sulbaktam dan ureidopenisilin.
Terapi definitif kolestisistitis akut adalah kolesistektomi dan sebaiknya dilakukan
kolesistektomi secepatnya yaitu dalam waktu 2-3 hari (dalam 7 hari sejak onset gejala)
atau ditunggu 6-10 minggu selepas diterapi dengan pengobatan karena akan mengurangi
waktu pengobatan di rumah sakit.(Peter et al, 2014).
Sebagian dokter memilih terapi operatif dini untuk menghindari timbulnya
gangren atau komplikasi kegagalan terapi konservatif. Beberapa dokter bedah lebih
menyukai menunggu dan mengobati pasien dengan harapan menjadi lebih baik selama
perawatan, dan mencadangkan tindakan bedah bila kondisi pasien benar-benar stabil,
dengan dasar pemikiran bahwa aspek teknik kolesistektomi akan lebih mudah bila proses
inflamasi telah mulai menyembuh. Terapi operatif lanjut ini merupakan pilihan yang
terbaik karena operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum
dan teknik operasi akan menjadi lebih sulit karena proses inflamasi akut di sekitar duktus
akan mengaburkan gambaran anatomi. Namun, jika berlakunya kasus emergensi atau ada
komplikasi seperti empiema atau dicurigai adanya perforasi, sebaiknya lansung dilakukan
kolesistektomi.(Peter et al, 2014).
Dibandingkan kolesistektomi konvensional, pada kolesistektomi laparoskopik,
pasien dapat keluar rumah sakit dalam 1-2 hari pascaoperasi dengan jarigan parut
minimal dan dapat berkativitas lebih cepat. Sekitar 10% kolesistektomi laparoskopik
harus diubah menjadi operasi terbuka (kolesistektomi konvensional) di kamar operasi
karena adanya inflamasi yang luas, perlekatan, atau adanya komplikasi, seperti cedera
saluran empedu yang memerlukan perbaikan.(Freeman et al, 2015).

15
Gambar 4. Kolesistektomi terbuka dan laparoskopik (Albert J,2016)

Pada pasien yang memerlukan penanganan secepatnya, namun dalam keadaan


sakit keras atau sangat berisiko tinggi untuk kolesistektomi, pasien harus diterapi secara
medis dengan pemberian cairan, antibiotika dan analgesik, bila terapi ini gagal, perlu
dipertimbangkan suatu kolesistotomi perkutan. Di sini, isi kandung empedu dikeluarkan
dan lumen didrainase dengan kateter yang ditinggalkan. Pada pasien yang mengalami
kolesistosomi dan telah sembuh dari keadaan akut, harus dilakukan kolesitektomi 6-8
minggu kemudian bila kondisi medisnya cukup baik.(Freeman et al, 2015; Husain et al,
2015)
Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai 90% dari seluruh kolesisteksomi.
Konversi ke tindakan bedah kolesisteksomi konvensional sebesar 1,9% kasus, terbanyak
oleh karena sukar dalam mengenali duktus sistikus yang disebabkan perlengketan luas
(27%), perdarahan dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai
pada tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan dan kebocoran empedu.
Menurut kebanyakan ahli bedah tindakan kolesisteksomi laparoskopik ini sekalipun
invasif mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi, menurunkan
angka kematian, secara kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan di rumah
sakit dan mempercepat aktifitas pasien.(Emmanuel, 2014; Bravo et al, 2016).

16
9. Pemeriksaan Radiologi
1. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal
karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu
yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh
udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.

Gambar 5. USG batu empedu (Nathanson, 2009)


2. CT-Scan
Metode ini juga merupakan pemeriksaan yang akurat untuk menentukan adanya
batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis.

17
Gambar 6. CT scan abdomen (Nathanson,2009)

3. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)


Yaitu sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus
pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut. Fungsi
ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan memudahkan akses ke
dalam duktus koledukus bagian distal untuk mengambil batu empedu, selain itu ERCP
berfungsi untuk membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus
hepatoseluler dengan ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat
digunakan untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung
empedunya sudah diangkat.

Gambar 7.ERCP(Nathanson,2009)

Ultrasonografi (USG) merupakan modalitas penunjang yang murah, tidak invasif,


aman dan tersedia dengan potensi sangat akurat untuk pencitraan pada pasien suspect
cholelithiasis (Raymond, 2007). Pemeriksaan ultrasonografi pada perut kanan atas
merupakan suatu metode pilihan untuk mendiagnosis cholelithiasis. Tingkat
sensitivitasnya lebih dari 95% untukmendeteksi cholelithiasis dengan diameter 1,5 mm
atau lebih.(Freeman et al, 2016).

10. Penatalaksanaan Bedah

18
a. Open Kolesistektomi
Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu
simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi
trauma CBD, perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan mortalitas pada
pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989, angka kematian secara
keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun angka kematian 0,03 %
sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka kematian mencapai 0,5 %.
(Fried,2007)
Terdapat 2 incisi yang sering digunakan yaitu vertical pada midline dan subcostal
oblique. Incisi linea mediana digunakan jika terdapat keadaan patologi seperti hernia hiatus atau
ulkus duodenal yang memerlukan pertimbangan pembedahan. Incisi subcostal digunakan karena
dipercaya memberikan area pandang yang baik, luka postoperatif yang lebih nyaman dan
insidensi hernia postoperatif lebih jarang daripada incisi vertikal pada linea mediana. Setelah
dilakukan incisi, detail prosedur tindakan tetap serupa.

Sarung tangan steril yang telah dilembabkan dengan larutan garam fisiologis yang telah
dihangatkan digunakan untuk eksplorasi cavum abdomen untuk mendeteksi adanya infeksi
supuratif akut yang melibatkan kandung empedu. Perut dan terutama duodenum dilakukan
inspeksi dan palpasi dan kemudian ekplorasi abdomen secara menyeluruh termasuk evaluasi
hiatus esophagus. Kemudian ahli bedah akan memasukkan tangannya melintasi kubah liver
sehingga membiarkan udara diantara diafragma dan liver untuk mendorong liver kearah bawah.
Ketika bantuan sangat terbatas, retraktor halsted digunakan pada sisi kanan untuk menarik
kearah tepi costa. Klem digunakan untuk memegang ligamentum falsiform dan 1 klem lagi
untuk memegang fundus kandung empedu. Sebagian besar ahli bedah lebih suka membelah
ligamentum falsiform kemudian kedua ujungnya diligasi jika tidak maka akan terjadi perdarahan
aktif dari arteri. Traksi ke bawah dipertahankan dengan klem pada fundus kandung empedu.

19
Gambar 8. Visualisasi kandung empedu (Zollinger, 2011)

Setelah liver ditarik ke bawah sejauh mungkin, klem ditarik kearah tepi costa untuk
memvisualisasi permukaan bawah liver dan kandung empedu. Asisten akan memegang klem ini
sementara ahli bedah mempersiapkan area visualisasi. Jika kandung empedu mengalami
inflamasi akut dan distensi sebaiknya dilakukan aspirasi isinya terlebih dulu dengan trokar
sebelum memasang klem pada fundus. Jika tidak batu kecil akan terdorong ke cyst dan duktus
komunis. Adhesi antara permukaan bawah kandung empedu dengan jaringan sekitarnya
seringkali ditemukan. Lapang pandang yang baik dipertahankan oleh asisten. Adhesi dipisahkan
dengan gunting lengkung sampai tervisualisasi jaringan avascular dari sekitar dinding kandung
empedu. Setelah incisi awal dibuat, sangat mungkin menyingkirkan adhesi berikutnya dengan
kassa spons yang dipegang dengan forsep.(Zollinger, 2011)

Setelah kandung empedu dibebaskan dari adhesi maka kandung empedu dapat diangkat
ke atas untuk memberikan lapang pandang yang lebih baik. Untuk melakukan hal tersebut,
jaringan sekitarnya dapat disingkirkan dengan kassa lembab, ahli bedah memasukkan tangan kiri
ke luka iris mendorong kassa kebawah untuk mengarahkan kassa tersebut. Lambung dan colon
transversum ditutup dengan kassa ke arah foramen winslow (Gambar 8). Kassa dipegang dengan
retraktor S sepanjang bagian tepi bawah medan operasi atau dengan tangan kiri asisten 1,
dimana, dengan jari secara perlahan menahan kearah bawah.

20
Setelah area operasi telah tampak cukup, ahli bedah memasukkan jari telunjuk tangan kiri
ke foramen winslow dan dengan ibu jari secara perlahan melakukan palpasi pada area untuk
membuktikan adanya batu pada duktus komunis dan penebalan pada kaput pankreas. Sebuah
klem digunakan untuk mencengkram permukaan bawah kandung empedu supaya tervisualisasi
oleh operator. Pemasangan klem pertama kali pada area ampula pada kandung empedu adalah
penyebab utama cedera pada duktus komunis. Hal ini terjadi terutama kandung empedu bengkak
akut karena ampula kandung empedu berjalan paralel terhadap duktus komunis. Jika pemasangan
klem dilakukan secara sembarangan dimana bagian leher dari kandung empedu melewati ductus
sistikus, maka sebagian atau seluruh ductus komunis akan ikut tercengkram.(Zollinger, 2011)
Karena alasan tersebut selalu disarankan untuk memasang klem dengan baik ke arah atas
pada permukaan bawah kandung empedu sebelum usaha apapun untuk visualisasi area ampula
kandung empedu. Proses enukleasi kandung empedu dimulai saat memisahkan peritoneum pada
aspek inferior dari kandung empedu dan melebarkannya kearah bawah ampula. Peritoneum
biasanya dipisahkan dengan elektrokauter atau gunting metzenbaum. Incisi harus dilakukan
dengan hati- hati sepanjang ligamentum hepatoduodenal. Sehingga diseksi tumpul pada ampula
dibebaskan ke bawah area duktus sistikus. Setelah ampula kandung empedu terlihat jelas klem
yang telah terpasang pada permukaan bawah kandung empedu diarahkan ke lebih rendah ke area
ampula. (Zollinger, 2011)

Dengan traksi dipertahankan pada ampula, ductus sistikus tervisualisasi dengan diseksi
tumpul. Klem berukuran panjang dilewatkan di belakang ductus sistikus. Bilah dari klem
tersebut dilebarkan secara hati- hati. Secara perlahan ductus sistikus dipisahkan dari ductus
komunis. Arteri sistikus diisolasi dengan klem panjang. Pada keadaan tersebut cedera pada
duktus komunis atau cabangnya dapat terjadi ketika klem dipasang. Kejadian yang tidak
diinginkan dapat terjadi ketika eksposure tampak terlalu mudah pada pasien yang kurus.

Setelah duktus sistikus terisolasi, kemudian dipalpasi ada tidaknya batu yang terdorong
ke duktus komunis karena pemasangan klem. Ukuran duktus sistikus diamati sebelum
diregangkan. Jika duktus sistikus dilatasi dan dari palpasi teraba batu kecil- kecil sehingga
mereka dapat lewat dengan mudah disarankan dilakukan koledokoostomi. Sebelumnya
kolangiogram dilakukan rutin melalui ductus sistikus setelah dipisahkan.

21
Gambar 9. Visualisasi Kandung Empedu melalui retrogard (Zollinger, 2011)

Ketika memungkinkan kecuali terjadi inflamasi berat duktus sistikus dan arteri sistikus
diisolasi secara terpisah dengan ligasi. Setelah dilakukan kolangogram, duktus sistikus diligasi
dengan benang transfixing. Secara umum area antar ikatan diperkirakan sesuai dengan diameter
duktus atau pembuluh darah.(Zollinger, 2011)

Kelainan letak suplai pembuluh darah pada area ini sangat sering terjadi sehingga setiap
melakukan tindakan perlu dipertimbangkan ditiap kasus. Ligasi ductus sistikus dapat dilakukan
setelah ligasi arteri sistikus. Jika klem arteri sistikus lepas sehingga menyebabkan perdarahan
hebat, arteri hepatic dapat ditekan pada ligamentum gastrohepatik menggunakan ibu jari dan
telunjuk tangan kanan (pringle manuver).

Setelah duktus sistikus dan arteri diligasi, pengambilan kandung empedu dimulai.
Inciseipada permukaan inferior kandung kencing 1 cm dari tepi liver diperluas memutari fundus.
Kemudian kandung empedu diambil secara tajam.(Zollinger, 2011)

b. Kolesistektomi Laparoskopik
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan
lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan
22
biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang. Kontra
indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi
tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Dengan
menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri,
kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan
semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas olahraga.
(Fried,2007)
Laparoskopi kolesistektomi adalah laparoskopi yang paling umum dilakukan
di dunia. Penatalaksanaan awal dari kolesistitis akut termasuk bowel rest, hidrasi
intravena, koreksi kelainan elektrolit, analgesia, dan antibiotik intravena. Setelah
diberikan tatalaksana ini, pasien dengan penyakit tanpa komplikasi direncanakan untuk
rawat jalan dan dilakukan laparoskopi kolesistektomi setelah periode 6-8 minggu.
Pada kasus kolesistitis akut laparoskopi kolesistektomi dihindari karena kekhawatiran
tentang adanya potensi timbulnya bahaya komplikasi, terutama common bile duct
injury dan tingkat konversi yang tinggi pada kolesistektomi. Laparoskopi
kolesistektomi awalnya dilakukan untuk kolesistitis kronis tetapi dengan munculnya
instrumentasi modern dan perkembangan dalam teknik bedah dan tingkat pengalaman
yang tinggi, ahli bedah memilih melakukan prosedur ini dalam kasus kolesistitis akut.
(Fried,2007)
Early Cholecystectomy
Merupakan kolesistektomi awal yang dilakukan dalam kurun waktu 72 jam
setelah pasien masuk rumah sakit. Meskipun telah banyak dibahas sebelumnya,
belum terdapat bukti tegas yang mendukung keunggulannya. Dalam penelitian acak
yang baru-baru ini dipublikasikan, penelitian dilakukan pada pasien yang
dirawatselama 24 jam awal setelah pasien masuk rumah sakit. Meskipun begitu,
kolesistektomi mungkin tidak selalu dapat dilakukan dalam waktu 24 jam setelah
pasien masuk dengan berbagai alasan yang berbeda. Pada kasus tersebut, operasi
harus dilakukan dalam waktu 72 jam seperti yang direkomendasikan dalam beberapa
jurnal. (NIC, 2014).

23
Interval Cholecystectomy
Merupakan kolesistektomi yang dilakukan setelah prosedur konservatif
dengan antibiotik selama 6 minggu, setelah peradangan akut membaik. Hal ini
diyakini jauh lebih aman dan juga tingkat konversi berkurang. Risiko yang paling
ditakuti dalam melakukan operasi dalam fase akut ini adalah adanya peradangan yang
menyebabkan diseksi jaringan menjadi sulit, sehingga dapat meningkatkan risiko
terjadinya komplikasi (NIC, 2014).
Kolesistektomi dikenal sebagai prosedur pilihan untuk pengobatan batu
empedu simtomatik. Beberapa dekade terakhir ini kolesistektomi dilakukan melalui
sayatan subkostal panjang yang tepat. Teknik invasif minimal saat ini telah
menjadikan tindakan laparoskopi kolesistektomi sebagai prosedur baku emas pada
penghilangan kandung empedu. Prosedur ini lebih disukai karena hanya
menimbulkan sedikit rasa sakit pasca operasi, hasil kosmetik yang lebih baik, lama
rawat inap yang lebih singkat, dan pemulihan yang lebih cepat (Sushant et al, 2013).
Diamati bahwa laparoskopi kolesistektomi bila dilakukan pada kasus-kasus
kolesistitis akut jika berhasil maka hal ini dapat dikaitkan dengan lama rawat inap di
rumah sakit yang pendek dan pemulihan yang lebih cepat. (Emmanuel, 2014; Bravo et
al, 2016)
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuktikan keunggulan
laparoskopi kolesistektomi pada kolesistitis akut namun masih ada kontroversi dan sulit
untuk memilih diantaranya. Meskipun hasil uji coba telah ada, namun hal ini belum
jelas terbukti.
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan diatas, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui perbandingan evaluasi klinis
pada tindakan early cholecystectomy dan interval cholecystectomy pada kolesistitis
dengan cholelithiasis.
Secara konvensional, kolesistitis akut telah diterapi konservatif pada saat
presentasi penyakit namun terdapat dua cara menurut waktu operasi dan
manajemennya. Salah satunya mendukung kolesistektomi dini (yaitu kurang dari tujuh
hari sejak timbulnya gejala) sebagai pendekatan ini memerlukan pengobatan segera,
lama rawat inap rumah sakit yang singkat, menghindari komplikasi seperti perforasi,

24
biaya rendah dan tidak membutuhkan revisit untuk admisi. Pandangan lain, yaitu
kolesistektomi interval (dalam waktu 6 minggu sampai 3 bulan setelah onset gejala)
karena khawatir munculnya akibat morbiditas dan mortalitas operasi (Saquib, 2013).

Sehingga dengan pertimbangan diatas, penelitian ini bertujuan untuk


mengetahui perbedaan outcome operasi pada kolesistektomi dini dengan kolesistektomi
interval pada kolesistitis akut kalkulosus.
B. Penelitian Berkaitan
Sejak 20 tahun terakhir, sejumlah ahli bedah menyukai kebijakan operasi awal.
Beberapa penelitian acak yang dilakukan pada awal tahun 1980 telah menunjukkan
bahwa melakukan kolesistektomi awal (early cholecystectomy) pada kolesistitis akut
adalah lebih baik daripada kolesistektomi tertunda (delayed cholecystectomy) dari segi
lamanya rawat inap di rumah sakit yang lebih singkat, kelayakan operasi dan kedua
operasi tersebut memiliki tingkat resiko mortalitas dan morbiditas yang sama.(Saquib,
2013)

Koleksistektomi berdasarkan waktu pelaksanaan dibagi dalam 2 yaitu dini dan


ditunda.
a. Koleksistektomi dini
Koleksistomi dini merupakan koleksistektomi yang dilakukan dalam kurun waktu 24
– 72 jam. Indikasi koleksistektomi dini meliputi :
1. Kolesistitis Akut
2. Kolesistitis Emfisema
3. Empiema Kandung Empedu
4. Perforasi Kandung Empedu
5. Riwayat Koledokolitiasis.
b. Koleksistektomi ditunda
Koleksistektomi ditunda merupakan koleksistektomi yang dialakukan setelah 72 jam.
Indikasi koleksistektomi ditunda meliputi :
1. Diskinesia Biliaris
2. Kolesistitis Kronik
3. Cholelithiasis Simptomatik.

25
Perbandingan keuntungan dan kerugian early cholecystectomy dan interval
cholesistectomy ialah keuntungan early cholecystectomy ialah lebih pendek perawatan di
rumah sakit dan kerugiannya ialah waktu operasi yang lebih lama dan tingkat kesulitan
pre operatif yang lebih tinggi serta komplikasi post operatif yang lebih banyak
dibandingkan interval cholecystectomy.(Saquib, 2013)
Pada kasus akut, waktu optimal dilakukan pembedahan masih kontoversial, apakah
operasi awal langsung (dini) setelah masuk ke rumah sakit atau operasi elektif tertunda setelah
perawatan konservatif dengan antibiotik.
Didapatkan data dari sebuah penelitian multisenter (Taha dkk, 2016) dengan metode
random, prospektif, label-terbuka, dan paralel dengan dua kelompok studi: segera dioperasi
dalam 24 jam sejak masuk rumah sakit; atau perawatan dengan antibiotik terlebih dahulu diikuti
dengan laparoskopi kolesistektomi tertunda pada hari ke 7 sampai 45. Hasil akhir yang primer
adalah terjadinya standar morbiditas yang relevan dalam 75 hari. Hasil sekundernya adalah
sebagai berikut:
(1) 75 hari morbiditas menggunakan sistem penilaian;
(2) tingkat konversi;
(3) perubahan terapi antibiotik;
(4) kematian;
(5) biaya;
(6) perawatan di rumah sakit lebih lama

Hasil penelitian tingkat morbiditas secara signifikan lebih rendah dalam kelompok yang
segera dilakukan kolesistektomi (304 pasien) daripada di kelompok operasi tertunda (314 pasien)
yaitu 11.8% : 34.4%. Tingkat konversi untuk operasi terbuka dan kematian tidak berbeda secara
signifikan antara kelompok. Rata-rata lama rawat adalah 5.4 hari pada kelompok yang segera
dilakukan kolesistektomi dan 10.0 hari pada kelompok operasi tertunda. Total biaya rumah sakit
secara signifikan lebih rendah dalam kelompok yang dioperasi dini.
Kesimpulan dalam percobaan besar dan acak ini, kolesistektomi laparoskopi dalam waktu
24 jam setelah masuk rumah sakit menjadi lebih unggul dari pendekatan konservatif mengenai
morbiditas dan biaya. Oleh karena itu, kolesistektomi laparoskopi dini harus menjadi terapi
pilihan untuk kolesistitis akut pada pasien yang dapat dioperasi.

26
Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah sebaiknya
dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu setelah terapi konservatif dan
keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik tanpa tindakan bedah.
Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi
konservatif dapat dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan
biaya dapat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan
penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses inflamasi
akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi.(Gladden, Migala, 2009)

C. KERANGKA KONSEP

Bilirubin tak terkonjugasi Perubahan


komposisi empedu,
stasis bilier.
Kalsium bilirubinat
Konsentrasi kolesterol
melebihi kemampuan
Sekresi empedu
empedu mengikatnya
Batu pigmen hitam jenuh kolesterol

Pembentukan Garam
BATU EMPEDU/ Batu kolesterol
CHOLELITHIASIS kristal
empedu
kolesterol

Oklusi dan obstruksi dari batu Peradangan


mukosa kandung
dan aliran darah
kandung empedu
Obstruksi duktus sistikus
terganggu
dan duktus biliaris

KOLESISTITIS KALKULOSUS

27
CHOLESISTECTOMY EARLY CHOLESISTECTOMY INTERVAL

Perlengketan↑ Perlengketan ↓
Oedem ↑ Oedem ↓
Peradangan ↑ Peradangan ↓

Outcome operasi Outcome operasi

Perdarahan↑ Perdarahan↓

Kolesistitis kalkulus disebabkan oleh tersumbatnya duktus sistikus hingga


menyebabkan distensi kandung empedu.
Biasanya sumbatan ini adalah disebabkan adanya batu empedu yang mempunyai 2
tipe yaitu batu kolesterol dan batu pigmen. Pada batu kolesterol, empedu yang
disupersaturasi dengan kolesterol dilarutkan dalam daerah hidrofobik micelle, kemudian
terjadinya krstalisasi dan akhirnya prepitasi lamellar kolesterol dan senyawa lain
membentuk matriks batu. Pada batu pigmen, ada dua bentuk yakni batu pigmen murni
dan batu kalsium bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil, sangat keras dan
penampilannya hijau sampai hitam. Proses terjadinya batu ini berhubungan dengan
sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan pigmen abnormal yang
mengendap di dalam empedu. Sirosis dan statis biliaris merupakan predisposisi
pembentukan batu pigmen. (Albert J,2016)
Cairan empedu yang stasis dan kental, kolesterol dan lesitin yang pekat akan
berubah menjadi jenuh kemudian mengendap dan akan membentuk krital mikroskopis
kemudian menjadi batu empedu. Kemudian batu empedu mengobstruksi duktus sistikus
sehingga merusak mukosa kandung empedu diikuti reaksi inflamasi atau peradangan dan
supurasi. Akhirnya mengakibatkan kolesistitis kalkulosus. Seiring membesarnya ukuran
kantong empedu, aliran darah dan drainase limfatik menjadi terganggu hingga
menyebabkan terjadinya di dinding kandung empedu iskemia, nekrosis mukosa dan jika
lebih berat terjadinya ruptur. (Albert J,2016)

28
Melakukan operasi dalam fase akut / cholesistectomy early adalah adanya
peradangan yang menyebabkan diseksi jaringan menjadi sulit, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya komplikasi (NIC, 2014). Sedangkan pada cholesistectomy
interval peradangan berkurang sehingga diseksi jaringan menjadi lebih mudah dan resiko
komplikasi dapat dikurangi (NIC, 2014).

D. Hipotesis Penelitian
Ada perbedaan yang bermakna pada Outcome operasi cholecystectomy early dan
cholesitectomy interval pada pasien kolesistitis kalkulosus.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional analitik kuantitatif dengan
pendekatan cross sectional.

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di bangsal bedah dan ruang operasi RS Dr. Moewardi Surakarta
pada periode Juli 2016 sampai dengan Nopember 2016.

C. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

1.Populasi Target

Semua pasien yang datang ke Bagian UGD maupun poli bedah digestif Rumah Sakit
Umum Daerah Dr Moewardi Surakarta pada bulan juli-nopember 2016, yang didiagnosis
menderita kolesistitis kalkulosus.

2. Besar Sampel

29
Untuk menentukan besar sampel digunakan rumus Uji Hipotesis terhadap rerata
2 populasi:

n1 = n2 = 2 [ (Zα+Zβ) . s ]2
(x1-x2)
n1 = n2 = populasi minimal

Zα = tingkat kemaknaan ; dalam penelitian ini bernilai = 1,96

Zβ = kuasa penelitian ; dalam penelitian ini bernilai = 0,842

s = simpang baku kedua kelompok ; dalam penelitian ini bernilai = 0,1

(x1-x2) = perbedaan klinis yang dinginkan ; dalam penelitian ini nilainya 0,15

n1 = n2 = 2 [ (1,96 + 0,842) . 0.1 ]2


0,15
n1 = n2 = 6,978848 ~ 7

Dari perhitungan yang dilakukan didapat jumlah minimal sampel pada


penelitian ini adalah 7 untuk setiap kelompok perlakuan.

3. Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah Purposive
Sampling.

D. Kriteria Restriksi

1. Kriteria Inklusi
1. Usia antara 20 sampai dengan 65 tahun.
2. Pasien dengan diagnosis kolesistitis kalkulosus berdasarkan pemeriksaan klinis,
laboratoris, dan USG abdomen.
3. Pasien bersedia dilakukan operasi kolesistektomi secara terbuka.
2. Kriteria Eksklusi
1. Pasien dengan koledokolitiasis
2. Pasien dengan kolangitis
E. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

30
1. Variabel bebas : Jenis Tindakan

-Definis : Pemilihan tindakan operasi early cholescystectomy atau interval


cholecystectomy pada pasien kolesistitis kalkulosus.

a. Early Cholecystectomy

Definisi: Cholecystectomy yang dilakukan antara 24 jam – 72 jam setelah terdiagnosa.

b. Interval Cholesistectomy

Definisi : Cholecystectomy yang dilakukan 6 minggu setelah terdiagnosa yang


sebelumnya diikuti dengan pemberian antibiotik.

- Alat ukur : -

- Skala : Nominal

2. Variabel Terikat: Outcome Operasi


a. Perdarahan
b. Definisi : Jumlah perdarahan pada saat durante operasi
c. Alat ukur : Timbangan dan kassa
d. Satuan : ml, berat 1gr = 1 ml darah
e. Skala : Numerik
F. Instrumentasi

Pengambilan data dilakukan dengan menimbang kassa jenuh dengan cara:

1. Sebelumnya ditimbang kassa steril rata- rata = 1,7 gr

2. Timbang kassa jenuh post operasi =X

3. Berat kassa jenuh operasi : X-1,7 gr = Y gr

4. Jumlah perdarahan Y gr = Y ml

G. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis data pada perdarahan dengan menggunakan mann
whitney test, dimana bila nilai P <0,05 terdapat perbedaan yang bermakna.

31
H. Alur Penelitian
Penderita kolesistitis kalkulosus

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Sample
Pengambilan
dilakukan dengan
Purposive Sampling

Cholecystectomy early Pemberian antibiotik oral


Ciprofloksasin 2x 500 mg selama
tujuh hari

Penilaian Jumlah perdarahan


Cholecystectomy interval

Penilaian Jumlah perdarahan

Analisa Data

Pada perdarahan dengan uji mann whitney test

Hasil dan Kesimpulan Penelitian

32
Pada pasien yang menderita kolesistitis kalkulosus yang datang ke rumah sakit dr.
Moewardi yang memenuhi kriteria inklusi yaitu Usia 20-65 tahun, diagnosis kolesistitis
kalkulosus berdasar pemeriksaan klinis, laboratoris dan USG abdomen, bersedia dilakukan
kolesistektomi terbuka dan kriteria eksklusi yaitu koledokolitiasis, kolangitis kemudian dijadikan
sampel penelitian. Sampel diambil secara Purposive Sampling yaitu sample ditentukan oleh
dokter ahli bedah digestif untuk sample yang dilakukan tindakan early cholesistectomy atau
interval cholesistectomy yang kemudian dibagi yang akan melakukan Cholesistectomy interval
dilakukan pemberian antibiotik oral ciprofloksasin 2 x 500 mg selama tujuh hari terlebih dahulu
kemudian dilakukan Cholesistectomy interval. Pada durante operasi Cholesistectomy early dan
Cholesistectomy interval dinilai jumlah perdarahan. Kemudian dilakukan analisa data pada
perdarahan dengan menggunakan mann whitney tes, dimana bila nilai P <0,05 terdapat perbedaan
yang bermakna, sehingga didapatkan hasil dan kesimpulan penelitian.

BAB IV
33
HASIL PENELITIAN

A. HASIL PENELITIAN
1. Karateristik Responden

Selama melakukan penelitian diperoleh 14 pasien penelitian dengan karakteristik


pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.1 Karatesristik Responden
Tindakan
Variabel Early Interval Total P
cholesistectomy cholesistectomy
Jenis Kelamin* 1.000
Perempuan 5 (71.4%) 4 (57.1%) 9 (64.3%)
Laki-laki 2 (28.6%) 3 (42.9%) 5 (35.7%)
Umur (tahun)** 52.71 + 9.78 49.43 + 8.54 51,07 +8,98 0,516
Ket : *Distribusi Frekuensi (%); Uji Chi Square
** mean + SD; Uji Independent Sampel t Test
Tabel 4.1 menggambarkan bahwa jenis kelamin pada kelompok sampel dengan

tindakan Early cholesistectomy sebagian besar berjenis kelamin perempuan 5 responden

(71,4%), sedangkan sisanya dengan jenis kelamin laki-laki yaitu ada 2 responden

(28,6%). Pada kelompok sampel dengan tindakan Interval cholesistectomy sebagian besar

berjenis kelamin perempuan 4 responden (57,1%), sedangkan sisanya dengan jenis

kelamin laki-laki yaitu ada 3 responden (35,7%). Nilai p = 1.000, yang berarti bahwa

karatersiik responden berdasarkan jenis kelamin antara kedua kelompok homogen.

34
Gambar 10 Karateristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Umur responden pada pada kelompok sampel dengan tindakan Early

cholesistectomy rata rata 52.71 + 9.78 tahun, sedangkan pada kelompok sampel dengan

tindakan Interval cholesistectomy rata-rata 49.43 + 8.54 tahun, rata-rata umur

keseluruhan sampel 51,07 +8,98 tahun. nilai p = 0,516, yang berarti bahwa karatersiik

responden berdasarkan umur antara kedua kelompok homogen.

Gambar 11 Karateristik Responden Berdasarkan Umur

2. Analisis Data
35
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan outcome operasi

(pendarahan) pada tindakan early cholecystectomy dan interval cholecystectomy pada

kolesistitis kalkulosus. Hasil penelitian tersebut kemudian uji statistik mann whitney

untuk mengetahui perbedaan outcome operasi pada tindakan early cholecystectomy dan

interval cholecystectomy pada kolesistitis kalkulosus. Hasil analisis data dapat dilihat

pada tabel berikut.

Tabel 4.2 Analisis Data

Tindakan
Pendarahan Early Interval p
cholesistectomy cholesistectomy
0-50 cc 3 (42.9%) 4 (57.1%) 0,475
51-100 cc 3 (42.9%) 3 (42.9%)
>100 cc 1 (14.3%) 0 (0 .0%)
Ket : Uji Mann Whitney
Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa pada kelompok sampel yang diberi

tindakan Early cholesistectomy yang mengalami pendarahan sebanyak 0-50 cc ada 3

pasien (42,9%), sedangkan yang mengalami pendarahan sebanyak 51-100 cc juga ada 3

pasien (42,9%), dan yang mengalami pendarahan sebanyak >100 cc ada 1 pasien

(14,3%). Pada kelompok pasien yang diberi tindakan Interval cholesistectomy yang

mengalami pendarahan sebanyak 0-50 cc ada 4 pasien (57,1%), sedangkan yang

mengalami pendarahan sebanyak 51-100 cc juga ada 3 pasien (42,9%), dan yang

mengalami pendarahan sebanyak >100 cc ada 0 pasien (0,0%).

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa tindakan Early

cholesistectomy cederung mengalami lebih banyak pendaharan dibandingkan dengan

tindakan Interval cholesistectomy pada kolesistitis kalkulosus. Nilai p= 0,475, (p>0,05),

yang berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan outcome operasi (pendarahan) pada

tindakan early cholecystectomy dan interval cholecystectomy pada kolesistitis kalkulosus.


36
Gambar 4.3 Perbandingan outcome operasi (pendarahan) pada tindakan early
cholecystectomy dengan interval cholecystectomy

BAB V

PEMBAHASAN

37
Cholelithiasis (kalkuli atau batu empedu) biasanya di bentuk dalam kadung empedu dari

bahan-bahan padat empedu dalam hal bentuk, ukuran, dan komposisinya ada dua jenis utama

batu empedu : batu pigmen yang terdiri atas pigmen empedu tak jenuh yang jumlahnya

berlebihan, dan batu kolestrol, yang merupakan bentuk paling umum. Faktor-faktor resiko

pada batu empedu termasuk sirois, hemolisis, dan infeksi percabangan saluran empedu

faktor-faktor resiko untuk batu kolestrol termasuk kontrasepsi oral, estrogen, dan klofibrat.

Wanita mengalami batu kolestrol dan penyakit kandung empedu empat kali lebih sering di

banding pria : biasanya di atas 40 tahun, multi para, dan obesitas.

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah nyeri perut di sebelah

kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh. Keluhan

tersebut dapat memburuk secara progresif dan nyerinya bersifat konstan. Kadang-kadang

rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit

tanpa reda. (Debas,2004).

Operasi merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu simtomatik.

Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh

kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan, dan

infeksi. Terdapat 2 jenis kolesistektomi, yang pertama Early Cholecystectomy merupakan

kolesistektomi awal yang dilakukan dalam kurun waktu 72 jam setelah pasien masuk rumah

sakit. (NIC, 2014). Yang kedua Interval Cholecystectom merupakan kolesistektomi yang

dilakukan setelah prosedur konservatif dengan antibiotik selama 6 minggu, setelah

peradangan akut membaik. Hal ini diyakini jauh lebih aman dan juga tingkat konversi

berkurang. Risiko yang paling ditakuti dalam melakukan operasi dalam fase akut ini adalah

38
adanya peradangan yang menyebabkan diseksi jaringan menjadi sulit, sehingga dapat

meningkatkan risiko terjadinya komplikasi (NIC, 2014).

Hasil penelitian ini diketahui bahwa pada kelompok sampel yang diberi tindakan

Early cholesistectomy yang mengalami pendarahan sebanyak 0-50 cc ada 3 pasien (42,9%),

sedangkan yang mengalami pendarahan sebanyak 51-100 cc juga ada 3 pasien (42,9%), dan

yang mengalami pendarahan sebanyak >100 cc ada 1 pasien (14,3%). Pada kelompok pasien

yang diberi tindakan Interval cholesistectomy yang mengalami pendarahan sebanyak 0-50 cc

ada 4 pasien (57,1%), sedangkan yang mengalami pendarahan sebanyak 51-100 cc juga ada 3

pasien (42,9%), dan yang mengalami pendarahan sebanyak >100 cc ada 0 pasien (0,0%).

Dengan demikian maka dapat diketahui bahwa tindakan Early cholesistectomy cederung

mengalami lebih banyak pendaharan dibandingkan dengan tindakan Interval

cholesistectomy pada kolesistitis kalkulosus. Nilai p= 0,475, (p>0,05), yang berarti tidak

terdapat perbedaan yang signifikan outcome operasi (pendarahan) pada tindakan early

cholecystectomy dan interval cholecystectomy pada kolesistitis kalkulosus

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hipotesis penelitian kemungkinan

dikarenakan peradangan kandung empedu pada sampel penelitian ini tidak mengalami

peradangan yang hebat dan tidak mengalami perlengketan, namun demikian hasil penelitian

ini sesuai dengan guidline pada penanganan kholesistitis kalkulosus dimana tidak ada

perbedaan antara early cholecystectomy dan interval cholecystectomy.

Secara konvensional, kolesistitis akut telah diterapi konservatif pada saat presentasi

penyakit namun terdapat dua cara menurut waktu operasi dan manajemennya. Salah satunya

mendukung kolesistektomi dini (yaitu kurang dari tujuh hari sejak timbulnya gejala) sebagai

pendekatan ini memerlukan pengobatan segera, lama rawat inap rumah sakit yang singkat,

39
menghindari komplikasi seperti perforasi, biaya rendah dan tidak membutuhkan revisit untuk

admisi. Pandangan lain, yaitu kolesistektomi interval (dalam waktu 6 minggu sampai 3 bulan

setelah onset gejala) karena khawatir munculnya akibat morbiditas dan mortalitas operasi

(Saquib, 2013).

Perbandingan keuntungan dan kerugian early cholecystectomy dan interval

cholesistectomy ialah keuntungan early cholecystectomy ialah lebih pendek perawatan di

rumah sakit dan kerugiannya ialah waktu operasi yang lebih lama dan tingkat kesulitan pre

operatif yang lebih tinggi serta komplikasi post operatif yang lebih banyak dibandingkan

interval cholecystectomy. (Saquib, 2013).

Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah

sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu setelah terapi

konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik

tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangren dan

komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan lama perawatan di rumah

sakit menjadi lebih singkat dan biaya dapat ditekan. Sementara yang tidak setuju

menyatakan, operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan

teknik operasi lebih sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan

anatomi. (Gladden, Migala, 2009).

40
BAB VI

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 14 pasien yang datang ke

Bagian UGD maupun poli bedah digestif Rumah Sakit Umum Daerah Dr Moewardi

Surakarta pada bulan Juli-Nopember 2016, yang menderita kolesistitis kalkulosus, dapat

disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada Outcome operasi

cholecystectomy early dan cholesitectomy interval pada pasien kolesistitis kalkulosus (p=

0,475).

B. Saran

Pada kasus kholesistitis kalkulosus di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta early

cholecystectomy dapat digunakan sebagai protokol terapi, guna menghindari timbulnya

gangren, komplikasi kegagalan terapi konservatif dan lama perawatan di rumah sakit menjadi

lebih singkat dan biaya dapat ditekan.

41
DAFTAR PUSTAKA

Albert J. Bredenoord, Andre S, Jan T. Functional Anatomy and Pysiology .A guide to


Gastrointestinal Motility Disorder, Springer; 2016:1-13

Bravo E, Contardo J, Cea J. Frequency of cholelithiasis and biliary pathology in the easter island
rapanui and non-rapanui population. Asian Pac J Cancer Prev. 2016;17(3):1458-8.

Chandran P, Kuchak K, Grag.P, Pundir.C.S, An Extended Chemichal Analysis Of Gallstone :


Indian Journal Of Clinical Biochemestry, 2007/22 (2) 145-150 16. Lun-Tsay. Wei et
all, Composition Of Common Bile Duct Stones in Chinese Patients During and After
Endocopic Sphincterotomy: World Journal Gastroenterology, Elsevier, July 2005 Vol
11, no 27,4246 – 4249

Debas Haile T.Biliary Tract In : Pathophysiology andManagement.Springer – Verlaag 2004 ;


Chapter 7 :198 – 224

Emmanuel A, Stephan I. Gastroenterologi dan hepatologi. Jakarta: Erlangga; 2014.

Freeman HM. Mullen MG, Friel CM. The Progression of Cholelithiasis to Gallstone Illeus : Do
Large Gallstone Warrant Surgery. Journal of Gastrointestinal Surgery: 2016:1-3

Fried GM, Feldman LS, Klassen DR, Cholecystectomy and common bile duct exploration. In
Wiley SW, Mitchel FP, Gregory JJ, Larry KR,Wiliam PH, Jhon, Nathaniel SJ, editors
ACS surgery : 6th Edition 2007: 21

Gladden D, Migala A et al. 2009. Cholecystitis eMedicine.com. Gladden D, Migala A Husain M.


Gheewala, Surajsinh A. Chauhan, Akhil Palod, Dharmesh J. Balsarkar, Rahul V.
Kandekar.A case of Gall Stone Ileus. Journal of Evolution of Medical and Dental
Sciences 2015; 4(55);9670-9673

Jaraari Abdalla M et all, Quantitative Analysis of Gallstones in Libyan Patients, Original Article :
Libyan Journal Medicine 2010,1 – 7

Keshav K, Chahal MS, Joshi H.S, Kashmir S, Agarwal R. Prevalece of different types Gallstone
in the patient with cholelithiasis at rohilkhan medical college and hospital.
International Journal of contemporary surgery: 2015:3(1):1-4
42
Lambou SG,Heller SJ.Lithogenesis and Bile Metabolism in :Surgical Clinics of North
American .Elsevier Saunders 2008 Volume 88 :1175-1194

McDowell I, Newell C. Measuring Health a guide to rating scale and quetionaires.Second


Edition.Oxford University Press.New York 2000; 335-46.

Nakeeb A, Ahrendt SA, Pitt HA, Calculous Biliary Disease In Mulhoulend M, Lillemoe KD,
Doherty GM, Maier Ronald V, Upchurch GR, Greenfield’s surgery : Scientific
principles and practise : 4th Edition. Lippincott William & Wilkins,2006;62:978- 983

Nathanson LK. Management of Common Bile Duct Stone in:Hepatobiliary And Pancreatic
Surgery. Saunders 2009; 4th edition, Chapter 10:185-196.

National Institute For Heatlh and Care Excellence. Gallstone disease. 2014

Nurhadi.Analisa Batu Kandung Empedu.2012.Bandung

Oddsatir M, Hunter JG. Gallbladder and the Extra hepatic Biliary System in: Schawrtz’s
Principles of Surgery. McGraw-Hill & Companies 2007, 8th edition Chapter 31: 821-

Parmar AD, Sheffield KM, Adhikari DMS, Davee RA, Vargas GM, Tamirisa NP, Kuo YF,
Goodwin JS, Riall TS. PREOP-Gallstone : Aprocnostic normogram the Management
of Symptomatic Cholelithiasis in Older Patients. Annals of Surgery:2015;261(6):1184-
1190.

Peter A et. al. “Cholecystectomy for acute cholecystitis. How time-critical are the so called
‘golden 72 hours’? Or better ‘golden 24 hours’ and ‘silver 25–72 hour’? A case control
study”. World Journal of Emergency Surgery 2014, 9:60.

Pushpendra M et. al. “A prospective comparative study of early and interval laparoscopic
cholecystectomy in Acute Cholecystitis”.Gujarat Medical Journal. 2014; 69 : 2

Saquib Zet. al. “Early vs Interval Cholecystectomy in Acute Cholecystitis: an Experience at


Ghurki Trust Teaching Hospital, Lahore”. Department of Surgery, Ghurki Trust
Teaching Hospital/Lahore Medical & Dental College, Lahore (2013)

43
Shareef. Kafia M, Omar LS, Garota SA, Correlation Between The Chemical Components Of
Gallstones And Sera Of Stone Former: Gomal Journal Of Medical Sciences January-
June 2009, Vol.7, No.1, 2-5

Sushant Verma et al. “Early versus Delayed Laparoscopic Cholecystectomy for Acute
Cholecystitis: A Prospective Randomized Trial”. ISRN Minimally Invasive Surgery
Volume 2013 (2013), Article ID 486107

Toouli J and Bhandari M, Anatomy and Physiology of the Biliary tree and Gallbladder and Bile
ducts, in, Diagnosis and Treatment Blackwell Publishing 2006, Second Edition.
Chapter I : 3-20

Verbesey JE, Desmond HB. Common Bile Duct Exploration for Choledecholithiasis in : Surgical
Clinics of North American. Elsevier Saunders 2008, volume 88:1315-1328.

Winslow T. Bile Duct Cancer Treatment Patient version U.S Govt. 2015

Zollinger, Robert M., Zollinger’s Atlas of Surgical Operations 9 th edition, international edition:
McGraw Hill. United State Of America. 2011

44

You might also like