Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
1
Bab II
Tinjauan Pustaka
Ginjal berjumlah dua buah, denganberat 150 gram (125 – 170 gr pada Laki-
laki, 115 – 155 gr pada perempuan); panjang 5 – 7,5 cm; tebal 2,5 – 3 cm. Pada
posisi berdiri letak ginjal kanan lebih rendah dari pada ginjal kiri. Bila dibuat irisan
memanjang dari medial ke lateral tampak dua bagian Korteks/substantia kortekalis
sebelah luar dan medulla/substantia medullaris sebelah dalam.4
Pada dasarnya fungsi utama adalah membersihkan plasma darah dari zat-zat
yang tidak berguna bagi tubuh dengan cara filtrasi, reabsorbsi, sekresi dan
augmentasi. Proses pembentukan urin diawali dengan penyaringan darah yang
terjadi di kapiler glomerulus. Sel-sel kapiler glomerulus yang berpori (podosit),
tekanan dan permeabilitas yang tinggi pada glomerulus mempermudah proses
penyaringan. 4
2
dan bahan lain pada filtrat dikeluarkan bersama urin. Setelah terjadi reabsorbsi
maka tubulus akan menghasilkan urin sekunder, zat-zat yang masih diperlukan
tidak akan ditemukan lagi. Sebaliknya, konsentrasi zat-zat sisa metabolisme yang
bersifat racun bertambah, misalnya urea. 4
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran
darah melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi
secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah
terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen. 4
Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai terjadi di
tubulus kontortus distal. Urine yg telah terbentuk (urine sekunder), dari tubulus
kontortus distal akan turun menuju saluran pengumpul (duktus kolektivus),
selanjutnya urine dibawa ke pelvis renalis. Dari pelvis renalis, urine mengalir
melalui ureter menuju vesika urinaria (kantong kemih) yang merupakan tempat
penyimpanan sementara bagi urine. Jika kantong kemih telah penuh terisi urin,
dinding kantong kemih akan tertekan sehingga timbul rasa ingin buang air kecil.
Urin akan keluar melalui uretra. Komposisi urine yang dikeluarkan meliputi air,
garam, urea, dan sisa substansi lainnya seperti pigmen empedu yang berfungsi
memberi warna dan bau pada urine. Warna urine setiap orang berbeda dan biasanya
dipengaruhi oleh jenis makanan yang dikonsumsi, aktivitas yang dilakukan,
ataupun penyakit. Warna normal urine adalah bening hingga kuning pucat. 4
Pruritus uremik adalah pruritus yang terjadi pada gagal ginjal yang
disebabkan oleh toksin uremik, dengan prevalensi berkisar antara 20%-50%.
Berbagai manifestasi klinis dapat terjadi pada penyakit ginjal stadium akhir (PGSA)
seperti nausea, vomitus, lemas, pucat, uremic fetor, edema, pertumbuhan terlambat,
osteodistrofi, hipertensi, dan lain-lain. Gejala akibat penurunan fungsi ginjal terjadi
secara perlahan-lahan dan jelas terlihat setelah laju filtrasi glomerulus (LFG)< 10
ml/menit/1,73 m2. Gejala fisik tidak langsung terlihat oleh karena ginjal yang masih
3
baik mempunyai fungsi ginjal cadangan yang besar (reserve fungsional) dan nefron
mempunyai kemampuan mengadaptasi kehilangan nefron lainnya. Manifestasi
klinis PGSA disebabkan oleh berbagai faktor akibat penurunan fungsi ginjal dan
penimbunan sisa metabolisme protein yang disebut toksin uremik. Salah satu gejala
yang disebabkan toksin uremik adalah pruritus. Pruritus pada pasien dengan gagal
ginjal atau yang sedang menjalani dialisis disebut dengan pruritus uremik. 5
a. Etiologi
Pada PGSA, pruritus dapat terjadi oleh berbagai sebab, baik yang ada
kaitannya dengan uremia maupun yang tidak berkaitan dengan uremia. Penyebab
pruritus pada PGSA antara lain:
1. Keadaan yang berkaitan dengan uremia :
Pruritus uremik
Xerosis kulit
Anemia karena penyakit ginjal
Hipoparatiroid sekunder
2. Keadaan yang tidak berkaitan dengan uremia :
Hipersensitivitas pada obat
Penuaan
Hepatitis
Diabetes melitus
Hipotiroidisme
Anemia defisiensi besi
Tumor limfoproliferatif
Hiperkalsemia 5
b. Patofisiologi
Patofisiologi pruritus masih belum diketahui. Keluhan pruritus diperkirakan
berhubungan dengan pelepasan histamin dari sel mast di kulit. Persepsi pruritus
dibawa oleh sistem saraf pusat melalui jalur neural yang berhubungan dengan
4
reseptor opioid. Namun, mekanisme uremia menginduksi pruritus belum diketahui
jelas, mungkin karena disekuilibrium metabolik. Menarik diperhatikan bahwa
pruritus tidak terjadi pada pasien gagal ginjal akut, sehingga kadar blood urea
nitrogen (BUN) dan kreatinin bukan menjadi penyebab satu-satunya pruritus. 6
5
Hiperparatiroid :Hiperparatiroid dapat menstimulasi sel mast untuk
melepaskan histamin dan dapat menyebabkan mikropresipitasi garam kalsium dan
magnesium di kulit. Namun, tidak semua pasien hiperparatiroid berat mengalami
pruritus. Suatu studi pernah melaporkan pruritus dapat hilang sama sekali setelah
tindakan paratiroidektomi. Lebih lanjut diketahui tidak ada hubungan antara kadar
PTH (parathyroid hormone) plasma dengan proliferasi sel dermal, juga tidak ada
perbedaan jumlah sel mast atau kadar PTH antara pasien dengan atau tanpa
pruritus.6
c. Manifestasi Klinis
Pruritus uremik sering ditemukan pada PGSA, dapat mengganggu aktivitas
atau pekerjaan, mengganggu tidur, dan menurunkan kualitas hidup. Pruritus dapat
bersifat menyeluruh atau lokal. Intensitas dan distribusi pruritus bervariasi dengan
derajat keparahan bergantung pada beratnya. Intensitas pruritus mulai dari yang
ringan yang timbul sporadik sampai dengan yang berat hingga tidak dapat istirahat
baik siang maupun malam hari. 5
Pruritus uremik sering ditemukan pada PGSA, dapat mengganggu aktivitas
atau pekerjaan, mengganggu tidur, dan menurunkan kualitas hidup. Pruritus dapat
bersifat menyeluruh atau lokal. Intensitas dan distribusi pruritus bervariasi dengan
derajat keparahan bergantung pada beratnya. Intensitas pruritus mulai dari yang
ringan yang timbul sporadik sampai dengan yang berat hingga tidak dapat istirahat
baik siang maupun malam hari. 5
Pruritus sering dirasakan di seluruh tubuh paling dominan di punggung.
Biopsi kulit pada pasien pruritus uremik biasanya tidak memuaskan. Ekskoriasi
akibat garukan berulang dapat menyebabkan kondisi dermatologi lain seperti likhen
simpleks, prurigo nodularis dan papula keratotik (folikulitis perforatif ) dan
hiperkeratosis folikular eluhan pruritus digolongkan berdasarkan derajat keluhan,
frekuensi, dan distribusinya. Sistem skor yang diperkenalkan oleh Duo, kemudian
dimodifikasi oleh Mettang dan Hiroshige, seperti berikut ini:
6
Skor derajat pruritus:
skor 1: gatal tanpa garukan
skor 2: gatal dengan garukan tanpa ekskoriasi
skor 3: gatal dengan garukan terus-menerus atau dengan
ekskoriasi
skor 4: gatal menyebabkan kegelisahan total;
Skor distribusi pruritus:
skor 1: gatal di satu lokasi tubuh
skor 2: gatal tersebar di beberapa lokasi tubuh
skor 3: gatal menyeluruh;
Skor frekuensi pruritus:
skor: setiap 4 episode (masing-masing episode <10 menit)
atau satu episode gatal (>10 menit) mempunyai skor 1 poin,
maksimal 4 poin.
Beberapa peneliti melaporkan keluhan pruritus berdasarkan intensitas (absen,
ringan,berat) dan frekuensi (absen, kadang-kadang, setiap hari). Namun,
kebanyakan keluhan pruritus hanya dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya
pruritus. 5,6
7
Gambar 1. Perubahan kulit pada pasien pruritus uremik
d. Diagnosis
Istilah pruritus uremik sebenarnya kurang tepat karena pruritus tidak
ditemukan pada PGSA dan tidak terdapat pada gagal ginjal akut, tidak berkorelasi
dengan beratnya uremia, dan pruritus tidak hilang meskipun dilakukan dialisis,
namun demikian istilah ini selalu digunakan. Diagnosis pruritus uremik ditegakkan
berdasarkan kriteria,
Pruritus timbul segera sebelum onset dialisis, atau pada setiap saat tanpa
bukti penyakit aktif yang dapat menyebabkan pruritus.
Terjadi tiga atau lebih episode pruritus selama periode kurang dari 2
minggu, dengan gejala terjadi beberapa kali sehari, berakhir dalam
beberapa menit, dan mengganggu pasien.
Pruritus terjadi dalam pola teratur selama satu periode enam bulan, tetapi
lebih jarang dari keadaan seperti butir 2. 5
8
e. Terapi
Pengobatan pruritus uremik sangat sulit meskipun pengobatan dengan obat
tertentu kadang-kadang efektif. Sayangnya tidak ada antipruritus yang berspektrum
luas, berbagai obat topikal atau sistemik dapat digunakan untuk menekan rasa gatal.
Beberapa pengobatan telah dicoba seperti eritropoietin, naltrekson, dan pengobatan
lain dengan hasil yang baik meskipun sering juga tidak memberikan hasil.
Pengobatan pruritus uremik kurang efektif disebabkan patofisiologi pruritus uremik
belum jelas. 5
9
Faktor lain yang juga berperan dalam terjadinya pruritus adalah disfungsi
imun dan perubahan pola produksi limfokin, maka pasien diterapi dengan obat yang
mempengaruhi limfosit atau limfokin. Asam amino esensiel seperti asam linoleat
mengurangi proliferasi limfosit dan produksi limfokin serta mengurangi beratnya
pruritus. Penelitian prospektif dengan metode randomized, double blind, placebo
controlled, cross over study, krim asam linolenik 2,2% dibandingkan dengan
plasebo yang diberikan tiga kali sehari selama dua minggu. Kemudian dilakukan
terapi silang untuk masing-masing kelompok. Terlihat efek antipruritus asam
linolenat yang baik. 5
Capsaicin, adalah substansia yang diisolasi dari tanaman pepper genus
Capsicum, Capsaicin topikal dapat menghilangkan substansia P neuron perifer C-
fibres dan menghambat konduksi nyeri atau pruritus sehingga mengurangi rasa
nyeri dan gatal. Capsaicin secara bermakna efektif dalam menghilangkan pruritus
dan mempunyai efek antipruritus yang lama hingga delapan minggu setelah
pengobatan. Krim capsaicin 0,025% atau 0,075% dioleskan 3-5 kali sehari.
Beberapa obat yang mengandung anestesi lokal (seperti benzokain, lidokain atau
tetrakain/ametokain) dapat digunakan untuk pengobatan pruritus uremik. Strontium
nitrat 10-20% topikal mempunyai efek antipruritus dan efektif dalam mengurangi
pruritus. 5
Salep takrolimus mengurangi gejala klinis pruritus uremik membaik secara
dramatis, meskipun beberapa hari setelah salep dihentikan secara perlahan pruritus
timbul kembali. Tidak tampak efek samping selama dan setelah pemberian
takrolimus. Tampaknya salep takrolimus aman dan cukup efektif sebagai
pengobatan jangka pendek terutama pada pruritus berat, namun perlu waspada
terhadap efek karsinogenik pada pemakaian jangka lama. Salep takrolimus 0,03%
diberikan 2 kali sehari selama 7 hari. 5
Ketidakseimbangan stimulasi reseptor k-opioid dan k-opioid berperan
dalam patogenesis pruritus, sehingga manipulasi sistem opioid dapat digunakan
dalam tata laksana pruritus. Pemberian naltrekson secara sistemik, suatu antagonis
reseptor-ꭒ efektif dalam tata laksana pruritus. Pada penelitian dengan metode
placebo-control, double blind crossover pada pasien pruritus uremik persisten yang
10
resisten dengan hemodialisis atau dialisis peritoneal, pemberian naltrekson
menyebabkan perbaikan pada 29,2 % pruritus uremik, tetapi tidak terdapat
perbedaan bermakna pada kelompok naltrekson dan plasebo. Naltrekson diberikan
selama 4 minggu dengan dosis 50 mg/hari. Kejadian efek samping naltrekson
berupa gangguan saluran gastro-intestinal sangat tinggi, yaitu 9 di antara 23 pasien
mengalami gangguan gastrointestinal, sehingga obat ini tidak begitu disukai dalam
pengobatan pruritus uremik.5
Nalfurafin, suatu agonis reseptor k-opioid telah dicoba dalam pengobatan
pruritus uremik. Pada penelitian metaanalisis, multisenter, randomized,
coubleblind, placebo-controlled terhadap pasien yang mengalami pruritus
intraktabel, pasien mendapat nalfurafin 5 mcg atau plasebo secara intravena tiga
kali seminggu selama 2-4 minggu. Terlihat efek nalfurafin yang berbeda bermakna
dibandingkan dengan plasebo.5
Transplantasi ginjal merupakan satu-satunya terapi definitif untuk pruritus
uremik refrakter berat pada pasien PGSA, namun hal ini sering tidak mampu
laksana dan tidak dapat dilakukan dengan segera. Oleh sebab itu, tata laksana yang
dapat dilakukan adalah mengoptimalkan dialisis, pemberian eritropoietin dan
suplementasi besi, serta pengobatan hiperparatiroidisme sekunder untuk
mempertahankan kadar kalsium dan fosfor dalam keadaan normal. 5
11
Gambar 2. Tatalaksana Pruritus
12
Gambar 3. Gambaran klinis adanya manifestasi eritema dan erosi kulit
(Sumber : Porphiria Cutanea Tarda: A case Presentation and Disscusion)
b. Pseudoporphyria
Kondisi ini seringkali tidak dapat dibedakan dari PCT yang ditandai
kerapuhan kulit dan formasi blister (lepuh) pada kulit yang terpapar sinar matahari.
Akan tetapi, kejadian hipertrichosis sedikit ditemukan dan tingkat plasma porphyrin
pada umumnya normal. Pseudoporphyria dapat juga terjadi pada beberapa pasien
yang mendapatkan pengobatan dengan tetrasiklin, nabumetone, nitroglyserin, asam
nalidixic, furosemide, dan fenitoin. 3
13
dan leher. Histopatologi dari NFD menyerupai scleromyedema, dengan adanya
proliferasi fibroblas di dermis dan septa pada subkutaneus yang dihubungkan
dengan peningkatan kolagen septal dan dermal serta musin. 3,9
14
superfisial yang nyeri, hiperetika, atau pruritus dan terdapat ekimosis. Pola ini
berdasarkan pada perubahan aliran darah kulit, yang menghasilkan hiperpigmentasi
retinacular ungu kebiruan pada kulit. Kemerahan awal dapat berevolusi menjadi
eritema intens, yang selama beberapa hari atau minggu, berubah menjadi nekrosis
terang dengan pembentukan eschar. Infeksi gangren mungkin setelah itu
berkembang di situs. Nodul subkutan sering dapat dirasakan memanjang di luar tepi
lesi kulit yang jelas. Tempat predileksi yang paling umum adalah jaringan adiposa
tebal seperti payudara, perut, dan paha. Lokasi lain yang kurang umum dari
arteriolopati ureter kalsifikasi termasuk jantung, paru-paru, pankreas, lidah, mata,
dan penis. Area nekrosis proksimal (paha, bokong, dan badan) memiliki prognosis
yang tidak menguntungkan dengan tingkat mortalitas 60% hingga 80%, sedangkan
distribusi acral (betis, lengan bawah, jari tangan, kaki, dan penis) dikaitkan dengan
20% hingga 30% tingkat kematian. 3,10
Gambar 5. Calciphylaxis
15
gagal ginjal, peningkatan kadar fosfor serum, terutama postprandial, selain kadar
kalsium serum rendah sekunder akibat gangguan produksi ginjal 1,25-
dihidroksokolekalsiferol, menghasilkan penurunan penyerapan kalsium usus, yang
menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder dan hiperfosfatemia dengan
konsekuensi. endapan kalsium dalam mikrovaskulatur dan iskemia jaringan.
Meskipun kelainan metabolisme kalsium, fosfor, dan paratiroid terlibat dalam
mekanisme, tingkat tinggi produk kalsium-fosfat tidak selalu mutlak untuk
sindrom. Selanjutnya, telah disarankan bahwa ketidakseimbangan induser dan
inhibitor dari kalsifikasi dinding pembuluh darah mengarah ke calciphylaxis. Hal
ini didukung oleh peningkatan regulasi induksi kalsifikasi vaskular, termasuk
osteopontin yang diekspresikan oleh sel otot polos vaskular dan protein morfogenik
tulang yang biasanya terlibat dalam perkembangan tulang. Selain itu, ada
transformasi sel otot polos pembuluh darah menjadi sel mirip osteoblas dengan
ekspresi protein terkait tulang seperti osteokalsin, sialoprotein tulang, kolagen tipe
1, dan osteopontin. 10
Mekanisme lain yang dianggap terganggu adalah penekanan inhibitor
kalsifikasi vaskular termasuk matriks protein Gla, osteoprotegerin, pirofosfat, dan
fetuin-A. Protein Matrix Gla membutuhkan vitamin-K-mediated γ-carboxylation
untuk aktivitas fungsionalnya. Akibatnya, antikoagulan coumarin dan defisiensi
vitamin K dapat menghambat fungsi protein Gla matriks dan menstimulasi
kalsifikasi vaskular. Tingkat penurunan osteoprotegerin dan fetuin-A (melalui
faktor nuklir κ B cascade) oleh perubahan inflamasi yang ditemukan pada uremia.
Hilangnya pirofosfat terkait dengan pembersihan dialitik bersama dengan sintesis
menurun dan peningkatan pembersihan ginjal tambahan, yang mendukung
kalsifikasi jaringan pada penyakit ginjal kronis. Telah disarankan bahwa keadaan
hiperkoagulasi sekunder untuk protein absolut atau fungsional C atau kekurangan
protein S mungkin terlibat dalam patogenesis kalsifilaksis. Selain itu, pengendapan
abnormal, terutama aluminium dan mikroorganisme tertentu mungkin memiliki
peran dalam patogenesis kalsifilaksis. 10
Biopsi kulit adalah cara yang berguna untuk mengetahui patofisiologi
gangguan tersebut. Secara histologi, kalsifilaksis menunjukkan kalsifikasi dinding
16
medial kapiler, venula, arteriol, dan arteri kecil dermis dan lemak subkutan bersama
dengan hiperplasia intima dan fibrosis endovaskular. Ukuran yang dipengaruhi
berkisar antara 0,02 mm hingga 0,60 mm dan rata-rata 0,1 mm. Pengapuran
pembuluh dermal menyebabkan oklusi dan iskemia jaringan berikutnya serta
nekrosis, maka dinamakan sebagai ureter arteriolopati iskemik kalsifikasi. Reaksi
sel giant dapat diamati di beberapa pembuluh darah. Trombosis endovaskular dapat
terjadi pada pembuluh dermal subkutan dan superfisial tetapi bukan merupakan
gambaran diagnostik dari calciphylaxis.10
17
kelainan metabolisme kalsium fosfat memiliki peran penting dalam perkembangan
calciphylaxis pada pasien dengan gagal ginjal, pilihan pengobatan utama berkisar
pada mengontrol kadar kalsium dan fosfat, yang dicapai dengan menggunakan
pengikat fosfat noncalcium (misalnya, sevelamer hidroklorida atau lanthanum).
karbonat), meningkatkan frekuensi dialisis (dengan kalsium dialisat rendah) serta
penggunaan yang tepat dari analog vitamin D, dan membatasi asupan fosfat (43
mg/d). Mencegah hiperparatiroidisme sekunder dan mengoptimalkan status nutrisi
sama pentingnya. Pada pasien dengan peningkatan kadar hormon paratiroid,
muncul paratiroidektomi yang muncul, yang menunjukkan manfaat kelangsungan
hidup dalam jangka pendek dengan penyembuhan ulkus lengkap dalam beberapa
minggu setelah prosedur. Paratiroidektomi tidak berguna pada pasien dengan kadar
hormon paratiroid rendah dan mungkin berbahaya. Untuk pasien yang tidak dapat
menjalani operasi, terapi medis dengan cinacalcet, direkomendasikan kalsimimetik,
yang meningkatkan sensitivitas reseptor penginderaan kalsium pada kelenjar
paratiroid. Selanjutnya, tindakan pendukung termasuk perawatan luka yang sangat
teliti, yang mungkin memerlukan debridemen jaringan nekrotik, penggunaan
antibiotik sistemik untuk mencegah infeksi, dan analgesia opioid yang adekuat.
Dalam beberapa kasus, penyembuhan luka ditingkatkan dengan menggunakan
dressing vakum. Pendekatan terapeutik baru-baru ini termasuk penggunaan natrium
tiosulfat, garam anorganik yang mengandung kalsium dari deposit jaringan lunak
untuk membentuk kalsium tiosulfat, garam kalsium yang sangat larut. Ini juga
menurunkan kalsifikasi metastasis pada pasien dengan penyakit ginjal kronis.
Selain itu, bertindak sebagai antioksidan kuat, yang membantu menetralisir radikal
oksigen reaktif dengan menghasilkan glutathione antioksidan. Juga, ia mendorong
produksi oksida nitrit endotel sehingga meningkatkan aliran darah jaringan dan
oksigenasi. Selanjutnya, dimetabolisme menjadi hidrogen sulfida yang juga
memiliki efek vasodilatasi. Dosis perawatan yang direkomendasikan adalah 5 g
hingga 25 g, 3 kali per minggu pada setiap akhir sesi hemodialisis selama sekitar 2
minggu hingga 34 bulan. Meskipun dianggap aman, efek samping utama termasuk
mual, muntah, sakit kepala, rhinorrhea, dan anion gap metabolic acidosis.
Bifosfonat, baik intravena dan oral, juga telah digunakan secara efektif dalam
18
pengobatan calciphylaxis, dengan peningkatan yang dilaporkan pada nyeri dan
tanda-tanda. peradangan. Mekanisme kerja bifosfonat bersifat kompleks, tetapi
diduga mengubah endapan ektopik kalsium fosfat, menekan sitokin pro-inflamasi,
dan menghambat aktivitas makrofag. Ini bertindak sebagai inhibitor langsung
kalsifikasi mirip dengan pirofosfat. Terapi oksigen hiperbarik telah terbukti
bermanfaat dalam mengobati calciphylaxis pada pasien yang menjalani kedua
peritoneal dan hemodialisis. 3,10
19
Diagnosis dan intervensi klinis awal dapat meningkatkan prognosis kondisi yang
buruk. 3,10
20
Gambar 7. Gangguan perforasi. A sampai C, Beberapa papula
hiperkeratotik ekskoriasi dan nodul dengan kerak sentral yang
terlibat seluruh integumen. D, Koebnerisasi
21
produk yang dihilangkan. Diyakini bahwa elastase dan kolagenase, proteinase
dilepaskan dari degenerasi leukosit, dapat memodifikasi dermal jaringan ikat.
22
Bab III
Kesimpulan
Ginjal adalah organ tubuh yang memiliki fungsi utama untuk menyaring dan
membuang zat-zat sisa metabolisme tubuh dari darah dan menjaga keseimbangan
cairan serta elektrolit (misalnya kalsium, natrium, dan kalium) dalam darah.
Terdapat bermacam-macam kelainan kulit yang disebabkan karena manifestasi
penyakit ginjal seperti pruritus uremik, Bullous Dermatosa, Nefrogenic Fibrosing
Dermatosis ( NFD), dan Kalsifilakis. Kelainan kulit tersebut dapat terjadi sesuai
dengan keparahan dari penyakit ginjal.
23