You are on page 1of 23

Bab I

Pendahuluan

Pasien dengan penyakit ginjal stadium lanjut hampir semua memiliki


minimal satu gangguan dermatologis dan perubahan kulit serta kuku, yang dapat
terjadi sebelum atau setelah dialisa atau tranplantasi. Beberapa mengatakan bahwa
manifestasi kulit ini disebabkan oleh proses patologis mendasar yang disebabkan
penyakit ginjal, sementara yang lainnya percaya bahwa perubahan kulit ini
berhubungan dengan keparahan dan durasi gagal Ginjal.1
Penyebab gagal ginjal banyak, dan komplikasi dari gagal ginjal, penyakit
yang mendasari, dan pengobatan tidak jarang. Contoh manifestasi kulit umum
termasuk xerosis dan perubahan pigmen. Perubahan-perubahan kulit yang sering
terjadi pada penyakit tertentu dapat membantu dalam diagnosis gangguan primer
yang mengarah ke penyakit ginjal atau keparahan penyakit. Pemeriksaan yang
cermat pada kulit dapat memberikan petunjuk penting untuk diagnosis sebab-sebab
gagal ginjal dan membantu dalam memantau komplikasi.1
Prevalensi gangguan kulit yang tinggi diakibatkan karena sebagian besar
pasien dengan Gagal ginjal memiliki proses penyakit yang mendasarinya dengan
manifestasi kulit. Uremia dan kondisi yang terkait dengan terapi transplantasi
banyak menimbulkan kelainan kulit yang unik. Manifestasi kulit pada penyakit
ginjal lebih banyak ditemukan pada pasien dengan gagal ginjal kronis. Terdapat dua
perubahan kulit yaitu edema dan frost uremik yang terjadi pada gagal ginjal kronik
(GGK). Edema adalah gambaran pada penderita dengan gagal ginjal akut (GGA)
dan sindrom nefrotik.2,3

1
Bab II

Tinjauan Pustaka

2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal

Ginjal berjumlah dua buah, denganberat 150 gram (125 – 170 gr pada Laki-
laki, 115 – 155 gr pada perempuan); panjang 5 – 7,5 cm; tebal 2,5 – 3 cm. Pada
posisi berdiri letak ginjal kanan lebih rendah dari pada ginjal kiri. Bila dibuat irisan
memanjang dari medial ke lateral tampak dua bagian Korteks/substantia kortekalis
sebelah luar dan medulla/substantia medullaris sebelah dalam.4

Pada dasarnya fungsi utama adalah membersihkan plasma darah dari zat-zat
yang tidak berguna bagi tubuh dengan cara filtrasi, reabsorbsi, sekresi dan
augmentasi. Proses pembentukan urin diawali dengan penyaringan darah yang
terjadi di kapiler glomerulus. Sel-sel kapiler glomerulus yang berpori (podosit),
tekanan dan permeabilitas yang tinggi pada glomerulus mempermudah proses
penyaringan. 4

Penyaringan, di glomelurus juga terjadi penyerapan kembali sel-sel darah,


keping darah, dan sebagian besar protein plasma. Bahan-bahan kecil yang terlarut
di dalam plasma darah, seperti glukosa, asam amino, natrium, kalium, klorida,
bikarbonat dan urea dapat melewati saringan dan menjadi bagian dari endapan.
Hasil penyaringan di glomerulus disebut filtrat glomerolus atau urin primer,
mengandung asam amino, glukosa, natrium, kalium, dan garam-garam lainnya. 4

Bahan-bahan yang masih diperlukan di dalam urin pimer akan diserap


kembali di tubulus kontortus proksimal, sedangkan di tubulus kontortus distal
terjadi penambahan zat-zat sisa dan urea. Meresapnya zat pada tubulus ini melalui
dua cara. Gula dan asam amino meresap melalui peristiwa difusi, sedangkan air
melalui peristiwa osmosis. Penyerapan air terjadi pada tubulus proksimal dan
tubulus distal. Substansi yang masih diperlukan seperti glukosa dan asam amino
dikembalikan ke darah. Zat amonia, obat-obatan seperti penisilin, kelebihan garam

2
dan bahan lain pada filtrat dikeluarkan bersama urin. Setelah terjadi reabsorbsi
maka tubulus akan menghasilkan urin sekunder, zat-zat yang masih diperlukan
tidak akan ditemukan lagi. Sebaliknya, konsentrasi zat-zat sisa metabolisme yang
bersifat racun bertambah, misalnya urea. 4
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran
darah melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi
secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah
terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen. 4
Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai terjadi di
tubulus kontortus distal. Urine yg telah terbentuk (urine sekunder), dari tubulus
kontortus distal akan turun menuju saluran pengumpul (duktus kolektivus),
selanjutnya urine dibawa ke pelvis renalis. Dari pelvis renalis, urine mengalir
melalui ureter menuju vesika urinaria (kantong kemih) yang merupakan tempat
penyimpanan sementara bagi urine. Jika kantong kemih telah penuh terisi urin,
dinding kantong kemih akan tertekan sehingga timbul rasa ingin buang air kecil.
Urin akan keluar melalui uretra. Komposisi urine yang dikeluarkan meliputi air,
garam, urea, dan sisa substansi lainnya seperti pigmen empedu yang berfungsi
memberi warna dan bau pada urine. Warna urine setiap orang berbeda dan biasanya
dipengaruhi oleh jenis makanan yang dikonsumsi, aktivitas yang dilakukan,
ataupun penyakit. Warna normal urine adalah bening hingga kuning pucat. 4

2.2 Jenis-Jenis Kelainan Kulit Akibat Penyakit Ginjal

2.2.1 Pruritus Uremik

Pruritus uremik adalah pruritus yang terjadi pada gagal ginjal yang
disebabkan oleh toksin uremik, dengan prevalensi berkisar antara 20%-50%.
Berbagai manifestasi klinis dapat terjadi pada penyakit ginjal stadium akhir (PGSA)
seperti nausea, vomitus, lemas, pucat, uremic fetor, edema, pertumbuhan terlambat,
osteodistrofi, hipertensi, dan lain-lain. Gejala akibat penurunan fungsi ginjal terjadi
secara perlahan-lahan dan jelas terlihat setelah laju filtrasi glomerulus (LFG)< 10
ml/menit/1,73 m2. Gejala fisik tidak langsung terlihat oleh karena ginjal yang masih

3
baik mempunyai fungsi ginjal cadangan yang besar (reserve fungsional) dan nefron
mempunyai kemampuan mengadaptasi kehilangan nefron lainnya. Manifestasi
klinis PGSA disebabkan oleh berbagai faktor akibat penurunan fungsi ginjal dan
penimbunan sisa metabolisme protein yang disebut toksin uremik. Salah satu gejala
yang disebabkan toksin uremik adalah pruritus. Pruritus pada pasien dengan gagal
ginjal atau yang sedang menjalani dialisis disebut dengan pruritus uremik. 5

a. Etiologi
Pada PGSA, pruritus dapat terjadi oleh berbagai sebab, baik yang ada
kaitannya dengan uremia maupun yang tidak berkaitan dengan uremia. Penyebab
pruritus pada PGSA antara lain:
1. Keadaan yang berkaitan dengan uremia :
 Pruritus uremik
 Xerosis kulit
 Anemia karena penyakit ginjal
 Hipoparatiroid sekunder
2. Keadaan yang tidak berkaitan dengan uremia :
 Hipersensitivitas pada obat
 Penuaan
 Hepatitis
 Diabetes melitus
 Hipotiroidisme
 Anemia defisiensi besi
 Tumor limfoproliferatif
 Hiperkalsemia 5

b. Patofisiologi
Patofisiologi pruritus masih belum diketahui. Keluhan pruritus diperkirakan
berhubungan dengan pelepasan histamin dari sel mast di kulit. Persepsi pruritus
dibawa oleh sistem saraf pusat melalui jalur neural yang berhubungan dengan

4
reseptor opioid. Namun, mekanisme uremia menginduksi pruritus belum diketahui
jelas, mungkin karena disekuilibrium metabolik. Menarik diperhatikan bahwa
pruritus tidak terjadi pada pasien gagal ginjal akut, sehingga kadar blood urea
nitrogen (BUN) dan kreatinin bukan menjadi penyebab satu-satunya pruritus. 6

Berikut ini beberapa mekanisme yang menyebabkan pruritus:


 Xerosis Xerosis merupakan masalah kulit yang sering terjadi (60% - 90%)
pada pasien yang memicu terjadinya pruritus uremia. Xerosis atau kulit kering
akibat atrofi kelenjar sebasea, gangguan fungsi sekresi eksternal, dan gangguan
hidrasi stratum korneum. Kulit kering pada pasien yang pruritus mempunyai
hidrasi lebih rendah dibandingkan pasien tanpa keluhan pruritus
 Berkurangnya eliminasi transepidermal faktor pruritogenik. Secara teori,
akumulasi senyawa pruritogenik yang tidak terdiaisis dapat menimbulkan efek
sensasi gatal di saraf pusat ataupun di reseptor. Senyawa pruritogenik di antaranya
vitamin A, hormon paratiroid dan histamin yang berpotensi menimbulkan
pruritus. Namun tidak ada bukti yang mendukung bahwa senyawa-senyawa
tersebut menyebabkan pruritus uremik. Kadar plasma vitamin A meningkat pada
pasien dialisis, tetapi tidak ada hubungan antara kadar plasma vitamin A dengan
derajat pruritus; bahkan autopsi menunjukkan bahwa kadar vitamin A di organ-
organ tubuh sama atau lebih rendah pada pasien uremia dibandingkan pasien yang
tidak uremia. Senyawa pruritogenik lain adalah interleukin-1, yang dikeluarkan
setelah kontak antara plasma dengan membran hemodialisis yang
bioinkompatibel. Interleukin-1 mempunyai efek proinfl amasi di kulit dan secara
teori dapat menyebabkan rasa gatal. Stale-Backdahl menyatakan hipotesa bahwa
pruritus uremik dapat disebabkan oleh proliferasi abnormal serabut saraf sensorik
yang dikenal sebagai neuropati uremik. Stale menemukan serabut saraf dan saraf
terminal tersebar di lapisan epidermis pasien dialisis. Namun, laporan terbaru
menyatakan tidak ada perbedaan distribusi serabut saraf sensorik enolase-positip
antara pasien normal dengan pasien uremik. Markerinflamasi seperti C-reactive
protein dan interleukin-6 dilaporkan juga meningkat pada pasien pruritus uremik

5
 Hiperparatiroid :Hiperparatiroid dapat menstimulasi sel mast untuk
melepaskan histamin dan dapat menyebabkan mikropresipitasi garam kalsium dan
magnesium di kulit. Namun, tidak semua pasien hiperparatiroid berat mengalami
pruritus. Suatu studi pernah melaporkan pruritus dapat hilang sama sekali setelah
tindakan paratiroidektomi. Lebih lanjut diketahui tidak ada hubungan antara kadar
PTH (parathyroid hormone) plasma dengan proliferasi sel dermal, juga tidak ada
perbedaan jumlah sel mast atau kadar PTH antara pasien dengan atau tanpa
pruritus.6

c. Manifestasi Klinis
Pruritus uremik sering ditemukan pada PGSA, dapat mengganggu aktivitas
atau pekerjaan, mengganggu tidur, dan menurunkan kualitas hidup. Pruritus dapat
bersifat menyeluruh atau lokal. Intensitas dan distribusi pruritus bervariasi dengan
derajat keparahan bergantung pada beratnya. Intensitas pruritus mulai dari yang
ringan yang timbul sporadik sampai dengan yang berat hingga tidak dapat istirahat
baik siang maupun malam hari. 5
Pruritus uremik sering ditemukan pada PGSA, dapat mengganggu aktivitas
atau pekerjaan, mengganggu tidur, dan menurunkan kualitas hidup. Pruritus dapat
bersifat menyeluruh atau lokal. Intensitas dan distribusi pruritus bervariasi dengan
derajat keparahan bergantung pada beratnya. Intensitas pruritus mulai dari yang
ringan yang timbul sporadik sampai dengan yang berat hingga tidak dapat istirahat
baik siang maupun malam hari. 5
Pruritus sering dirasakan di seluruh tubuh paling dominan di punggung.
Biopsi kulit pada pasien pruritus uremik biasanya tidak memuaskan. Ekskoriasi
akibat garukan berulang dapat menyebabkan kondisi dermatologi lain seperti likhen
simpleks, prurigo nodularis dan papula keratotik (folikulitis perforatif ) dan
hiperkeratosis folikular eluhan pruritus digolongkan berdasarkan derajat keluhan,
frekuensi, dan distribusinya. Sistem skor yang diperkenalkan oleh Duo, kemudian
dimodifikasi oleh Mettang dan Hiroshige, seperti berikut ini:

6
Skor derajat pruritus:
 skor 1: gatal tanpa garukan
 skor 2: gatal dengan garukan tanpa ekskoriasi
 skor 3: gatal dengan garukan terus-menerus atau dengan
ekskoriasi
 skor 4: gatal menyebabkan kegelisahan total;
Skor distribusi pruritus:
 skor 1: gatal di satu lokasi tubuh
 skor 2: gatal tersebar di beberapa lokasi tubuh
 skor 3: gatal menyeluruh;
Skor frekuensi pruritus:
 skor: setiap 4 episode (masing-masing episode <10 menit)
atau satu episode gatal (>10 menit) mempunyai skor 1 poin,
maksimal 4 poin.
Beberapa peneliti melaporkan keluhan pruritus berdasarkan intensitas (absen,
ringan,berat) dan frekuensi (absen, kadang-kadang, setiap hari). Namun,
kebanyakan keluhan pruritus hanya dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya
pruritus. 5,6

7
Gambar 1. Perubahan kulit pada pasien pruritus uremik

d. Diagnosis
Istilah pruritus uremik sebenarnya kurang tepat karena pruritus tidak
ditemukan pada PGSA dan tidak terdapat pada gagal ginjal akut, tidak berkorelasi
dengan beratnya uremia, dan pruritus tidak hilang meskipun dilakukan dialisis,
namun demikian istilah ini selalu digunakan. Diagnosis pruritus uremik ditegakkan
berdasarkan kriteria,
 Pruritus timbul segera sebelum onset dialisis, atau pada setiap saat tanpa
bukti penyakit aktif yang dapat menyebabkan pruritus.
 Terjadi tiga atau lebih episode pruritus selama periode kurang dari 2
minggu, dengan gejala terjadi beberapa kali sehari, berakhir dalam
beberapa menit, dan mengganggu pasien.
 Pruritus terjadi dalam pola teratur selama satu periode enam bulan, tetapi
lebih jarang dari keadaan seperti butir 2. 5

8
e. Terapi
Pengobatan pruritus uremik sangat sulit meskipun pengobatan dengan obat
tertentu kadang-kadang efektif. Sayangnya tidak ada antipruritus yang berspektrum
luas, berbagai obat topikal atau sistemik dapat digunakan untuk menekan rasa gatal.
Beberapa pengobatan telah dicoba seperti eritropoietin, naltrekson, dan pengobatan
lain dengan hasil yang baik meskipun sering juga tidak memberikan hasil.
Pengobatan pruritus uremik kurang efektif disebabkan patofisiologi pruritus uremik
belum jelas. 5

Pasien dengan pruritus umumnya memerlukan suasana sejuk, yang dapat


dilakukan dengan. Menggunakan pakaian yang membuat sejuk. Mempertahankan
lingkungan yang tidak terlalu kering, Menggunakan shower atau mandi hangat-
hangat kuku, menghindari alkohol atau makanan/minuman panas atau pedas.
Pasien diminta menggunting kuku dan menggaruk dengan perlahan untuk
mencegah kerusakan kulit. Kelainan yang paling sering ditemukan pada pruritus
uremik adalah xerosis kulit, sehingga pemberian emolient sangat perlu. Pemberian
emolient seperti gel yang mengandung 80% air terbukti memberikan hasil yang
baik. Penelitian pada duapuluh satu pasien tanpa kontrol, pasien diobati dengan
sabun lunak dan emolient moistuirizing minimal dua kali sehari; 16 membaik dan
9 di antaranya mengalami kesembuhan tanpa gejala pruritus. 5
Sinar ultraviolet memberikan hasil yang baik dan aman dalam pengobatan
pruritus uremik, telah dilaporkan dalam penelitian uji klinik double blind.
Mekanisme efek antipruritus sinar ultraviolet belum diketahui, tetapi diduga terjadi
melalui inaktivasi substansia pruritogenik bersirkulasi, pembentukan photoproduct
yang mengurangi pruritus, mengubah konten ion divalen dalam kulit, dan
menimbulkan degenerasi saraf kulit. Sinar ultraviolet B menurunkan jumlah sel
mast dermal dengan mempercepat apoptosis (kematian sel), menyebabkan
degenerasi saraf, dan menurunkan konsentrasi ion divalen kulit. Pada pruritus
uremik, sinar ultraviolet B dilaporkan menyebabkan remisi sampai delapan belas
bulan. 5

9
Faktor lain yang juga berperan dalam terjadinya pruritus adalah disfungsi
imun dan perubahan pola produksi limfokin, maka pasien diterapi dengan obat yang
mempengaruhi limfosit atau limfokin. Asam amino esensiel seperti asam linoleat
mengurangi proliferasi limfosit dan produksi limfokin serta mengurangi beratnya
pruritus. Penelitian prospektif dengan metode randomized, double blind, placebo
controlled, cross over study, krim asam linolenik 2,2% dibandingkan dengan
plasebo yang diberikan tiga kali sehari selama dua minggu. Kemudian dilakukan
terapi silang untuk masing-masing kelompok. Terlihat efek antipruritus asam
linolenat yang baik. 5
Capsaicin, adalah substansia yang diisolasi dari tanaman pepper genus
Capsicum, Capsaicin topikal dapat menghilangkan substansia P neuron perifer C-
fibres dan menghambat konduksi nyeri atau pruritus sehingga mengurangi rasa
nyeri dan gatal. Capsaicin secara bermakna efektif dalam menghilangkan pruritus
dan mempunyai efek antipruritus yang lama hingga delapan minggu setelah
pengobatan. Krim capsaicin 0,025% atau 0,075% dioleskan 3-5 kali sehari.
Beberapa obat yang mengandung anestesi lokal (seperti benzokain, lidokain atau
tetrakain/ametokain) dapat digunakan untuk pengobatan pruritus uremik. Strontium
nitrat 10-20% topikal mempunyai efek antipruritus dan efektif dalam mengurangi
pruritus. 5
Salep takrolimus mengurangi gejala klinis pruritus uremik membaik secara
dramatis, meskipun beberapa hari setelah salep dihentikan secara perlahan pruritus
timbul kembali. Tidak tampak efek samping selama dan setelah pemberian
takrolimus. Tampaknya salep takrolimus aman dan cukup efektif sebagai
pengobatan jangka pendek terutama pada pruritus berat, namun perlu waspada
terhadap efek karsinogenik pada pemakaian jangka lama. Salep takrolimus 0,03%
diberikan 2 kali sehari selama 7 hari. 5
Ketidakseimbangan stimulasi reseptor k-opioid dan k-opioid berperan
dalam patogenesis pruritus, sehingga manipulasi sistem opioid dapat digunakan
dalam tata laksana pruritus. Pemberian naltrekson secara sistemik, suatu antagonis
reseptor-ꭒ efektif dalam tata laksana pruritus. Pada penelitian dengan metode
placebo-control, double blind crossover pada pasien pruritus uremik persisten yang

10
resisten dengan hemodialisis atau dialisis peritoneal, pemberian naltrekson
menyebabkan perbaikan pada 29,2 % pruritus uremik, tetapi tidak terdapat
perbedaan bermakna pada kelompok naltrekson dan plasebo. Naltrekson diberikan
selama 4 minggu dengan dosis 50 mg/hari. Kejadian efek samping naltrekson
berupa gangguan saluran gastro-intestinal sangat tinggi, yaitu 9 di antara 23 pasien
mengalami gangguan gastrointestinal, sehingga obat ini tidak begitu disukai dalam
pengobatan pruritus uremik.5
Nalfurafin, suatu agonis reseptor k-opioid telah dicoba dalam pengobatan
pruritus uremik. Pada penelitian metaanalisis, multisenter, randomized,
coubleblind, placebo-controlled terhadap pasien yang mengalami pruritus
intraktabel, pasien mendapat nalfurafin 5 mcg atau plasebo secara intravena tiga
kali seminggu selama 2-4 minggu. Terlihat efek nalfurafin yang berbeda bermakna
dibandingkan dengan plasebo.5
Transplantasi ginjal merupakan satu-satunya terapi definitif untuk pruritus
uremik refrakter berat pada pasien PGSA, namun hal ini sering tidak mampu
laksana dan tidak dapat dilakukan dengan segera. Oleh sebab itu, tata laksana yang
dapat dilakukan adalah mengoptimalkan dialisis, pemberian eritropoietin dan
suplementasi besi, serta pengobatan hiperparatiroidisme sekunder untuk
mempertahankan kadar kalsium dan fosfor dalam keadaan normal. 5

11
Gambar 2. Tatalaksana Pruritus

2.2.2 Bullous Dermatosa


a. Porphyria cutanea tarda (PCT)
Porphyria cutanea tarda disebabkan oleh kekurangan enzim
uroporphyrinogen decarboxylase (UROD). Ketika aktivitas UROD menurun,
porphyrin menjadi berlebihan produksinya. Porphyrin kemudian terakumulasi di
hati dan disebarkan dalam plasma menuju ke berbagai organ. Pada pasien gagal
ginjal kronik yang menjalani hemodialisa, hemodialisa dapat memudahkan untuk
terjadinya penimbunan porphyrin di dalam kulit yang bermanifestasi di kulit
sebagai foto sensitivitas dan bula subepidermal. Gambaran paling umum dari PCT
adalah kerapuhan kulit dari paparan sinar matahari setelah terkena trauma mekanik,
dapat menjadi erosi atau bula, biasanya pada tangan dan lengan bawah dan dapat
juga terjadi pada wajah dan kaki. Hipertrichosis juga sering terdapat di atas
temporal dan area wajah tetapi dapat juga meliputi tangan dan kaki. Perubahan
warna meliputi melasma seperti hiperpigmentasi pada wajah. 3,7

12
Gambar 3. Gambaran klinis adanya manifestasi eritema dan erosi kulit
(Sumber : Porphiria Cutanea Tarda: A case Presentation and Disscusion)

Pengobatan lini pertama untuk PCT adalah Flebotomi dimana


mengeluarkan darah sebanyak 450 mL setiap dua minggu dan hydroxychloroquine
dosis rendah bersama dengan mengidentifikasi dan meminimalkan faktor
predisposisi pada pasien dan melindungi kulit dari sinar matahari. Pasien dengan
ESRD (End Stage Rena Deseases) yang menjadikan pengobatan sebagai tantangan
nyata. Namun, kntraindikasi ESRD adalah dilakukan Flebotomi pada pasien yang
rentan terhadap anemia serta pada pasien dengan akses vena yang buruk. 7,8

b. Pseudoporphyria

Kondisi ini seringkali tidak dapat dibedakan dari PCT yang ditandai
kerapuhan kulit dan formasi blister (lepuh) pada kulit yang terpapar sinar matahari.
Akan tetapi, kejadian hipertrichosis sedikit ditemukan dan tingkat plasma porphyrin
pada umumnya normal. Pseudoporphyria dapat juga terjadi pada beberapa pasien
yang mendapatkan pengobatan dengan tetrasiklin, nabumetone, nitroglyserin, asam
nalidixic, furosemide, dan fenitoin. 3

2.2.3 Nephrogenic Fibrosing Dermopathy

Nephrogenic fibrosing dermopathy (NFD) adalah penyakit yang baru-baru


ini diuraikan, penyakit ini menyerupai skleromiksiderma. Manifestasi klinisnya
adalah kulit pasien secara progresif akan menjadi eritematous, terjadi sclerotic
dermal plaques pada tangan dan kaki, dengan sedikit manifestasi terjadi pada kepala

13
dan leher. Histopatologi dari NFD menyerupai scleromyedema, dengan adanya
proliferasi fibroblas di dermis dan septa pada subkutaneus yang dihubungkan
dengan peningkatan kolagen septal dan dermal serta musin. 3,9

Gambar 4. Gambaran klinis Nephrogenis Fibrosing Dermopathy.


Tampak indurasi plak berwarna coklat pada bagian lutut dan
punggung kaki
(Sumber : Case Report: Nephrogenic fibrosing dermopathy)

2.2.4 Kalsifikasi Metastasis

Kalsifilaksis disebut jga ureter arteriolopati kalsifikasi, adalah komplikasi


End Stage Renal Desease (ESRD) yang jarang dan sering mengancam jiwa, Terjadi
pada pasien dengan peritoneal hemodialisa dan kadang dapat terjadi sebelum
dialisis. Tingkat insiden yang dilaporkan adalah sekitar 1% pada pasien dengan
penyakit ginjal kronis dan hingga 4% pada mereka yang menjalani dialisis. Faktor
risiko untuk kalsifilaksis yaitu jenis kelamin perempuan, ras kaukasia, obesitas,
diabetes melitus, malnutrisi (kadar albumin serum rendah (≥ 17.5 mmol/L)), dan
terapi warfarin. Faktor lain yang terkait dengan kalsifilaksis adalah penggunaan
vitamin D, kalsium yang mengandung fosfat pengikat, terapi zat besi, dan
glukokortikosteroid. Meskipun kalsifilaksis lebih banyak terjadi pada pasien
dengan penyakit ginjal kronis, tetapi sekitar 30% kasus dilaporkan terjadi pada
pasien yang menjalani transplantasi ginjal dan telah diamati pada pasien dengan
kanker, infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), sirosis, lupus eritematosus
sistemik (SLE), penyakit radang usus, dan hiperparatiroidisme primer dengan
fungsi ginjal normal. Secara klinis, pasien awalnya mengeluhkan lesi kulit

14
superfisial yang nyeri, hiperetika, atau pruritus dan terdapat ekimosis. Pola ini
berdasarkan pada perubahan aliran darah kulit, yang menghasilkan hiperpigmentasi
retinacular ungu kebiruan pada kulit. Kemerahan awal dapat berevolusi menjadi
eritema intens, yang selama beberapa hari atau minggu, berubah menjadi nekrosis
terang dengan pembentukan eschar. Infeksi gangren mungkin setelah itu
berkembang di situs. Nodul subkutan sering dapat dirasakan memanjang di luar tepi
lesi kulit yang jelas. Tempat predileksi yang paling umum adalah jaringan adiposa
tebal seperti payudara, perut, dan paha. Lokasi lain yang kurang umum dari
arteriolopati ureter kalsifikasi termasuk jantung, paru-paru, pankreas, lidah, mata,
dan penis. Area nekrosis proksimal (paha, bokong, dan badan) memiliki prognosis
yang tidak menguntungkan dengan tingkat mortalitas 60% hingga 80%, sedangkan
distribusi acral (betis, lengan bawah, jari tangan, kaki, dan penis) dikaitkan dengan
20% hingga 30% tingkat kematian. 3,10

Gambar 5. Calciphylaxis

Patofisiologi dari kalsifilaksis adalah multifaktorial, karena tidak ada


kejadian tunggal yang cukup yang dapat memprediksi perkembangannya.
Gangguan homeostasis fosfat dan kalsium pada penyakit ginjal kronis merupakan
faktor kunci yang mendasari mekanisme calciphylaxis. Dengan perkembangan

15
gagal ginjal, peningkatan kadar fosfor serum, terutama postprandial, selain kadar
kalsium serum rendah sekunder akibat gangguan produksi ginjal 1,25-
dihidroksokolekalsiferol, menghasilkan penurunan penyerapan kalsium usus, yang
menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder dan hiperfosfatemia dengan
konsekuensi. endapan kalsium dalam mikrovaskulatur dan iskemia jaringan.
Meskipun kelainan metabolisme kalsium, fosfor, dan paratiroid terlibat dalam
mekanisme, tingkat tinggi produk kalsium-fosfat tidak selalu mutlak untuk
sindrom. Selanjutnya, telah disarankan bahwa ketidakseimbangan induser dan
inhibitor dari kalsifikasi dinding pembuluh darah mengarah ke calciphylaxis. Hal
ini didukung oleh peningkatan regulasi induksi kalsifikasi vaskular, termasuk
osteopontin yang diekspresikan oleh sel otot polos vaskular dan protein morfogenik
tulang yang biasanya terlibat dalam perkembangan tulang. Selain itu, ada
transformasi sel otot polos pembuluh darah menjadi sel mirip osteoblas dengan
ekspresi protein terkait tulang seperti osteokalsin, sialoprotein tulang, kolagen tipe
1, dan osteopontin. 10
Mekanisme lain yang dianggap terganggu adalah penekanan inhibitor
kalsifikasi vaskular termasuk matriks protein Gla, osteoprotegerin, pirofosfat, dan
fetuin-A. Protein Matrix Gla membutuhkan vitamin-K-mediated γ-carboxylation
untuk aktivitas fungsionalnya. Akibatnya, antikoagulan coumarin dan defisiensi
vitamin K dapat menghambat fungsi protein Gla matriks dan menstimulasi
kalsifikasi vaskular. Tingkat penurunan osteoprotegerin dan fetuin-A (melalui
faktor nuklir κ B cascade) oleh perubahan inflamasi yang ditemukan pada uremia.
Hilangnya pirofosfat terkait dengan pembersihan dialitik bersama dengan sintesis
menurun dan peningkatan pembersihan ginjal tambahan, yang mendukung
kalsifikasi jaringan pada penyakit ginjal kronis. Telah disarankan bahwa keadaan
hiperkoagulasi sekunder untuk protein absolut atau fungsional C atau kekurangan
protein S mungkin terlibat dalam patogenesis kalsifilaksis. Selain itu, pengendapan
abnormal, terutama aluminium dan mikroorganisme tertentu mungkin memiliki
peran dalam patogenesis kalsifilaksis. 10
Biopsi kulit adalah cara yang berguna untuk mengetahui patofisiologi
gangguan tersebut. Secara histologi, kalsifilaksis menunjukkan kalsifikasi dinding

16
medial kapiler, venula, arteriol, dan arteri kecil dermis dan lemak subkutan bersama
dengan hiperplasia intima dan fibrosis endovaskular. Ukuran yang dipengaruhi
berkisar antara 0,02 mm hingga 0,60 mm dan rata-rata 0,1 mm. Pengapuran
pembuluh dermal menyebabkan oklusi dan iskemia jaringan berikutnya serta
nekrosis, maka dinamakan sebagai ureter arteriolopati iskemik kalsifikasi. Reaksi
sel giant dapat diamati di beberapa pembuluh darah. Trombosis endovaskular dapat
terjadi pada pembuluh dermal subkutan dan superfisial tetapi bukan merupakan
gambaran diagnostik dari calciphylaxis.10

Gambar 6. patofisiologi Kalsifilaksis

Pilihan terapi untuk calciphylaxis terbatas, pada dasarnya bersifat suportif


dengan hasil yang tidak jelas. Fokus utama pengobatan adalah menghentikan
perkembangan kalsifikasi dan mencegah komplikasi yang mematikan. Karena

17
kelainan metabolisme kalsium fosfat memiliki peran penting dalam perkembangan
calciphylaxis pada pasien dengan gagal ginjal, pilihan pengobatan utama berkisar
pada mengontrol kadar kalsium dan fosfat, yang dicapai dengan menggunakan
pengikat fosfat noncalcium (misalnya, sevelamer hidroklorida atau lanthanum).
karbonat), meningkatkan frekuensi dialisis (dengan kalsium dialisat rendah) serta
penggunaan yang tepat dari analog vitamin D, dan membatasi asupan fosfat (43
mg/d). Mencegah hiperparatiroidisme sekunder dan mengoptimalkan status nutrisi
sama pentingnya. Pada pasien dengan peningkatan kadar hormon paratiroid,
muncul paratiroidektomi yang muncul, yang menunjukkan manfaat kelangsungan
hidup dalam jangka pendek dengan penyembuhan ulkus lengkap dalam beberapa
minggu setelah prosedur. Paratiroidektomi tidak berguna pada pasien dengan kadar
hormon paratiroid rendah dan mungkin berbahaya. Untuk pasien yang tidak dapat
menjalani operasi, terapi medis dengan cinacalcet, direkomendasikan kalsimimetik,
yang meningkatkan sensitivitas reseptor penginderaan kalsium pada kelenjar
paratiroid. Selanjutnya, tindakan pendukung termasuk perawatan luka yang sangat
teliti, yang mungkin memerlukan debridemen jaringan nekrotik, penggunaan
antibiotik sistemik untuk mencegah infeksi, dan analgesia opioid yang adekuat.
Dalam beberapa kasus, penyembuhan luka ditingkatkan dengan menggunakan
dressing vakum. Pendekatan terapeutik baru-baru ini termasuk penggunaan natrium
tiosulfat, garam anorganik yang mengandung kalsium dari deposit jaringan lunak
untuk membentuk kalsium tiosulfat, garam kalsium yang sangat larut. Ini juga
menurunkan kalsifikasi metastasis pada pasien dengan penyakit ginjal kronis.
Selain itu, bertindak sebagai antioksidan kuat, yang membantu menetralisir radikal
oksigen reaktif dengan menghasilkan glutathione antioksidan. Juga, ia mendorong
produksi oksida nitrit endotel sehingga meningkatkan aliran darah jaringan dan
oksigenasi. Selanjutnya, dimetabolisme menjadi hidrogen sulfida yang juga
memiliki efek vasodilatasi. Dosis perawatan yang direkomendasikan adalah 5 g
hingga 25 g, 3 kali per minggu pada setiap akhir sesi hemodialisis selama sekitar 2
minggu hingga 34 bulan. Meskipun dianggap aman, efek samping utama termasuk
mual, muntah, sakit kepala, rhinorrhea, dan anion gap metabolic acidosis.
Bifosfonat, baik intravena dan oral, juga telah digunakan secara efektif dalam

18
pengobatan calciphylaxis, dengan peningkatan yang dilaporkan pada nyeri dan
tanda-tanda. peradangan. Mekanisme kerja bifosfonat bersifat kompleks, tetapi
diduga mengubah endapan ektopik kalsium fosfat, menekan sitokin pro-inflamasi,
dan menghambat aktivitas makrofag. Ini bertindak sebagai inhibitor langsung
kalsifikasi mirip dengan pirofosfat. Terapi oksigen hiperbarik telah terbukti
bermanfaat dalam mengobati calciphylaxis pada pasien yang menjalani kedua
peritoneal dan hemodialisis. 3,10

Luka yang refrakter terhadap manajemen medis dapat merespon


paratiroidektomi dan debridemen. Ini meningkatkan penyembuhan luka dengan
mempromosikan pengiriman oksigen ke jaringan yang rusak, merangsang
angiogenesis dan sintesis kolagen, sehingga meningkatkan pembunuhan bakteri
mediasi-neutrofil, dan mengurangi edema jaringan lokal. Lebih dari itu, pasien
dengan calciphylaxis harus dinilai untuk keadaan hiperkoagulasi seperti protein C
dan S dan defisiensi vitamin K dan sindrom antiphospholipid dan antikoagulan
yang sesuai. Pada pasien dengan warfarin-terkait calciphylaxis, terapi vitamin K
direkomendasikan, dan pada pasien yang memerlukan terapi warfarin kronis, harus
beralih ke antikoagulan alternatif. Pemicu lain yang harus dihindari termasuk
obesitas, trauma jaringan lokal, dan suntikan subkutan. 10

Prognosis kalsifilaksis tetap buruk meskipun memiliki pendekatan


terapeutik yang agresif, karena pada saat pertama kali tanda-tanda klinis sudah
jelas, seringkali terlambat untuk membalikkan kondisi karena vasculopathy yang
mendasarinya. Kalsifikasi pembuluh darah meningkatkan kemungkinan kejadian
iskemik yang mengakibatkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular yang lebih
tinggi. Angka kematian yang terkait dengan sindrom ini adalah sekitar 60% hingga
80%. Kematian terutama terjadi karena sepsis atau bahkan kegagalan organ
multisistem, yang umum dalam bulan setelah diagnosis yang paling mungkin
karena diagnosis tertunda. Pasien dengan nekrosis proksimal memiliki hasil yang
lebih buruk dibandingkan dengan mereka dengan keterlibatan distal. Diperkirakan
tingkat kelangsungan hidup 1 tahun adalah 45% dan tingkat 5 tahun adalah 35%.

19
Diagnosis dan intervensi klinis awal dapat meningkatkan prognosis kondisi yang
buruk. 3,10

2.2.5 Gangguan Perforasi

Presentasi klinis yang menyebabkan gangguan perforasi merupakan


kumpulan penyakit yang paling sering terlihat pada pengaturan ESRD dan diabetes
mellitus. Telah dilaporkan pada penyakit ginjal kronis lanjut dan penerima
transplantasi ginjal. Perkiraan insidens gangguan perforasi berkisar dari 4,5%
hingga 10% pada populasi hemodialisis dengan predileksi untuk pasien Afrika-
Amerika. Gambaran diagnostik karakteristik kondisi adalah ekstrusi bahan dermal
melalui saluran epidermis. Gangguan perforasi yang didapat memiliki gambaran
klinis dan histologis yang mirip dengan gangguan perforasi primer: penyakit Kyrle,
perforasi folikulitis, collagenosis perforantika reaktif, dan elastosis perforans
serpiginosa. Secara klinis, lesi kulit terdiri dari papula berbentuk kubah yang
berkerumun, plak, dan nodul dengan sumbatan keratosis terpusat, mulai dari 2 mm
hingga 8 mm. Paling sering ditemukan di daerah yang rentan terhadap gesekan
seperti permukaan ekstensor ekstremitas dengan area bantalan rambut serta batang
yang paling sering terlibat diikuti oleh kulit kepala dan wajah. Pruritus biasanya
intens dan lesi dapat bergabung dalam mode linier sekunder karena koebnerisasi.
Pada kulit putih, lesi tampak berwarna merah muda dan pada kulit yang lebih gelap,
lesi hiperpigmentasi atau coklat biasanya terlihat. Lesi kulit dapat menghilang
secara spontan dengan pembentukan lesi baru. 10

20
Gambar 7. Gangguan perforasi. A sampai C, Beberapa papula
hiperkeratotik ekskoriasi dan nodul dengan kerak sentral yang
terlibat seluruh integumen. D, Koebnerisasi

Patofisiologi gangguan perforasi yang didapat tidak jelas. Berbagai teori


telah disarankan untuk menjelaskan perkembangan kondisi tersebut. Ini mungkin
terjadi karena suplai darah yang buruk akibat vaskulopati pada pasien dengan
diabetes mellitus atau penyakit ginjal. Pruritus dan cedera lokal terinduksi-
menggores mengarah ke nekrosis dermal dan reaksi inflamasi, yang semakin
diperburuk oleh mikrodeposit dermal kalsium dan asam urat. Reaksi benda asing
terhadap jaringan ikat dermal yang berubah juga dianggap sebagai faktor penyebab
dalam gangguan perforasi yang didapat. Telah diusulkan bahwa proliferasi
abnormal epidermis sekunder akibat metabolisme yang salah dari vitamin A dan D
pada penyakit ginjal dapat berperan dalam patogenesis. kondisi tersebut. Faktor-
faktor lain yang bertanggung jawab untuk proses penyakit termasuk peningkatan
kadar fibronektin yang bertindak sebagai zat kemotaktik untuk neutrofil dan juga
merangsang proliferasi epitel. Leukosit juga dapat berkontribusi pada patogenesis
gangguan perforasi seperti yang ditunjukkan oleh adanya bahan nuklir dalam

21
produk yang dihilangkan. Diyakini bahwa elastase dan kolagenase, proteinase
dilepaskan dari degenerasi leukosit, dapat memodifikasi dermal jaringan ikat.

Gambar 8. Patofisiologi Gangguan Perforasi

Karena vasculopathy adalah kejadian awal, pencegahan vasculopathy


adalah kuncinya. Pengobatan simtomatik atau suportif terhadap gangguan ini sering
menantang dengan efikasi variabel yang ditawarkan oleh berbagai modalitas
terapeutik. Pilihannya termasuk steroid topikal yang poten, steroid topikal di bawah
oklusi, dan steroid intralesi yang dapat meredakan peradangan tetapi tidak akan
mencegah pembentukan lesi baru. Retinoid topikal dan sistemik dan vitamin A oral
(100000 U / d) bermanfaat dalam beberapa kasus. Krioterapi dan keratolitik telah
dicoba dengan keberhasilan yang bervariasi. Fototerapi sinar ultraviolet B, psoralen
plus ultraviolet A, dan allopurinol juga dapat dipertimbangkan dalam mengelola
gangguan perforasi yang didapat. 10

22
Bab III

Kesimpulan

Ginjal adalah organ tubuh yang memiliki fungsi utama untuk menyaring dan
membuang zat-zat sisa metabolisme tubuh dari darah dan menjaga keseimbangan
cairan serta elektrolit (misalnya kalsium, natrium, dan kalium) dalam darah.
Terdapat bermacam-macam kelainan kulit yang disebabkan karena manifestasi
penyakit ginjal seperti pruritus uremik, Bullous Dermatosa, Nefrogenic Fibrosing
Dermatosis ( NFD), dan Kalsifilakis. Kelainan kulit tersebut dapat terjadi sesuai
dengan keparahan dari penyakit ginjal.

23

You might also like