You are on page 1of 25

BAB I

PENDAHULUAN

Bell’s Palsy (BP) adalah suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer yang belum
diketahui penyebabnya (idiopatik). Sir Charles Bell (1821) adalah orang pertama yang meneliti
beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang
tidak diketahui penyebabnya disebut Bell’s palsy. Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologi,
laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan
erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering
ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh
infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. Diagnosis BP dapat
ditegakkan dengan adanya kelumpuhan n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk
menyingkirkan penyebab lain kelumpuhan n. fasialis perifer.1
Biasanya penderita BP mengetahui kelumpuhan n. fasialis dari teman atau keluarga atau
pada saat bercermin atau sikat gigi/berkumur. Pada saat penderita menyadari bahwa ia mengalami
kelumpuhan pada wajahnya, maka ia mulai merasa takut, malu, rendah diri, mengganggu
penampilan, dan terkadang jiwanya tertekan terutama pada wanita dan pada penderita yang
mempunyai profesi yang mengharuskan ia untuk tampil di muka umum. Sebagian besar penderita
Bell’s Palsy akan sembuh secara normal kembali, namun juga ada beberapa diantaranya dapat
menimbulkan gejala sisa.2-5
Penangganan dari kasus Bell’s Palsy perlu kerjasama antara tenaga medis salah satunya
Rehabilitasi Medik. Rehabilitasi Medik pada penderita BP diperlukan dengan tujuan membantu
memperlancar vaskularisasi, pemulihan kekuatan otot-otot fasialis dan mengembalikan aktivitas
fungsional yang terganggu akibat kelemahan otot-otot fasialis sehingga penderita dapat kembali
melakukan aktivitas kerja sehari-hari dan bersosialisasi dengan masyarakat.2-4
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi Bell’s Palsy


Bell’s Palsy pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis
dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell. Bell’s palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan
saraf perifer wajah secara akut (acute onset) pada sisi sebelah wajah.5,6

3.2. Epidemiologi Bell’s Palsy


Di Amerika Serikat ditemukan 23 penderita BP pada 100.000 penduduk per tahun. Di
Manado penderita BP yang datang berobat ke poli saraf RSUP Manado pada tahun 1998
sebanyak 58 penderita BP (9,9%) dari 586 penderita gangguan saraf tepi/kranialis. Di instalasi
Rehabilitasi Medik sebanyak 281 kunjungan (3,53%) dari 7970 kunjungan di tahun 1998. BP
dapat terjadi pada semua umur dan insiden pada pria dan wanita hampir sama. Tidak terdapat
perbedaan insiden antara musim panas maupun dingin. Sering ditemukan adanya riwayat
terekspose udara dingin atau angin sepoi-sepoi.

3.3. Anatomi Nervus Fasialis


Nervus fasialis merupakan salah satu nervus kranialis yang berfungsi untuk motorik
sensorik somatik, dan aferen eferen visceral. Gambar berikut ini memperlihatkan cabang
nervus fasialis.7

Gambar 1. Divisi nervus fasialis7


Nervus fasialis memiliki dua subdivisi, yang pertama adalah yang mempersarafi otot
ekspresi wajah kemudian yang kedua memiliki serat yang jauh lebih tipis yaitu intermediate
yang membawa aferen otonom, somatik, dan eferen otonom.7

Gambar 2. Otot yang dipersarafi nervus fasialis7

Nervus fasialis mengandung 4 macam serabut, yaitu: 8-11


1. Serabut somato-motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m.levator palpebrae
(N.III)), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga
tengah.
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivarius superior.
Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus
paranasal, dan glandula submaksilar serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian
depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba dari
sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh n.trigeminus. Daerah overlapping
(disarafi oleh lebih dari satu saraf (tumpang tindih) ini terdapat di lidah, palatum, meatus
akustikus eksterna dan bagian luar gendang telinga.
Tabel 1. Nervus fasialis7
Nama Komponen Asal Fungsi
Saraf fasialis Brankial Nukleus fasialis Otot-otot ekspresi wajah:
eferen M.platisma, m.stilohioideus,
m.digastrikus
Saraf Viseral eferen Nukleus Nasal, lakrimal, kelenjar liur
intermediate salivatorius (sublingual dan submandibular)
superior
Viseral aferen Ganglion Pengecapan 2/3 anterior lidah
special genikuli
Somatik Ganglion Telinga luar, bagian kanalis
aferen genikuli auditorius, permukaan luar membran
timpani (sensibilitas)

Nukleus motorik terletak pada bagian ventrolateral tegmentum pontin bawah dekat
medula oblongata. Sewaktu di tegmentum pons, akson pertama motorik berjalan dari arah
sudut pontoserebelar dan muncul di depan nervus vestibularis. Saraf intermediate muncul di
antara saraf fasialis motorik dengan vestibulokoklearis.7

Gambar 3. Letak nukleus nervus fasialis di batang otak dilihat dari dorsal7
Gambar 4. Nukleus nervus fasialis dari samping7

Nervus intermediate, nervus fasialis, dan nervus vestibulokoklearis berjalan bersama ke


lateral ke meatus akustikus internus.7

Gambar 5. Tempat keluarnya nervus fasialis dari kranium7


Di dalam meatus akustikus internus, nervus fasialis dan intermediate berpisah dengan
nervus vestibulokoklearis.7

Gambar 6. Perjalanan beserta cabang dan efektor nervus fasialis12

Nervus fasialis berjalan ke lateral ke dalam kanalis fasialis kemudian ke ganglion


geniculatum. Pada ujung kanalis tersebut, nervus fasialis keluar kranium melalui foramen
stilomastoideus.7

Gambar 7. Foramen stilomastoideus, tempat keluar nervus fasialis13


Dari foramen tersebut, serat motorik menyebar ke wajah, beberapa melewati glandula
parotis. Nukleus motorik merupakan bagian dari arkus refleks yakni refleks kornea dan refleks
berkedip. Refleks kornea berasal dari membran mukosa mata (aferen) dibawa melalui nervus
V1 oftalmikus menuju ke nukleus sensorik trigeminus utama. Di nukleus tersebut rangsang
ditransmisikan ke neuron yang berhubungan dengan nervus fasialis pada sisi yang sama.
Bagian eferen dari refleks tersebut berasal dari neuron eferen nervus fasialis.7
Refleks berkedip berasal dari mata (aferen) mengantarkan impuls optiknya ke nukleus
di tektobulbaris menyebabkan refleks berkedip jika cahaya terang. Selain kedua refleks
tersebut, impuls akustik yang berasal dari nervus vestibulokoklearis mencapai nukleus
dorsalis dan menghasilkan arkus refleks berupa tegangan otot stapedius atau relaksasi.7
Persarafan supranuklear dari nervus fasialis terletak pada kedua hemisfer serebri untuk
otot dahi, sedangkan otot wajah sisanya mendapat persarafan dari girus presentralis
kontralateral.7

Gambar 8. Jaras motorik nervus fasialis7


Nervus Intermediate
Serat aferen gustatorius. Serat aferen pada gustatorik berasal dari ganglion geniculatum
yang berupa sel pseudounipolar dari ganglion spinalis, sebagian lagi berasal dari papil lidah
dua pertiga anterior. Serat aferen tersebut berjalan bersama dengan nervus lingualis (cabang
nervus mandibulari V3) menuju ke korda timpani kemudian ke ganglion geniculatum menjadi
nervus intermedius dan menuju ke nukleus solitarius. Nukleus tersebut menerima impuls dari
nervus glosofaringeal (sepertiga posterior lidah) dan nervus vagus (dari epiglotis). Karena
yang berperan dalam sistem pengecapan terdiri dari 3 saraf yang berbeda maka kehilangan
pengecapan total (ageusia) jarang terjadi. Dari nukleus tersebut impuls dikirim ke talamus
kontralateral (nukleus ventroposteromedial) menuju ke regio presentralis korteks area 43 dan
insula area 52.7

Gambar 9. Jaras aferen gustatorik7


Serat somatik aferen. Serat somatik aferen berasal dari pinna, meatus akustikus
eksternus, dan gendang timpani. Serat berjalan menuju ganglion geniculatum menuju nukleus
sensorik nervus trigeminus.7
Serat eferen sekretorik. Nervus intermedius terdiri dari serat parasimpatis yang berasal
dari nukleus salivatorius superior. Seratnya meninggalkan nukleus menuju ganglion
geniculatum lanjut ke ganglion pterigopalatina dan menuju glandula lakrimal serta mukosa
nasal. Sebagian lagi menuju ganglion submandibula, lewat nervus lingualis. Ganglion
submandibula bertanggung jawab untuk sekresi glandula submandibularis dan sublingualis
berupa saliva. Aferen dari sistem ini berasal dari sistem nervus olfaktorius. Glandula lakrimal
menerima input dari hipotalamus (emosi). Hal ini mengakibatkan jika mencium bau yang enak
akan terjadi sekresi saliva. Dan jika emosi meningkat atau sedih maka akan terjadi lakrimasi.7

Gambar 10. Serat eferen sekretorik nervus intermedius7


3.4. Etiologi Bell’s Palsy
Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada 4 teori yang
dihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy yaitu:14
 Teori Iskemik vaskuler
Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan regulasi
sirkulasi darah di kanalis fasialis. Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau
inflamasi saraf fasialis, menyebabkan edema dan penjepitan saraf fasialis selama
perjalanannya didalam kanal tulang temporal dan menghasilkan kompresi dan kerusakan
langsung atau iskemia sekunder terhadap saraf.
 Teori Infeksi virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggungjawab adalah Herpes Simplex Virus
(HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1). Infeksi virus
secara langsung merusak fungsi saraf melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan
terjadi pada seluruh perjalanan saraf dan bukan oleh kompresi pada kanal tulang.
 Teori herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau
keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.
Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab Bell’s palsy, terutama
kasus Bell’s palsy yang rekuren ipsilateral atau kontralateral. Kebanyakan kasus yang
dijumpai adalah autosomal dominant inheritance. Sejumlah penelitian telah berusaha
rnemberikan temuan objektif tentang dasar genetik dari BeII’s palsy, dan kebanyakan
terpusat pada sistem Human leucocyte antigen (HLA), yang memiliki hubungan objektif
yang kuat dengan berbagai penyakit autoimun
 Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang
timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.

3.5. Patofisiologi Bell’s Palsy


Para ahli menyebutkan bahwa pada BP terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis
di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. BP hampir selalu terjadi secara
unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis
bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.15
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses
inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis
sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan
nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk
seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan
kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan
gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bias mendapat
gangguan di lintasan supranuklear, nuclear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak
di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi
yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.15,16
Nervus fasialis terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di
os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi
nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus
longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan
muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis
LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa
mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab
utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang
menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf
melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut
terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.15

3.6. Gejala Klinik Bell’s Palsy


Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur
menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan di
daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan
cermin. Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola mata
tampak berputar ke atas (Bell phenomen). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila
berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh.17,18

Gambar 11. Parese nervus VII perifer kanan18

Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.
Kelainan Gangguan Gangguan Hiposekresi Hiposekresi
Letak lesi
Motorik Pengecapan Pendengaran Saliva Lakrimalis
Pons – Meatus + + + + +
Akustikus Interus Tuli/hiperakusis
Meatus Akustikus + + + + +
Internus – Ganglion Hiperakusia
Genikulatu
Ganglion + + + + -
Genikulatu – N.
Stapedius
N. Stapedius – + + + + -
Chorda Tympani
Chorda Tympani – + + - + -
Infra Chorda
Tympani
Infra Chorda + - - - -
Tympani – Sekitar
Foramen
Stilomastoideus
Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa Bell’s palsy,
beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata bercucuran dari mata yang
terkena pada saat penderita makan. Nervus fasilais menginervasi glandula lakrimalis dan
glandula salivatorius submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius tetapi
dalam perkembangannya terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke glandula lakrimalis.17

3.7. Diagnosis Bell’s Palsy


Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan
nervus fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dari
kelumpuhan nervus fasialis perifer.19,20 Beberapa pemeriksaan yang penting untuk
menentukan letak lesi dan derajat kerusakan n. fasialis sebagai berikut:
Anamnesis14
 Rasa nyeri
 Gangguan atau kehilangan pengecapan.
 Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan
terbuka atau di luar ruangan.
 Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh

Pemeriksaan Fisik19,20
1. Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah
Kerusakan N. VII, sebelum percabangan khorda timpani dapat menyebabkan ageusi
(hilangnya pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan. Untuk memeriksanya pasien disuruh
menjulurkan lidah, kemudian kita berikan pada lidahnya bubuk gula, kina, asam sitrat atau
garam (hal ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat). Bila bubuk ditaruh,
pasien tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bila lidah ditarik ke dalam
mulut bubuk akan tersebar melalui ludah ke bagian lainnya, yaitu sisi lidah lainnya atau ke
bagian belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Pasien diminta untuk
menyatakan pengecapan yang dirasakannya degan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2
untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam. Kerusakan pada atau diatas
nervus petrosus mayor dapat menyebabkan kurangnya produksi air mata, dan lesi khorda
timpani dapat menyebabkan kurangnya produksi saliva.
2. Uji fungsi motorik
Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikan muka penderita, apakah simetris atau tidak.
Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika nasolabialis dan sudut mulut. Bila
asimetri muka jelas, maka hal ini disebabkan oleh kelumpuhan jenis perifer. Dalam ini
kerutan dahi menghilang, mata kurang dipejamkan, plika nasolabialis mendatar dan sudut
mulut menjadi lebih rendah. Pada kelumpuhan jenis sentral, muka dapat simetris waktu
istirahat, kelumpuhan baru nyata bila penderita disuruh melakukan gerakan, misalnya
menyeringai.
a. Mengangkat alis dan mengerutkan dahi
Minta pasien untuk mengangkat kedua alis kemudian nilai apakah simetris atau tidak.
Kemudian minta pasien untuk mengerutkan dahi, nilai apakah musculus
oksipitofrontalis, musculus corrgurator supercilli, musculus procerus simetris atau
tidak. Pada kelumpuhan jenis supranuklear sesisi, penderita dapat mengangkat alis dan
mengerutkan dahinya, sebab musculus oksipitofrontalis, musculus corrgurator
supercilli, musculus procerus mendapat persarafan bilateral. Pada kelumpuhan jenis
perifer terlihat adanya asimetri.
b. Memejamkan mata
Minta pasien untuk memejamkan mata, bila lumpuhnya berat pasien tidak dapat
memejamkan mata; bila lumpuhnya ringan, maka tenaga pejaman mata kurang kuat. Hal
ini dapat dinilai dengan jalan mengangkat kelopak mata dengan tangan
pemeriksa,sedangkan pasien disuruh tetap memejamkan mata. Suruh pula pasien
memejamkan matanya satu per satu. Hal ini merupakan pemeriksaan yang baik bagi
parese ringan. Bila terdapat parese, pasien tidak dapat memejamkan matanya pada sisi
yang lumpuh. Disini dinilai apakah musculus orbicularis okuli dapat berkontraksi
dengan baik atau tidak, simetris atau tidak.
c. Menyeringai (menunjukan gigi geligi)
Minta pasien untuk menyeringai, menunjukkan gigi geligi. Perhatikan apakah hal ini
dapat dilakukan dan apakah simetris, perhatikan sudut mulutnya. Jika pasien tidakdapat
melakukannya maka terdapat gannguan persarafan pada musculus zigomatikus mayor.
Pada penderita yang tidak kooperatif atau yang menurun kesadarannya, dan tidak dapat
disuruh menyeringai, dapat dibuat menyeringai bila diberikan ransangan nyeri, yaitu
dengan menekan pada sudut rahangnya (musculus masseter).
d. Mencucurkan bibir
Minta pasien untuk mencucurkan bibir. Perhatikan apakah dapat dilakukan dan apakah
simetris. Jika pasien tidak dapat melakukan dengan baik dan asimetris maka dicurigai
ada gangguan pada persarafan musculus orbicularis oris.
e. Menggembungkan pipi
Minta pasien untuk menggembungkan pipi. Perhatikan apakah hal ini dapat dilakukan
dan apakah simetris. Apabila pasien tidak dapat melakukan dengan baik maka dapat
dikatakan terjadi gangguan pada persarafan musculus bucinator.
f. Mengembang kempiskan cuping hidung
Minta pasien untuk mengembang kempiskan cuping hidung, nilai apakah simetris atau
tidak. Jika tidak, maka terdapat gangguan persarafan pada musculus nasalis.
3. Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah diberi
rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan patologik dan
jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan n. fasialis ireversibel.
4. Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur kecepatan
hantaran listrik pada nervus fasialis kiri dan kanan.
5. Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-otot wajah.
6. Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang di letakkan di belakang kelopak
mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada
kertas filter; berkurang atau mengeringnya air mata menunjukkan lesi n.fasialis setinggi
ganglion genikulatum.
Di instalasi rehabilitasi Medik RSU Prof. dr. R. D. Kandou memakai skala UGO FISCH
untuk mengevaluasi kemajuan motorik penderita Bell’s palsy.14
SKALA UGO FISCH
Dinilai kondisi simetris atau asimetris antara sisi sehat dan sisi sakit pada 5 posisi:14
PERSENTASE (%)
POSISI NILAI SKOR
0, 30, 70, 100
Istirahat 20
Mengerutkan Dahi 10
Menutup Mata 30
Tersenyum 30
Bersiul 10
TOTAL
Penilaian presentase:14
0% : asimetris komplit, tidak ada gerakan volunteer
30% : simetri, poor/jelek, kesembuhan yang ada lebih dekat ke asimetris komplit
daripada simetris normal.
70% : simetris, fair/cukup, kesmbuhan parsial yang cenderung ke arah normal.
100% : simetris, normal komplit.

3.8. Diagnosis Banding


Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan perifer.
Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama
dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor apabila onset
gradual dan disertai perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya;
sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis
optika; dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat
riwayat trauma sebelumnya. Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis
media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto
mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli
perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah
menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre saat
ditemukan adanya paresis bilateral dan akut; kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda
patognomonik berupa gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli
bilateral; tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan
VIII; tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula); dan
sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis,
parotitis, eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia.

3.9. Pemeriksaan Penunjang


Bells palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu
dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis. Pemeriksaan
radiologi dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan fraktur,
metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP). Pemeriksaan MRI dilakukan pada
pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk
mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan
penyengatan kontras saraf fasialis. Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal
sejak tahun 1970 sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan
kandidat tindakan dekompresi intrakanikular. Grosheva et al melaporkan pemeriksaan
elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan
elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15
mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan negative-predictivevalue (NPV) 96%.
Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan amplitudo Compound Motor
Action Potential (CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink
reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral. Pemeriksaan blink reflex ini sangat
bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima, meski
demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2 hanya ditemukan
pada 15,6% kasus.

3.10. Tatalaksana Bell’s Palsy


Tujuan dari pengobatan pada bells palsy termasuk tata laksana untuk mempercepat masa
penyembuhan dan untuk meminimalisasi komplikasi. Tata laksana untuk mempercepat masa
penyembuhan dilakukan dengan terapi farmakologi dan terapi non-farmakologi yaitu
rehabilitasi medik.21
Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi yang diberikan pada pasien bells palsy yaitu pemberian obat
kortikosteroid dan anti-viral.21
a. Kortikosteroid
Dasar untuk pemberian obat kortikosteroid pada bell’s palsy karena inflamasi dan edema
pada nervus fasialis merupakan salah satu penyebab dari Bell’s palsy dan kortikosteroid
berpotensi sebagai anti inflamasi dimana dapat meminimalisasi kerusakan pada saraf dan
sehingga hasil meningkat. Pada percobaan yang dilakukan secara random ditemukan
bahwa terapi bell’s palsy dengan menggunakan prednisolone mempercepat proses
penyembuhan. Prednisolon dapat digunakan pada semua pasien dengan lumpuh pada otot
wajah dengan pemakaian 72 jam dimulai dari onset dimana tidak dapat kontraindikasi pada
terapi steroid. Dosis prednisolon yaitu 60 mg dalam 5 hari, kemudian dikurangi menjadi
10 mg perhari (dari 10 hari total perawatan) dan 50 mg per hari dalam 10 hari. Terapi
dengan prednisolon lebih hemat biaya. Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada
penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi,
diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi),
dan Cushing syndrome.21
b. Anti-viral
Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus
digunakan dalam penanganan Bell’s palsy. Namun, beberapa percobaan kecil
menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan
kortikosteroid. Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral dan steroid pada 48-72
jam pertama setelah onset. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan keuntungan
penggunaan terapi kombinasi. Dosis pemberian asiklovir untuk usia > 2 tahun adalah 80
mg per kg per hari melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari.
Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2000 – 4000 mg per hari yang dibagi
dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir
(kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg per hari
secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada
penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah
mual, diare, dan sakit kepala.21
Terapi non Farmakologi/Rehabilitasi Medik
Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang ditunjukan guna
mengurangi dampak cacat handicap serta meningkatkan kemampuan penyandang cacat
mengenai intergritas sosial. Tujuan rehabilitasi medik adalah:14
1. Meniadakan keadaan cacat bila mungkin
2. Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin
3. Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan bekerja dengan apa
yang tertinggal.
Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif dan efisien maka
diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter, fisioterapi, okupasi terapis, ortotis
prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas sosial medik dan perawat rehabilitasi medik. Sesuai
dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu dari segi medik, sosial dan
kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada Bell’s palsy adalah untuk
mengurangi/mencegah paresis menjadi bertambah dan membantu mengatasi problem sosial
serta psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan sehari-hari.
Program-program yang diberikan adalah program fisioterapi, okupasi, social medik, psikolog
dan ortotik prostetik, sedang program perawatan pesawat rehabilitasi dan terapi wicara tidak
banyak berperan.14

Program Fisioterapi
1. Pemanasan14
a. Pemanasan superficial dengan infra red.
b. Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave Diathermy
2. Stimulasi listrik14
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk mencegah/memperlambat
terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah.
Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya adalah untuk menstimulasi otot, redukasi dari
aksi otot, melatih fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta mencegah/meregangkan
perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset.
3. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah14
Latihan gerak volunter diberikan setelah fase akut, latihan berupa mengangkat alis tahan 5
detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat sudut mulut, tersenyum,
bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca dengan konsentrasi penuh). Massage adalah
manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan maksud untuk
perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bell’s palsy diberi gentle massage secara perlahan
dan berirama. Gentle massage memberikan efek mengurangi edema, memberikan relaksasi
otot dan mempertahankan tonus otot. Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading
Massage sebelum latihan gerakan volunteer otot wajah. Deep Kneading Massage
memberikan efek mekanik terhadap pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan
pembuangan sisa metabolik, asam laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi
serabut-serabut otot dan meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan
perlengketan. Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi.
Semua gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit

Program Terapi Okupasi


Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerakan pada otot wajah. Latihan
diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu diingat
bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan sampai melelahkan
penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan
sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin.14

Program Sosial Medik


Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial.
Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial medik
dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk sementara
waktu bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum. Untuk masalah
biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui keluarga.
Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas yang merawat
sangat penting untuk kesembuhan penderita.14
Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa cemas
sering menyertai penderita terutama pada penderita muda wanita atau penderita yang
mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka bantuan
seorang psikolog sangat diperlukan.14

Program Ortotik Prostetik


Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut yang sakit
tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi intoleransi
kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum
ada perubahan Zygomaticus selama parase dan mencegah terjadinya kontaktur.14

Home Program
1. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit
2. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi wajah yang
sehat
3. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum dengan
sedotan, mengunyah permen karet
4. Perawatan mata:
a. Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari
b. Memakai kacamata gelap sewaktu berpergian siang hari
c. Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur

3.11. Komplikasi Bell’s Palsy


 Crocodile tear phenomenon2,14
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa bulan
setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom
yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di
sekitar kelenjar ganglion genikulatum.
 Synknesis2,14
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakan satu per satu atau tersendiri, selalu timbul
gerakan (involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi.
Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi
bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.
 Hemifacial spasme2,14
Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali)
dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi
wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan
psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak
sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.
 Kontraktur5,14
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih jelas terlihat
pada sisi lumpuh dibanding pada sisi yang sehat. Terjadi bila kembalinya fungsi sangat
lambat. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot wajah istirahat, tetapi menjadi jelas saat
otot wajah bergerak.

3.12. Prognosis Bell’s Palsy


Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan tanda-
tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-
6 bulan kemudian. Pada literatur lain penderita BP bisa sembuh sempurna dalam waktu 2
bulan dan sembuh sempurna antara 1-3 bulan 80%.16,22
Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa.
1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik.
Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata. Penderita Bell’s palsy dapat sembuh
total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy
adalah:22
1. Usia di atas 60 tahun
2. Paralisis komplit
3. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
4. Nyeri pada bagian belakang telinga dan
5. Berkurangnya air mata.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 %
kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 %
penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau
tumor kelenjar parotis.22
DAFTAR PUSTAKA

1. Sukardi, Nara P. Bell’s Palsy. 2007. Available from:


http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy.pdf/sPalsy.htm
2. Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang :
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81
3. Maisel RH, Levine SC. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam : Adams dkk. Boies Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit EGC, 1997 : 139-52
4. Thamrinsyam. Beberapa Kontroversi Bell’s Palsy. Dalam : Thamrinsyam dkk. Bell’s Palsy.
Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK UNAIR, 1991 : 1-7
5. Lumbantobing. 2012. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: FKUI.
6. Lowis, H., Gaharu, MN. (2012). Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan
Primer. J of Indonesia Med. Ass.,Vol.62(1), pp.32.
7. De Almeida, JR. et al., (2014). Management Of Bell Palsy: Clinical Practice Guideline. CMAJ:
Canadian Med. Ass. J, Vol. 186(12), pp. 917–922.
8. Baehr, Frotscher. Duus Topical Diagnosis in Neurology: Anatomy, Fisiology, Sign, Simptom.
Edisi 4. New York: Mc-Graw Hill companies. 2005;167-175.
9. Mardjono, Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2000; 159-163.
10. Soepardi, iskandar. Telinga Hidung Tenggorok Kepala leher. Edisi 5. Jakarta: FK UI. 2001;85-
87.
11. Higler. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC.1997; 139-152.
12. Tobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: FK UI. 2007; 55-60.
13. Netter FH, Craig JA, Perkins J, Hansen JT, Koeppen BM. Atlas of Neuroanatomy and
Neurophysiology. USA: ICON; 2002.
14. Angliadi LS, Sengkey L, Gessal J, dkk. Rehabilitasi Medik Pada Bell’s Palsy. Dalam: Ilmu
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi. Manado: Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitas
BLU RSUP Prof. dr. R. D. Kandou/FK UNSRAT, 2006: 42-49
15. Mardjono M, Sidharta P, 2003, Patofisiologi nervus fasialis, Neurologi klinis dasar; Jakarta:
PT. Dian Rakyat: 161-162
16. Davis Larry E, Molly K. King,Jessica L. Schultz, 2005, Bells palsy in Fundamentals of
Neurologic Disease , Demos Medical Publishing New York; 63-64.
17. Djamil Y, A Basjiruddin, 2003, Paralisis Bell. Kapita selekta neurologi; Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. p 297-300
18. Afzal Mir, 2003, Atlas of Clinical Diagnosis, 2 ed. Saunders, London.
19. Saharso, 2005, pendekatan diagnosis dan penatalaksanaan bell’s palsy, Media IDI cabang
Surabay volume 30 No I: 70
20. Sukardi, Nara P, 2004, Bell’s Palsy, cermin dunia kedokteran edisi IV: 72-76
21. Murthy, J.M., Saxena, A. Bell’s Palsy : Treatment Guideline. Annals of Indian Academy of
Neurology : 2011.
22. Ropper AH, Brown RH, 2003, Adams and Victor’s Principles of Neurology. 8th ed. New York:
MacGraw-Hill; 1180-1182.

You might also like