Professional Documents
Culture Documents
Fiqih Berobat
Disusun oleh :
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “fiqih
berobat ” Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam
mata kuliah AKSM di STIKes ‘Aisyiyah Bandung.
Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi mengingat kemampuan yang dimiliki. Untuk
itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini. Dalam penulis ini, kami menyampaikan
ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu menyelesaikan makalah
ini, khususnya kepada dosen yang telah memberikan tugas dan petunjuk materi
kepada saya, sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini.
i
ii
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah menghendaki sehat dan sakit, bukan karena kezaliman, tetapi
karena kebijaksanaan-Nya. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk
berusaha menjalani sebab- sebab yang mengantarkan kepada setiap
kebaikan, dan itu merupakan kesempurnaan tawakkal seorang hamba. Tidak
selamanya manusia merasakan kesehatan badan yang sempurna, Allah
menimpakan rasa sakit yang berbeda-beda menurut perbedaan sebab dan
kondisinya, dan tidak ada yang dapat menyembuhkannya kecuali Allah
semata. Ibnul Qayyim berkata: "Dalam hadits-hadits shahih telah
disebutkan perintah berobat, dan berobat tidaklah menafikan tawakkal.
Sebagaimana makan karena lapar, minum karena dahaga, berteduh karena
panas dan menghangatkan diri karena dingin tidak menafikan tawakkal.
Tidak akan sempurna hakikat tauhid kecuali dengan menjalani ikhtiyar
(usaha) yang telah dijadikan Allah sebagai sebab musabab terjadi suatu
takdir. Bahkan meninggalkan ikhtiyar dapat merusak hakikat tawakkal,
sebagaimana juga dapat mengacaukan urusan dan melemahkannya. Karena
orang yang meninggalkan ikhtiyar mengira bahwa tindakannya itu
menambah kuat tawakkalnya. Padahal justru sebaliknya, meninggalkan
ikhtiyar merupakan kelemahan yang menafikan tawakkal. Sebab hakikat
tawakkal adalah mengaitkan hati kepada Allah dalam meraih apa yang
bermanfaat bagi hamba untuk dunia dan agamanya serta menolak mudharat
terhadap dunia dan agamanya. Tawakkal ini harus disertai dengan ikhtiyar,
jikalau tidak berarti ia telah menafikan hikmah dan perintah Allah.
Janganlah seorang hamba itu menjadikan kelemahannya sebagai tawakkal
dan jangan pula menjadikan tawakkal sebagai kelemahannya.
3
4
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fiqih Berobat
Fiqih dalam bahasa Arab artinya pengertian, dan dalam istilah ulama artinya
ilmu yang membahas hukum-hukum agama Islam diambil dari dalil-dalil
tafsili atau dalil dalil yang terperinci. Berobat adalah perkara yang di
sunahkan. Para fuqoha’ (ahli fiqih) bersepakat bahwa berobat hukum
asalnya dibolehkan, kemudian mereka berbeda pendapat (mengenai hukum
berobat, -ed) menjadi beberapa pendapat yang masyhur:
1. Pendapat pertama mengatakan bahwa berobat
hukumnya wajib, dengan alasan adanya perintah
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berobat dan asal
hukum perintah adalah wajib, ini adalah salah satu pendapat
madzhab Malikiyah, Madzhab Syafi’iyah, dan madzhab Hanabilah.
2. Pendapat kedua mengatakan sunnah/ mustahab, sebab perintah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berobat dan dibawa
kepada hukum sunnah karena ada hadits yang lain
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan bersabar,
dan ini adalah madzhab Syafi’iyah.
3. Pendapat ketiga mengatakan mubah/ boleh secara mutlak , karena
terdapat keterangan dalil- dalil yang sebagiannya menunjukkan
perintah dan sebagian lagi boleh memilih, (ini adalah madzhab
Hanafiyah dan salah satu pendapat madzhab Malikiyah).
4. Pendapat kelima mengatakan makruh, alasannya para sahabat
bersabar dengan sakitnya, Imam Qurtubi rahimahullah mengatakan
bahwa ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Dardaradhiyallahu
‘anhum, dan sebagian para Tabi’in.
6
’Inilah wanita kulit hitam yang pernah datang kepada Nabi lalu
berkata,’’(wahai Rosululloh) Aku menderita sakit sawan, dan tersingkap
aurotku, maka do’akan aku (agar sembuh) kepada Alloh,’’ Nabi
bersabda,’’jika engkau mau bersabar maka surga balasanmu, tapi jika
engkau mau aku do’akan kepada Alloh supaya menyembuhkanmu maka aku
doakan,’’wanita itu berkata,’’kalau begitu aku bersabar saja, tetapi auratku
masih tersingkap, maka do’akan aku kepada Alloh supaya auratku tidak
tersingkap,’’ maka Rosululloh mendo’akannya (agar aurotnya tidak
tersingkap).’’ (HR.Bukhori 5652).
Jawabnya, tidak berobat lebih utama jika kondisi orang yang sakit seperti
wanita ini, dia yakin bisa bersabar untuk mendapat pahala surga, dan
penyakitnya tidak mengakibatkan kebinasaan, tidak menular kepada yang
lain, dan dia mampu menghadapi ujian ini, oleh karenanya wanita dalam
hadits ini dijanjikan surga oleh Rosululloh kalau dia bersabar.
Adapun hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang 70.000 orang
yang masuk surga tanpa hisab dan adzab, yang menunjukkan mereka tidak
berobat dengan cara Ruqyah dan cara ‘’kay’’ (besi dipanaskan lalu
diletakkan pada anggota tubuh yang sakit). (HR.Bukhori 5705, dan Muslim
347)
Jawabnya, hadits ini menujukkan yang lebih utama adalah tidak meminta
diruqyah demi kesempurnaan tauhid, adapun meruqyah dan diruqyah, maka
sungguh telah dilakukan oleh generasi yang paling utama yaitu Nabi dan
para sahabatnya, bukanlah yang dimaksud adalah meninggalkan
pengobatan, karena beliau juga berobat, dan memerintahkan kaum
muslimin untuk berobat (HR.Abu Dawud 3874), beliau meruqyah, dan
diruqyah.
Demikian pula apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
bahwa Abu Bakar,Ubai bin Ka’ab, serta Abu Dzar radhiyallahu ‘anhum
jami’an, mereka tidak berobat.
Maka jawabnya, hal itu karena kondisi dan sebab tertentu, bukan berarti
mereka menganggap berobat adalah makruh.
10
3. tidak dijumpai obat lain setelah dicari kecuali hanya yang haram
ini.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Para fuqoha’ (ahli fiqih) bersepakat bahwa berobat hukum
asalnya dibolehkan, kemudian mereka berbeda pendapat (mengenai hukum
berobat, ) menjadi beberapa pendapat yang masyhur:
Pendapat pertama mengatakan bahwa berobat hukumnya wajib, dengan
alasan adanya perintah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
berobat dan asal hukum perintah adalah wajib, ini adalah salah satu
pendapat madzhab Malikiyah, Madzhab Syafi’iyah, dan madzhab
Hanabilah. Pendapat kedua mengatakan sunnah/ mustahab,sebab perintah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk berobat dan dibawa kepada hukum
sunnah karena ada hadits yang lain Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan bersabar, dan ini adalah madzhab Syafi’iyah.
Pendapat ketiga mengatakan mubah/ boleh secara mutlak, karena terdapat
keterangan dalil- dalil yang sebagiannya menunjukkan perintah dan
sebagian lagi boleh memilih, (ini adalah madzhab Hanafiyah dan salah satu
pendapat madzhab Malikiyah). Pendapat kelima mengatakan makruh,
alasannya para sahabat bersabar dengan sakitnya, Imam
Qurtubi rahimahullahmengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu
Mas’ud, Abu Darda radhiyallahu ‘anhum, dan sebagian para Tabi’in.
Pendapat ke enam mengatakan lebih baik ditinggalkan bagi yang kuat
tawakkalnyadan lebih baik berobat bagi yang lemah tawakkalnya, perincian
ini dari kalangan madzhab Syafi’iyah
B. SARAN
16
DAFTAR PUSTAKA
Hajj ahmad, yusuf al. 2016. Buku Panduan pengobatan islam. Jakarta :
Aqwan
Fuad al hulwani, thalat bin. 2016. Buku Pengobatan cara nabi. Jakarta :
Darul Haq