You are on page 1of 17

MAKALAH AKSM

Fiqih Berobat

Disusun oleh :

Nden ayu pratiwi (032016040)

Elis Rohaeti (032016047)

Rendra Ramdani (032016055)

Syarah Mujahidah (0320160

Winda Sri Nurany (032016063)

Prodi Sarjana Keperawatan


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bandung
Tahun Akademik
2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “fiqih
berobat ” Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam
mata kuliah AKSM di STIKes ‘Aisyiyah Bandung.

Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi mengingat kemampuan yang dimiliki. Untuk
itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini. Dalam penulis ini, kami menyampaikan
ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu menyelesaikan makalah
ini, khususnya kepada dosen yang telah memberikan tugas dan petunjuk materi
kepada saya, sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini.

Bandung,24 september 2018

i
ii

DAFTAR ISI

BAB III ............................................................................................................................... 15


PENUTUP .......................................................................................................................... 15
A. KESIMPULAN ........................................................................................................ 15
B. SARAN ....................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 16
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah menghendaki sehat dan sakit, bukan karena kezaliman, tetapi
karena kebijaksanaan-Nya. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk
berusaha menjalani sebab- sebab yang mengantarkan kepada setiap
kebaikan, dan itu merupakan kesempurnaan tawakkal seorang hamba. Tidak
selamanya manusia merasakan kesehatan badan yang sempurna, Allah
menimpakan rasa sakit yang berbeda-beda menurut perbedaan sebab dan
kondisinya, dan tidak ada yang dapat menyembuhkannya kecuali Allah
semata. Ibnul Qayyim berkata: "Dalam hadits-hadits shahih telah
disebutkan perintah berobat, dan berobat tidaklah menafikan tawakkal.
Sebagaimana makan karena lapar, minum karena dahaga, berteduh karena
panas dan menghangatkan diri karena dingin tidak menafikan tawakkal.
Tidak akan sempurna hakikat tauhid kecuali dengan menjalani ikhtiyar
(usaha) yang telah dijadikan Allah sebagai sebab musabab terjadi suatu
takdir. Bahkan meninggalkan ikhtiyar dapat merusak hakikat tawakkal,
sebagaimana juga dapat mengacaukan urusan dan melemahkannya. Karena
orang yang meninggalkan ikhtiyar mengira bahwa tindakannya itu
menambah kuat tawakkalnya. Padahal justru sebaliknya, meninggalkan
ikhtiyar merupakan kelemahan yang menafikan tawakkal. Sebab hakikat
tawakkal adalah mengaitkan hati kepada Allah dalam meraih apa yang
bermanfaat bagi hamba untuk dunia dan agamanya serta menolak mudharat
terhadap dunia dan agamanya. Tawakkal ini harus disertai dengan ikhtiyar,
jikalau tidak berarti ia telah menafikan hikmah dan perintah Allah.
Janganlah seorang hamba itu menjadikan kelemahannya sebagai tawakkal
dan jangan pula menjadikan tawakkal sebagai kelemahannya.

3
4

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Masalah
5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Fiqih Berobat
Fiqih dalam bahasa Arab artinya pengertian, dan dalam istilah ulama artinya
ilmu yang membahas hukum-hukum agama Islam diambil dari dalil-dalil
tafsili atau dalil dalil yang terperinci. Berobat adalah perkara yang di
sunahkan. Para fuqoha’ (ahli fiqih) bersepakat bahwa berobat hukum
asalnya dibolehkan, kemudian mereka berbeda pendapat (mengenai hukum
berobat, -ed) menjadi beberapa pendapat yang masyhur:
1. Pendapat pertama mengatakan bahwa berobat
hukumnya wajib, dengan alasan adanya perintah
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berobat dan asal
hukum perintah adalah wajib, ini adalah salah satu pendapat
madzhab Malikiyah, Madzhab Syafi’iyah, dan madzhab Hanabilah.
2. Pendapat kedua mengatakan sunnah/ mustahab, sebab perintah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berobat dan dibawa
kepada hukum sunnah karena ada hadits yang lain
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan bersabar,
dan ini adalah madzhab Syafi’iyah.
3. Pendapat ketiga mengatakan mubah/ boleh secara mutlak , karena
terdapat keterangan dalil- dalil yang sebagiannya menunjukkan
perintah dan sebagian lagi boleh memilih, (ini adalah madzhab
Hanafiyah dan salah satu pendapat madzhab Malikiyah).
4. Pendapat kelima mengatakan makruh, alasannya para sahabat
bersabar dengan sakitnya, Imam Qurtubi rahimahullah mengatakan
bahwa ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Dardaradhiyallahu
‘anhum, dan sebagian para Tabi’in.
6

5. Pendapat ke enam mengatakan lebih baik ditinggalkan bagi yang


kuat tawakkalnya dan lebih baik berobat bagi yang lemah
tawakkalnya, perincian ini dari kalangan madzhab Syafi’iyah.
Kesimpulan dari berbagai macam pendapat
Sesungguhnya terdapat berbagai macam dalil dan keterangan yang
berbeda- beda tentang berobat, oleh karena itu sebenarnya pendapat-
pendapat di atas tidaklah bertentangan. Akan tetapi berobat
hukumnya berbeda- berbeda menurut perbedaan kondis. Ada yang
haram, makruh, mubah, sunnah, bahkan ada yang wajib

B. Islam memerintahkan umatnya untuk berobat


Berobat pada dasarnya dianjurkan dalam agama islam sebab berobat termasuk upaya
memelihara jiwa dan raga, dan ini termasuk salah satu tujuan syari’at islam ditegakkan,
terdapat banyak hadits dalam hal ini, diantaranya;
1. Dari Abu Darda berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ والدواء الداء أنزل هللا إن‬، ‫ دواء داء لكل وجعل‬، ‫ فتداووا‬، ‫بالحرام تتداووا وال‬
‘’Sesungguhnya Alloh menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia jadikan
setiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah kalian, tetapi jangan berobat
dengan yang haram.’’ (HR.AbuDawud 3874, dan disahihkan oleh al-Albani
dalam Shahih wa Dha’if al-Jami’ 2643)
2. Dari Usamah bin Syarik berkata, ada seorang arab baduwi berkata kepada
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam:
‫ قال ؟ نتداوى أال هللا رسول يا‬: ( ‫ تداووا‬، ‫له وضع إال داء يضع لم هللا فإن‬
‫ قالوا ) واحد داء إال شفاء‬: ‫ قال ؟ هو وما هللا رسول يا‬: ( ‫) الهرم‬
‘’Wahai Rosululloh, apakah kita berobat?, Nabi bersabda,’’berobatlah, karena
sesungguhnya Alloh tidak menurunkan penyakit, kecuali pasti menurunkan
obatnya, kecuali satu penyakit (yang tidak ada obatnya),’’ mereka bertanya,’’apa
itu’’ ? Nabi bersabda,’’penyakit tua.’’(HR.Tirmidzi 2038, dan disahihkan oleh
al-Albani dalam Sunan Ibnu Majah 3436)

C. Berobat Hukumnya Berbda beda

1. Menjadi wajib dalam beberapa kondisi:

a. Jika penyakit tersebut diduga kuat mengakibatkan kematian,


maka menyelamatkan jiwa adalah wajib.
7

b. Jika penyakit itu menjadikan penderitanya meninggalkan


perkara wajib padahal dia mampu berobat, dan diduga kuat
penyakitnya bisa sembuh, berobat semacam ini adalah untuk
perkara wajib, sehingga dihukumi wajib.
c. Jika penyakit itu menular kepada yang lain, mengobati penyakit
menular adalah wajib untuk mewujudkan kemaslahatan
bersama.
d. Jika penyakit diduga kuat mengakibatkan kelumpuhan total,
atau memperburuk penderitanya, dan tidak akan sembuh jika
dibiarkan, lalu mudhorot yang timbul lebih banyak daripada
maslahatnya seperti berakibat tidak bisa mencari nafkah untuk
diri dan keluarga, atau membebani orang lain dalam perawatan
dan biayanya, maka dia wajib berobat untuk kemaslahatan diri
dan orang lain.

2. Berobat menjadi sunnah/ mustahab


Jika tidak berobat berakibat lemahnya badan tetapi tidak sampai
membahayakan diri dan orang lain, tidak membebani orang lain, tidak
mematikan, dan tidak menular , maka berobat menjadi sunnah
baginya, [13].
3. Berobat menjadi mubah/ boleh
Jika sakitnya tergolong ringan, tidak melemahkan badan dan tidak
berakibat seperti kondisi hukum wajib dan sunnah untuk berobat, maka
boleh baginya berobat atau tidak berobat[14].
4. Berobat menjadi makruh dalam beberapa kondisi
a. Jika penyakitnya termasuk yang sulit disembuhkan, sedangkan
obat yang digunakan diduga kuat tidak bermanfaat, maka lebih
baik tidak berobat karena hal itu diduga kuat akan berbuat sis-
sia dan membuang harta.

b. Jika seorang bersabar dengan penyakit yang diderita, mengharap


balasan surga dari ujian ini, maka lebih utama tidak berobat, dan
8

para ulama membawa hadits Ibnu Abbas dalam kisah seorang


wanita yang bersabar atas penyakitnya kepada masalah ini.

c. Jika seorang fajir/rusak, dan selalu dholim menjadi sadar


dengan penyakit yang diderita, tetapi jika sembuh ia akan
kembali menjadi rusak, maka saat itu lebih baik tidak berobat.

d. Seorang yang telah jatuh kepada perbuatan maksiyat, lalu


ditimpa suatu penyakit, dan dengan penyakit itu dia berharap
kepada Alloh mengampuni dosanya dengan sebab
kesabarannya. Dan semua kondisi ini disyaratlkan jika
penyakitnya tidak mengantarkan kepada kebinasaan, jika
mengantarkan kepada kebinasaan dan dia mampu berobat, maka
berobat menjadi wajib.

5. Berobat menjadi haram


Jika berobat dengan sesuatu yang haram atau cara yang haram maka
hukumnya haram, seperti berobat dengan khomer/minuman keras, atau
sesuatu yang haram lainnya.

D. BAGAIMANA DENGAN SEBAGIAN SALAF YANG TIDAK


BEROBAT?
Adapun hadits- hadits yang dhohirnya menunjukkan tidak berobat itu lebih
utama, maka hal itu hanya dalam kondisi tertentu saja. Seperti hadits Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang perkataan beliau kepada Atho’

‫َت الس َّْودَاء ْال َم ْرأَة َه ِذ ِه‬


ْ ‫ي أَت‬َّ ِ‫صلَّى النَّب‬
َ ‫ّللا‬َّ ‫سلَّ َم َعلَ ْي ِه‬
َ ‫ت َو‬ ْ َ‫ص َرع إِنِي فَقَال‬ْ ‫شف َوإِنِي أ‬ َّ ‫ّللاَ فَادْع أَتَ َك‬
َّ ‫ِلي‬
‫ت إِ ْن َقا َل‬ ِ ْ‫ت ِشئ‬ِ ‫صبَ ْر‬َ ‫ت َوإِ ْن ْال َج َّنة َولَ ِك‬ ِ ْ‫ّللاَ دَ َع ْوت ِشئ‬ َّ ‫ت يعَافِيَ ِك أ َ ْن‬ ْ َ‫ت أ‬
ْ َ‫صبِر فَقَال‬ ْ َ‫شف إِنِي فَقَال‬ َّ ‫أَتَ َك‬
َّ ‫ف َال أ َ ْن ِلي‬
‫ّللاَ فَادْع‬ َّ ‫لَ َها فَدَ َعا أَت َ َك‬
َ ‫ش‬
9

’Inilah wanita kulit hitam yang pernah datang kepada Nabi lalu
berkata,’’(wahai Rosululloh) Aku menderita sakit sawan, dan tersingkap
aurotku, maka do’akan aku (agar sembuh) kepada Alloh,’’ Nabi
bersabda,’’jika engkau mau bersabar maka surga balasanmu, tapi jika
engkau mau aku do’akan kepada Alloh supaya menyembuhkanmu maka aku
doakan,’’wanita itu berkata,’’kalau begitu aku bersabar saja, tetapi auratku
masih tersingkap, maka do’akan aku kepada Alloh supaya auratku tidak
tersingkap,’’ maka Rosululloh mendo’akannya (agar aurotnya tidak
tersingkap).’’ (HR.Bukhori 5652).
Jawabnya, tidak berobat lebih utama jika kondisi orang yang sakit seperti
wanita ini, dia yakin bisa bersabar untuk mendapat pahala surga, dan
penyakitnya tidak mengakibatkan kebinasaan, tidak menular kepada yang
lain, dan dia mampu menghadapi ujian ini, oleh karenanya wanita dalam
hadits ini dijanjikan surga oleh Rosululloh kalau dia bersabar.
Adapun hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang 70.000 orang
yang masuk surga tanpa hisab dan adzab, yang menunjukkan mereka tidak
berobat dengan cara Ruqyah dan cara ‘’kay’’ (besi dipanaskan lalu
diletakkan pada anggota tubuh yang sakit). (HR.Bukhori 5705, dan Muslim
347)
Jawabnya, hadits ini menujukkan yang lebih utama adalah tidak meminta
diruqyah demi kesempurnaan tauhid, adapun meruqyah dan diruqyah, maka
sungguh telah dilakukan oleh generasi yang paling utama yaitu Nabi dan
para sahabatnya, bukanlah yang dimaksud adalah meninggalkan
pengobatan, karena beliau juga berobat, dan memerintahkan kaum
muslimin untuk berobat (HR.Abu Dawud 3874), beliau meruqyah, dan
diruqyah.
Demikian pula apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
bahwa Abu Bakar,Ubai bin Ka’ab, serta Abu Dzar radhiyallahu ‘anhum
jami’an, mereka tidak berobat.
Maka jawabnya, hal itu karena kondisi dan sebab tertentu, bukan berarti
mereka menganggap berobat adalah makruh.
10

Kontradiksi sebagian kaum sufi yang tidak mau berobat


Sebagian kaum shufi mengingkari orang- orang yang berobat, dengan dalih
segala sesuatu sudah ditaqdirkan Alloh termasuk sehat dan sakit, menurut
mereka jika Alloh menghendaki sembuh, tanpa berobatpun akan sembuh
dengan takdir Alloh, mereka ada yang menganggap bahwa berobat berarti
menentang taqdir. Akan tetapi tatkala mereka lapar, mereka berusaha
mencari makanan, dan saat kedinginan mereka memakai pakaian tebal,
mereka tidak mengatakan yang memberi makanan dan rasa hangat adalah
Alloh.
Maka jawabnya, para ulama membantah mereka dengan hadits- hadits
Nabi yang memerintahkan kaum muslimin berobat, Nabi dan shabatnya
berobat, dan berobat termasuk usaha manusia untuk mendapatkan
kesembuhan dari Alloh, dan berobat juga termasuk taqdir Alloh,
sebagaimana jawaban Rosululloh ketika ditanya sahabatnya
‫هي فقال شيئا هللا قدر من ترد هل نتقيها وتقاة به نتداوى ودواء نسترقيها رقى أرأيت هللا رسول يا‬
‫هللا قدر من‬
‘’Wahai Rosululloh bagaimana ruqyah- ruqyah (jampi- jampi) dan obat-
obatan yang kami gunakan, serta pantangan- pantangan yang kami hindari,
apakah semua ini menolak taqdir Alloh?, Nabi menjawab,’’itu semua
termasuk taqdir Alloh. (HR.Tirmidzi 2148, dan dihasankan oleh al-Albani
dalam Takhrij Musykilat al-Faqr 1/13)
E. BEROBAT SEJALAN DENGAN TAWAKAL
Tidak diragukan bahwa Rosululloh adalah orang yang paling sempurna
tawakkalnya, walau demikian beliau tidak berserah diri begitu saja kepada
Alloh, beliau menjalani sebab- sebab yang mengantarkan kepada hasil yang
diharapkan, oleh karenanya beliau membawa bekal dan berkendaraan serta
menyewa penunjuk jalan ketika hijrah, beliau sempat bersembunyi 3 hari di
goa, beliau memakai baju besi saat berperang, dan beliau berobat saat sakit
dan mengobati yang sakit, bahkan beliau memerintahkan kita untuk
berobat, semua ini dilakukan karena sejalan dengan tawakkalnya yang
sempurna.
11

1. Setiap penyakit pasti ada obatnya


Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah haditsnya,
bersabda;
‫هللا بإذن برأ الداء دواء أصيب فإذا دواء داء لكل‬
‘’Setiap penyakit ada obatnya, jika obatnya mengenai penyakit, maka
sembuhlah dengan izin Alloh.’’ (HR.Muslim 4084)
Hadits ini menjelaskan bahwa semua penyakit tanpa kecuali pasti ada
obatnya sampai pada penyakit- penyakit yang mematikan, hanyasaja
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, tidaklah seorang manusia itu
mengetahui ilmu kecuali dari Alloh, oleh karenanya Nabi mensyaratkan
kesembuhan jika obat itu mengenainya penyakit, karena segala
sesuatu itu memiliki lawannya, setiap penyakit mempunyai lawan
berupa obat penawarnya. Kita menjumpai banyak orang berobat tetapi
tidak kunjung sembuh dari sakitnya, maka ini sebabnya lantaran
manusia tidak mengetahui hakikat obat yang sesuai dengan penyakitnya
atau cara pengobatannya yang kurang tepat seperti kelebihan dosis
sehingga efeknya lebih buruk, atau kurangnya dosis sehingga tidak
bermanfaat, dan bukan berarti penyakit tersebut tidak ada obatnya[21].
2. Berobat kepada dokter kafir padahal ada dokter muslim
Jika kita dihadapkan pada pilihan dokter muslim atau kafir, maka
jelas kita lebih memilih dokter muslim, karena seorang muslim dengan
muslim lainnya seperti satu bangunan yang utuh dan kokoh yang saling
tolong menolong, tetapi jika ada dokter kafir lebih berpengalaman , dan
terpercaya (tidak dikhawatirkan berkhiyanat) maka boleh bagi seorang
muslim berobat kepadanya sebagaimana bolehnya seorang muslim
bermu’amalah (transaksi jual beli dan lainnya) dengan orang kafir.[22]
3. Bolehkah berobat kepada lawan jenis?
Hukum asal berobat adalah kepada ahlinya sesama jenisnya, dan
tidak boleh kepada lawan jenisnya, karena didalamnya akan terjadi
saling melihat, menyentuh dan sebagainya,dan ini di
haramkan, hanyasaja dalam kondisi darurat/ terpaksa, maka hal ini
12

dibolehkan, Imam Bukhori membuat suatu bab dalam shahihnya tentang


seorang wanita mengobati laki- laki, lalu beliau membawakan kisah
Rubayyi’ bintu Mu’awwidh yang ikut berperang dan bertugas merawat
yang sakit (HR.Bukhori 5679), berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar,’’boleh
mengobati lawan jenis dalam kondisi terpaksa, tetapi dibatasi
kebolehannya sebatas kebutuhan saja berupa menyentuh(atau melihat
bagian- bagian yang diperlukan saja) dan semisalnya[23]
4. Haram berobat dengan yang haram, kecuali dalam kondisi darurat
Alloh berfirman:

َّ َ‫ِإلَ ْي ِه اضْط ِر ْرت ْم َما ِإ َّال َعلَيْك ْم َح َّر َم َما لَك ْم ف‬


ْ‫ص َل َوقَد‬

‘’Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang


diharamkan atasmu, kecuali apa yang terpaksa
kamu kepadanya (kondisi darurat).’’ (QS.Al-An’am[6]: 119)
Para ulama mengatakan tidak sah dikatakan kondisi darurat kecuali
terpenuhi 3 perkara[24];
1. jika dibiarkan, kondisinya semakin memburuk dan
mengantarkan kepada kebinasaan.

2. harus diyakini atau diduga kuat barang yang haram ini


menghilangkan penyakitnya.

3. tidak dijumpai obat lain setelah dicari kecuali hanya yang haram
ini.

Jika terpenuhi 3 syarat diatas, maka diizinkan sesuatu yang


haram sebagaimana ayat diatas, dan sebagi bukti Nabi
mengizinkan sahabat Zubair dan Tolhah memakai kain sutra
untuk menghilangkan sakit gatal saat berperang (padahal sutra
asalnya haram bagi laki- laki) (HR.Bukhori 2762, dan Muslim
2076)
13

5. Tidak ada darurat untuk berobat dengan khamar


Adapun khomar, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menjelaskan khomar bukanlah obat tetapi ia adalah penyakit, Thoriq bin
Suwaid bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
berobat dengan khomar, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarangnya, ia bertanya lagi dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarangnya, lalu ia berkata;

‫ي يَا‬ َّ ‫صلَّى النَّ ِبي قَا َل دَ َواء ِإ َّن َها‬


َّ ‫ّللاِ نَ ِب‬ َّ ‫سلَّ َم َعلَ ْي ِه‬
َ ‫ّللا‬ َ ‫دَاء َولَ ِكنَّ َها َال َو‬

‘’Wahai Nabinya Alloh sesungguhnya (khomer itu) obat,’’ lalu Nabi


bersabda,’’(khomer) bukan obat, tetapi dia adalah
penyakit.’’ (HR.Muslim 1984).
Maka perkataan ‘’khomer menjadi boleh jika kondisi darurat ‘’ tidak
dapat dibenarkan, karena berobat dengan khomar tidak terpenuhi syarat
darurat di dalamnya, sebab;
1. khomar tidak diyakini dengan pasti dapat mengobati penyakit
seseorang, bahkan Nabi menjelaskan khomer adalah penyakit.

2. masih dijumpai obat- obatan yang halal selain khomar yang


belum digunakan, sehingga belum dikatakan darurat[25].

F. MACAM-MACAM PENGOBATAN NABI


Sebaik- baik petunjuk adalah petunjuk Rosululloh shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau telah menunjukkan kepada umatnya berbagai
macam pengobatan dan cara- caranya,beliau tidak berbicara dengan hawa
nafsu tetapi Alloh membimbingnya dengan wahyu-Nya[26], ada beberapa
pengobatan yang beliu lakukan dan anjurkan, diantaranya;
1. Pengobatan dengan bahan- bahan yang bermanfaat,
seperti habbatussauda’ (jinten hitam), kurma ‘ajwah, madu susu
sapi, jamur/cendawan,dan selainnya.
14

2. Pengobatan dengan cara bekam(hijamah), yaitu mengeluarkan


darah kotor dari bawah kulit dengan suatu alat penghisap, dan
banyak hadits- hadits yang menerangkan keutamaan bekam
dibanding dengan pengobatan lainnya, seperti sabdanya;
‫ْال ِح َجا َمة ِب ِه تَدَ َاويْت ْم َما أ َ ْمث َ َل ِإ َّن‬
Sesungguhnya yang paling bagus dari cara berobat kalian adalah ’
‘ bekam(HR.Bukhori 5263)

3. Pengobatan dengan ruqyah syar’iyah , yaitu dengan membaca


ayat- ayat al-Qur’an, atau berdo’a dengan doa yang diajarkan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk mengharap kesembuhan
dari Alloh semata, atau menjaga diri dari sakit fisik dan jiwa.
Sungguh Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah diruqyah,
meruqyah dirinya sendiri, dan meruqyah orang lain, dan diantaranya
adalah hadits berikut;
‫شةَ عن‬ َ ِ‫ي َعائ‬ َ ‫ض‬ َّ ‫ّللاِ َرسو َل أ َ َّن َع ْن َها‬
ِ ‫ّللا َر‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫سلَّ َم َعلَ ْي ِه‬
َ ‫ّللا‬ َ َ‫َعلَى نَف‬
َ ‫ث ا ْشتَكَى إِذَا َكانَ َو‬
ِ ‫س َح نَ ْف ِس ِه ِب ْالمعَ ِوذَا‬
‫ت‬ َ ‫ي الَّذِي َو َجعَه ا ْشتَكَى فَلَ َّما ِبيَ ِد ِه َع ْنه َو َم‬ َ ‫َعلَى أَ ْن ِفث‬
َ ِ‫ط ِف ْقت فِي ِه توف‬
ِ ‫سح َي ْن ِفث َكانَ الَّتِي ِب ْالم َع ِوذَا‬
‫ت نَ ْف ِس ِه‬ َ ‫النَّ ِبي ِ ِبيَ ِد َوأَ ْم‬
‘‘Apabila Rosululloh sedang sakit, beliau meniupkan
bacaan mu’awwidzat* pada dirinya sendiri dan beliau
mengusapkannya dengan tangannya, dan tatkala sakit yang
berakibat kematian, maka akulah yang meniupkan bacaan ta’awudz
pada dirinya sebagaimana dia dahulu melakukan, dan aku
mengusapkannya dengan tangannya.’’ (HR.Bukhori 4085)
15

BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Para fuqoha’ (ahli fiqih) bersepakat bahwa berobat hukum
asalnya dibolehkan, kemudian mereka berbeda pendapat (mengenai hukum
berobat, ) menjadi beberapa pendapat yang masyhur:
Pendapat pertama mengatakan bahwa berobat hukumnya wajib, dengan
alasan adanya perintah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
berobat dan asal hukum perintah adalah wajib, ini adalah salah satu
pendapat madzhab Malikiyah, Madzhab Syafi’iyah, dan madzhab
Hanabilah. Pendapat kedua mengatakan sunnah/ mustahab,sebab perintah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk berobat dan dibawa kepada hukum
sunnah karena ada hadits yang lain Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan bersabar, dan ini adalah madzhab Syafi’iyah.
Pendapat ketiga mengatakan mubah/ boleh secara mutlak, karena terdapat
keterangan dalil- dalil yang sebagiannya menunjukkan perintah dan
sebagian lagi boleh memilih, (ini adalah madzhab Hanafiyah dan salah satu
pendapat madzhab Malikiyah). Pendapat kelima mengatakan makruh,
alasannya para sahabat bersabar dengan sakitnya, Imam
Qurtubi rahimahullahmengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu
Mas’ud, Abu Darda radhiyallahu ‘anhum, dan sebagian para Tabi’in.
Pendapat ke enam mengatakan lebih baik ditinggalkan bagi yang kuat
tawakkalnyadan lebih baik berobat bagi yang lemah tawakkalnya, perincian
ini dari kalangan madzhab Syafi’iyah

B. SARAN
16

DAFTAR PUSTAKA

Ali bin,sulaeman.2015. Buku fiqih pengobatan islam. Jakarta : Thibbia

Hajj ahmad, yusuf al. 2016. Buku Panduan pengobatan islam. Jakarta :
Aqwan

Fuad al hulwani, thalat bin. 2016. Buku Pengobatan cara nabi. Jakarta :
Darul Haq

You might also like