You are on page 1of 3

Masalah Freeport Pengaruhi Pendapatan Daerah

PT Freeport Indonesia. Foto/Ilustrasi/SINDOnews

JAKARTA - Proses negosiasi Pemerintah Pusat dengan PT Freeport Indonesia


(PTFI) yang alot diyakini semakin berdampak besar terhadap pendapatan asli daerah dan
keberlangsungan kehidupan masyarakat.
"Tidak dapat dipungkiri, lebih dari empat dekade Freeport telah menjadi mesin
penggerak pertumbuhan ekonomi Mimika," ujar Septinus Soumilena, Kepala Dinas Tenaga
Kerja (Kadisnaker) Kabupaten Mimika dalam kererangan tertulisnya, Rabu (15/3/2017).
Menurut data hasil kajian Lembaga Pengembangan Ekonomi Masyarakat (LPEM) UI
tahun 2013, kehadiran Freeport telah berkontribusi 91% terhadap produk domestik regional
bruto (PDRB) Mimika, 38% kepada PDRB Papua, 1,7% dari total APBN, 0,8% dari seluruh
pendapatan rumah tangga nasional dan 44% dari pemasukan rumah tangga di Provinsi Papua.
Sejak kurun 1992–2016, Freeport telah menginvestasikan lebih dari USD1,46 miliar
untuk pembangunan infrastruktur dan pengembangan masyarakat Mimika.
Selain menyerap lebih dari 33.000 tenaga kerja, PTFI juga menciptakan lebih dari
238.000 kesempatan kerja sebagai dampak berganda (multiplier effects) dari kehadirannya.
"Kita tidak dapat pungkiri Freeport telah berkontribusi besar dalam penciptaan
lapangan kerja di Papua," ujar Septinus.
Septinus memberi contoh satu ayah yang bekerja di Freeport kemudian tinggal di
Timika dengan membawa keluarganya. Kebutuhan dasar, baik primer, sekunder, tertier dari
keluarga tersebut tentunya akan diperoleh dari para penyedia barang dan jasa di Timika.
Terganggunya operasi Freeport sangat dirasakan oleh rakyat Mimika. "Ketika
perusahaan merumahkan dan mem-PHK-kan karyawannya, otomatis hal ini mempengaruhi
dinamika sosial dan ekonomi masyarakat," jelasnya.
Virgo Henry Solossa, tokoh masyarakat setempat mengatakan, total pekerja Freeport
adalah 33.452 (pekerja langsung dan kontraktor) dimana karyawan langsung adalah 12.184
orang.
Dari total pekerja langsung dan kontrak yang berjumlah 33.452, pekerja Indonesia asli
Papua mencapai 8.413 orang atau 25,15%, dan pekerja Indonesia non Papua sejumlah 24.195
orang atau 72,33%. Sedangkan tenaga kerja asing berjumlah 844 orang atau 2,5%.
Adapun karyawan langsung PT Freeport Indonesia yang berjumlah 12.184, karyawan
Indonesia asli Papua mencapai 4.357 atau 35,76% dan karyawan Indonesia non Papua
sejumlah 7.652 atau 62,80%. Sedangkan karyawan asing hanya sejumlah 175 orang atau
1,44%.

Dikutip dari : ​www.sindonews.com yang dimuat pada hari Rabu, 15 Maret 2017 − 19:18
WIB.​

KOMENTAR :
Menurut Lane dan Ersson (2002) mendefinisikan Ekonomi Politik sebagai bidang
studi yang khusus mempelajari interaksi anatar plitik dan eknomi. Dalam perkembangannya
ekonomi politik modern mengandung dua hal yatu eksplanatori dan normatif. Berdasarkan
teori diatas maka dapat dikatakan bahwa peristiwa diatas termasuk kedalam contoh peristiwa
ekonomi politik.
Industri pertambangan di Indonesia berada di tengah-tengah drama politik yang
berasaskan kepentingan ekonomi. Perusahaan asing seperti perusahaan tabang yang
idsebutkan dalam berita diatas mendominasi pertambangan Indonesia, sehingga
menimbulkan kekhawatiran para nasionalis mengenai siapa yang sebenarnya mengontrol
sumber daya alam negara ini, dan apa yang sedang dipertaruhkan oleh pemerintah dari sudut
pandang ekonomi.
Selain itu, produksi dan pajak atas pertambangan berkontribusi besar dalam pendapatan
negara.
Pola hubungan timbal balik dalam segi ekonomi politik yang berlangsung antara
perusahaan ini dan Indonesia dijelaskan lebih lanjut oleh Global Witness (2005, p.9). Pada
tahun 1989, perusahaan ini mulai menggali endapan tembaga dan emas Grasberg yang
melimpah, dan menjadikannya sebuah perusahaan penghasil logam yang biasa-biasa saja
menjadi salah satu operator tambang yang menguntungkan dan terbesar di dunia. Ekspansi
perusahaan menciptakan pertumbuhan ekonomi disekitar tambang dan menjadikan
perusahaan tambang ini Indonesia sebagai perusahaan pembayar pajak terbesar di Indonesia.
Ia juga menarik minat puluhan ribu pendatang yang ingin memperbaiki kehidupan ekonomi
mereka, dan tinggal di sekitar kota Timika. Rejim Soeharto hanya melakukan sedikit usaha
untuk memberikan pelayanan publik ke daerah, walaupun populasi berkembang, sehingga
akhirnya membiayai pembangunan jalan, perumahan, fasilitas kesehatan dan sarana publik
lain termasuk sekolah, pendidikan dan pelatihan bisnis bagi penduduk setempat dan program
pemberantasan malaria.

You might also like