Professional Documents
Culture Documents
11 M Nafiah Ibnor, Nilai-Nilai Demokrasi dan HAM dalam Sistem Pendidikan Indonesia, Ittihad Jurnal Koperatis
Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No. 11 April 2009, pp 2.
Hal ini tentunya memerlukan sejumlah grand desain, terkait tawaran konsepsi dalam
membangun rancangan sistem pendidikan yang dilakukan agar mengedepankan Hak Asasi Manusia
(HAM) sebagai sebuah jawaban dan bentuk kebutuhan yang mendasar (Need Assesment ). Mengapa
bisa demikian? Hal ini tentunya di karenakan selama ini terdapat masalah penting, serta perlu di
garis bawahi dan menjadi perhatian bersama terkait pola kehidupan berbangsa dan bernegaradenga
n nilai-nilai kemanusiaan. Memang benar, masalah tersebut adalah dikarenakan kurangnya
kesadaran akan memahami hakikat manusia secara utuh, bukan disebabkan oleh system yang salah.
Karena seperti dikemukakan oleh Shigemasa Kimikazu dalam Second International Conference
Southeast Asia Human Right and Network (SEAHRN) di Jakarta;
Untuk itu, perancangan system pendidikan yang berlandasan pada nilai-nilai kemanusiaan,
menjadibagian sangatpentinguntuk dilakukan,guna meningkatkan kualits kehidupan manusia sebagai
makhluk social danmakhluk berpendidikan. Sebab, berbicara terkait sejumlah isu mengenai Hak
Asasi Manusia (HAM), akan sangat erat kaitannya dengan perkembangan kehidupan manusia secara
global. Agar dapat dijalankan sebuah konsepsi, perlu dirancang sistem pendidikan indonesia yang
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) pendidikan indonesia, pemikiran dari James A. BRENE
dan Michael W. Apple dapat menjadi rujukan yang cukup tepat, untuk indonesia sebab sebagaimana
pernyataan bahwa:
Agar dapat melaksanakan sebuah sistem pendidikan yang berbasis pada hak asasi manusia
maka diperlukan tenaga pendidik yang profesional. Sebab dalam proses
penyyelenggaraanpendidikan akan berhubungan erat kaitannya dengan pendidik, lembaga
2 Amitav Acharya, “southeast Asia’a Democratic Moment”Asian Survey, Vol XXXIX No. 3, May/June 1999, pp
418 - 32
3 Shigemasa Kimikasu, Longue Duree of Confidence Building in Southeast Asia: ASEAN ,Civil Society and Human
Rights, Paper Secound International Conference Southest Asia Human Right And Network (SEAHRN),Jakarta,p1
4 Apple, Michael W., and James A. Beane, The Case of Democratic School, ASCD, Alexandria, Virginia, 1995, p 9.
pendidikan, kebijakan pemerintah dan dukungan masyaraka. Bahkan lebih tegas nya lagi kebutuhan
terhadap kualitas pendidik menjadi hal yang krusial untuk bisa menjalankan pendidikan berbasis Hak
Asasi Manusia, sebagaimana diungkapkan oleh Zein sebagai berikut:
Pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada
jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengakuan kedudukan Guru sebagai tenaga profesional adalah terkait mengenai pekerjaan
atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan
yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau
norma tertentuserta memerlukan pendidikan profesi. Hal ini dilakukan pemerintah agar para
guru diberbagai daerah ditanah ar dapat bekerja secara profesional dilakukan dengan cara
mengumpulkan berbagai berkas secara prufesional dilakukan pemerintah agar para guru di
berbagai daerah d tanah ar dapat bekerja secara profesional dilakukan dengan cara
mengumpulkan berbagai berkas portopolio yang terdiri bukti-bukti prestasi, hasil kinerja dan
berbagai hal yang terkait dengan kiprah guru tersebut. 5
Hal ini sebagimana dgambarkan oleh Budi seorang peneliti dari pusat penelitian dan
pengembangan hak-hak ekonomi social dan budaya. 6 Mengemukakan bahwa Guru Profesional
dibentuk adalah untuk, sebagai berikut:
1. Menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2. Meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan,
3. Meningkatkan martabat guru,
4. Meningkatkan profesionalitasi kebijakan publik yang dikemukakan oleh George C. Edward III
(a) komunikasi, (b) sumber daya, (c) disposisi, (d) struktur birokrasi. 7
Jika dirumuskan lagi terhadap pendidikan hak asasi manusia yang lebih mengarah pada
persepsi penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan amat dari undang-undang sistem
pendidikan nasional no. 20 tahun 2003, maka akan didapatkan bahwa sebenarnya proses pendidikan
yang bermutu. Adapun untuk konsepsi pendidikan bermutu, penulis mengadopsi pada konsepsi
ebagai berikut:
Pendidikan bermutu adalah investasi bukan hanya bagi individutertapi juga bagi masyarakat.
Pendidikan bermutu merupakan investasi masa depan bangsa dalam membentuk
warganegara seutuhnya yang terdidik, cerdas, dan merupakan aset yang menetukan eksitensi
serta kemajuan bangsa dalam berbagai dimensi kehidupan. Sehingga disimpulkan bahwa
kualitas pendidikan baik disekolah umu maupun di madrasah dapat dicapai melalu adanya
program sertifikasi termasuk perbedaan yang berarti antar hasil belajar yang dicapai sekolah
umum maupun sekolah unggulan.8
Jika kualitas pendidikan telah bermutu mak peran pemerintah untuk menjalankan
pendidikan berbass karakter dapat dilaksanakan. Terutama yang berkaitan dengan program
5 Zein, HM, 2010, Kiat Sukses Mengikuti Sertifikasi Guru, (Malang:Cakrawala Media Publisher), pp 27.
6 Budi, Evaluasi Pelaksanan Sertifikasi Guru Sekolah Umum dan Guru Sekolah Madrasah, Jurnal Hak
Asasi Manusia, Juli 2012,pp 17-24
7 Ibid, pp 21.
8 Ibid, pp 28.
pendidikan hak asasi manusia sebagai bagianyang berkaitan dengan program pendidikan hak asasi
manusia sebagai bagian yang integral dalam merancang system pendikan humanis, demokratis, dan
religious. Dengan demikian, maka perancangan system pendidikan berbasis hak asasi manusia sangat
diperlukan guna lebih meningkatkan dan menjaga harkat martabat manusia itu sendiri yang
dilaksanakan melalui lingkungan buatan atau lembaga pendidikan sebagai pelaku program untuk
mengedepankan nilai-nilai hak asasi manusia sebagi ruh dalam sistem pendidikan yang
dilaksanakannya.
9 HelenTierney (ed), Woman’s Studies Encyclopedia, (New York:Peter Bedrick Book, 1991), p 153
10 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Tranformas Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, halaman 71-72
11 Lihat dalam Badriyah Fayumi, dkk, Keadilan dan Kesetaraan Gender (Perspektif Islam), (Jakarta:Departemen
Agama RI, 2001), Halaman xii.
12 Ibid. Halaman xiii
13 Lihat dalam http://www,asmakmalaikat.com/go/artikel/gender/gender2.htm
Gerakan penyetaraan gender sudah ada sejak zaman islam muncul karena pada zaman pra-
islam terjadi pelecehan terhadap wanita. Bahkan, ada suatu masa yang secara sadis berupaya un 14tuk
melenyapkan setiap bayi yang dilahirkan dengan jenis kelamin perempuan. Perbedaan Gender
sesungguhnya merupakan hal yang biasa atau suatu kewajaran sepanjang gender sesungguhnya
merupakan hal yang biasa atau suatu kewajaran sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan gender.
Namun, kontruksi sosial suatu masyarakat tidak selamanya sesuai dengan nilai rasa salah satu
pemangku gender. Isu-isu gender kemudian memunculkan berbagai pemaikiran tentang adanya bias
gender. Di ndonesia, wacana bias gender tersebut bahkan berguling menjadi konsumsi publik dan
menyangkut upaya perubahan-perubahan sosial politik dan budaya masyarat.
14