You are on page 1of 6

KORELASI ANTARA GLASGOW COMA SCALE DAN

COMPUTED TOMOGRAPHY-SCAN OTAK


PADA PASIEN TRAUMA KEPALA
Abstrak
Latar Belakang:
Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara hasil CT (computed tomography)
scan dan skor Glasgow Coma Scale (GCS) dengan tujuan untuk memperkenalkan sistem
penilaian GCS sebagai alternatif CT scan yang dapat diterima secara klinis dalam
penanganan cedera otak pada pasien trauma kepala.

Bahan dan metode:


Penelitian ini dilakukan pada pasien rawat inap dengan trauma kepala. Tingkat keparahan
cedera kepala dinilai saat masuk dengan skor GCS dan dikategorikan sebagai cedera kepala
ringan, sedang, atau berat.

Hasil:
Dari semua subjek penelitian, 80,5% memiliki GCS 13-15 di antara mereka, 45% memiliki
GCS 15. Selanjutnya, 10,5% memiliki GCS berkisar 9-12 dan 9% memiliki GCS <8. Dari
semua subjek, 54,5% memiliki temuan CT yang abnormal, 77,1% dikategorikan sebagai
cedera kepala ringan, 11,0% memiliki cedera kepala sedang, dan 11,9% mengalami cedera
kepala berat. Selanjutnya, dari mereka dengan GCS 15, 41,0% memiliki CT scan abnormal.
Dari semua pasien dengan temuan CT yang tidak normal, 33,0% menjalani operasi dimana
61,1% dikategorikan pada kelompok cedera ringan, 13,9% dikategorikan dalam kelompok
cedera kepala sedang, dan 22,2% dikategorikan pada kelompok cedera kepala berat. Dari
mereka yang memiliki GCS sama dengan 15, hanya 27,0% yang menjalani operasi.

Kesimpulan:
Penggunaan skor GCS untuk menilai tingkat cedera mungkin tidak cukup dan sehingga perlu
dipertimbangkan temuan CT sebagai standar baku, kombinasi dari sistem penilaian ini dan
sistem penilaian lain yang berlaku mungkin lebih sesuai untuk stratifikasi tingkat cedera otak.

Kata kunci: Computed tomography-scan otak, Glasgow Coma Scale, trauma kepala
Pendahuluan
Trauma kepala menyumbang proporsi kunjungan gawat darurat yang tinggi dan
mencakup beban kerja primer dan layanan klinis yang tinggi. Menurut laporan yang
diterbitkan, trauma kepala merupakan penyebab utama kematian pada orang dewasa muda,
serta cacat fisik dan psikologis di lebih dari separuh individu yang terkena cedera kepala.
[1,2,3,4] Pengelolaan pasien dengan trauma kepala secara klinis didasarkan pada Glasgow
Coma Scale / GCS yang dapat menghadirkan kerangka kerja komprehensif untuk menilai tiga
aspek klinis respon verbal, visual, dan motorik sebagai tanda kerusakan saraf dan stratifikasi
pada cedera kepala. [5,6] Dalam hal ini, tingkat cedera kepala dapat dinilai sebagai ringan
(skor GCS 13-15), sedang (skor GCS 9-12), dan berat (skor GCS sama dengan atau <8).
Menurut penelitian observasional, dari semua kehadiran terhadap setting klinis karena trauma
kepala, 93% orang dewasa dan 96% anak-anak menderita cedera kepala ringan, 6% orang
dewasa dan 5% anak-anak menderita cedera kepala sedang dan hanya 1% dari orang dewasa
dan 0,5% anak-anak menderita cedera kepala berat berdasarkan stratifikasi GCS[7,8,9,10]
Selain manajemen klinis pasien trauma kepala, lesi intrakranial pada pasien ini dapat
dideteksi dengan metode pencitraan bahkan sebelum muncul manifestasi klinis. Dalam
konteks ini, penelitian ini dilakukan untuk deteksi dini lesi neurologis sebagai modalitas
dalam menghasilkan pencapaian klinis yang sesuai dan juga mencegah penanganan
intervensi yang tidak perlu. [11,12] Dalam hal ini, titik waktu optimal untuk melakukan
perhitungan computed tomografi (CT ) scaning dilakukan dalam 8 jam trauma terutama
pada orang tua, terdapat bukti fraktur tengkorak, kejang, amnesia retrograde, atau luka
mekanis yang berbahaya. [13,14,15]
Meskipun CT scan memiliki keunggulan pada pasien trauma kepala terutama dalam
mendeteksi lesi otak pada tahap awal, penggunaan prosedur ini mungkin tidak tersedia dalam
beberapa situasi dan juga dapat dikontraindikasikan pada sebagian besar kondisi. Selanjutnya,
walaupun mengikuti perkembangan lesi oleh CT scan diperlukan sebelum dan juga setelah
intervensi pengobatan pada pasien, namun menerapkan pilihan alternatif klinis yang tepat
dapat membantu dokter untuk tidak melakukan pemeriksaan CT scan yang tidak perlu.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara temuan CT Scan dan skor GCS
dengan tujuan untuk memperkenalkan sistem penilaian GCS sebagai alternatif CT scan yang
dapat diterima secara klinis dalam penanganan cedera otak pada pasien trauma kepala.

Bahan dan metode


Penelitian retrospektif ini dilakukan terhadap 200 pasien rawat inap dengan keluhan
trauma kepala dan dirawat di bangsal bedah saraf di Rumah Sakit Imam Hossein di Teheran,
Iran antara tahun 2006 dan 2008. Cedera kepala didefinisikan sebagai riwayat pukulan ke
kepala atau kehadiran dari luka di kulit kepala atau mereka yang memiliki bukti kesadaran
yang berubah setelah cedera yang relevan. [16] Semua informasi pasien dikumpulkan secara
retrospektif dengan meninjau arsip yang direkam di rumah sakit. Pada semua subjek, tingkat
kesadaran dinilai saat masuk dengan GCS dan tingkat keparahannya dikategorikan sebagai
cedera kepala ringan jika skor GCS ditetapkan sebagai 13-15, cedera kepala sedang jika skor
GCS ditetapkan sebagai 9-12 dan cedera kepala berat jika GCS skor ditetapkan sebagai <9.
Juga, dokumen pemindaian CT dan laporan yang tercatat dinilai oleh ahli radiologi secara
blind tanpa mengetahui hasil skor GCS pasien, dan jenis lesi juga ditentukan. Untuk analisis
statistik, mean ± standard deviation ditentukan untuk menggambarkan variabel kontinyu dan
frekuensi (persentase) digunakan untuk menggambarkan variabel kategori. Data dianalisis
menggunakan IBM Corp. Dirilis 2011. IBM SPSS Statistics for Windows, Version 20.0.
(Armonk, NY: IBM Corp).

Hasil
Secara total, didapatkan 200 pasien dengan cedera kepala (107 pria dan 17 wanita)
dinilai secara retrospektif. Di antara mereka, 76 adalah anak-anak di bawah 12 tahun
sementara 22 berusia 13-18 tahun, 39 berusia 19-30 tahun, dan berusia 63 tahun lebih dari 30
tahun. Mengenai jenis trauma, frekuensi trauma kepala tertinggi terjadi pada kelompok yang
lebih muda dari 12 tahun (38,0%), diikuti oleh kelompok usia lebih tua dari 30 tahun (31,5%)
dan 19-30 tahun (19,5%). Penyebab paling umum cedera kepala pada pria adalah kecelakaan
(69/107), diikuti oleh terjatuh (21/107), hantaman benda ke kepala (11/107). Juga, penyebab
paling umum cedera kepala pada wanita adalah kecelakaan (8/17), jatuh (17/5) dan hantaman
benda ke kepala (3/17). Juga, terjatuh atuh (52/76) adalah penyebab paling umum cedera
pada anak-anak di ikuti oleh kecelakaan (20/76) dan hantaman benda ke kepala (3/17).
Dengan demikian, ada perbedaan dalam pendistribusian penyebab, menurut umur dan jenis
kelamin.
Mengenai kondisi klinis, dari 200 subjek penelitian, 161 (80,5%) memiliki GCS 13-
15 di antara mereka, 45% memiliki GCS 15. Juga, 21 (10,5%) memiliki GCS berkisar 9-12
dan 18 (9%) memiliki GCS <8. Dari semua subjek, 109 (54,5%) memiliki temuan CT yang
tidak normal, 77,1% dikategorikan sebagai cedera kepala ringan (GCS 13-15), 11,0%
memiliki cedera kepala sedang (GCS 9-12), dan 11,9% memiliki cedera kepala yang parah
(GCS <9). Juga, dari mereka dengan GCS 15, terdapat 41,0% memiliki CT scan abnormal.
Dari 109 pasien dengan temuan CT yang tidak normal, 36 (33,0%) menjalani operasi yang 22
(61,1%) dikategorikan pada kelompok cedera ringan, 5 (13,9%) dikategorikan dalam
kelompok cedera kepala sedang, dan 8 (22,2%) dikategorikan dalam cedera kepala berat juga,
dari mereka dengan GCS sebesar 15, 10 (27,0%) yang menjalani operasi
Mengenai jenis lesi pada CT scan, jenis lesi yang paling umum adalah
epiduralhematoma (38,5%), diikuti oleh contusio serebri (29,4%), dan pneumocephaly
(17,4%) [Tabel 1]. Seperti ditunjukkan pada Tabel 2, lesi otak tipe A terdeteksi pada 47,9%
pasien dengan cedera otak ringan, 42,9% pasien dengan cedera otak sedang, dan 27,7%
pasien dengan cedera otak berat. Dalam hal ini, lesi tipe B terdeteksi pada 5,5% pasien
dengan cedera otak ringan, 4,8% pasien dengan cedera otak sedang, dan tidak ada pasien
dengan cedera otak parah. Prevalensi keseluruhan fraktur tengkorak adalah 30,0% dimana
fraktur linier pada 76,7%, fraktur depresi pada 23,3%, dan fraktur gabungan pada 3,3%. Di
antara anak-anak yang terkena dampak, 32,9% mengalami fraktur tengkorak, di antara
mereka, 76,0% memiliki fraktur linier, dan lainnya mengalami fraktur depress.
Tabel 1Berbagai jenis lesi otak pada pasien dengan cedera kepala

Dalam hal ini di antara pasien dewasa, 28,2% memiliki fraktur tengkorak dimana
71,5% fraktur linier, depress 22,8% dan gabungan pada 5,7%. Dengan menggunakan uji
untuk kesepakatan antara temuan CT dan skor keparahan GCS, korelasi yang lemah
terungkap antara dua modalitas untuk menentukan lesi otak (nilai Somers'd = -0,097 ± 0,065,
P = 0,144).
Tabel 2 Jenis lesi otak sesuai tingkat keparahan cedera pada skor GCS

Diskusi
Hubungan antara tingkat keparahan lesi otak yang dinilai oleh tingkat kesadaran pada
sistem penilaian GCS dan ada tidaknya lesi otak pada CT scan sekarang dianggap sebagai
subjek baru untuk meminimalkan penggunaan CT yang tidak perlu pada pasien dengan
trauma kepala. Subjek ini bisa sangat penting pada anak-anak, dan juga pada mereka yang
memiliki kontraindikasi CT scan parsial atau komplit. Penelitian kami mencoba menentukan
hubungan antara temuan CT dan kategorisasi GCS dalam menguji kemungkinan
memprediksi lesi otak dengan menentukan skor GCS saat masuk. Dalam pengamatan kami
dan di antara mereka yang memiliki temuan CT positif mengenai kelainan otak, 77,1 pasien
memiliki cedera otak ringan, 11,0% memiliki cedera otak sedang, dan 11,9% memiliki cedera
otak yang parah. Di sisi lain, sejumlah besar pasien dengan temuan CT yang abnormal
mungkin hanya mengalami luka ringan yang menyebabkan gangguan kesadaran ringan
sementara sekitar seperempat pasien dengan temuan CT mungkin memiliki gangguan
kesadaran sedang sampai berat. Kenyataannya, temuan CT mungkin tidak menjadi indikator
tingkat gangguan kesadaran yang dinilai dengan skor GCS.
Beberapa penelitian terbaru menilai korelasi antara skor GCS dan CT scan untuk
menilai lesi otak. Dalam sebuah studi oleh Lee et al., [16] perubahan dalam CT scan
dibandingkan dengan GCS pada hari pemindaian menunjukkan korelasi positif antara kedua
modalitas tersebut. Dalam hal ini, pada pasien dengan GCS yang tidak berubah atau
membaik, 73,1% mengalami perbaikan atau penampilan CT yang sama, sedangkan pada
mereka yang memiliki GCS lebih buruk, CT lebih buruk pada 77,9%. Akhirnya, penulis
menyimpulkan bahwa karena adanya korelasi yang baik antara tampilan CT scan dan status
klinis, penggunaan follow up CT scan direkomendasikan hanya pada pasien dengan
kemunduran klinis yang tidak dapat dijelaskan oleh perubahan tekanan intrakranial saja.
Farshchian dkk [17] menunjukkan bahwa hanya tiga lesi hematoma ekstra-aksial, perdarahan
subarachnoid, dan perdarahan kontusio yang dapat dikaitkan dengan skor GCS rendah.
Dalam sebuah studi oleh Joseph et al., [18] skor GCS ringan (GCS 13-15) pada pasien
dengan cedera intrakranial tidak menjadi penghalang dilakukannya CT kepala berulang dan
kebutuhan untuk intervensi bedah saraf. Melo dkk. [19] Juga menunjukkan bahwa pasien
dengan cedera otak ringan, bedah saraf dilakukan pada 6,7% dan 9,2% memiliki kelainan
neurologis. Faktanya, cedera otak ringan berdasarkan skor GCS dapat dikaitkan dengan
kelainan signifikan pada CT scan yang memerlukan prosedur bedah saraf dan rawatanICU.
Selain itu, Chieregato dkk. [20] menunjukkan bahwa sistem penilaian GCS tidak cukup untuk
menilai cedera otak, karena tu harus dikombinasikan dengan sistem lain seperti klasifikasi
cedera otak traumatis.
Kesimpulan
karena ketidaksepakatan antara tingkat keparahan cedera otak yang dinilai dengan
skor GCS dan temuan kelainan otak pada CT scan, penggunaan skor GCS untuk menilai
tingkat cedera mungkin tidak cukup serta harus dilakukan pertimbangan penggunaan CT scan
sebagai standar emas, kombinasi dari sistem penilaian ini dan sistem penilaian lainnya yang
berlaku seperti klasifikasi cedera otak traumatis dan juga mempertimbangkan tanda klinis
seperti fraktur depresi mungkin lebih sesuai untuk stratifikasi tingkat cedera otak.

You might also like