You are on page 1of 41

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh


bakteri yang bersifat tahan asam (basil tahan asam), yaitu Mycobacterium
tuberculosis. Kuman TB biasanya terutama dan pertama kali menyerang parenkim
paru (TB paru) tapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya (TB ekstra paru)
seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru lainnya.
Jika kita berbicara mengenai penyakit TBC, banyak orang yang
berpendidikan atau tinggal di perkotaan menganggapnya sebagai penyakit infeksi
dari zaman dulu yang sekarang sudah dapat disembuhkan. Namun faktanya tidak
semudah itu. Bakteri ini sangat bisa bertahan hidup bahkan setelah dipaparkan
dengan banyak jenis antibiotik. TBC merupakan satu dari 10 penyebab kematian
utama pada kategori penyakit infeksi tunggal bahkan mengalahkan infeksi oleh
HIV/AIDS. Hal ini dibuktikan dengan jumlah kematian yang disebabkan oleh
kuman ini tahun lalu saja berjumlah 1.300.000 belum lagi ditambahkan jumlah
kematian akibat infeksi TB pada orang-orang yang HIV positif (angka kematian
bisa mencapai lebih dari 1.600.000 hanya dalam tahun 2017 saja). Jadi bagaimana
mungkin kita masih bisa menganggapnya sebagai penyakit infeksi yang sudah
ketinggalan zaman?
Menurut data dari WHO (2018), pada tahun 2017 ada lebih dari 10 juta
kasus baru TB yang 8% nya disumbangkan oleh negara Indonesia. Hal ini
memperlihatkan seberapa cepatnya penyebaran dari penyakit ini dan meski
dengan akses fasilitas kesehatan yang memadai, TB masih dapat menggeliat
masuk menginfeksi orang-orang dari seluruh kalangan. Salah satu penyebab
masih begitu segarnya infeksi TB adalah tingginya angka resistensi dari bakteri
etiologinya. Dari 10 juta kasus baru TB ada 558.000 kasus baru TB yang
merupakan kasus TB resisten rifampisin (merupakan antibiotik paling efektif
terhadap Mycobacterium tuberculosis) bukan hanya itu saja, fakta mengerikan lain
adalah 82% dari lebih dari setengah juga kasus resisten rifampisin, juga resisten
terhadap beberapa obat lain yang disebut dengan MDR-TB. Tingginya angka
resistensi ini disebabkan karena rendahnya pendidikan golongan yang biasanya

1
menjadi inti penularan TB (golongan rakyat menengah ke bawah) terutama
pendidikan mengenai kesehatan (penghentian cara penularan dan pemakaian obat)
selain itu juga pemahaman yang tidak komprehensif dari pemberi layanan
kesehatan terhadap penggunaan obat dan pengedukasian pada pasien.
Pneumothorax spontan adalah munculnya udara secara tiba-tiba pada
kavitas pleura tanpa ada penyebab eksternal yang jelas. Sebagian besar kasus
biasanya merupakan kasus primer yang biasanya terjadi tanpa ada hubungannya
dengan penyakit paru atau penyakit lainnya. Biasanya pneumothorax spontan
primer terjadi karena ruptur dari bleb yang berada sub-pleura. Pneumothorax
spontan sekunder biasanya terjadi karena adanya bukti klinis dan atau radiologis
adanya penyakit paru (yang paling umum adalah PPOK dan TB paru).
Kemungkinan terjadinya pneumothorax spontan sekunder pada kasus TB paru
sebenarnya hanya 0.6-1.4% memang kelihatannya sedikit namun jika kita
mempertimbangkan jumlah kasus baru TB yang mencapai 10 juta hanya pada
tahun 2017 dan fakta bahwa penyakit ini berjalan kronis, kemungkinan seorang
pelayan kesehatan menemukan pneumothorax spontan sekunder akibat TB paru
cukup sering. Oleh karena itu, sangat penting bagi seorang calon dokter untuk
memahami infeksi M. Tb beserta seluruh komplikasinya.

BAB II

2
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
Nama : Tn. R B Z
Usia : 53 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Palembang
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Supir gudang
Pendidikan terakhir : SMP
MRS : 30 Oktober 2018
Nomor rekam medik : RD 18004777

2.2 Anamnesis
Autoanamnesis (tanggal 30 Oktober 2018)
Keluhan utama:
Sesak bertambah berat sejak 1 minggu yang lalu

Keluhan tambahan:
 Batuk berdahak
 Nafsu makan berkurang
 Berat badan berkurang
 Nyeri dada

Riwayat perjalanan penyakit:


Kira-kira 4 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh batuk
yang berdahak. Dahak berwarna putih seperti air liur kental. Batuk tidak
dipengaruhi emosi atau cuaca, namun pasien mengaku batuk biasanya lebih
berat pada malam hari. Keluhan ini tidak disertai dengan penurunan nafsu
makan dan penurunan berat badan. Namun menurut pasien sering terjadi
keringat pada malam hari, pasien sering merasa panas terutama pada dada
saat malam hari.
Hingga 3 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mulai mengeluh
timbulnya rasa sesak. Rasa sesak tidak seperti tertindih, hanya seperti
“mengas” saja. Sesak timbul ketika pasien sedang mengangkat barang dan
akan hilang setelah pasien beristirahat sebentar. Sesak tidak dipengaruhi
emosi dan cuaca. Pada saat tidur pasien juga tidak semakin sesak bila tidur
tanpa bantal, namun lebih nyaman bila menghadap kiri. Pasien tidak pernah

3
terbangun pada malam hari karena sesak. Pasien juga mengaku sebelumnya
belum pernah sesak.
Satu minggu sebelum masuk rumah sakit, saat bekerja, pasien
mengeluh sesak bertambah berat dan sudah muncul ketika dia berjalan
(mencari barang di sekitar gudang) atau melakukan aktivitas seperti mandi.
Sesak juga mengganggu makan sehingga pasien menjadi kurang nafsu. Sesak
masih menghilang bila pasien istirahat, namun menurut pasien sesak menjadi
semakin sering sehingga mengganggu aktivitas. Pasien langsung pergi ke RS
Bunda untuk meminta rontgen dan langsung di rujuk ke IGD RSMH.

Riwayat penyakit dahulu:


Riwayat minum obat yang membuat kencing menjadi merah (-).
Riwayat darah tinggi disangkal.
Riwayat sakit gula disangkal.
Riwayat sakit paru disangkal.
Riwayat sakit jantung disangkal.
Riwayat penyakit tumor disangkal.
Riwayat pernah terjatuh atau dada/punggung tertindih atau terhantam
disangkal.

Riwayat penyakit dalam keluarga dan lingkungan:


Riwayat penyakit kencing manis disangkal.
Riwayat darah tinggi disangkal.
Riwayat keluarga yang pernah dikatakan sakit paru disangkal.
Riwayat keluarga minum obat yang membuat kencing jadi merah disangkal.
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.
Riwayat sakit jantung disangkal.
Riwayat sakit tumor disangkal.
Riwayat kontak dengan orang yang dikatakan dokter sakit paru dan minum
obat lama (+)  teman kerja pasien.

Riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, dan kebiasaan:

4
Pasien adalah supir Gudang spare part yang mengantar dan menjemput
sparepart dari Gudang. Pasien merokok sudah 10 tahun dan baru berhenti
semenjak sesak dimulai sejak 3 bulan yang lalu. Dalam satu hari pasien
menghabiskan rata-rata 2 bungkus rokok (isi 12 batang), rokok tsb
merupakan rokok filter.

Riwayat gizi:
Sebelum sakit, pasien makan teratur sebanyak tiga hari sehari dengan porsi
cukup dan makanan yang bervariasi. Setelah mulai sesak pasien juga masih
bisa makan seperti biasa dan makan mulai terganggu 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit.

2.3 Pemeriksaan Fisik (tanggal 30 Oktober 2018)


Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 160/80 mmHg (lengan kanan, posisi tidur)
Nadi : 92 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 24 x/menit, regular, abdominotorakal
Suhu : 36,8o C (aksila)
Berat badan : 54 kg
Tinggi badan : 168 cm
IMT : 19.1
VAS :0

Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk : Normocephali
Ekspresi : Wajar
Rambut : hitam, lurus, pendek dan tidak mudah dicabut
Alopesia : (-)
Deformitas : (-)
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan : (-)
Wajah sembab : (-)

Mata

5
Eksoftalmus : (-)
Endoftalmus : (-)
Palpebral : edema (-)
Konjungtiva palpebra : pucat (-)
Sklera : ikterik (-)
Kornea : jernih, cincin senilis (-)
Pupil : bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, reflek cahaya
(+/+)

Hidung
Sekret : (-)
Epistaksis : (-)
Septum : deviasi (-)

Telinga
Meatus akustikus eks. : lapang
Nyeri tekan : processus mastoideus (-/-), tragus (-/-)
Nyeri tarik : aurikula (-/-)
Sekret : (-)
Pendengaran : baik
Mulut
Higiene : baik
Bibir : cheilitis (-), rhagaden (-), sianosis (-)
Lidah : kotor (-), atrofi papil (-), pucat (-)
Tonsil : T1-T1
Mukosa
Mulut : basah, stomatitis (-), ulkus (-)
Gusi : hipertrofi (-), berdarah (-), stomatitis (-)
Faring hiperemis : (-)
Gigi : (-)
Bau pernapasan : tidak ada bau pernapasan

6
Leher
Inspeksi : benjolan (-)
Palpasi : pembesaran kelenjar tiroid/struma (-)
Auskultasi : bruit (-)
Tekanan vena jugularis : (5-2) cmH2O

Dada
Inspeksi : asimetris, saat dinamis dinding dada kiri tertinggal,
sela iga melebar (+) pada dada kiri, retraksi
dinding dada (-), spider nevi (-), venektasi (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-)

Paru-paru (anterior)
Inspeksi:
Statis : retraksi iga (-), cembung pada dada kiri
Dinamis : kiri tertinggal
Palpasi : nyeri tekan (-), sela iga melebar pada dinding dada
kiri (+), stem fremitus kiri hilang.
Perkusi : kanan: nyeri ketok (-), sonor pada paru kanan,
Batas paru hepar ada di ICS 6
kiri: nyeri ketok (-), hipersonor pada lapang paru
kiri
Auskultasi : kiri: vesikuler menghilang
kanan: vesikuler (+), ronkhi (-), wheezing (-)

Paru-paru (posterior)
Inspeksi:
Statis : kanan = kiri
Dinamis : kanan tertinggal
Palpasi : stem fremitus kanan menghilang
Perkusi : kanan: nyeri ketok (-),sonor pada paru kanan
kiri: nyeri ketok (-), hipersonor pada paru kiri

7
Auskultasi : kanan: vesikuler (+), ronkhi (-), wheezing (-)
kiri: vesikuler menghilang

Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat, venektasi (-)
Palpasi : ictus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
Perkusi : batas atas ICS III linea parasternalis dextra
batas kiri tidak dapat dinilai
batas kanan kira-kira 2 jari melewati linea parasternalis
dextra
Auskultasi : HR 92 x/menit, reguler, BJ I-II normal, murmur (-), gallop
(-)

Abdomen
Inspeksi : datar, venektasi (-), scar (+) 2 buah pada kuadran kiri
bawah, caput medusae (-)
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), defans muskuler (-), ballotement
ginjal (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)
Auskultasi : bising usus normal
Ekstremitas
Inspeksi:
Superior : deformitas (-), kemerahan (-), edema (-/-), koilonikia (-),
sianosis (-), jari tabuh (-), palmar eritem (-), kulit lembab,
flapping tremor (-), onikomikosis (-)
Inferior : deformitas (-), kemerahan (-), edema pretibial (-/-),
koilonikia (-), sianosis (-), jari tabuh (-), onikomikosis (-)
Palpasi:
Superior : akral hangat (+/+), edema (-/-), krepitasi (-/-)
Inferior : akral hangat (+/+), edema pretibial (-/-), krepitasi (-/-)
ROM:
Superior : kekuatan 5, rom aktif pasif luas

8
Inferior : kekuatan 5, rom aktif pasif luas

Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan

Kulit
Kulit : sawo matang
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : (-)
Jaringan parut : (-)
Turgor : baik
Keringat : cukup
Pertumbuhan rambut : dalam batas normal
Lapisan lemak : kurang
Ikterus : (-)
Lembab/kering : lembab

Kelenjar getah bening (KGB)


Tidak terdapat pembesaran KGB pada regio periauricular, submandibula,
cervical anterior dan posterior, supraclavicula, infraclaviculla, axilla, dan
inguinal

Pembuluh darah
a.temporalis, a.carotis, a.brakhialis, a.femoralis, a.poplitea, a.tibialis posterior,
a.dorsalis pedis: teraba

Status neurologis
Tidak dilakukan pemeriksaan

9
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium Darah
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin 14.3 g/dL 13,48-17,40 g/dL
RBC 4.63x106/mm3 4,40-6,30x106/mm3
Leukosit 6,8x103/mm3 4.73-10.89x103/mm3
Hematokrit 43% 41 - 51%
Trombosit 220 x103/ µL 170-396x103/µL
Diff. count 0/6/56/31/7 0-1/1-6/50-70/20-40/2-8
Metabolisme Karbohidrat
GDS 84 mg/dL <200 mg/dL
Fungsi Hepar
SGOT 19 U/L 0-38 U/L
SGPT 21 U/L 0-41 U/L
Ginjal
Ureum 41 mg/dL 16,6-48,5 mg/dL
Kreatinin 0,73 mg/dL 0,50-0,90 mg/dL

Elektrolit
Kalsium 9.0 mg/dL 8,4-9,7 mg/dL
Natrium 145 mEq/L 135-155 mEq/L
Kalium 4.1 mEq/L 3,5-5,5 mEq/L

Rontgen Thorax

2.5 Diagnosis
Pneumothorax spontan sinistra et causa suspek tuberculosis paru

2.6 Diagnosis Banding

10
Pneumothorax spontan sinistra et causa trauma
Pneumothorax spontan sinistra

2.7 Penatalaksanaan
Non farmakologis:
a. Istirahat
b. Monitoring vital sign
c. Diet biasa
d. Konsul ke TS bedah untuk pemasangan Chestube + Water seal Drainage

Farmakologis:
a. IVFD Asering gtt X/m
b. Start therapy TB setelah hasil pemeriksaan BTA keluar

2.8 Rencana Pemeriksaan


a. BTA sputum
b. Rontgen ulang setelah pemasangan chestube

2.9 Prognosis
Quo ad vitam: dubia ad bonam
Quo ad functionam: dubia ad bonam
Quo ad sanationam: dubia ad bonam

2.10 Follow Up
Tanggal P
01/11/18 S: Sesak ada jika aktivitas saja Non farmakologi:
O:
Istirahat
Sensorium: compos mentis
TD: 160/80 mmHg Monitoring vital
Nadi: 92 x/m
sign
RR: 24 x/m
Temp: 36,7ºC Pemasangan chest
VAS: 0
tube dan Water
Kepala: konjungtiva palpebra pucat (-),
sklera ikterik (-) Seal Drainage
Leher: JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax:
Farmakologi:
Paru-paru
IVFD Asering gtt
Inspeksi:
X/m
Statis: retraksi iga (-), kiri cembung
FCD TB (RHZE)
Dinamis: kiri tertinggal
4 tablet per hari
Palpasi: nyeri tekan (-), sela iga melebar
selama 2 bulan
terutama di kiri, stem fremitus kiri menghilang

11
Perkusi: kanan: nyeri ketok (-), sonor
kiri: nyeri ketok (-), hipersonor pada
seluruh lapangan paru
Auskultasi: kanan: vesikuler (+) menurun,
ronkhi (-), wheezing (-)
kiri: vesikuler menghilang

Cor: HR 92 kali/menit, reguler, BJ I-II normal,


murmur (-), gallop (-)

Abdomen: datar, lemas, hepar dan lien tidak


teraba, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)

Ekstremitas: akral hangat (+/+), palmar eritem


(-/-), edema (-)

A: Pneumothorax kiri spontan ec suspek TB paru


pro pemasangan chest-tube dan water seal
drainage.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

12
3.1. Tuberkulosis Paru (TB Paru)
3.1.1. Definisi
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang banyak menginfeksi
manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis kompleks.
Penyakit ini biasanya menginfeksi paru. Transmisi penyakit biasanya
melalaui saluran nafas yaitu melalui droplet yang dihasilkan oleh pasien
yang terinfeksi TB paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru)
dan kelenjar pada hilus.

Gambar 1. Mycobacterium tuberculosis

3.1.2. Epidemiologi
Tuberkulosis hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS
telah diterapkan sejak tahun 1995 di banyak negara.
Menurut laporan WHO dalam Global Tuberculosis Control 2013, pada
tahun 2012 terdapat 8,6 juta kasus Tb. Indonesia berada pada peringkat ke
lima negara dengan beban Tb tertinggi di dunia. Pada tahun 2012 tercatat
sejumlah 450.000 kasus Tb telah ditemukan dan lebih dari 170.000
diantaranya terdeteksi BTA positif. Dengan demikian, Case Detection Rate
untuk Tb BTA+ adalah 70 per 100.000.

13
Gambar 2. Rerata penderita Tb di Seluruh Dunia

Sekitar 75% pasien Tb adalah kelompok usia paling produktif secara


ekonomi (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien Tb dewasa akan
kehilangan waktu kerjanya sekitar 3-4 bulan, hal tersebut berakibat pada
kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia
meninggal maka akan kehilngan pendapatan sekitar 15 tahun. Selain
merugikan secara ekonomis, Tb juga memberikan dampak buruk lainnya
secara sosial, seperti stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Perubahan
demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur
umur kependudukan menjadi pengaruh besar terhadap penyebaran kasus Tb,
selain itu juga dipengaruhi oleh masalah kesehatan lain seperti gizi buruk,
merokok, diabetes, dan pandemi HIV/AIDS. Koinfeksi dengan HIV akan
meningkatkan resiko kejadian Tb secara signifikan. Pada saat yang sama,
kekebalan ganda kuman Tb terhadap obat anti Tb (Multi Drug Resistance)
semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan.
Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemiologi
Tb yang sulit ditangani.

3.1.3. Etiologi dan Faktor Risiko TB Paru

14
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
infeksi kuman (basil) Mycobacterium tuberculosis. Organisme ini termasuk
ordo Actinomycetalis, familia Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium.
Genus Mycobacterium memiliki beberapa spesies diantaranya
Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan infeksi pada manusia. Basil
tuberculosis berbentuk batang ramping lurus, tapi kadang-kadang agak
melengkung, dengan ukuran panjang 2 μm-4 μm dan lebar 0,2 μm–0,5 μm.
Organisme ini tidak bergerak, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul,
bila diwarnai akan terlihat berbentuk manik-manik atau granuler.
Sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga
menyerang organ tubuh lain. Mycobacterium tuberculosis merupakan
mikobakteria tahan asam dan merupakan mikobakteria aerob obligat dan
mendapat energi dari oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana.
Dibutuhkan waktu 18 jam untuk menggandakan diri dan pertumbuhan pada
media kultur biasanya dapat dilihat dalam waktu 6-8 minggu. Suhu optimal
untuk tumbuh pada 37ºC dan pH 6,4-7,0. Jika dipanaskan pada suhu 60ºC
akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini sangat rentan terhadap sinar
matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Selnya terdiri dari rantai panjang
glikolipid dan phospoglican yang kaya akan mikolat (Mycosida) yang
melindungi sel mikobakteria dari lisosom serta menahan pewarna fuschin
setelah disiram dengan asam (basil tahan asam).
Mikobakteria cenderung lebih resisten terhadap faktor kimia daripada
bakteri yang lain karena sifat hidrofobik permukaan selnya dan
pertumbuhannya yang bergerombol. Mikobakteria ini kaya akan lipid.,
mencakup asam mikolat (asam lemak rantai-panjang C78-C90), lilin dan
fosfatida. Dipeptida muramil (dari peptidoglikan) yang membentuk
kompleks dengan asam mikolat dapat menyebabkan pembentukan
granuloma; fosfolipid merangsang nekrosis kaseosa. Lipid dalam batas-
batas tertentu bertanggung jawabterhadap sifat tahan-asam bakteri.

Faktor Risiko TB dibagi menjadi faktor host dan faktor lingkungan:


1. Faktor host terdiri dari:
a. Kebiasaan dan paparan, seseorang yang merokok memiliki risiko
lebih tinggi untuk terkena TB.

15
b. Status nutrisi, seseorang dengan berat badan kurang memiliki risiko
yang lebih tinggi untuk terkena TB. Vitamin D juga memiliki peran
penting dalam aktivasi makrofag dan membatasi pertumbuhan
Mycobacterium. Penurunan kadar vitamin D dalam serum akan
meningkatkan risiko terinfeksi TB.
c. Penyakit sistemik, pasien pasien dengan penyakit-penyakit seperti
keganasan, gagal ginjal, diabetes, ulkus peptikum memiliki risiko
untuk terkena TB.
d. Immunocompromised, seseorang yang terkena HIV memiliki risiko
untuk tertkena TB primer ataupun reaktifasi TB. Selain itu, pengguna
obat-obatan seperti kortikosteroid dan TNF-inhibitor juga memiliki
risiko untuk terkena TB.
e. Usia, di Amerika dan negara berkembang lainnya, kasus TB lebih
banyak terjadi pada penyakit orang tua daripada dewasa muda dan
anak-anak.
2. Faktor lingkungan
Orang yang tinggal serumah dengan seorang penderita TB akan
berisiko untuk terkena TB. Selain itu orang yang tinggal di lingkungan
yang banyak terjadi kasus TB juga memiliki risiko lebih tinggi untuk
terkena TB. Selain itu sosioekonomi juga berpengaruh terhadap risiko
untuk terkena TB dimana sosioekonomi rendah memiliki risiko lebih
tinggi untuk terkena TB.
Pada anak, faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah
tempat tinggal anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif
(kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak
sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum
(panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat
pasien TB dewasa aktif. Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting
adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan
Basil Tahan Asam (BTA) positif. Berarti bayi dari seorang ibu dengan
BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat
bayi tersebut dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi
tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei) yang infeksius.

16
3.1.4. Patogenesis TB Paru
Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi
droplet saluran nafas yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang
berasal dari orang yang terinfeksi. Basil tuberkel yang mencapai permukaan
alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai
tiga basil. Setelah berada dalam ruang alveolus, biasanya dibagian bawah
lobus atas paru atau dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel
membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada
tempat tersebut dan memfagosit bakteri tersebut, namun tidak membunuh
organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama, leukosit diganti oleh
makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi. Bakteri terus
difagositatau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui
getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang
mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga
membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini
biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.
Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang
tuberkulosis pneumoni kecil dan disebut sarang primer atau fokus Ghon.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju
hilus dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus. Semua proses
ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat
menjadi:
.a Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.
.b Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotic,
kalsifikasi di hilus dan dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang
dormant.
.c Berkomplikasi dan menyebar.
Kuman yang dormant akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai
infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa. TB sekunder ini dimulai
dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru. Sarang dini ini mula-
mula juga berbentuk tuberkel yakni suatu granuloma yang dikelilingi oleh
sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. Sarang dini yang meluas sebagai
granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitar dan bagian

17
tengahnya mengalami nekrosis menjadi lembek membentuk perkejuan. Bila
jaringan perkejuan dibatukkan, akan menimbulkan kavitas.

3.1.5. Klasifikasi TB Paru


Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum, TB paru dikategorikan
menjadi:
1. TB Paru BTA positif
.a Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan BTA
positif.
.b Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberculosis aktif.
.c Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif.
2. TB Paru BTA negatif
.a Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberculosis aktif.
.b Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
menunjukkan tuberculosis positif.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibgai


menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus kambuh (Relaps)


Adalah pasien tuberculosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3. Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB
lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus Lain.

18
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA (+) setelah selesai pengobatan ulangan.

3.1.6. Gejala Klinis TB Paru


Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut
diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat
prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang
datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang
tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis langsung.
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala local
dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala local
ialah gejala respiratori.
1. Gejala Respiratori
Gejala respiratori sangat bervariasi dari mulai tidak bergejala sampai
gejala yang cukup berat bergantung dari luas lesi. Gejala respiratori
terdiri dari:
.a Batuk produktif > 2 minggu.
.b Batuk darah.
.c Sesak nafas.
.d Nyeri dada.
2. Gejala Sistemik.
Gejala sistemik yang timbul dapat berupa:
.a Demam
.b Keringat malam.
.c Anoreksia.
.d Berat badan menurun.

3.1.7. Diagnosis TB Paru


Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif artinya penjaringan
suspek penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit

19
pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan
penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat
untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa
dikenal dengan sebutan passive promotive case finding (penemuan
penderita secara pasif dengan promosi yang aktif).
Selain itu itu semua yang memiliki kontak dengan penderita TB paru
BTA positif dengan gejala sama harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas
kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita sedini mungkin,
mengingat tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan
kematian. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak
dalam waktu 2 har berturut-turut yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisis, pemeriksaan bakteriologis, radiologis dan pemeriksaan penunjang
lainnya. Pada pemeriksaan fisis, kelainan paru pada umumnya terletak di
daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta
daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara
lain suara nafas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum. Pada TB paru yang
lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-
otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi
mediastinum atau paru lainnya.
Pada pemeriksaan radiologi, gambaran yang dicurigai sebagai lesi TB
aktif adalah:
.1 Bayangan berawan atau nodular disegmen apical dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah.
.2 Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular.
.3 Bayangan bercak milier.
.4 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Ada beberapa cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB
yaitu dengan cara konvensional dan tidak konvensional. Cara konvensiona
terdiri dari pemeriksaan mikroskopik, biakan kuman, uji kepekaan terhadap
obat, dan identifikasi keberadaan kuman isolat serta pemeriksaan
histopatologis.

20
Pemeriksaan sputum merupakan hal yang penting karena dengan
ditemukannya kuman BTA, diagnosis TB sudah bisa ditegakkan. Dikatakan
BTA (+) jika ditemukan dua atau lebih dahak BTA (+) atau 1 BTA (+)
disertai dengan hasil radiologi yang menunjukkan TB aktif.
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,
yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB paru pada orang dewasa
ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB
nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan
dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya
berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu
menunjukkan aktifitas penyakit. Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur
diagnostik untuk suspek TB paru.

21
Gambar 3. Alur Diagnosis TB Paru.

 Sewaktu: Dahak dikumpulkan saat pasien suspek Tb datang berkunjung


pertama kali. Pada saat pulang, pasien membawa pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua
 Pagi: Dahak dikumpulkan pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur, pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK
 Sewaktu: Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi

Tabel 1. Pemeriksaan Sputum BTA


Apa yang dilihat Apa yang dilaporkan
Tidak ditemukan BTA minimal dalam
BTA negatif
100 lapangan pandang
1-9 BTA dalam 100 lapang pandang Tuliskan jumlah BTA yang

22
ditemukan / 100 lapang
pandang
10-99 BTA dalam 100 lapang pandang 1+
1-10 BTA dalam 1 lapang pandang,
2+
periksa minimal 50 lapang pandang
Lebih dari 10 BTA dalam 1 lapang
pandang, periksa minimal 20 lapang 3+
pandang

Pemeriksaan Penunjang
Indikasi pemeriksaan Foto Thoraks:
1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS BTA hasilnya positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto thoraks untuk mendukung diagnosa “Tb paru BTA
positif”
2) Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotik non-OAT
3) Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penangan khusus (seperti: pneumothoraks, pleuritis
eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleura) dan pasien yang
mengalami hemoptisis berta (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau
asperglioma).

Gambar 4. Gambaran radiologi TB paru aktif

1) Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas


paru dan segmen superior lobus bawah

23
2) Kaviti, terutama lebih dari satu dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau noduler
3) Bayangan bercak milier
4) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral

3.1.8. Diagnosis Banding


.1 Hemothorax
.2 Pneumothorax
.3 Bronkiektasis
.4 Abses Paru
.5 Kanker Paru

3.1.9. Pengobatan TB Paru


Pengobatan TB bertujuan untuk:
a. Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan
produktivitas.
b. Mencegah kematian.
c. Mencegah kekambuhan.
d. Mengurangi penularan.
e. Mencegah terjadinya resistensi obat.

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:


 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi), Pemakain OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
 Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Direct Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.


1. Tahap Awal (Intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian
besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.

24
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persistent sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia yaitu:


a. Kategori I
- TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks terdapat lesi
luas.
- Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/4RH atau 2RHZE/6HE
atau 2RHZE/4R3H3.
b. Kategori II
- TB paru kasus kambuh.
Paduan obat yang dianjurkan adalah 2RHZES/1RHZE sebelum ada
hasil uji resistensi. Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan obat
sesuai dengan hasil uji resistensi.
- TB paru kasus gagal pengobatan
.a Paduan obat yang dianjurkan adalah obat lini 2 sebelum ada hasil
uji resistensi (contoh: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid,
sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid,
sikloserin).
.b Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberika
2RHZES/1RHZE.
.c Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi.
.d Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE.
- TB Paru kasus putus berobat.
.1 Berobat > 4 bulan
.a BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada
perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran
radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan
diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan
penyakit paru lain. Bila terbukti TB, maka pengobatan dimulai
dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama (2RHZES/1RHZE/5R3H3E3).
.b BTA saat ini positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan lebih
lama.

25
.2 Berobat < 4 bulan
.a Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan lebih la,a
(2RHZES/1RHZE/5R3H3E3).
.b Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif,
pengobatan diteruskan.
c. Kategori III
- TB paru (kasus baru), BTA negatif atau pada foto toraks terdapat lesi
minimal.
- Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE/4R3H3.
d. Kategori IV
- TB paru kasus kronik. Paduan obat yang dianjurkan bila belum ada
hasil uji resistensi, berikan RHZES. Bila telah ada hasil uji resistensi,
berikan sesuai hasil uji resitensi (minimal OAT yang sensitive
ditambah obat lini , pengobatan minimal 18 bulan).
e. Kategori V
- MDR TB, paduan obat yang dianjurkan sesuai dengan uji resistensi
ditambah OAT lini 2 atau H seumur hidup.

Obat-obat TB memiliki efek samping diantaranya:


.1 Isoniazid dapat menyebabkan kerusakan hepar yang akna mengakibatkan
mual, muntah, dan jaundice. Kadang dapat menyebabkan kebas pada
tungkai,
.2 Rifampisin dapat menyebabkan kerusakan hepar, perubahan warna air,
mata, keringat, dan urine menjadi merah.
.3 Pirazinamid dapat menyebabkan pandangan kabur dan gangguan
penglihatan warna karena obat ini memperngaruhi N.Optikus.
.4 Streptomisin dapat menyebabkan pusing dan gangguan pendengaran
akibar kerusakan saraf dalam telinga dalam.

Hasil Pengobatan:
Merupakan hasil akhir dari pengobatan penderita TB paru BTA positif dan
negatif. Dikategorikan menjadi:
.a Sembuh merupakan pasien dengan hasil sputum BTA atau kultur positif
sebelum pengobatan, dan hasil pemeriksaan sputum BTA atau kultur
negatif pada akhir pengobatan serta sedikitnya satu kali pemeriksaan
sputum sebelumnya negatif dan pada foto toraks, gambaran radiologi
serial (minimal 2 bulan) tetap sama/perbaikan.

26
.b Pengobatan lengkap merupakan pasien yang telah menyelesaikan
pengobatan tetapi tidak memiliki hasil pemeriksaan sputum atau kultur
pada akhir pengobatan.
.c Meninggal merupakan pasien yang meninggal dengan apapun
penyebabnya selama dalam pengobatan.
.d Gagal merupakan pasien dengan hasil sputum atau kultur positif pada
bulan kelima atau lebih dalam pengobatan.
.e Default/drop out merupakan pasien dengan pengobatan terputus dalam
waktu dua bulan berturut-turut atau lebih.
.f Pindah merupakan pasien yang pindah ke unit (pencatatan dan pelaporan
berbeda dan hasil akhir pengobatan belum diketahui).

3.1.10. Komplikasi dan Prognosis


Terdapat berbagai macam komplikasi TB paru, dimana komplikasi
dapat terjadi di paru-paru, saluran nafas, pembuluh darah, mediastinum,
pleura ataupun dinding dada.
Komplikasi TB ini dapat terjadi baik pada pasien yang diobati ataupun
tidak. Secara garis besar, komplikasi TB dikategorikan menjadi:
.1 Lesi Parenkim, berupa; tuberkuloma dan thin-walled cavity, sikatriks dan
destruksi paru, Aspergilloma, Karsinoma bronkogenik.
.2 Lesi Saluran nafas, berupa; bronkiektasis, stenosis trakeobronkial,
bronkolitiasis.
.3 Komplikasi vascular, berupa; Trombosis dan vaskulitis, dilatasi arteri
bronkial, aneurisma rassmussen.
.4 Lesi Mediastinum, berupa; kalsifikasi nodus limfa, fistula
esofagomediastinal, tuberculosis pericarditis.
.5 Lesi Pleura, berupa; Chronic tuberculous empyema dan fibrothorax,
fistula bronkopleura, pneumothoraks.
.6 Lesi dinding dada, berupa; TB kosta, tuberculosis spondylitis, keganasan
yang berhubungan dengan empyema kronis.

Prognosis dapat menjadi buruk bila dijumpai keterlibatan


ekstraparu, keadaan immunodefisiensi, usia tua, dan riwayat pengobatan TB
sebelumnya. Pada suatu penelitian TB di Malawi, 12 dari 199 orang
meninggal, dimana faktor risiko terjadinya kematian diduga akibat BMI
yang rendah, kurangnya respon terhadap terapi dan keterlambatan diagnose.

27
Kesembuhan sempurna biasanya dijumpai pada kasus non-MDR dan
non-XDR TB, ketika regimen pengobatan selesai. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa terapi dengan system DOTS memiliki tingkat
kekambuhan 0-14%. Pada negara dengan prevalensi TB yang rendah,
kekambuhan biasanya timbul 12 bulan setelah pengobatan selesai dan
biasanya diakibatkan oleh relaps. Hal ini berbeda pada negara dengan
prevalensi TB yang tinggi, dimana kekambuhan diakibatkan oleh reinfeksi.

3.1.11. Pencegahan TB
Cara terbaik untuk mencegah TB adalah dengan pengobatan terhadap
pasien yang mengalami infeksi TB sehingga rantai penularan terputus. Tiga
topic dibawah ini merupakan topic yang penting untuk pencegahan TB:
1. Proteksi terhadap paparan TB
Diagnosis dan tatalaksana dini merupakan cara terbaik untuk
menurunkan paparan terhadap TB. Risiko paparan terbesar terdapat di
bangsal TB dan ruang rawat, dimana staf medis dan pasien lain mendapat
paparan berulan dari pasien yang terkena TB. Ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi kemungkinan transimis antara lain:
a. Cara batuk
Cara ini merupakan cara yang sederhana, murah, efektif dalam
mencegah penularan TB dalam ruangan. Pasien harus menggunakan
sapu tangan untuk menutupi mulut dan hidung, sehingga saat batuk
atau bersin tidak terjadi penularan melalui udara.
b. Menurunkan konsentrasi bakteri
Sinar matahari dan ventilasi dapat membunuh kuman TB dan ventilasi
yang baik dapat mencegah transimisi kuman TB dalam ruangan.
Filtrasi atau penyaringan udara juga merupakan salah satu upaya
pencegahan penularan TB.
c. Masker
Penggunaan masker secara rutin akan menurunkan penyebaran kuman
lewat udara. Jika memungkinkan, pasien TB dengan batuk tidak
terkontro disarankan menggunakan masker ketika paparan terhadap
sekret saluran nafas tidak dapat dihindari.
d. Rekomendasi NTP (National TB Prevention) terhadap paparan TB:
- Segera rawat inap pasien dengan TB paru BTA (+) untuk
pengobatan fase intensif, jika diperlukan.

28
- Pasien sebaiknya diisolasi untuk mengurangi risiko paparan TB ke
pasien lain.
- Pasien yang diisolasi sebaiknya tidak keluar ruangan tanpa
memakai masker.
- Pasien yang dicurigai atau dikonfirmasi terinfeksi TB sebaiknya
tidak ditempatkan di ruangan yang dihuni oelh pasien
immunocompromised, seperti pasien HIV, transplantasi, atau
onkologi.
2. Vaksinasi BCG (Bacillus Calmette Guerin)
BCG merupakan vaksin hidup yang berasal dari M.bovis. Fungsi
BCG adalah melindungi anak terhadap TB diseminata dan TB ekstra paru
berat (TB meningitis dan TB milier). BCG tidak memiliki efek
menurunkan kasus TB paru pada dewasa. BCG diberikan secara
intradermal kepada populasi yang belum terinfeksi.
.a Tes Tuberkulin
Neonatus dan bayi hingga berusia 3 bulan tanpa adanya riwayat
kontak dengan TB, dapat diberikan vaksinasi BCG tanpa tes
tuberculin sebelumnya.
.b Vaksinasi Rutin
Pada negara dengan prevalensi TB yang tinggi, WHO
merekomendasikan pemberian vaksinasi BCG sedini mungkin,
terutama saat baru lahir. Pada bayi baru lahir hingga usia 3 bulan,
dosisnya adalah 0,05 ml sedangkan untuk anak yang lebih besar
diberikan 0,1 ml.

3. Terapi Pencegahan
Tujuan terapi terapi pencegahan adalah untuk mencegah infeksi TB
menjadi penyakit, karena penyakit TB dapat timbul pada 10 % orang
yang mengalami infeksi TB. Kemoprofilaksis dapat diberikan bila ada
riwayat kontak dengan tes tuberkulin positif tetapi tidak ada gejala atau
bukti radiologis TB. Obat yang digunakan biasanya adalah isoniazid (5
mg/kg) selama 6 bulan. Jika memungkinkan, dilakukan dengan
pengamatan langsung.
Kelompok yang mendapat profilaksis, yaitu:
- Bayi dengan ibu yang terinfeksi TB paru

29
Bayi yang sedang mendapat ASI dari ibu dengan TB paru, sebaiknya
mendapat isoniazid selama 3 bulan. Setelah 3 bulan, dilakukan tes
tuberkulin. Jika hasil negatif maka diberikan vaksinasi, jika positif
maka dilanjutkan isoniazid selama 3 bulan lagi. Jika terdapat adanya
bukti penyakit, maka perlu diberikan pengobatan penuh.
- Anak dengan riwayat kontak, tuberculin negatif, tampak sehat, tanpa
riwayat BCG, sama seperti di atas.
- Anak dengan riwayat kontak, tuberculin positif (tanpa riwayat BCG).
- Anak tanpa gejala sebaiknya diberikan profilaksis isoniazid 6 bulan.
- Anak dengan gejala dan pemeriksaan yang menunjukkan TB
diberikan pengobatan TB.
- Anak dengan gejala, tapi pemeriksaan tidak menunjukkan TB,
diberikan profilaksis isoniazid.

3.2. Pneumothoraks
3.2.1. Definisi
Pneumothoraks adalah suatu kondisi dimana terjadi akumulasi udara
pada cavum pleura yang dapat terjadi secara spontan atau pasca traumatik.

3.2.2. Etiologi dan Klasifikasi


Pneumothoraks diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan
beberapa kriteria sebagai berikut:
1. Berdasarkan Terjadinya
a. Pneumothoraks spontan
Pneumothoraks yang terjadi tiba-tiba tanpa adanya suatu penyebab
trauma atau kecelakaan. Terdiri dari pneumothoraks spontan primer,
dimana pneumothoraks terjadi tanpa adanya penyakit paru yang
mendasari dan pneumothoraks spontan sekunder, dimana
pneumothoraks disebabkan oleh adanya penyakit paru yang mendasari
seperti TB paru, PPOK, asma bronkiale, pneumonia, tumor paru, dll.2
b. Pneumothoraks traumatik
Pneumothoraks yang terjadi akibat suatu trauma, baik trauma
penetrasi atau kontusio yang dapat menyebabkan robeknya pleura,
dinding dada, ataupun paru. Berdasarkan kejadiannya, pneumothoraks
traumatik dibedakan menjadi pneumothoraks traumatik non iatrogenik
yang disebabkan oleh jejas kecelakaan dan pneumothoraks traumatik

30
artifisial yang disebabkan adanya tindakan tertentu atau memang
disengaja dilakukan untuk tujuan tertentu.
2. Berdasarkan Lokasi
a. Pneumothoraks parietalis
b. Pneumothoraks mediastinalis
c. Pneumothoraks basalis
3. Berdasarkan Derajat Kolaps
a. Pneumothoraks totalis
b. Pneumothoraks parsialis
Derajat kolaps paru pada pneumothoraks dapat dinyatakan dalam persen
dan dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Luas hemithorax (A x B) – Luas paru yang kolaps (a x b) : (A x B) x 100%

4. Berdasarkan Jenis Fistel


a. Pneumothoraks terbuka
Pneumothoraks terbuka merupakan suatu pneumothoraks dimana
terdapat hubungan antara rongga pleura dengan bronkus yang
merupakan bagian dari dunia luar. Dalam keadaan ini tekanan
intrapleura sama dengan tekanan udara luar, sesuai dengan perubahan
tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernafasan. Pada saat inspirasi
tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi
positif.
b. Pneumothoraks tertutup
Pada pneumothoraks tertutup, rongga pleura dalam kondisi tertutup
sehingga udara di dalam rongga pleura tidak mempunyai hubungan
dengan dunia luar. Pada awalnya, tekanan intra pleura dapat positif,
namun lama kelamaan dapat menjadi negatif akibat udara yang
mengandung oksigen diserap oleh jaringan paru. Pada saat inspirasi
maupun ekspirasi, tekanan intrapleural tetap negatif.
c. Tension pneumothoraks
Tension pneumothoraks merupakan pneumothoraks dengan tekanan
intrapleura yang positif dan semakin lama semakin membesar karena
adanya fistel di pleura visceralis yang bersifat ventil. Pada saat
inspirasi, udara masuk melalui bronkus dan percabangannya
selanjutnya terus menuju cavum pleura melalui fistel yang terbuka.
Akan tetapi, pada saat ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak

31
dapat keluar sehingga berakibat tekanan intrapleural meningkat.
Kondisi ini merupakan kondisi gawat darurat yang harus segera
ditangani.

3.2.3. Patogenesis
Pada fisiologi pernafasan normal, pada waktu inspirasi tekanan
intrapleura lebih negatif daripada tekanan intrabronkial sehingga paru
mengembang mengikuti gerakan dinding dada yang mengakibatkan udara
luar akan masuk melalui bronkus hingga ke alveolus. Sedangkan pada saat
ekspirasi dinding dada menekan rongga dada sehingga tekanan intrapleura
akan lebih tinggi daripada tekanan udara luar maupun intrabronkial
sehingga menyebabkan udara tertekan keluar melalui bronkus.
Tekanan intrabronkial akan meningkat apabila ada tahanan pada
saluran pernapasan, tekanan ini akan lebih meningkat pada permulaan
batuk, bersin, atau mengejan. Apabila terjadi peningkatan tekanan
intrabronkial disertai kelemahan bagian perifer bronkus atau alveolus, maka
kemungkinan akan terjadi robekan alveolus maupun bronkus.
Dugaan terjadinya pneumothoraks dapat dijelaskan melalui adanya
mekanisme kebocoran di bagian paru yang berisi udara melalui robekan
pleura yang pecah dimana bagian yang pecah ini berhubungan dengan
bronkus. Pelebaran alveolus dan septa-septa alveolus yang pecah kemudian
dapat membentuk suatu bula berdinding tipis di dekat daerah yang terdapat
proses radang nonspesifik atau fibrosis granulomatosa.
Alveolus disangga oleh kapiler yang mempunyai dinding lemah dan
mudah robek, apabila alveolus melebar dan tekanan intraalveolar
meningkat, maka udara dengan mudah menuju ke jaringan
peribronkovaskuler. Gerakan nafas yang kuat, infeksi, dan obstruksi
endobronkial merupakan beberapa faktor presipitasi yang memudahkan
terjadinya robekan, selanjutnya udara yang terbebas dari alveolus dapat
mengoyak jaringan fibrotik peribronkovaskuler. Robekan pleura yang
berlawanan arah dengan hilus akan menimbulkan pneumothoraks,
sedangkan robekan yang mengarah ke hilus dapat menyebabkan
pneumomediastinum. Di antara organ-organ mediastinum terdapat jaringan

32
ikat longgar sehingga mudah ditembus udara. dari leher, udara menyebar
merata di bawah kulit leher dan dada sehingga timbul emfisema subkutis.

3.2.4. Penegakan Diagnosis


Keluhan utama pasien pneumothoraks spontan adalah sesak nafas,
bernafas terasa berat, nyeri dada, dan batuk. Sesak sering mendadak dan
semakin lama semakin berat. Nyeri dada dirasakan pada sisi yang sakit, rasa
berat, tertekan, dan terasa lebih nyeri pada saat gerakan pernapasan. Pada
pneumothoraks spontan, sebagai pencetus adalah batuk keras, bersin,
mengangkat barang-barang berat, kencing, atau mengejan. Penderita
mengeluhkan munculnya gejala dirasakan setelah melakukan hal-hal
tersebut. Pada pneumothoraks traumatik, gejala-gejala pneumothoraks
tersebut muncul setelah terjadi peristiwa yang menyebabkan trauma pada
thoraks.
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan pneumothoraks akan muncul
tanda berikut:
1. Tampak sesak ringan sampai berat, tergantung pada kecepatan udara
yang masuk serta ada tidaknya klep. Penderita bernapas tersengal,
pendek-pendek dengan mulut terbuka.
2. Sesak nafas dengan atau tanpa sianosis
3. Badan tampak lemah dan dapat disertai syok, pada pneumothoraks
dengan onset akut dapat pula disertai keringat dingin.
4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik pada sesak nafas ringan.
Pada sesak nafas berat, nadi menjadi cepat dan lemah disebabkan waktu
pengisian kapiler berkurang.
5. Pada pemeriksaan fisik thoraks ditemukan:
Inspeksi:
Hemithoraks yang sakit dapat lebih cembung dibandingkan hemithoraks
sehat, gerakan nafas tertinggal pada bagian thoraks yang sakit, trakhea
dan jantung terdorong ke sisi yang sehat.
Palpasi:
Pada sisi yang sakit, SIC dapat normal atau melebar, iktus cordis
terdorong ke arah sisi thoraks yang sehat, vocal fremitus melemah atau
menghilang pada sisi yang sakit.
Perkusi:

33
Pada sisi yang sakit didapatkan suara hipersonor dan tidak menggetar,
batas jantung terdorong ke arah thoraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleural tinggi.

Auskultasi:
Pada bagian yang sakit, suara dasar nafas melemah sampai menghilang,
suara nafas terdengar amforik bila ada fistel bronkopleura yang cukup
besar pada pneumothoraks terbuka, suara vokal melemah dan tidak
menggetar serta bronkofoni negatif, dapat pula dilakukan coin test
dengan menggunakan ketukan 2 koin logam yang satu ditempelkan di
dada dan yang lain diketokkan pada koin pertama, kemudian akan
terdengar bunyi metalik pada punggung.
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakan diagnosis
pneumothoraks antara lain foto rontgen thoraks PA yang memperlihatkan
gambaran hiperlusen, corakan bronkovaskuler menghilang, paru
mengempis, dan trakhea terdorong ke arah hemithoraks yang sehat. Analisis
gas darah arteri memberikan gambaran hipoksemia, namun pemeriksaan ini
kadang tidak diperlukan. Pada pneumothoraks kiri dapat menimbulkan
perubahan aksis QRS dan gelombang T precordial pada gambaran EKG dan
seringkali ditafsirkan sebagai Infark Myokard Akut (IMA). Selain itu, dapat
pula dilakukan CT scan thorax pada pasien yang diagnosisnya belum tegak
setelah dilakukan foto rontgen. pemeriksaan ini lebih spesifik untuk
membedakan emfisema bulosa dan pneumothoraks, batas antar udara
dengan cairan intra dan ekstrapulmoner, serta dapat membedakan
pneumothoraks spontan primer atau sekunder.

3.2.5. Penatalaksanaan
Tindakan pengobatan pneumothoraks tergantung dari luasnya
pneumothoraks, tujuannya untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura
dan meminimalkan risiko kambuh lagi. British Thoracic Society dan
American College of Chest Physicians telah memberikan rekomendasi
untuk penanganan pneumothoraks, yaitu:
1. Observasi dan pemberian tambahan oksigen
2. Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi
dengan atau tanpa pleurodesis

34
3. Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadap adanya bleb
atau bula
4. Torakotomi

Pada pneumothoraks tertutup dengan paru kolaps minimal dan


tekanan intrapleural masih negatif, hanya dilakukan tindakan observasi
apakah gejala klinis menetap atau bertambah berat dengan diberikan terapi
oksigenasi. Apabila keluhan sesak memberat, dapat dicurigai sebagai
pneumothoraks terbuka atau bahkan tension pneumothoraks sehingga
selanjutnya diperlukan tindakan dekompresi atau membuat hubungan
rongga pleura dengan dunia luar dengan menggunakan infus set, jarum
abbocath, atau pemasangan pipa Water Sealed Drainage (WSD). Apabila
diperlukan, dapat pula dibantu dengan continous suction agar tekanan
intrapleural cepat kembali menjadi negatif. Tindakan pembedahan yang
mungkin dilakukan antara lain dengan pembukaan dinding thoraks melalui
operasi, dicari lubang yang menyebabkan pneumothoraks kemudian dijahit.
Apabila ditemukan penebalan pleura yang mengganggu pengembangan
paru, dapat dilakukan reseksi. Pilihan terakhir yang dapat dilakukan adalah
dengan pleurodesis, yaitu dilakukan penjahitan setelah masing-masing
pleura dikerok atau lapisan tebal dibuang, selanjutnya kedua pleura
dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.
Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan
ditujukan untuk menangani penyakit paru yang mendasarinya. Selain itu,
pasien dengan pneumothoraks dilarang melakukan kerja keras, batuk dan
bersin terlalu keras, dan mengejan. Untuk mencegah obstipasi dan
memperlancar defekasi, dapat diberikan laksan ringan untuk mengurangi
mengejan terlalu keras pada saat defekasi.

Pencegahan Pneumothoraks:
1. Pada penderita PPOK, diberikan pengobatan yang adekuat terutama jika
pasien batuk-batuk berkepanjangan. Pilihan obat yang dapat diberikan
adalah bronkodilator dan antitusif ringan, ditambah dengan edukasi agar
pasien tidak batuk dan mengejan terlalu keras serta menghindari aktifitas
berat.

35
2. Pada penderita TB paru, harus dilakukan terapi OAT hingga tuntas.
Prognosis pasien pneumothoraks dengan TB paru lebih baik pada pasien
yang lesinya masih minimal.

Rehabilitasi:
1. Pasien yang telah sembuh dari pneumothoraks harus dilakukan
pengobatan secara baik untuk penyakit paru yang mendasarinya.
2. Pasien diberikan edukasi agar menghindari batuk dan mengejan terlalu
berat, derta menghindari beraktifitas berat seperti mengangkat beban.
3. Apabila mengalami kesulitan defekasi, dapat diberikan laksan ringan
4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama jika ada keluhan batuk
dan sesak nafas.

3.2.6. Komplikasi
Tension pneumothoraks dapat menyebabkan kegagalan respirasi akut,
empyema, hidro-pneumothoraks, hematothoraks, pneumomediastinum dan
emfisema subkutis, hingga henti jantung paru dan kematian. Selain itu,
pneumothoraks dapat pula menyebabkan terjadinya pneumothoraks
simultan bilateral (insidensi + 2 %) dan pneumothoraks kronik, bila tetap
ada selama waktu lebih dari 3 bulan (insidensi + 5 %)

3.2.7. Prognosis
Pasien dengan pneumothoraks spontan hampir separuhnya akan
mengalami kekambuhan, baik setelah sembuh dari observasi maupunsetelah
pemasangan tube thoracostomy. Pasien-pasien yang penatalaksanaannya
cukup baik, umumnya tidak dijumpai komplikasi. Pasien pneumothoraks
spontan sekunder prognosisnya tergantung dari penyakit paru yang
mendasarinya.

BAB IV
ANALISIS KASUS

Diagnosis TB paru dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan


fisik, pemeriksaan bakteriologis, radiologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya.

36
Pada pasien TB paru biasanya memiliki gejala klinis utama yaitu batuk berdahak
selama lebih dari atau sama dengan 2-3 minggu dan dapat disertai dengan dahak
bercampur darah, batuk darah, nyeri dada, dan sesak nafas. Gejala lain biasanya
berupa gejala sistemik seperti berat badan menurun, berkeringat pada malam hari
tanpa kegiatan fisik, malaise, demam meriang lebih dari 1 bulan. Pada pasien ini
jika diteliti dari anamnesis, pasien mengeluh batuk berdahak putih 4 bulan yang
lalu yang disertai dengan keringat malam dan badan sering terasa panas terutama
pada bagian dada. Kemudian muncul sesak nafas yang dipengaruhi posisi dan
aktivitas kira-kira 3 bulan sebelum masuk rumah sakit. Seluruh keluhan pasien ini
mirip dengan gejala klinis dari TB sehingga kita pantas mencurigai pasien
mengalami infeksi TB. Namun selain itu, gejala pasien ini juga bisa menyerupai
penyakit lain seeri bronkiektasis, PPOK, dan bronchitis kronik terutama karena
pasien perokok berat [2 bungkus per hari isi 12 batang, rokok filter] (baru berhenti
3 bulan sebelum masuk rumah sakit ketika sesak mulai muncul), selain itu, ada
juga asma, gagal jantung atau dekompensasi jantung, dan keganasan paru. Pasien
mengaku sesak baru kali ini terjadi dan tidak ada riwayat keluarga sesak ataupun
alergi. Hal ini berarti differensial diagnosis asma dapat ditiadakan. Pasien
mengaku bisa tidur terlentang tanpa bantal dan tidak ada riwayat bengkak pada
badan. Selain itu pasien mengaku tidak ada riwayat darah tinggi ataupun gula baik
sebelumnya ataupun pada keluarga. Hal ini membuat adanya gangguan jantung
kelihatannya hampir tidak mungkin.
Untuk meniadakan differensial lain kita perlu meneliti anamnesis pasien
lagi. Sesak semakin berat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit bisa juga
menunjukkan adanya suatu keadaan akut yang memperburuk nafas pasien. Salah
satu kecurigaan tentunya adalah pada terjadinya trauma yang bisa menyebabkan
hemothoraks, pneumothorax, dll. Namun pasien menyangkal adanya trauma pada
dada baik depan maupun belakang. Sehingga kita bisa berpikir ke adanya spontan
pneumothoraks, adanya kilothoraks, atau efusi pleura. Ketiga hal ini biasanya
terjadi karena infeksi TB dan suatu keganasan.
Langkah selanjutnya untuk menuntun kita membuat diagnosis adalah
pemeriksaan fisik. Pada inspeksi dada diperoleh dada kiri pasien cembung dan
tertinggal pada keadaan dinamis. Penemuan ini menyatakan bahwa dada pasien

37
terisi oleh udara. Lebih jauh lagi pada perkusi didapatkan hipersonor pada
lapangan paru kiri dan stem fremitus yang menghilang. Hal ini membuat
diagnosis pneumothoraks dapat ditegakkan. Karena tidak ditemukan adanya redup
pada kedua lapanagan paru saat diperkusi, membuat kemungkinan adanya cairan
ataupun keganasan mediastinum dapat disingkirkan. Selain itu, pada pasien ini
tidak terdapat ronkhi basah yang biasanya didapatkan pada pasien edema paru
akibat kegagalan atau dekompensasi jantung. Pada perkusi batas jantung paru
bergeser ke arah kanan hal ini membuat pneumothoraks memang penyebab dari
sesak pada pasien. Namun yang perlu dicari sekarang adalah jenis dari
pneumothoraks.
Pada pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan adanya infiltrat pada hampir
seluruh lapangan paru kanan dan pelebaran hilus yang memberikan kesan adanya
proses TB aktif. Selain itu adanya pergeseran jantung kea rah kanan dan tidak
adanya coracan bronkovaskuler pada paru kiri yang emfiematous membuat
diagnosis pneumothoraks tegak sepenuhnya. Pneumothoraks dengan adanya
proses infeksi TB pada paru menunjukkan kemungkinan pneumothoraks yang
terjadi adalah sekunder. Pada gambar ini tampak emfisematous pula pada paru
kanan, hal ini bisa mengartikan adanya kompensasi paru kanan atau karena
memang adanya PPOK, hal ini masih belum dipastikan dan perlu dilakukan
rontgen ulang utk memastikan diagnosis dari PPOK. Corakan bronki pada paru
kanan tak tampak adanya bronkiektase sehingga diagnosis terjadinya
bronkiektasis dapat ditiadakan namun perlu dilakukan ulang untuk menilai paru
kiri yang saat ini sedang kolaps. Hasil rontgen dada menunjukkan gambaran
bronki yang kasar pada paru kanan sehingga kemungkinan pada pasien memang
terjadi bronkitis kronik yang tidak dikeluhkan oleh pasien.
Untuk menegakkan kasus TB perlu dilakukan pemeriksaan gold standard
yaitu pemeriksaan BTA sputum. Pasien pada saat follow-up tanggal 1 November
2018 baru saja mengumpulkan sputumnya sehingga hasil BTA belum ada.
Jadi kesimpulan diagnosis kerja adalah pasien mengalami pneumothoraks
spontan sekunder pada paru kiri ec suspek TB paru disertai dengan bronkitis
kronik yang kemungkinan besar disebabkan karena pasien adalah perokok berat.

38
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Z., Bahar, A., 2016. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo, A., W., dkk. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Ed 6. Jakarta: FKUI; 2230-2239.
Baratawidjaya KG. 2014. Imunologi Dasar Edisi Kesebelas. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

39
Brooks, et al. 2013. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick and Adelberg.
Jakarta; EGC: 302-304.
Center for Disease Control and Prevention (CDC). 2009. Reported Tuberculosis in
the United States, 2008. Atlanta, GA: U.S. Department of Health and
Human Services.
Departemen Kesehatan RI. 2012. Laporan Triwulan Situasi Perkembangan HIV-
AIDS di Indonesia sampai dengan Maret 2012. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2014. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis: Panduan Tatalaksana Tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI.
Fishman. Pulmonary disease and disorders fifth edition volume two. United
States: 2015.p.2141-60.
Freixinet J.L., Caminero, J.A., Marchena, J., Rodriguez P.M., Casimiro, J.A., &
Hussein, M. 2011. Spontaneous Pneumothorax and Tuberculosis: Long
term Follow-up. European Respiratory Journal. Hlm 126 - 131. 38(10).
Available from: http://erj.ersjournals.com/content/38/1/126. [Diakses pada
01 Nov 2018]
Halim H. Penyakit-penyakit pleura. In: Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi keenam
jilid III. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2015.p.2329-36.
Hisyam B, Budiono E. Pneumotoraks spontan. In: In: Sudoyo WA, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi
keenam jilid III. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2015.p.2339-
46.
Isbaniyah, et al. 2011. Tuberkulosis. Dalam: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI.
Jeong, Y.J., Lee, K.S., 2008. Pulmonary Tuberculosis: Up-To-Date Imaging and
Management. American Journal of Roentgenology: 191 (3). Available
from: http://www.ajronline.org/doi/full/10.2214/AJR.07.3896 [Diakses
pada 31 October 2018].
Light ER. Parapneumonic effusions and empyema. In: Pleural disease. 6 th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2013.p. 51-81.

40
Mario, C.R.& Richard, J.O., 2015. Tuberculosis. Dalam: Kasper, D., L., et al.
Harrison Principles of Internal Medicine. Ed 19. Mc Graw-Hill.
Nadel M. Text book of respiratory medicine sixth edition volume one.
Philadelphia: McGraw-Hill Companies. 2016.p.985-1041.
Rosenbluth DB. Pleural effusion: Nonmalignant and malignant. In: Fishman’s of
pulmonary disease and disorders. Editors: Fishman AP, Elias JA, et al. 5 th.
Ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2015.p.487-506.
WHO. 2011. Global Tuberculosis Control: WHO Report 2011. Geneva.
Wong, P.C., 2008. Current Management of Pulmonary Tuberculosis. Medical
Buletin. 13 (12); 24-26.
World Health Organization (WHO). 2018. Global Tuberculosis Report 2018.
Prancis: WHO.

41

You might also like