Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh:
030.11.279
Pembimbing:
JAKARTA 2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan atas berkat rahmat dan petunjuk –
Nya, penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi,
dengan judul Anestesi Pada Operasi TUR Prostat tepat pada waktunya
Pada kesempatan ini, penyusun ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Triseno
Dirasutisna Sp.An atas bimbingannya selama ini, serta kepada seluruh dokter pengajar yang
telah bersedia memberikan kesempatan dan waktunya sehingga makalah ini dapat
terselesaikan. Selain itu penyusun juga mengucapkan terima kasih untuk teman - teman dan
Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat mengikuti kepaniteraan di RSAL
Mintoardjo. Penyusun sadar dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan oleh
karena itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan sarannya agar makalah ini dapat
(Penulis)
BAB I
PENDAHULUAN
Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang paling sering mengalami pembesaran baik
jinak maupun ganas. Pembesaran kelenjar prostat merupakan penyakit urologi tersering di
Indonesia setelah batu saluran kemih. Pembesaran prostat atau yang sering disebut BPH
(Benigna Prostatik Hyperplasia adalah pembesaran kelenjar prostat memanjang ke atas ke
dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium urethra. (1)
Di Indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua setelah penyakit batu
saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya, diperkirakan hampir 50 persen pria
Indonesia yang berusia di atas 50 tahun, dengan kini usia harapan hidup mencapai 65 tahun
ditemukan menderita penyakit PPJ atau BPH ini. Kanker prostat, juga merupakan salah satu
penyakit prostat yang lazim berlaku dan lebih ganas berbanding BPH yang hanya melibatkan
pembesaran jinak daripada prostat. . Secara khususnya di Indonesia, menurut WHO, untuk
tahun 2005, insidensi terjadinya kanker prostat adalah sebesar 12 orang setiap 100,000
orang, yakni yang keempat setelah kanker saluran napas atas, saluran pencernaan dan hati.
Hipertrofi prostat benigna didefinisikan sebagai proliferasi sel stroma prostat, yang
mengakibatkan n prostat berjalan seiring bertambahnya usia. Salah satu tindakan
operasi yang dilakukan adalah dengan TURP (Trans Urethral Resection Prostat).
pembesaran kelenjar prostat sebagai hasilnya uretra prostat ditekan, yang membatasi aliran
urin dari kandung kemih. Gangguan aliran urin dapat menyebabkan gejala tidak nyaman
seperti frekuensi miksi sering terputus atau lancar, urgency (rasa tidak dapat menahan lagi
saat ingin miksi), nokturia (terbangun malam hari saat miksi), intermittency (miksi terputus),
hesistancy ( saat miksi pasien harus nunggu sebelum urin kleuar). (2)
2.1 DEFINISI
Benigna prostat hiperplasia adalah pertumbuhan berlebihan dari sel-sel prostat yang
tidak ganas. Pembesaran prostat jinak akibat sel-sel prostat memperbanyak diri melebihi
kondisi normal, yang biasanya dialami laki-laki berusia diatas 50 tahun. Istilah Benigna
Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau
hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami hyperplasia (sel-
selnya bertambah banyak. Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng
dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di benigna hiperplasia of prostat gland atau
adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai. (4)
2.2. EPIDEMIOLOGI
Di dunia diperkirakan jumlah penderita BPH adalah sekitar 30 juta, jumlah ini
hanya terdapat pada pria karena wanita tidak mempunyai kelenjar prostat. Jika dilihat
secara epidemiologinya di dunia menurut usia, maka dapat dilihat kadar insidensi BPH,
pada usia 40 tahun kemungkinan seseorang itu menderita penyakit ini adalah sebesar
40%, dan setelah meningkatnya usia, yakni dalam rentang usia 60 hingga 70 tahun,
persentasenya meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun, untuk mendapatkannya bisa
mencapai 90%. Akan tetapi jika dilihat secara histologi, penyakit BPH secara umum
mengakibatkan 20% pria pada usia 40 tahun, dan meningkat secara dramatis pada pria
berusia 60 tahun, dan 90% pada usia 70 tahun .
Bukti histologis adanya benign prostatic hyperplasia (BPH) dapat diketemukan pada
sebagian besar pria, bila mereka dapat hidup cukup lama. Namun demikian, tidak semua
pasien BPH berkembang menjadi BPH yang bergejala 2 (symptomatic BPH). Prevalensi BPH
yang bergejala pada pria berusia 40-49 tahun mencapai hampir 15%. Angka ini me-ningkat
dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50-59 tahun prevalensinya mencapai hampir
25%, dan pada usia 60 yahun mencapai angka sekitar 43%. Angka kejadian BPH di Indonesia
yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital prevalence di dua rumah
sakit besar di Jakarta yaitu RSCM dan Sumberwaras selama 3 tahun (1994-1997) terdapat
1040 kasus. (5)
2.3 ETIOLOGI
Etiologi BPH hingga saat ini masih belum dapat dipastikan. Teori yang umum
digunakan adalah bahwa BPH bersifat multifaktorial dan dipengaruhi oleh sistem endokrin.
Penelitian yang ada menunjukan adanya korelasi positif antara kadar testosteron bebas dan
estrogen dengan ukuran BPH. Selain itu, adapula yang menyatakan bahwa penuaan
menyebabkan peningkatan kadar estrogen yang menginduksi reseptor androgen sehingga
meningkatkan sensitivitas prostat terhadap testosteron bebas. Secara patologis, pada BPH
terjadi proses hiperplasia disertai peningkatan jumlah sel. (6)
Pada usia tua terjadi kelemahan umum termasuk kelemahan pada buli (otot detrusor)
dan penurunan fungsi persarafan. Perubahan karena pengaruh usia tua menurunkan
kemampuan buli-buli dalam mempertahankan aliran urin pada proses adaptasi oleh adanya
obstruksi karena pembesaran prostat, sehingga menimbulkan gejala. Testis menghasilkan
beberapa hormon seks pria, yang secara keseluruhan dinamakan androgen. Hormon tersebut
mencakup testosteron, dihidrotestosteron dan androstenesdion. Testosteron sebagian besar
dikonversikan oleh enzim 5-alfa-reduktase menjadi dihidrotestosteron yang lebih aktif
secara fisiologis di jaringan sasaran sebagai pengatur fungsi ereksi. Tugas lain testosteron
adalah pemacu libido, pertumbuhan otot dan mengatur deposit kalsium di tulang. Sesuai
dengan pertambahan usia, kadar testosteron mulai menurun secara perlahan pada usia 30
tahun dan turun lebih cepat pada usia 60 tahun keatas.
Faktor predisposisi yang mempengaruhi terjadinya BPH adalah riwayat keluarga pada
penderita BPH dapat meningkatkan risiko terkena BPH lebih besar. Semakin banyak anggota
keluarga yang mengidap penyakit ini, semakin besar risiko anggota keluarga yang lain untuk
dapat terkena BPH. Dimana dalam riwayat keluarga ini terdapat mutasi dalam gen yang
menyebabkan fungsi gen sebagai gen penekan tumor mengalami gangguan sehingga sel akan
berproliferasi secara terus menerus tanpa adanya batas kendali.
Obesitas akan membuat gangguan pada prostat dan kemampuan seksual, tipe bentuk
tubuh yang mengganggu prostat adalah tipe bentuk tubuh yang membesar di bagian pinggang
dengan perut buncit, seperti buah apel. Beban di perut itulah yang menekan otot organ
seksual, sehingga lama-lama organ seksual kehilangan kelenturannya, selain itu deposit
lemak berlebihan juga akan mengganggu kinerja testis. Pada obesitas terjadi peningkatan
kadar estrogen yang berpengaruh terhadap pembentukan BPH melalui peningkatan sensitisasi
prostat terhadap androgen dan menghambat proses kematian sel-sel kelenjar prostat. Pola
obesitas pada laki-laki biasanya berupa penimbunan lemak pada abdomen.
Kebiasaan merokok yaitu nikotin dan konitin (produk pemecahan nikotin) pada rokok
meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen, sehingga menyebabkan penurunan kadar
testosteron.
Olah raga pada para pria yang tetap aktif berolahraga secara teratur, berpeluang lebih
sedikit mengalami gangguan prostat, termasuk BPH. Dengan aktif olahraga, kadar
dihidrotestosteron dapat diturunkan sehingga dapat memperkecil risiko gangguan prostat.
Selain itu, olahraga akan mengontrol berat badan agar otot lunak yang melingkari prostat
tetap stabil. Olahraga yang dianjurkan adalah jenis yang berdampak ringan dan dapat
memperkuat otot sekitar pinggul dan organ seksual. (7)
2.4 PATOFISIOLOGI
Secara anatomis, kelenjar prostat terletak tepat di bawah kandung kemih dan ditembus
oleh uretra. Kelenjar ini dibagi atas empat zona, yaitu zona perifer, sentral,, stroma
fibromuskularis anterior, dan transisional. BPH terjadi di zona transisional dan dapat
menyebabkan obstruksi pada leher vesika urinaria dan uretra, yang disebut sebagai bladder
outlet obstruction (BOO). BOO yang disebabkan oleh BPH secara spesifik dikenal sebagai
benign prostate obstruction (BPO).
Gejala klinis yang ditimbulkan terbagi atas dua jenis, yaitu gejala obstruksi dan gejala iritasi.
Gejala obstruksi timbul akibat sumbatan secara langsung terhadap uretra. Otot detrusor pada
kandung kemih gagal berkontraksi cukup kuat atau cukup lama sehingga kontraksi yang
dihasilkan terputus-terputus. Gejala iritatif terjadi pada kandung kemih sebagai respons
meningkatnya resistensi pengeluaran. Pengosongan yang tidak sempurna menyebabkan
rangsangan pada kandung kemih hingga sering berkontraksi pada kondisi belum penuh.
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia, jika prostat
membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersempit saluran uretra prostatica
dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai
kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli berkontraksi
lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan
perubahan anatomi dari buli-buli berupa Hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya
selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan pasien
sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah atau Lower Urinary Tract
Symptom/LUTS.
Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor berhasil
dengan sempurna, artinya pola dan kualitas dari miksi tidak banyak berubah. Pada fase ini
disebut sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata lama kelamaan kemampuan kompensasi
menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi
dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli
saat proses miksi berakhir seringkali Prostat Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan
jalan meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai
timbulnya hernia dan haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak
berhasilnya melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut
sebagai Prostat Hyperplasia Dekompensata. Fase Dekompensasi yang masih akut
menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia
urine secara berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli
tetap penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi.
Puncak dari kegagalan kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine
dan menjadi retensi urine. Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran
fungsi ginjal. (6)
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar
kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms
(LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif
Gejala iritatif meliputi:
- Frekuensi yaitu penderita lebih sering miksi dari biasanya dapat terjadi pada
malam hari dansiang hari
- Nokturia yaitu terbangun untuk miksi pada malam hari
- Urgensi yaitu perasaan ingin miksi yangsangat mendesak dan sulit ditahan.
- Disuria yaitu nyeri pada saat miksi
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas, berupa
gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang (tanda
hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia,
peningkatan tekanan darah, perikarditis dan neuropati perifer.
KLASIFIKASI BPH
a. Early BPH
Bladder
Uretra
Enlargement of the
prostate starts to constrict
the uretra
b. Moderate BPH
Urethra become
narrowed
c. Severe BPH
Completely obstructed
Urethra urethra
Benign Prostatic Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan gangguan klinisnya :
1. Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1 – 2 cm, sisa urine
kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.
2. Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat, panas
badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol, batas atas
masih teraba, sisa urine 50 – 100 cc dan beratnya + 20 – 40 gram.
3. Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa urine
lebih 100 cc, penonjolan prostat 3 – 4 cm, dan beratnya 40 gram.
4. Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit keginjal
seperti gagal ginjal, hydroneprosis.
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalami tindakan medik. Kadang-
kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi
apapun atau hanya dengan nasehat saja. Namun ada pula yang membutuhkan terapi
medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah.
Tujuan terapi hyperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2) meningkatkan
kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4) mengembalikan fungsi ginjal jika
terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu urine setelah miksi dan (6) mencegah
progrefitas penyakit. Hal ini dapat dicegah dengan medikamentosa, pembedahan atau
tindakan endourologi yang kurang invasif.
Terapi BPH dapat berkisar dari watchful waiting di mana tidak diperlukan teknologi
yang canggih dan dapat dilakukan oleh dokter umum, hingga terapi bedah minimal invasif
yang memerlukan teknologi canggih serta tingkat keterampilan yang tinggi.
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7,
yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapat
terapi namun hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat
memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan mengkonsumsi kopi atau alcohol setelah
makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli
(kopi/cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedasadan asin, dan (5) jangan menahan kencing
terlalu lama.
Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya keluhannya
apakah menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku), disamping itu dilakukan
pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah jelek
daripada sebelumnya, mungkin perlu dipikirkan terapi yang lain. (8)
Tatalaksana untuk BPH berkisar antara observasi waspada (watchful waiting) hingga
diperlukan intervensi. Skor IPSS dapat digunakan sebagai patokan untuk panduan
tatalaksana. Skor International Prostate Symptom Score (IPSS) ini berdasarkan jawaban
penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Nilai IPSS diantara 0 – 7 termasuk ringan
pada umumnya tidak ada terapi hanya watchful & waiting dan dilakukan kontrol sahaja. Nilai
IPSS diantara 8 – 18 derajat sedang dilakukan terapi medikamentosa, sedangkan nilai 19 – 35
termasuk derajat berat diperlukan operasi prostatektomi terbuka (Open Prostatectomy) atau
operasi reseksi transuretral (Transurethral Resection of the Prostate) . Prinsip pengobatan
BPH adalah untuk mengurangi resistensi otot polos prostat (komponen dinamis) atau
mengurangi volume prostat (komponen statis). (9)
2.6.2 Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1) mengurangi resistensi otot
polos prostat sebagai komponen dinamik atau (2) mengurangi volume prostat sebagai
komponen statik. Jenis obat yang digunakan adalah: (10)
1. Antagonis adrenergik reseptor α yang dapat berupa:
a. preparat non selektif: fenoksibenzamin
b. preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin, dan
indoramin
c. preparat selektif dengan masa kerja lama: doksazosin, terazosin, dan
tamsulosin
2. Inhibitor 5 α redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride
3. Fitofarmaka
2.6.3 Pembedahan
Pembedahan dapat memperbaiki klinis pasien BPH secara obyektif, namun disertai
berbagai penyulit pada saat atau setelah operasi. Indikasi pembedahan apabila terdapat retensi
urin, infeksi saluran kemih berulang, hematuria makroskopis, gagal ginjal,divertikulum yang
besar, batu buli, tidak ada perbaikan dengan terapi non bedah atau pasien menolak
medikamentosa. Tiga teknik pembedahan yang di rekomendasikan adalah Prostatektomi
terbuka, Insisi prostat transuretra (TUIP), Reseksi prostat transuretra (TURP)
Prostatektomi terbuka merupakan cara yang paling tua, paling invasif, dan paling
efisien di antara tindakan pada BPH yang lain dan memberikan perbaikan gejala BPH 98%.
Pembedahan terbuka ini dikerjakan melalui pendekatan transvesikal yang mula-mula
diperkenalkan oleh Hryntschack dan pen-dekatan retropubik yang dipopulerkan oleh Millin.
Pendekatan transvesika hingga saat ini sering dipakai pada BPH yang cukup besar disertai
dengan batu buli-buli multipel, divertikula yang besar, dan hernia inguinalis. Pembedahan
terbuka dianjurkan pada prostat volumenya diperkirakan lebih dari 80-100 cm3. Dilaporkan
bahwa prostatektomi terbuka menimbulkan komplikasi striktura uretra dan inkontinensia
urine yang lebih sering dibandingkan dengan TURP ataupun TUIP. (10)
TUIP atau insisi leher buli-buli (bladder neck insicion) direkomendasikan pada
prostat yang ukurannya kecil (kurang dari 30 cm3), tidak dijumpai pembesaran lobus medius,
dan tidak diketemukan adanya kecurigaan karsinoma prostat. Teknik ini dengan melakukan
mono insisi atau bilateral insisi mempergunakan pisau Colling mulai dari muara ureter, leher
buli-buli-sampai ke verumontanum. Insisi diperdalam hingga kapsula prostat. Waktu yang
dibutuhkan lebih cepat, dan lebih sedikit menimbulkan komplikasi dibandingkan dengan
TURP. TUIP mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan meningkatkan Qmax meskipun
tidak sebaik TURP.
Prosedur TURP merupakan 90% dari semua tindakan pembedahan prostat pada
pasien BPH. Menurut Wasson et al (1995) pada pasien dengan keluhan derajat sedang, TURP
lebih bermanfaat daripada watchful waiting. TURP lebih sedikit menimbulkan trauma
dibandingkan prosedur bedah terbuka dan memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat.
Secara umum TURP dapat memper-baiki gejala BPH hingga 90%, meningkatkan laju
pancaran urine hingga 100%.
Komplikasi dini yang terjadi pada saat operasi sebanyak 18-23%, dan yang paling
sering adalah perdarahan sehingga mem butuhkan transfusi. Timbulnya penyulit biasa-nya
pada reseksi prostat yang beratnya lebih dari 45 gram, usia lebih dari 80 tahun, ASA II-IV,
dan lama reseksi lebih dari 90 menit. Sindroma TUR terjadi kurang dari 1%.
Penyulit yang timbul di kemudian hari adalah: inkontinensia stress, striktura uretra,
kontraktur leher buli-buli yang lebih sering terjadi pada prostat yang berukuran kecil, dan
disfungsi ereksi. Angka kematian akibat TURP pada 30 hari pertama adalah 0,4% pada
pasien kelompok usia 65-69 tahun dan 1,9% pada kelompok usia 80-84 tahun37. Dengan
teknik operasi yang baik dan manajemen perioperatif (termasuk anestesi) yang lebih baik
pada dekade terakhir, angka morbiditas, mortalitas, dan jumlah pemberian transfusi
berangsur-angsur menurun. (10)
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan
resektroskop, dimana resektroskop merupakan alat endoskopi (teropong) yang dilengkapi
dengan kamera ke dalam saluran kencing pasien dalam keadaan terbius spinal (separuh tubuh
bawah). Alat endoskopi yang dinamakan resektoskop ini disambungkan ke alat cauter
(pembakar) yang bertenaga listrik. Tenaga panas yang dihasilkan dari alat cauter inilah yang
digunakan untuk memotong jaringan prostat dan menghentikan perdarahan. Alat resectoscope
juga disambungkan ke tampungan air (aquadest steril) melalui selang yang berguna untuk
mengalirkan air ke dalam saluran kencing untuk membuka rongga uretra dan kandung kemih
serta membilas perdarahan yang terjadi akibat pemotongan prostat sehingga tidak
mengganggu pandangan dokter operator. Setelah prostat dipotong menjadi bentuk yang kecil-
kecil, jaringan prostat tersebut dikeluarkan dengan cara disedot. Kemudian jaringan tersebut
akan diperiksakan ke laboratorium untuk emngetahui apakah ganas ataupun jinak jenis tumor
prostatnya. Setelah operasi, pasien akan dipasang kateter uretra besar yang dilengkapi dengan
selang irigasi untuk membilas urine. Prosedur pembedahan TUR Prostat menimbulkan luka
bedah yang akan mengeluarkan mediator nyeri dan menimbulkan nyeri pasca bedah. TUR
prostat menjadi pengobatan pilihan untuk pasien usia lanjut.
2.7.1 EPIDEMIOLOGI
Sindrom TURP adalah satu dari komplikasi tersering pembedahan endoskopi urologi.
Insiden sindrom TURP mencapai 20% dan membawa angka mortalitas yang signifikan.
Walaupun terdapat peningkatan di bidang anestesi 2,5%-20 % pasien yang mengalami TURP
menunjukkan satu atau lebih gejala sindrom TURP dan 0,5% - 5% diantaranya meninggal
pada waktu perioperatif. Angka mortalitas dari sindrom TURP ini sebesar 0,99%.
2.7.2 ETIOLOGI
Reseksi kelenjar prostate transuretra dilakukan dengan mempergunakan cairan irigasi agar
daerah yang di irigasi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan elektrolit / ionik tidak bisa
digunakan untuk irigasi saat TURP karena cairan tersebut mendispersi aliran elektrokauter dan
menyebabkan hantaran saat operasi. Syarat cairan yang dapat digunakan untuk TURP adalah isotonik,
non-hemolitik, electrically inert, non-toksik, transparan, mudah untuk disterilisasi dan tidak mahal.
Akan tetapi sayangnya cairan yang memenuhi syarat seperti di atas belum ditemukan5.
Untuk TURP biasanya menggunakan cairan nonelektrolit hipotonik sebagai cairan irigasi
seperti air steril, Glisin 1,5% (230 mOsm/L), atau campuran Sorbitol 2,7% dengan Mannitol 0,54%
(230 Osm/L). Cairan yang boleh juga dipakai tapi jarang digunakan adalah Sorbitol 3,3%, Mannitol
3%, Dekstrosa 2,5-4% dan Urea 1%..
2.7.3 KOMPLIKASI
Komplikasi tindakan TURP dapat diakibatkan oleh teknik tindakannya maupun akibat
penggunaan cairan irigasi. Berkaitan dengan teknik tindakannya dapat mengakibatkan
komplikasi perdarahan, trauma pada uretra, dan perforasi prostat atau buli, sedangkan
komplikasi yang berkaitan dengan penggunaan cairan irigasi dapat terjadi akibat
diabsorbsinya cairan irigasi secara berlebihan dan dalam volume tertentu dapat menimbulkan
gejala sindrom TURP. Kejadian sindroma TURP dipengaruhi oleh jumlah cairan irigasi yang
diabsorbsi melalui sinus yang terbuka selama reseksi, lama waktu reseksi (lebih dari 1 jam),
besarnya hiperplasia prostat dan tekanan hidrostatik cairan irigasi. Kelebihan cairan
intravaskular karena absorbsi cairan irigasi akan mengakibatkan terjadinya hiponatremia
dilusional, yang akan menurunkan osmolalitas plasma. Perubahan kadar Na+, K+, Cl dan Lac
dapat mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan asam basa yaitu asidosis metabolik.
Salah satu jenis cairan perioperatif yang biasa digunakan pada tindakan TURP adalah
cairan natrium klorida isotonik 0,9% yang memiliki osmolaritas 308 mOsmol/L dengan
kandungan natrium 154 mEq/L dan klorida 154 mEq/L. Akan tetapi kelemahan penggunaan
cairan ini adalah dapat memperburuk status asam basa penderita yang memicu terjadinya
asidosis metabolik oleh karena kandungan klorida yang tinggi. (11)
Selain itu juga beberapa komplikasi saat Per operasi yang terjadi berupa pendarahan,
perforasi kapsular, perforasi kandung kemih kemih atau rektum cedera. Sedangkan
komplikasi post dibagi menjadi dua yaitu komplikasi pos operasi immediate dan tertunda pos
operasi (delayed post operative complication). Komplikasi pos operasi immediate ini operasi
komplikasi termasuk pendarahan, bekuan retensi, tur syndrom, UTI, hemoragik sekunder,
luka infeksi, epididymitis, kebocoran supra-pubik, dan tertunda pos operasi komplikasi
termasuk mundur ejakulasi, retensi, inkontinensia, penurunan aliran urin, disfungsi ereksi,
striktur uretra. (12)
- Pada 24-48 jam pertama dilakukan pemantauan terhadap adanya perdarahan out put
urin/perdarahan via kateterisasi, presentasi clot darah yang keluar, penurunan output urin,
peningkatan spasme kandung kemih yang ditandai dengan distensi kandung kemih dan
distensi abdomen, penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit darah melalui hasil
laboratorium, takikardi, serta hipertensi.
- Pasien dianjurkan untuk menjaga ketegangan kateter, sehingga resiko hambatan aliran
irigasi + flow urin tidak terjadi.
- Pasien tidak dianjurkan untuk menarik kateter dan drain ketika melakukan eliminasi fekal a.
Distensi abdomen muncul ketika kandung kemih mengalami spasme/kontraksi kandung
kemih. Hal ini dapatmenyebabkan nyeri pasca TURP yang dirasakan pasien disekitar
kandung kemih. Pada saat tekanan intra abdomen meningkat pasien tidak dianjurkan untuk
mengedan atau melakukan valsavah manuver, hal ini mengakibatkan intensitas nyeri disekitar
kandung kemih meningkat. Tahanan kateter oleh clot darah pasca operasi TURP akan
meningkatkan tekanan di sekitar kandung kemih sehingga menyebabkan distensi kandung
kemih.
- Irigasi kandung kemih dilakukan secara kontinu dengan mengatur rata-rata laju irigasi
cairan sesuai program sehingga perbandingan warna urin dan cairan irigasi dapat dipantau
kesesuaiannya. Observasi output urin dilakukan setiap 1-2 jam dengan melihat perubahan
warna urin, jumlah, dan persentasi clot.
- pencabutan kateter dilakukan dengan melihat jumlah, warna, dan konsistensi urin. Rasa
panas ketika miksi, urin menetes setelah melakukan miksi, dan clot darah yang keluar beserta
urin ketika miksi berlangsung dapatmuncul ketika kateter urun sudah dicabut,
Anestesi spinal digunakan pada operasi TURP dengan sedasi, sebuah citoscope yang
dimasukkan melalui uretra sampai ke bladder, kemudian bladder diisi dengan solution
sehingga memudahkan operator memeriksa bagian dari prostat yang membesar, kemudian
dimasukkan surgical loop melalui citoscope untuk meremove bagian yang membesar, dan
kateter akan dibiarkan sampai beberapa hari. Observasi kesadaran, vital sign, perdarahan,
produksi urin.
Pasien yang menjalani TURP biasanya pada usia lanjut dan sering disertai dengan
penyakit jantung, paru, atau lainnya sehingga penting untuk membatasi level blok untuk
mengurangi efek cardiopulmonary yang merugikan pada pasien tersebut. Penggunaan
anastesi lokal dengan dosis yang lebih kecil memberikan beberapa keuntungan misalnya
hipotensi tidak terjadi karena tidak memblok serabut saraf simpatik di daerah atas serta
memperkecil resiko timbulnya toksisitas sistemik obat anastesi local. (13)
2.9 Indikasi
Spinal anestesi paling baik digunakan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah,
panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah
endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetric, dan
bedah anak. Spinal anestesi sebagian besar cocok untuk pasien tua dan dengan penyakit
sistemik seperti penyakit respiratory kronik, hepatic, ginnjal dan kelainan endokrin seperti
diabetes. Spinal anestesi juga cocok untuk menangani pasien trauma jika pasien tersebut
memiliki resusitasi yang adekuat dan tidak dalam keadaan hypovolemik. Di bidang
gynekologi, anestesi spinal pada umumnya digunakan untuk mengeluarkan placenta secara
manual dimana tidak dalam keadaan hypovolemik, selain itu akan sangat menguntungkan
bagi ibu dan anaknya jika menggunakan spinal anestesi pada section caesaria.Anestesi spinal
pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi umum.
2.10 Kontraindikasi
Kontraindikasi absolut paling penting dari anestesi spinal adalah penolakan pasien. Selain itu
ada beberapa kondisi preoperatif yang meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas teknik
ini sehingga ahli anestesi harus memilih dengan cermat antara resiko dengan keuntungan
teknik ini sebelum melanjutkan. Kontra indikasi absolut lainnya yaitu:
Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga
subdural. Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare.
Hipovalemia akan meningkatkan resiko hipotensi. Koagulapati atau trombositopenia akan
meningkatkan resiko hematoma epidural. Peningktan tekanan intrakranial akan meningkatkan
resiko herniasi otak apabila cairan serebrospinal keluar melalui jarum atau sebaliknya terjadi
peningktan larutan akibat masuknya volume larutan anestetik lokal kedalam ruangan epidural
atau subarachnoid. Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim pada anestesi spinal bisa
terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka harus dipersiapkan
fasilitas dan obat emergensi lainnya. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi
hal ini dapat menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,
keterampilan dokter anestesi sangat penting. (14)
Beberapa kondisi lainnya dengan resiko yang lebih dapat dipertimbangkan juga
kontraindikasi relatif untuk dilakukan anestesi spinal adalah:
Blokade spinal tidak berhenti serta merta setelah periode waktu tertentu. Blokade ini
akan hilang secara bertahap mulai dari dermatom paling sefalad samapai kaudal. Anestesi
spinal untuk pembedahan bertahan lebih lama di tingkat sakral dibandingkan tingkat thoraks.
Durasi anestesi pada lokasi pembedahan sangat berbeda dengan durasi yang dibutuhkan blok
sampai hilang sepenuhnya. Durasi pertama penting untuk mengukur anestesi pembedahan
sementara durasi kedua penting untuk mengetahui waktu pemulihan. Pengetahuan mengenai
kedua hal ini penting untuk diketahui agar seorang dokter anestesiologi mampu menjelaskan
baik kepada ahli bedah maupun pada pasien mengenai durasi kerja anestesi spinal.
Penentu durasi utama ialah digunakannya anestesi lokal. Anestesi lokal dengan durasi
yang paling singkat aialah prokain, lidokain, dan mepivakain adalah agen intermedier, dan
bupivakain dan tetrakain adalah agen durasi panjang.
Penentu selanjutnya ialah dosis obat dan tinggi blokade. Dosis anestesi lokal bila
ditingkatkan jumlahnya akan meningkatkan durasi blok spinal. Apabila dosis obat dibuat
konstan, blok yang lebih tinggi akan beregresi lebih cepat dibandingkan blok yang lebih
rendah. Larutan anestetik lokal isobarik akan menghilangkan blok lebih panjang daripada
larutan hiperbarik dengan dosis yang sama. Penyebaran sefalad yang lebih jauh akan
menyebabkan konsentrasi obat yang lebih rendah dalam cairan serebrospinal dan spinal nerve
root. Hal ini menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk konsentrasi anestetika lokal untuk
turun di bawah konsentrasi efektif minimal menjadi lebih singkat.
Sebelum anestesi spinal dimulai, apsien harus disiapkan seperti persiapan bila akan
melakukan anestesi umum. Hal ini bertujuan sebagai antisipasi perubahan mendadak tekanan
darah, laju nadi, atau masalah oksigen. Harus ada akses intravena yang adekuat dan
perlengkapan monitor pasien. Standar minimalnya antara lain EKG, monitor tekanan darah
non invasif atau kateter arterial, dan pulse oxymeter. Monitoring suhu badan sebaiknya
disiapkan, karena pasien dapat terserang hipotermia terutama pada operasi yang
membutuhkan waktu lama. Mesin anestesi, sungkup muka, sumber oksigen dan suction harus
tersedia dan siap pakai. Obat-obatan sedasi, induksi, emergency dan pelumpuh otot harus
tetap tersedia meskipun tidak langsung di dalam spuit. Alat-alat manejement jalan napas
seperti pipa endotrakea, laringoskop dan pipa orofaringeal harus juga tersedia.
Ada tiga posisi utama yang biasa digunakan pada teknik penyuntikan obat anestetik lokal
pada anestetik lokal pada anestesi spinal yaitu lateral dekubitus, duduk, tengkurap.
Pemilihan masing-masing posisi ini tergantung dari situasi dan kebutuhan dari pasien.
Pengaturan posisi pasien cukup penting untuk menjamin keberhasilan tindakan anestesi
spinal ini. Ada 2 alasan utama sehingga sering terjadi kesalahan penanganan pada
pengaturan posisi penderita, yaitu pertama asisten sering tidak mengerti rasionalnya
bagaimana memposisikan pasien dan alasan kedua pemberian sedasi pada pasien sering
tidak adekuat sehingga pasien kadang kala tidak kooperatif.
Posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling
sering dikerjakan. Biasanya pasien tidur miring di atas meja operasi dengan membelakangi
ahli anestesiologi. Pinggul dan lutut difleksikan secara maksimal, dan dada serta leher
difleksikan mendekat ke arah lutut. Posisi ini digunakan untuk kasus-kasus cedera atau
fraktur pada pinggul dan kaki dimana penderita tidak dapat bangun atau duduk.untuk
prosedur pembedahn yang unilateral, larutan hiperbarik biasanya digunakan pada posisi ini
dengan sisi yang akan dilakukan tindakan pembedahan berada di sebelah bawah.
Sebaliknya bila yang digunakan larutan hipobarik maka penderita diposisikan dengan sisi
yang akan dioperasi berada di sebelah atas.
Anatomi tulang belakang kadang-kadang lebih mudah dipalpasi bila dilakukan dengan lateral
dekubitus. Posisi ini lebih baik dilakukan pada pasien obesitas dan sering diindikasikan untuk
operasi lumbal bawah atau sakral. Pada anestesi spinal, pasien-pasien tersebut sebaiknya
dibiarkan dalam posisiduduk dulu sesudah penyuntikan selama kurang lebih 5 menit. Namun
bila posisi ini dipilih atas alasan obesitas atau skoliosis sementara kita menginginkan level
blok tinggi, maka setelah penyuntikan pasien harus segera kita terlentangkan (supine
position)
Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan paramedian. Pada
teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari sumbu tulang belakang. Pada
tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral dari garis tengah dan dilakukan tusukan
sedikit dimiringkan ke kaudal.[17]
Pada teknik anestesi spinal, posisi ini dapat dilakukan untuk prosedur pembedajhan
pada bagian anorektal. Pasien diposisikan dalam posisi jack-knife, dan selanjutnya lumbal
pungsi dapat dilakukan. Teknik ini menggunakan larutan anestetika lokal yang bersifat
hipobarik dan keuntungannya penderita setelah tindakan lumbal pungsi tidak perlu diubah
lagi posisinya. Ini akan menghasilkan anestesi daerah sakral. (17)
Larutan Anestesi local disuntikkan kedalam ruang subarachnoid yang akan memblok
konduksi impulse saraf walaupun beberapa saraf lebih mudah diblok dibanding yang lain.
Ada 3 klas syaraf, yaitu motoris, sensoris dan autonomik. Stimulasi saraf motorik
menyebabkan kontraksi otot dan ketika itu diblok akan menyebbakan paralisis otot. Saraf
sensorik mentransmisikan sensasi seperti nyeri dan sentuhan ke spinal cord dan dari spinal
cord ke otak dan saraf autonomic mengontrol pembuluh darah, heart rate, kontraksi usus, dan
fungsi lainnya yang tidak disadari.
Secara umum pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf
simpatis dan parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan
dalam yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar (vibratory sense)
dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit tungkai
bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan sebaliknya, yaitu fungsi
motoris yang pertama kali akan pulih.
2.16 KOMPLIKASI TINDAKAN ANESTESI SPINAL
Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus diperhatikan.
Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh seperti. Beberapa komplikasi
tersebut diantaranya adalah :
1. Komplikasi Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi karena
vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola
sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang
akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan
pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau
fenilefedrin. Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan
anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang
berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti
ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia
merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl,
Ringerlaktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah
penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi
hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang
setiap 3-4 menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi
karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas
atropine 1/8-1/4mg IV.
3. Sistem Respirasi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat melakukan anestesi spinal
adalah :
Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi
paru-paru normal.
Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.
Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.
Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas, merupakan
tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani
dengan pernafasan buatan.
4. Gastointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,
pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta
komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala
dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak.
Mulai terasa pada 24 - 48 jam pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang
bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat. Untuk
menangani komplikasi ini dapat diberikan obat tambahan yaitu ondansetron atau
diberikan ranitidine. [2][6][7]
5. Nyeri Kepala (Puncture Headache)
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala.
Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada
anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti
ukuran jarum yang digunakan.Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko
untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi
pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya
muncul dalam 6 –48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang
berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retroorbital, dan sering
disertai dengan tanda diplopia, mual, dan muntah. Tanda yang paling signifikan nyeri
kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah
posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang atau hilang total bila
pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24 –48 jam harus dicoba terlebih
dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena), analgesic, dan
suport yang kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava akan menyebabkan
terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan
kebocoran dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika
terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin ke dalam
epidural untuk menghentikan kebocoran.
6. Traktus Urinarius
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun
regional. Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali paling
akhir pada analgesia spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf
pemanen merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi. (15)(18)