You are on page 1of 10

Bagian Ilmu Penyakit Mata REFERAT

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

UVEITIS

Disusun Oleh :

Dwiki Fitrandy
NIM. 1710029050
Nazla Amanda
NIM. 1710029045
Ni Nyoman Novia Candra Dwipa
NIM. 1710029038

Pembimbing :
dr. Nur Khoma Fatmawati, M.Kes, Sp.M

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Pada Bagian Ilmu Penyakit Mata
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2017
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Uveitis adalah inflamasi di uvea yaitu iris, badan siliar dan koroid yang dapat
menimbulkan kebutaan. Uveitis dapat disebabkan oleh kelainan di mata saja atau merupakan
bagian dari kelainan sistemik, trauma, iatrogenic dan infeksi, namun sebanyak 20-30% kasus
uveitis adalah idiopatik. Secara anatomi, uveitis dibagi menjadi uveitis anterior, intermediet,
posterior dan panuveitis. Panuveitis adalah peradangan seluruh uvea dan sekitarnya, seperti
vitreous, retina, dan nervus optik (Kanski, 2016)
Insidens uveitis anterior di Negara maju lebih tinggi dibandingkan Negara berkembang
karena ekspresi human-leukocyte antigen (HLA-B27) yang merupakan faktor predisposisi uveitis
anterior, lebih tinggi di Negara maju. Uveitis posterior menjadi penyebab kebutaan kelima di
Negara berkembang seperti Amerika Selatan, India, dan Afrika karena tingginya penyakit infeksi
khususnya toksoplasmosis, tuberculosis, HIV, dan sifilis (Sitompul, 2016).
Gejala uveitis umumnya ringan namun dapat memberat dan menimbulkan komplikasi
kebutaan bila tidak ditatalaksana dengan baik. Selain itu,uveitis dapat mengakibatkan
peradangan jaringan sekitar seperti sclera, retina, dan nervus optik sehingga memperburuk
perjalanan penyakit dan meningkatkan komplikasi. Apabila tidak mendapatkan terapi yang
adekuat, proses peradangan akan berjalan terus dan menimbulkan berbagai komplikasi. Sel-sel
radang, fibrin, dan fibroblas dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa
bagian anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun dengan endotel kornea yang disebut
sinekia anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil, yang disebut seklusio
pupil, atau seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang, disebut oklusio pupil. Karena uveitis dapat
menimbulkan kebutaan, dokter harus mampu menegakkan diagnosis klinis, memberikan terapi
awal, menentukan rujukan, serta menindaklanjuti pasien rujukan balik yang telah selesai
ditatalaksana.
1.2.Tujuan
Mengetahui dan memahami materi uveitis sebagai salah satu penyakit yang harus
dikuasai dalam standar kompetensi dokter serta syarat dalam mengikuti kepanitraan klinik
bidang Mata di Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
UVEITIS ANTERIOR
1.1 DEFINISI
Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan badan siliar (pars plicata),
kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata, kornea dan sklera.
Peradangan pada uvea dapat mengenai hanya pada iris yang disebut iritis atau mengenai
badan siliar yang di sebut siklitis. Biasanya iritis akan disertai dengan siklitis yang disebut
iridosiklitis atau uveitis anterior (Eva & Witcher, 2007)

1.2 KLASIFIKASI
Menurut klinisnya uveitis anterior dibedakan dalam uveitis anterior akut yaitu uveitis
yang berlangsung selama < 6 minggu, onsetnya cepat dan bersifat simptomatik dan uveitis
anterior kronik uveitis yang berlangsung selama > 6 minggu bahkan sampai berbulan-bulan
atau bertahun-tahun, seringkali onset tidak jelas dan bersifat asimtomatik. Pada kebanyakan
kasus penyebabnya tidak diketahui.
Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis: yang non-granulomatosa
(lebih umum) dan granulomatosa. Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral,
biasanya terjadi pada oreng dewasa dan usia pertengahan. Uveitis non-granulomatosa
terutama timbul di bagian anterior traktus uvealis ini, yaitu iris dan korpus siliaris. Terdapat
reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrat sel-sel limfosit dan sel plasma dengan jumlah cukup
banyak dan sedikit mononuklear. Uveitis granulomatosa yaitu adanya invasi mikroba aktif ke
jaringan oleh bakteri. Dapat mengenai uvea bagian anterior maupun posterior. Infiltrat
dominan sel limfosit, adanya aggregasi makrofag dan sel-sel raksasa multinukleus. Pada kasus
berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di kamera okuli anterior.

Tabel 1. Perbedaan Uveitis granulomatosa dan non-granulomatosa


Non- Granulomatosa Granulomatosa
Onset Akut Tersembunyi
Nyeri Nyata Tidak ada atau
Fotofobia Nyata ringan
Penglihatan Kabur Sedang Ringan
Merah Sirkumneal Nyata Nyata
Keratic precipitates Putih halus Ringan
Pupil Kecil dan tak teratur Kelabu besar
Sinekia posterior Kadang-kadang (“mutton fat”)
Noduli iris Tidak ada Kecil dan tak
Lokasi Uvea anterior teratur
Kadang-kadang
Kadang-kadang
Perjalanan penyakit Akut Uvea anterior,
Kekambuhan Sering posterior,difus
Kronik
Kadang-kadang

1.3 PATOFISIOLOGI
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek langsung suatu infeksi
atau merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik biasanya mengikuti suatu trauma tembus
okuli, walaupun kadang-kadang dapat juga terjadi sebagai reaksi terhadap zat toksik yang
diproduksi oleh mikroba yang menginfeksi jaringan tubuh diluar mata. Secara patologis,
radang saluran uveal dapat dibagi menjadi supuratif (purulen) dan non supuratif (non-
purulen). Uveitis non-supuratif dapat dibagi menjadi jenis nongranulomatous dan
granulomatosa (Khurana, 2007). Inflamasi purulen dari uvea biasanya merupakan bagian dari
endophthalmitis atau panophthalmitis, infeksi eksogen oleh organisme piogenik yang meliputi
staphylococcus, streptokokus, psuedomonas, pneumokokus dan gonococcus. Reaksi patologis
ditandai dengan eksudat purulen yang banyak dan infiltrasi oleh sel polimorfonuklear jaringan
uveal, anterior chamber, posterior chamber dan rongga vitreous. Akibatnya, jaringan uveal
seluruh menebal dan nekrotik dan rongga mata menjadi penuh dengan pus (Khurana, 2007).
Uveitis yang berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi hipersensitivitas
terhadap antigen dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari dalam (antigen endogen).
Dalam banyak hal antigen luar berasal dari mikroba yang infeksius. Sehubungan dengan hal
ini peradangan uvea terjadi lama setelah proses infeksinya yaitu setelah munculnya
mekanisme hipersensitivitas. Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood
Aqueous Barrier sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor
akuos. Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikel-
partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall).
Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-sel radang
berupa pus di dalam COA yang disebut hipopion, ataupun migrasi eritrosit ke dalam COA,
dikenal dengan hifema. Apabila proses radang berlangsung lama (kronis) dan berulang, maka
sel-sel radang dapat melekat pada endotel kornea, disebut sebagai keratic precipitate (KP).
Ada dua jenis keratic precipitate, yaitu :
1. Mutton fat KP : besar, kelabu, terdiri atas makrofag dan pigmen-pigmen yang difagositirnya,
biasanya dijumpai pada jenis granulomatosa.
2. Punctate KP : kecil, putih, terdiri atas sel limfosit dan sel plasma, terdapat pada jenis non
granulomatosa.
Apabila tidak mendapatkan terapi yang adekuat, proses peradangan akan berjalan terus
dan menimbulkan berbagai komplikasi. Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblas dapat
menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia
posterior, ataupun dengan endotel kornea yang disebut sinekia anterior. Dapat pula terjadi
perlekatan pada bagian tepi pupil, yang disebut seklusio pupil, atau seluruh pupil tertutup oleh
sel-sel radang, disebut oklusio pupil.
Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh sel-sel
radang, akan menghambat aliran akuos humor dari bilik mata belakang ke bilik mata depan
sehingga akuos humor tertumpuk di bilik mata belakang dan akan mendorong iris ke depan
yang tampak sebagai iris bombans (iris bombe). Selanjutnya tekanan dalam bola mata
semakin meningkat dan akhirnya terjadi glaukoma sekunder.
Pada uveitis anterior juga terjadi gangguan metabolisme lensa yang menyebabkan lensa
menjadi keruh dan terjadi katarak komplikata. Apabila peradangan menyebar luas, dapat
timbul endoftalmitis (peradangan supuratif berat dalam rongga mata dan struktur di dalamnya
dengan abses di dalam badan kaca) ataupun panoftalmitis (peradangan seluruh bola mata
termasuk sklera dan kapsul tenon sehingga bola mata merupakan rongga abses).
Bila uveitis anterior monokuler dengan segala komplikasinya tidak segera ditangani,
dapat pula terjadi symphatetic ophtalmia pada mata sebelahnya yang semula sehat.
Komplikasi ini sering didapatkan pada uveitis anterior yang terjadi akibat trauma tembus,
terutama yang mengenai badan silier.
1.4 MANIFESTASI KLINIS
Secara klinis, dapat dibagi menjadi uveitis anterior akut atau kronis. Gejala utama dari
uveitis anterior akut adalah nyeri, fotofobia, kemerahan, lakrimasi dan penurunan visus. Uveitis
kronis, gejala dapat berupa mata tenang dengan gejala minimal (Khurana, 2007). Keluhan sukar
melihat dekat pada pasien uveitis dapat terjadi akibat ikut meradangnya otot-otot akomodasi.
Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda antara lain : Hiperemia perikorneal, yaitu dilatasi
pembuluh darah siliar sekitar limbus yang memiliki violaceous hue, dan keratic precipitate.
Keratic precipitate adalah kelompok deposito seluler pada endotel kornea terdiri dari sel
epiteloid, limfosit dan polimorf (Kanski, 2016). Pada pemeriksaan slit lamp dapat terlihat flare di
bilik mata depan dan bila terjadi inflamasi berat dapat terlihat hifema atau hipopion. Iris edema
dan warna menjadi pucat, terkadang didapatkan iris bombans. Dapat pula dijumpai sinekia
posterior ataupun sinekia anterior. Pupil kecil akibat peradangan otot sfingter pupil dan
terdapatnya edema iris. Lensa keruh terutama bila telah terjadi katarak komplikata. Tekanan intra
okuler meningkat, bila telah terjadi glaukoma sekunder. Pada proses akut dapat terjadi miopisi
akibat rangsangan badan siliar dan edema lensa. Pada uveitis non-granulomatosa dapat terlihat
presipitat halus pada dataran belakang kornea. Pada uveitis granulomatosa dapat terlihat
presipitat besar atau mutton fat noduli Koeppe (penimbunan sel pada tepi pupil) atau noduli
Busacca (penimbunan sel pada permukaan iris) (Kanski, 2016).

Gambar 1. Injeksi Siliar Gambar 2. Endothelial dusting by cell


Gambar 3. Hipopion Gambar 4. Aqueous Flare and Cell

Gambar 5. Sinekia posterior Gambar 6. Sinekia anterior

UVEITIS INTERMEDIATE
Uveitis intermediate disebut juga uveitis perifer atau pars planitis adalah peradangan
intraokular terbanyak kedua. Tanda uveitis intermediet yang terpenting yaitu adanya
peradangan vitreus. Uveitis intermediet biasanya bilateral dan cenderung mengenai pasien
remaja akhir atau dewasa muda. Pria lebih banyak yang terkena dibandingkan wanita. Gejala-
gejala yang khas meliputi floaters dan penglihatan kabur. Nyeri, fotofobia dan mata merah
biasanya tidak ada atau hanya sedikit. Temuan pemeriksaan yang menyolok adalah vitritis
seringkali disertai dengan kondensat vitreus yang melayang bebas seperti bola salju
(snowballs) atau menyelimuti pars plana dan corpus ciliare seperti gundukan salju (snow-
banking). Peradangan bilik mata depan minimal tetapi jika sangat jelas peradangan ini lebih
tepat disebut panuveitis. Penyebab uveitis intermediate tidak diketahui pada sebagian besar
pasien, tetapi sarkoidosis dan multipel sklerosis berperan pada 10-20% kasus. Komplikasi
uveitis intermediate yang tersering adalah edema makula kistoid, vaskulitis retina dan
neovaskularisasi pada diskus optikus (Eva & Witcher, 2007).
Gambar 7. Gambaran snow bank dan snowballs

UVEITIS POSTERIOR
Uveitis posterior adalah peradangan yang mengenai uvea bagian posterior yang meliputi
retinitis, koroiditis, vaskulitis retina dan papilitis yang bisa terjadi sendiri-sendiri atau secara
bersamaan. Gejala yang timbul adalah floaters, kehilangan lapang pandang atau scotoma,
penurunan tajam penglihatan. Sedangkan pada koroiditis aktif pada makula atau papillomacular
bundle menyebabkan kehilangan penglihatan sentral dan dapat terjadi ablasio retina. Kekeruhan
vitreous karena choroiditis di bagian tengah atau posterior, dapat terlihat kasar, berserabut,
rongga snowball (Khurana, 2007).
Patch choroiditis dalam tahap aktif tampak sebagai pale-yellow atau dirty white dengan tepi
yang tidak jelas. Hasil ini karena eksudasi dan infiltrasi seluler dari koroid yang tersembunyi
dalam pembuluh darah choroidal. Lesi biasanya lebih dalam pembuluh retina. Retina terlihat
berawan dan edema. Pada tahap atrofi atau tahap penyembuhan, peradangan aktif mereda, daerah
yang terkena menjadi lebih tajam dibandingkan sisa daerah yang normal, daerah yang terlibat
menunjukkan sclera putih di bawah atrofi koroid dan hitam di pinggiran lesi (Khurana,2007).

Gambar 8. Retinitis
Gambar 9. Koroiditis aktif dan koroiditis tahap atrofi

DAFTAR PUSTAKA

Eva, P.R., and Whitcher, J.P. 2007. Vaughan and Asbury’s General Ophthalmology 17th
Edition. USA: McGrawHill
Kanski, Jack J; Bowling B. 2016. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach, 8th edition.
UK: Elveiser.
Khurana A. 2007. Comprehensive Ophtalmology 4th Edition. India: New Age International
Limited Publisher.
Sitompul, Ratna. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan.
Jurnal Kedokteran Indonesia, vol.4, No.1, April 2016.

You might also like