Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Pulau Sumatera berada pada daerah busur kepulauan antara lempeng Indo-
Australia yang relatif bergerak ke utara dengan lempeng Asia yang relatif
bergerak ke arah selatan. Kegiatan tektonik ini membentuk elemen-elemen seperti
palung, busur kepulauan, cekungan depan busur, busur gunungapi, dan cekungan
belakang busur. Kegiatan tektonik menyebabkan terbentuknya cekungan sedimen
yang berumur Tersier yang berada di belakang busur gunung api atau sebelah
timur Pegunungan Barisan serta termasuk ke dalam cekungan belakang busur.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Peta Geologi
Tektonik Sumatra dipengaruhi oleh interaksi konvergen antara dua lempeng yang
berbeda jenis. Arah gerak kedua lempeng terhadap jalur subduksi membentuk
sudut lancip sehingga pembentukan struktur geologi di Pulau Sumatra didominasi
oleh sesar-sesar mendatar dekstral (right handed wrench fault).
Tektonik yang terjadi pada akhir Tersier menghasilkan bentuk cekungan bulat
memanjang dan berarah barat laut – tenggara. Proses sedimentasi yang terjadi
selama Tersier secara umum dimulai dengan trangressi, kemudian disusul dengan
regresi dan diikuti gerakan tektonik pada akhir Tersier. Pola struktur cekungan
sumatera utara terlihat adanya perlipatan-perlipatan dan pergeseran-pergeseran
yang berarah lebih kurang lebih barat laut – tenggara Sedimentasi dimulai dengan
sub cekungan yang terisolasi berarah utara pada bagian bertopografi rendah dan
palung yang tersesarkan
2. Struktur Geologi Sumatera Barat (Cekungan Ombilin)
- Sesar dengan jurus berarah baratlaut-tenggara yang membentuk bagian dari sistem
sesar Sumatera. Bagian utara dari cekungan dibatasi oleh sesar Sitangkai dan sesar
Tigojangko. Sesar Tigojangko memanjang ke arah tenggara menjadi sesar
Tangkung. Bagian selatan dari cekungan dibatasi oleh sesar Silungkang.
- Sistem sesar dengan arah umum utara-selatan dengan jelas terlihat pada timurlaut
dari cekungan. Ini membentuk ruang seperti sesar, dari utara ke selatan: Sesar
Kolok, Sesar Tigotumpuk, dan Sesar Tanjungampalu. Perkembangan dari sesar ini
berhubungan dengan fase tensional selama tahap awal dari formasi cekungan, dan
terlihat memiliki peranan utama dalam evolusi cekungan. Pola struktur keseluruhan
dari cekungan Ombilin menunjukkan sistem transtensional duplex atau pull-apart
duplex yang terbentuk di antara offset lepasan dari sesar Sitangkai dan sesar
Silungkang. Geometri penunjaman ke arah dalam dari sesar di bawah pull-apart
menunjukkan bahwa duplex dapat bertumbukan menjadi zona shear tunggal pada
kedalaman. Lebih jauh lagi, pada penampang vertikal menunjukkan negative flower
structure. Pada kasus ini sistem sesar yang berarah utara-selatan dapat berbaur
dengan sistemsesar Sitangkai yang berarah baratlaut-tenggara. Pada batas tenggara
terdapat sistem sesar transgressional yang disebut sistem sesar Takung yang terletak
pada lengkungan restraining dari sesar Tigojangko.
- Jurus sesar dengan arah timur-barat membentuk sesar anthitetic mengiri dengan
komponen dominan dip-slip. Pada area Kolok, sesar ini dideteksi sebagai sesar
anjak. Cekungan ini mengalami pergantian fasa extensional pada satu sisi yang
dibarengi oleh pemendekkan pada sisi yang lain.
3. Struktur Geologi Sumatera Tengah
Ada 2 pola struktur utama yang terdapat pada Sub-cekungan Aman Selatan, yaitu
pola-pola tua berumur Paleogen yang relatif berarah utara-selatan (N-S) dan pola-
pola muda berumur Neogen Akhir yang berarah baratlaut-tenggara (NW-SW).
Pola struktur utara – selatan (N-S) merupakan pola struktur utama yang
mengontrol pembentukan graben setengah yang berlangsung pada periode Eosen -
Oligosen di daerah ini. Sedangkan pola struktur yang berarah baratlaut-tenggara
(NW–SE) merupakan struktur struktur yang berkembang pada saat terbentuknya
sesar mendatar utama yang memotong hampir semua cekungan di Cekungan
Sumatra Tengah yang berlangsung pada periode Miosen Awal hingga Miosen
Akhir. Sesar-sesar dan lipatan-lipatan yang terbentuk pada fase awal tektonik di
daerah ini akhirnya teraktifkan pada periode Miosen Akhir hingga saat ini (fase
kompresional / F3) dan banyak diantaranya menjadi struktur-struktur utama yang
mengontrol pemerangkapan hidrokarbon pada batuan reservoir yang termasuk
kedalam Kelompok Sihapas, terutama batuan reservoir pada Formasi Menggala
dan Formasi Bekasap.
4. Struktur Geologi Sumatera Selatan
1. Formasi Tampur
Formasi ini merupakan formasi tertua yang terendapkan setelah kelompok
batuan sedimen pada basement. Litologi penyusun satuan ini berupa kalkarenit
dan kalsilutit yang masif maupun bioklastik. Selain batugamping klastik, formasi
ini juga tersusun oleh konglomerat basaltik dan batugamping dolomit. Formasi ini
diendapkan pada kondisi sub litoral sampai open marine selama Eosen Akhir sd
Awal Oligosen, terbentuk sebagai formasi transgresif yang kemudian ditumpuki
oleh Formasi Bampo dan Bruksah.
2. Formasi Parapat
Formasi Parapat dengan komposisi batupasir berbutir kasar dan
konglomerat di bagian bawah, serta sisipan serpih yang diendapkan secara tidak
selaras. Secara regional, bagian bawah Formasi Parapat diendapkan dalam
lingkungan laut dangkal dengan dijumpai fosil Nummulites di Aceh. Formasi ini
diperkirakan berumur Oligosen.
3. Formasi Bampo
Formasi Bampo dengan komposisi utama adalah serpih hitam dan tidak
berlapis, dan umumnya berasosiasi dengan pirit dan gamping. Lapisan tipis
batugamping, ataupun batulempung berkarbonatan dan mikaan sering pula
dijumpai. Formasi ini miskin akan fosil, sesuai dengan lingkungan
pengendapannya yang tertutup atau dalam kondisi reduksi (euxinic). Berdasarkan
beberapa kumpulan fosil bentonik dan planktonik yang ditemukan, diperkirakan
formasi ini berumur Oligosen atas sampai Miosen bawah. Ketebalan formasi amat
berbeda dan berkisar antara 100 – 2400 meter.
4. Formasi Belumai
5. Formasi Baong
6. Formasi Keutapang
7. Formasi Seurula
Formasi Julu Rayeu merupakan formasi teratas dari siklus endapan laut di
cekungan Sumatera Utara. Dengan lithologinya terdiri atas batupasir halus sampai
kasar, batulempung dengan mengandung mika, dan pecahan cangkang moluska.
Ketebalannya mencapai 1400 meter, lingkungan pengendapan laut dangkal pada
akhir Pliosen sampai Plistosen.
Stratigrafi Sumatera Barat
Kondisi stratigrafi dari batuan berumur Pra – Tersier daerah Sumatera Barat
adalah sebagai berikut :
Kelompok Pra Tersier : kelompok ini mencakup masa Paleozoikum –
Mesozoikum, dipisahkan menjadi kelompok batuan ultrabasa; kelompok
batuan melange, kelompok batuan malihan; kelompok batuan gunungapi dan
kelompok batuan terobosan.
Kelompok batuan ultrabasa Pra Tersier disusun oleh batuan harzburgit,
dunit, serpentinit, gabro dan basalt.
Kelompok Melange Pra Tersier merupakan kelompok batuan campur aduk
yang disusun oleh batuhijau, graywake, tufa dan batugamping termetakan,
rijang aneka warna. Kelompok batuan malihan Pra Tersier disusun oleh batuan
sekis, filit, kwarsit, batusabak, batugamping termetakan.
Kelompok batuan sedimen Pra Tersier yang didominasi oleh batugamping
hablur sedangkan kelompok batuan terobosan Pra Tersier disusun oleh granit,
diorit, granodiorit, porfiri kuarsa, diabas dan basalt.
Kelompok transisi Pra Tersier – Tersier Bawah yang merupakan kelompok
batuan terobosan yang terdiri dari batuan granodiorit dan granit.
Kelompok Tersier dipisahkan menjadi kelompok batuan ultrabasa; kelompok
batuan melange; kelompok batuan sedimen; kelompok batuan gunungapi dan
kelompok batuan terobosan. Kelompok batuan ultrabasa Tersier disusun oleh
batuan serpentinit, piroksenit dan dunit.
Kelompok batuan melang Tersier yang merupakan batuan campur aduk
disusun oleh graywake, serpih, konglomerat, batupasir kwarsa, arkose,
serpentinit, gabro, lava basalt dan batusabak.
Kelompok batuan sedimen Tersier disusun oleh konglomerat, aglomerat,
batulanau, batupasir, batugamping, breksi dan napal.
Kelompok batuan gunungapi Tersier disusun oleh batuan gunungapi bersifat
andesitik-basaltik, lava basalt sedangkan kelompok batuan terobosan Tersier
terdiri dari granit, granodiorit, diorit, andesit porfiritik dan diabas.
Kelompok transisi Tersier – Kwarter (Plio-Plistosen) dapat dipisahkan
menjadi kelompok batuan sedimen; kelompok batuan gunungapi dan kelompok
batuan terobosan.
Kelompok batuan sedimen Plio-Plistosen disusun oleh konglomerat polimik,
batupasir, batulanau dan perselingan antara napal dan batupasir.
Kelompok batuan gunungapi Plio-Plistosen disusun oleh batuan gunungapi
andesitik-basaltik, tufa, breksi dan endapan lahar sedangkan kelompok batuan
terobosan Plio-Plistosen terdiri dari riolit afanitik, retas basalt dan andesit
porfir.
Kelompok Kwarter dipisahkan menjadi kelompok batuan sedimen; batuan
gunungapi dan aluvium.
Cekungan yang didasari oleh batuan Pra-Tersier tersebut diisi oleh endapan
berumur Tersier dengan ketebalan kurang lebih 4600 meter dengan luas kurang
lebih 1500 km2. Tatanan Tersier ini secara resmi dibagi menjadi lima formasi,
yaitu:
1. Formasi Brani
Terdiri dari konglomerat berwarna cokelat keunguan, berukuran kerikil
sampai kerakal, dengan aneka fragmen berupa andesit, batugamping, batusabak
dan argilit, granit, kuarsit, kadangkadang“arkosic gritsand” yang berbutir kasar,
terpilah buruk, menyudut-membundar tanggung, padat, keras sampaidapat
diremas, umumnya tidak berlapis. Tebalnya mencapai lebih dari 646 meter. Umur
formasi ini diperkirakan samadengan Formasi Sangkarewang dengan hubungan
antar formasi berupa hubungan menjemari, dengan umur yaitu Paleosen hingga
Eosen.
Formasi Brani dapat dibagi menjadi 2 anggota, yang dibedakan berdasarkan
lithofasiesnya, yaitu Anggota Selo dan Kulampi.
2. Formasi Sangkarewang
Formasi ini dikenal karena ditemukannya fosil ikan air tawar yang
berumur tersier awal. Formasi ini terdiri dari serpih berlapis tipis berwarna kelabu
gelap kecoklatan sampai hitam plastis gampingan mengandung materail karbon,
mika, pirit, dan sisa tumbuhan. Formasi ini memiliki sisipan berupa lapisan-
lapisan batupasir dengan tebal yang umumnya kurang dari 1 m, terdapat fragmen
kuarsa dan feldspar, gampingan berwarna abu-abu sampai hitam matriks lempung
terpilah buruk mengandung mika dan material karbon, dan terdapatnya struktur
nendatan (slump). Sisipan batupasir ini menunjukan pola menghalus ke
atas.Hubungan antara Formasi Sangkarewang yang menjemari dengan endapan
kipas aluvial dengan Formasi Brani, terdapatnya struktur sedimen laminasi halus
dan hadirnya fosil ikan air tawar menunjukan lingkungan pengendapan danau.
Sisipan lapisan batupasir merupakan endapan turbidit yang diendapkan di danau
dan struktur slump menunjukan lereng yang curam di tepi danau.
3. Formasi Sawahlunto
Formasi ini terdiri dari sekuen serpih berwarna abu kecoklatan, serpih
lanauan dan batulanau dengan sisipan batupasir kuarsa, coklat padat dan dicirikan
dengan hadirnya batubara. Serpih biasanya karbonan atau batubaraan. Batupasir
berciri sekuen menghalus ke atas, berlapis silang siur dan khususnya berlaminasi
dengan dasar erosi yang tegas menunjukkan suatu sekuen point bar. Batubara
kadang-kadang disisipi batulanau berwarna kelabu. Batupasirnya membentuk
lenticular, sedang batubara sering menyebar dan membaji . Di daerah Parambahan
dekat tinggian Tungkar, batubara dan batupasir lebih banyak jumlahnya. Formasi
Sawahlunto terletak selaras diatas Formasi Brani dan setempat-setempat juga
terletak selaras dengan Formasi Sangkarewang, namun seringkali terinterupsi oleh
lidah dari Formasi Brani, juga diperkirakan menjemari dengan Formasi
Sangkarewang. Formasi Sawahtambang menindihselaras di atas Formasi
Sawahlunto. Hubungan menjemari dengan Formasi Sawahtambang diperkirakan
mengarah ke timur dimana Formasi Sawahtambang secara langsung menindih
Formasi Brani dengan kontak selaras, dan lensa-lensa dari Formasi Sawahlunto
terjadi di antara kedua formasi tersebut. Tebal Formasi Sawahlunto kurang dari
500 meter.Formasi ini tidak mengandung fosil kecuali sisa tumbuhan dan spora.
4. Formasi Sawahtambang
Formasi ini dicirikan oleh sekuen masif yang tebal dari batupasir
berstruktur silang siur. Serpih dan batulanau berkembang setempat-setempat.
Batupasir berwarna abu-abu terang sampai coklat, berbutir halus sampai sangat
kasar, sebagian besar konglomeratan berupa fragmen kuarsa berukuran kerikil,
terpilah sangat buruk, menyudut tanggung, keras, masif. Setempat-setempat pada
bagian bawah, terdapat sisipan lapisan-lapisan batulempung atau serpih lanauan
yang membentuk unit tersendiri yaitu sebagai anggota Rasau. Pada bagian atas
juga dengan sisipan lapisan-lapisan batulempung dengan kandungan “coal
stringer” yang terjadi setempat-setempat, membentuk Anggota Poro.
5. Formasi Ombilin
Formasi Ombilin terdiri dari serpih ataunapal berwarna kelabu gelap,
karbonan dan karbonatan, bila lapuk menjadi berwarna kelabu terang dan
umumnya berlapis baik. Termasuk ke dalam sekuen ini adalah lapisan-lapisan
batupasir mengandung glaukonit, berbutir halus, berwarna kelabu
kehijauan,biasanya terdapat sisa-sisa tumbuhan dan fosil moluska. Pada bagian
bawah umumnya terdapat nodul-nodul batugamping dan lensa batugamping
foraminifera-koral, sedang di bagian atas sisipan lapisan batu pasirnya tufaan,
diselingi oleh batu lanau karbonan yang mengandung glaukonit dan fosil moluska.
Napalnya mengandung Globigerina yang merupakan ciri endapan laut. Formasi
Ombilin mengandung fosil laut, seperti fosil moluska. Dari analisis
mikropaleontologi, dijumpai fosil Globigerinoides primordius dan G. trilobus,
sehingga formasi ini diinterpretasikan berumur Miosen Awal (Zona Blow, N4-
N5). Hadirnya glaukonit merupakan petunjuk lingkungan laut. Berdasarkan
kandungan fosil bentoniknya, maka formasi ini diperkirakan diendapkan pada
lingkungan neritik luar sampai batial atas.
6. Formasi Ranau
Pada beberapa lokasi di Cekungan Ombilin, didapatkan formasi berupa tufa
(van Bemmelen, 1949) yang disebut sebagai Tuff Ranau. Berkedudukan
mendatar, menutupi formasi-formasi di bawahnya dengan kontak ketidakselarasan
menyudut. Tuff ini dianggap menjadi deposit volkanik berumur Pleistosen.
Menurut Eubank dan Makki (1981) dalam Heidrick dan Aulia (1993), stratigrafi
regional pada Cekungan Sumatera Tengah dibagi menjadi empat unit stratigrafi,
yaitu:
1.Batuan Dasar (Basement)
Batuan dasar berumur pra-Tersier ini terbagi menjadi empat satuan litologi
(Eubank dan Makki, 1981 dalam Hedrick dan Aulia, 1993) (Gambar 2.7), yaitu:
a. Mallaca Terrane
atau kelompok kuarsit yang terdiri dari kuarsit, argilit, batugamping kristalin, dan
pluton-pluton granit dan granodiorit II-8 yang memiliki umur Jura. Kelompok ini
dapat kita jumpai pada coastal plain di bagian timurlaut.
b. Mutus assemblages
zona sutura yang memisahkan antara Mallaca Terrane dengan Mergui Terrane.
Kumpulan Mutus terletak disebelah baratdaya coastal plain dan terdiri dari
baturijang radiolarian, meta-argilit, serpih merah, lapisan tipis batugamping dan
batuan beku basalt.
c. Mergui Terrane
terletak di bagian barat dan baratdaya dari Kelompok Mutus. Kelompok ini
tersusun oleh greywacke, pebbly-mudstonedari Formasi Bahorok, serta kuarsit.
Kemudian juga argilit, filit, batugamping, dan tuff dari Formasi Kluet, serta
sandstone- shale dan juga terdapat Batugamping Alas.
d. Kualu Terrane
terletak di bagian baratlaut Kelompok Mergui berumur Perm-Karbon. Kelompok
ini tersusun oleh filit, sabak, tuff, dan batugamping.
2. Kelompok Pematang
Kelompok Pematang diendapkan secara tidak selaras diatas batuan dasar
yang memiliki di umur Eosen-Oligosen. Distribusi sedimen diperkirakan berasal
dari blok yang mengalami pengangkatan pada lingkungan fluviatil dan blok lain
turun menjadi danau. Sedimen pada kelompok ini umumnya diendapkan pada
lingkungan danau, sungai, dan delta. William dan Kelley (1985) membagi
Kelompok Pematang menjadi lima formasi, yaitu:
e. Formasi Fanglomerat
tersusun dari batupasir dan konglomerat dengan sedikit batulumpur berwarna
merah hingga hijau. Formasi ini diendapkan sebagai sistem endapan alluvial fan
disepanjang batas gawir sesar. Secara lateral dan vertikal formasi ini mengalami
transisi menuju Formasi Lower Red Beds, Foramasi Brown Shale, Formasi II-10
Coal Zone, dan Formasi Lake Fill. Formasi Coal Zone, Formasi Lake Fill, dan
Formasi Fanglomerat juga dapat disebut dengan Formasi Upper Red Beds.
3. Kelompok Sihapas
Kelompok Sihapas diendapkan secara tidak selaras di atas Kelompok
Pematang pada Oligosen Akhir-Miosen Awal. Kelompok ini terutama terdiri dari
batupasir dan serpih. Kelompok Sihapas ini meluas ke seluruh cekungan dan
tertutup oleh sedimen laut di bagian atas (Formasi Telisa) yang menunjukkan
puncak proses transgresi. Kelompok Sihapas terdiri atas lima formasi, dari tua ke
muda yaitu:
a. Formasi Menggala
merupakan formasi tertua di kelompok ini, dimana bagian deposenter formasi ini
memiliki ketebalan lebih 9000 kaki.
b. Formasi Bangko
berumur Miosen Awal (Zona N1-N2) dan berfungsi sebagai batuan tudung (seal)
bagi batupasir yang ada di bawahnya.
c. Formasi Bekasap
diendapkan selaras di atas Formasi Bangko dan memiliki umur Miosen Awal
(Zona N2-N3). Batupasir Bekasap merupakan lapisan sedimen yang secara
diakronous menutup Sumatera Tengah dan akhirnya menutup semua tinggian
yang terbentuk sebelumnya.
d. Formasi Duri
berumur Miosen Awal (Zona N3) dan mempunyai tebal lebih dari 300 kaki. Di
beberapa tempat umur formasi ini sama dengan umur Formasi Bekasap.
e. Formasi Telisa
berumur Miosen Awal-Tengah (Zona N4-N5) dan merupakan suatu batuan
penutup (seal) regional bagi Kelompok Sihapas dengan ketebalan mencapai lebih
dari 9000 kaki.
4. Kelompok Petani
Kelompok Petani diendapkan secara tidak selaras di atas Kelompok
Sihapas. Kelompok Petani terdiri dari Lower Petani yang merupakan endapan laut
dan Upper Petani yang merupakan endapan laut sampai delta. Formasi ini
diendapkan mulai dari lingkungan laut dangkal, pantai dan ke atas sampai
lingkungan delta yang menunjukkan penurunan muka air laut. Formasi Petani
tersusun atas batupasir, batulempung, dan batupasir gloukonitan dan batugamping
yang dijumpai pada bagian bawah dari seri sedimen tersebut, sedangkan batubara
banyak dijumpai pada bagian atas dan terjadi pada saat pengaruh laut semakin
berkurang. Batupasir mempunyai komposisi dominan kuarsa, berbutir halus
sampai kasar, pada umumnya tipis-tipis, mengandung sedikit lempung dan secara
umum mengkasar ke atas. Di beberapa tempat batupasir membentuk lensa-lensa
dengan penyebaran yang terbatas yang menunjukkan pengendapan pada
lingkungan offshore bar dan delta front/delta lobe sand sejajar dengan pantai
purba (paleobeach).Secara keseluruhan Formasi Petani memiliki tebal 6000 kaki
berumur Miosen Akhir-Pliosen Awal. Penentuan umur pada bagian atas Formasi
Petani terkadang membingungkan karena tidak adanya fosil laut. Hidrokarbon
yang berada pada batupasir Formasi Petani dianggap tidak komersial karena
dibagian bawah Formasi ini terdapat batulempung Telisa yang tebal. Gas biogenik
terdapat dalam jumlah yang besar dan telah dijadikan target eksplorasi terutama di
Lapangan Seng dan Segat.
5. Formasi Minas
Formasi Minas merupakan endapan Kuarter yang terdapat secara tidak selaras
di atas Formasi Petani. Formasi ini tersusun atas pasir dan kerikil, pasir kuarsa
lepas berukuran halus sampai sedang serta limonit berwarna kuning yang
diendapkan pada lingkungan fluvial sampai darat. Proses pengendapan Formasi
Minas masih berlangsung sampai saat ini dan menghasilkan endapan aluvial
berupa campuran kerikil, pasir, dan lempung.
2. Formasi Lahat
5. Formasi Baturaja
Anggota ini dikenal dengan Formasi Baturaja. Diendapkan pada bagian
intermediate-shelf dari Cekungan Sumatera Selatan, di atas dan di sekitar platform
dan tinggian. Kontak pada bagian bawah dengan Formasi Talang Akar atau
dengan batuan Pra-Tersier. Komposisi dari Formasi Baturaja ini terdiri dari
Batugamping Bank (Bank Limestone) atau platform dan reefal.Ketebalan bagian
bawah dari formasi ini bervariasi, namun rata-rata 200-250 feet (sekitar 60-75
m).Singkapan dari Formasi Baturaja di Pegunungan Garba tebalnya sekitar 1700
feet (sekitar 520 m). Formasi ini sangat fossiliferous dan dari analisis umur
anggota ini berumur Miosen. Fauna yang ada pada Formasi Baturaja umurnya N6-
N7.
7. Formasi Lower
Palembang (Air Benakat) 1010 Formasi Lower Palembang diendapkan
selama awal fase siklus regresi. Komposisi dari formasi ini terdiri dari batupasir
glaukonitan, batulempung, batulanau, dan batupasir yang mengandung unsur
karbonatan. Pada bagian bawah dari Formasi Lower Palembang kontak dengan
Formasi Telisa. Ketebalan dari formasi ini bervariasi dari 3300 –5000 kaki
(sekitar 1000 – 1500 m). Formasi ini diendapkan di lingkungan laut dangkal.
Pulau Sumatera dilewati oleh tiga busur metalogenik. Selain perbedaan batuan
penyusun, di antara ketiga busur tersebut juga terdapat perbedaan tipe cebakan
mineral logam yang terbentuk.
Batuan oseanik berupa Grup Woyla pada bagian barat Sumatera merupakan hasil
proses pengangkatan ke arah selatan pada tepi kontinen dari Paparan Sunda. Hal
ini kemungkinan bahwa pada akhir Kapur Awal busur batuan basa berarah utara
mengalami tumbukan, terdapat asosiasi ofiolit dan terangkat menempati pada
bagian dari tepian selatan Paparan Sunda yang pasif membentuk Grup Woyla
pada bagian utara Sumatera. Batuan yang ekuivalen terdapat pada sebelah barat
Sumatera bagian selatan, batuan ofiolit di Jawa bagian baratdaya, ofiolit Meratus
dan Formasi Alino di Kalimantan bagian tenggara.
Pada busur ini temuan adanya mineralisasi kurang, hal ini kemungkinan akibat
dari pengangkatan dan erosi yang sangat intensif pada jaman Tersier. Temuan
adanya mineralisasi emas kurang 1% dari sumber daya emas di Indonesia, serta
tembaga yang sangat terbatas. Di Sumatera, terbentuk beberapa mineralisasi
berupa cebakan skarn bijih besi dan logam dasar dalam dimensi kecil, sebagian
mengandung emas dan perak, dan emas-tembaga dengan rasio perbandingan Ag :
Au rendah.
Tektonik Paleogen dan diikuti tektonik Akhir Kapur dimana kegiatan vulkanisme
di Busur Sumatera-Meratus berakhir. Tepi Kontinen posisi pasif dari Paparan
Sunda pada Akhir Eosen telah melampar ke arah Sumatera, di mana intrusi kalk-
alkali terjadi dengan umur antara 52 sampai 57 Ma, dan kemungkinan lebih muda
menggambarkan adanya penunjaman secara lambat ke arah utara pada Awal
sampai pertengahan Eosen.
Deformasi bersifat kompresif di lepas pantai Sumatera bagian barat, dan
berakhirnya penunjaman Paleogen, merupakan gambaran saat terbentuknya ofiolit
pada bagian utara dan busur kepulauan yang bertepatan dengan terbentuknya
ofiolit Oligosen di Jalur Indo-Burma, dan juga dengan Formasi batuan bancuh
dengan fragmen ofiolit pada kepulauan di sebelah barat Sumatera. Di bagian timur
Sumatera, ofiolit dan batuan Paleogen termasuk basal di Jawa merupakan bagian
dari margin Sunda sebelum Akhir Oligosen.
Pada Akhir Oligosen sampai Akhir Miosen, busur magmatik melampar luas pada
sebagian besar Sumatera, membentuk formasi yang oleh Van Bemmelen (1949)
disebut Andesit Tua. Busur ini secara stratigrafis setempat terpisah dari batuan
yang lebih muda yaitu batuan yang lebih muda dari Neogen yang dicirikan oleh
batuan endapan laut, termasuk di dalamnya batulumpur. Belum ada umur dari
pengendapan mineral yang dapat untuk dikorelasikan dengan busur Tersier tengah
tersebut, posisinya bersamaan dengan busur Neogen.
Busur andesitik berumur Miosen dengan pelamparan yang sama dengan vulkanik
Kuarter, melampar sepanjang Bukit Barisan dan menerus ke Jawa dan bagian
barat dari Busur Banda sampai Damar. Di luar sebaran tersebut, ke arah timur,
hanya dijumpai pulau – pulau dengan endapan vulkanik Kuarter, dan tidak
didapatkan data bahwa pada saat Neogen melampar sampai daerah tersebut.
Batuan magmatik pada busur tersebut didominasi batuan erupsi, termasuk juga
batuan intrusi berumur 12 dan 13 Ma di Sumatera dan intrusi di Jawa. Tidak
dijumpai batolit dalam ukuran besar pada Neogen. Riolit dan ignimbrit riolitik
berumur Kuarter dijumpai di Sumatera dan Jawa.
Busur Aceh
Busur Aceh berbatasan dengan bagian utara dari Sumatera. Stephenson dkk
(1982) menggambarkan penunjaman di lepas pantai bagian utara Sumatera
dimana pada daerah ini endapan gunungapi muda berhubungan dengan yang
terdapat pada bagian daratan. Tunjaman tersebut kemungkinan juga aktif pada
awal Miosen Tengah, diduga bahwa penunjaman ke arah selatan dari Cekungan
Mergui yang bersifat oseanik menunjam di bawah batuan dasar bagian utara
Sumatra dari Paparan Sunda.
Meskipun sedikit penyelidikan yang dilakukan, Busur Aceh dengan jelas dapat
dibedakan dengan bagian barat dari Busur Sunda-Banda, serta dicirikan dengan
terdapatnya tembaga-molibdenum porfiri (Van Leeuwen dkk., 1987 dalam Carlile
dan Mitchell, 1996) dan lebih dominannya mineralisasi epitermal sulfidasi tinggi
dibandingkan sulfidasi rendah.
BAB III
KESIMPULAN
Carlile, J.C., dan Mitchell, 1994. Magmatic arcs and associated gold and copper
mineralization in Indonesia. Journal of Geochemical Exploration,
Amsterdam.
Van Bemmelen, RS., 1949. The Geology of Indonesia. Vol. IA. Ist Edition.
Govt.Printing Office, The Hague.
(ini diisi dapus judul buku yang dari bapaknya ya min)
Anonymous. 2010. “Geologi Sumatera Utara”. file:///D:/BOY/jbptitbpp-gdl-
fanjijuand-22660-3-2010ta-2%20(SUMATERA%20UTARA).pdf
(Diakses pada tanggal 29 Mei 2017 pukul 13.00)
Anonymous. 2011. “Geologi Sumatera Barat”. file:///D:/BOY/jbptitbpp-gdl-
elreyferna-22711-3-2011ta-2.pdf. (Diakses pada tanggal 29 Mei 2017
pukul 13.20)
Anonymous. 2007. “Geologi Sumatera Tengah”. file:///D:/BOY/jbptitbpp-gdl-
edisuwandi-27196-3-2007ts-2.pdf. (Diakses pada tanggal 29 Mei 2017
pukul 13.31)
Anonymous. 2016. “Geologi Sumatera Selatan”. http://digilib.unila.ac.id/10674
/16/BAB II.pdf. (Diakses pada tanggal 29 Mei 2017 pukul 13.36)