Professional Documents
Culture Documents
REFERAT
UNIVERSITAS ANDALAS
Oleh :
Pembimbing :
dr. Hj. Desmiwarti, Sp.OG (K)
LEMBARAN PENGESAHAN
Mengetahui
KPS PPDS OBGIN
FK UNAND RS. Dr. M. DJAMIL PADANG
Lembar Penilaian Peserta PPDS Obstetri & Ginekologi FK. Unand / RSUP Dr. M. Djamil
Padang
Nama : dr. Wahyuridistia Marhenriyanto
Semester : VI (Enam)
Materi : Referat Bioetik dalam Kesehatan Reproduksi
KRITERIA
NO NILAI KETERANGAN
PENILAIAN
1 Pengetahuan
2 Keterampilan
3 Attitude
Note : NBL : 80
Padang, September 2018
Staf Penilai
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Pengertian Bioetika
Bioetik berasal dari kata bios yang berarti kehidupan dan ethos yang
berarti norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetika medis merupakan studi
interdisipliner tentang masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan di
bidang biologi dan ilmu kedokteran baik skala mikro maupun makro, masa
kini dan masa mendatang (Bertens, 2001).
Konsil Kedokteran Indonesia, dengan mengadopsi prinsip etika
kedokteran Barat, menetapkan bahwa, praktik kedokteran Indonesia
mengacu kepada 4 kaidah dasar moral yang sering juga disebut kaidah
dasar etika kedokteran atau bioetika, yaitu:
− Beneficence
− Non - Maleficence
− Justice
− Autonomi
1. Beneficence
Dalam arti bahwa seorang dokter berbuat baik, menghormati martabat
manusia, dokter tersebut harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap
dalam kondisi sehat. Perlakuan terbaik kepada pasien merupakan poin
utama dalam kaidah ini. Kaidah beneficence menegaskan peran dokter
untuk menyediakan kemudahan dan kesenangan kepada pasien
mengambil langkah positif untuk memaksimalisasi akibat baik daripada
hal yang buruk.
2. Non – Malficence
Non-malficence adalah suatu prinsip yang mana seorang dokter tidak
melakukan perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih
pengobatan yang paling kecil resikonya bagi pasien yang dirawat atau
diobati olehnya. Pernyataan kuno Fist, do no harm, tetap berlaku dan
harus diikuti.
3. Justice
Memperlakukan sesama dengan adil, membagi keuntungan dan beban
dengan sama rata. Fasilitas kesehatan harus mempertimbangkan 4 faktor
yang tekait Justice ini yaitu, membagi sumber daya yang adil bagi seluruh
pasien, mempertimbangkan kebutuhan, hak dan obligasi dan konflik
potensial yang mungkin terjadi. Teknologi reproduksi berbantu merupakan
contoh dilema karena tidak tersedia untuk seluruh pasien, hanya untuk
pasien yang mampu.
4. Autonomi
Dalam kaidah ini, seorang dokter wajib menghormati martabat dan hak
manusia. Setiap individu harus diperlakukan sebagai manusia yang
mempunyai hak menentukan nasib sendiri. Dalam hal ini pasien diberi
hak untuk berfikir secara logis dan membuat keputusan sendiri. Autonomi
bermaksud menghendaki, menyetujui, membenarkan, membela, dan
membiarkan pasien demi dirinya sendiri (Hanafiah, 2009).
B. Kesehatan Reproduksi
Menurut International Conference on Population and Development,
ICPD( ICPD ) di Kairo, Mesir pada tahun 1994 dan di New York pada tahun
2000 telah disepakati definisi kesehatan reproduksi yaitu suatu keadaan
sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari
penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem
reproduksi (Depkes RI, 2008).
Ruang lingkup kesehatan reproduksi secara luas meliputi (Djaja S,
2002):
− Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir
− Keluarga berencana
− Pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran reproduksi (ISR),
termasuk penyakit menular seksual (PMS)-HIV/AIDS
− Pencegahan dan Penanggulangan Komplikasi Aborsi
− Kesehatan Reproduksi Remaja
− Pencegahan dan Penanganan Infertilitas
− Kanker pada Usia Lanjut dan Osteoporosis
− Berbagai aspek kesehatan reproduksi lainnya, misalnya kanker leher
rahim dll.
Dari berbagai aspek kesehatan reproduksi, hal yang sering menjadi
masalah terkait dengan etika dan hukum kesehatan yaitu masalah aborsi,
teknologi reproduksi berbantu dan keluarga berencana.
D. Aborsi
Di Amerika Serikat, definisi aborsi terbatas pada terminasi kehamilan
sebelum 20 minggu, didasarkan pada tanggal hari pertama haid normal
terakhir. Definisi lain yang sering digunakan adalah pelahiran janin/ neonatus
yang beratnya kurang dari 500 g.
Abortus dapat terjadi secara spontan atau buatan. Abortus spontan
(miscarriage) dapat merupakan suatu mekanisme alamiah untuk
mengeluarkan hasil konsepsi yang abnormal. Abortus buatan (pengguguran,
aborsi, abortus provocatus) adalah abortus yang terjadi akibat intervensi
tertentu yang bertujuan untuk mengakhiri proses kehamilan. Abortus buatan
dapat bersifat legal (abortus provocatus medicinalis/ terapeuticus) yang
dilakukan berdasarkan indikasi medik. Abortus buatan ilegal (abortus
provocatus criminalis) adalah abortus yang dilakukan berdasarkan indikasi
non medik. Abortus ini dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten atau
tenaga yang tidak kompeten. Aborsi yang dilakukan oleh tenaga yang tidak
kompeten biasanya dengan cara-cara memijit-mijit perut bagian bawah,
memasukkan benda asing atau jenis tumbuh-tumbuhan/ rumput-rumputan
ke dalam leher rahim, dan pemakaian bahan-bahan kimia yang dimasukkan
ke dalam jalan lahir sehingga sering terjadi perdarahan dan infeksi yang
berat, bahkan dapat berakibat fatal.
Berlandaskan lafal sumpah Hippocrates, lafal sumpah Dokter Indonesia
dan International Code of Medical Ethics maupun KODEKI, setiap dokter
wajib menghormati dan melindungi makhluk hidup insani. Karena itu, aborsi
berdasarkan indikasi non medis adalah tidak etis ((Hanafiah, 2009).
Abortus legal buatan dilakukan dengan cara tindakan operatif (paling
sering dengan cara kuretase, aspirasi vakum) atau dengan cara medikal.
Dalam deklarasi Oslo (1970) dan UU No 23 tahun 1992 tentang kesehatan,
mengenai abortus buatan legal terdapat ketentuan-ketentuan sebagai
berikut :
− Abortus buatan legal hanya dilakukan sebagai suatu tindakan terapeutik
yang keputusannya disetujui secara tertulis oleh 2 orang dokter yang
dipilih berkat kompetensi profesional mereka dan prosedur
operasionalnya dilakukan oleh seorang dokter yang kompeten di
instalasi yang diakui suatu otoritas yang sah, dengan syarat tindakan
tersebut disetujui oleh ibu hamil bersangkutan, suami atau keluarga.
− Jika dokter yang melaksanakan tindakan tersebut merasa bahwa hati
nuraninya tidak membenarkan ia melakukan pengguguran itu, ia berhak
mengundurkan diri dan menyerahkan pelaksanaan tindakan medik itu
kepada teman sejawat lain yang kompeten.
− Yang dimaksud dengan indikasi medis dalam abortus buatan legal ini
adalah suatu kondisi yang benar-benar harus diambil tindakan tersebut
sebab tanpa tindakan tersebut dapat membahayakan jiwa ibu atau
adanya ancaman gangguan fisik, mental dan psikososial jika kehamilan
dilanjutkan, atau risiko yang sangat jelas bahwa anak yang akan
dilahirkan menderita cacat mental, atau cacat fisik yang berat.
− Hak utama untuk memberikan persetujuan tindakan medik adalah pada
ibu hamil yang bersangkutan, namun pada keadaan tidak sadar atau
tidak dapat memberikan persetujuannya dapat diminta pada suaminya/
wali yang sah.
Suatu masalah yang sulit dihadapi adalah kehamilan tidak diinginkan
(KTD) seperti pada kasus kegagalan kontrasepsi, kehamilan diluar nikah ,
kehamilan karena perkosaan, tidak adanya akses untuk pelayanan KB,
tekanan pasangan, dan faktor ekonomi. Setiap wanita memiliki hak
reproduksi yaitu hak menentukan jumlah, penjarakan, dan waktu kelahiran
anak. Oleh karena aborsi atas alasan non medis dianggap tindakan
melanggar hukum (tindakan kriminal) dan aborsi bukan salah satu cara KB
di Indonesia, banyak wanita dengan KTD mencari pelayanan aborsi pada
tenaga tidak terlatih dan memakan sendiri bermacam-macam obat untuk
menggugurkan kandungannya. Akibatnya, angka kesakitan dan kematian ibu
di Indonesia akibat aborsi tidak aman menjadi tinggi.
Aborsi tidak aman merupakan ancaman bagi kesehatan dan hidup
wanita. Tindakan konkrit pemecahan masalah aborsi tidak aman merupakan
bagian upaya peningkatan kualitas kesehatan reproduksi di Indonesia dan
pemenuhan hak reproduksi wanita. Penelitian pada banyak negara
menunjukkan bahwa di negara-negara yang mengizinkan aborsi dengan
indikasi yang lebih luas, insiden aborsi tidak aman lebih rendah dan angka
kematian akibat aborsi tidak aman jauh lebih rendah dibandingkan dengan
negara-negara yang melarang aborsi secara ketat (Berrer, 2004).
Di Indonesia diperkirakan sekitar 1,5-2 juta aborsi tidak aman setiap
tahunnya, dan kontribusi angka kematian ibu (AKI) sebab aborsi tidak aman
adalah 11,1%. Oleh karena itu dalam beberapa tahun terakhir ini
diperkenalkan program aborsi berbasis konseling dengan tujuan
menyelenggarakan aborsi yang aman sesuai standar setelah pasien
mendapat konseling dengan baik. Bukan mustahil bahwa ibu dengan KTD
mengurungkan niatnya untuk aborsi setelah mendapat konseling tersebut.
Selanjutnya konseling pasca-aborsi, pendidikan, dan pelayanan KB harus
diberikan secara bermutu sehingga dapat mencegah aborsi berulang.
Secara rinci KUHP mengancam pelaku-pelaku abortus buatan ilegal
sebagai berikut :
1. Wanita yang sengaja menggugurkan kandungan atau menyuruh orang
lain melakukannya, hukuman maksimal 4 tahun (KUHP pasal 336)
2. Seseorang yang menggugurkan kandungan tanpa seizinnya, hukuman
maksimal 12 tahun, dan bila wanita tersebut meninggal, hukuman
maksimum 15 tahun (KUHP pasal 347)
3. Seseorang yang menggugurkan kandungan wanita dengan seizin wanita
tersebut, hukuman maksimum 5 tahun 6 bulan, dan bila wanita tersebut
meninggal, maksimum 7 tahun (KUHP pasal 348)
4. Dokter, bidan atau juru obat yang melakukan kejahatan di atas, hukuman
ditambah dengan sepertiganya dan pencabutan hak pekerjaannya (KUHP
pasal 349)
5. Barang siapa mempertunjukkan alat/ cara menggugurkan kandungan
kepada anak di bawah usia 17 tahun/ di bawah umur, hukuman
maksimum 9 bulan (KUHP pasal 383)
6. Barang siapa menganjurkan/ merawat/ memberi obat kepada seorang
wanita dengan memberi harapan agar gugur kandungannya, hukuman
maksimum 4 tahun (KUHP pasal 299)
E. Kontrasepsi
Visi program keluarga berencana nasional telah di ubah mewujudkan
keluarga yang berkualitas tahun 2015. Keluarga yang berkualitas adalah
keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang
ideal, berwawasan kedepan, bertanggung jawab, harmonis (Saifudin, 2003).
Program Keluarga Berencana Nasional merupakan salah satu program
dalam rangka menekan laju pertumbuhan penduduk. Salah satu pokok
dalam program Keluarga Berencana Nasional adalah menghimpun dan
mengajak segenap potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam
melembagakan dan membudayakan Norma Keluarga Kecil Bahagia
Sejahtera dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia
Indonesia. Cara yang digunakan untuk mewujudkan Norma Keluarga Kecil
Bahagia Sejahtera yaitu mengatur jarak kelahiran anak dengan
menggunakan alat kontrasepsi (Wiknjosastro, 2005).
Sejak program KB menjadi program nasional pada tahun 1970 berbagai
program kontrasepsi telah ditawarkan dalam program KB di Indonesia. Mulai
dari cara tradisional, sistem kalender, barier, hormonal (pil, suntikan, susuk
KB), alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), dan kontrasepsi mantap
(KONTAP).
Dari sudut pandang hak-hak pasien/klien, segala cara kontrasepsi yang
ditawarkan haruslah mendapat persetujuan pasangan suami-isteri (pasutri),
setelah memperoleh penjelasan (persetujuan setelah penjelasan, PSP)
dengan cara lisan untuk cara-cara non bedah dan secara tertulis untuk cara
kontap. Seorang dokter harus memberikan konseling kepada pasutri atau
calon akseptor, dengan penjelasan lebih dahulu tentang indikasi kontra,
efektivitas, dan keamanan setiap jenis kontrasepsi, dan akhirnya pasutrilah
yang menentukan pilihannya.
Di Indonesia, kontrasepsi mantap (kontap, sterilisasi) yaitu tubektomi
pada wanita dan vasektomi pada pria telah dikembangkan sejak tahun 1974
oleh PUSSI (perkumpulan untuk sterilisasi sukarela), yang kemudian
berubah nama menjadi PKMI (perkumpulan kontrasepsi mantap indonesia).
tujuan kontap adalah kontrasepsi permanen, namun tidak mustahil karena
sesuatu alasan (biasanya musibah), akseptor kontap meminta rekanalisasi.
Oleh karena itu, pertimbangan dan keputusan mengikuti kontap haruslah
hati-hati.
Peraturan perundangan tentang kontap belum ada di Indonesia.
Penerimaan masyarakat terhadap metode kontrasepsi ini belum bulat. Tokoh
agama banyak yang menentang cara kontrasepsi ini karena mengurangi
harkat martabat dan kodrat seseorang. Oleh karena itulah kontap tidak
termasuk dalam program nasional KB.
2. Bayi Tabung dari Aspek Etik, Medis, Sosial, dan Hukum Dari aspek
etik (moral)
Jika dilihat dari sudut pandang etika, kasus inseminasi buatan (bayi
tabung) ini sangat terlihat ketidaksesuainnya dengan budaya ketimuran,
khususnya Indonesia sendiri. Sebagian agamawan menolak Fertilisasi
invitro pada manusia, sebab mereka berasumsi bahwa kegiatan tersebut
termasuk Intervensi terhadap “karya Illahi”. Dalam artian, mereka yang
melakukakan hal tersebut berarti ikut campur dalam hal penciptaan yang
tentunya itu menjadi hak prioregatif Tuhan. Padahal semestinya hal
tersebut bersifat natural, bayi itu terlahir melalui proses alamiah yaitu
melalui hubungan sexsual antara suami-istri yang sah menurut agama.
Komisi Etik dari berbagai Negara memberi pandangan dan
pegangan terhadap hak reproduksi dan etika dalam rana reproduksi
manusia dengan memperhatikan beberapa asas yaitu :
1. Niat untuk berbuat baik.
2. Bukan untuk kejahatan.
3. Menghargai kebebasan individu untuk mengatasi takdir.
4. Tidak bertentangan dengan kaidah hukum yang berlaku.
Melakukan bayi tabung melalui sperma dari pasangan nikah yang
sah. Karena hal tersebut tidak melanggar etika, dan secara biologis
anak yang nanti lahir dari hasil bayi tabung merupakan anak kandung,
yang secara psikologis memiliki hubungan kasih sayang timbal balik
yang sempurna antara anak dan orang tua (ayah). Dari pada anak yang
dilahirkan dari sperma donor akan menimbulkan hubungan kasih
sayang semu antara anak dan orang tuanya.
Dari aspek medis
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan perundang-
undangan yang menyinggung masalah ini. Dalam Undang-Undang No.
23 /1992 tenang Kesehatan, pada pasal 16 disebutkan, hasil
pembuahan sperma dan sel telur di luar cara alami dari suami atau istri
yang bersangkutan harus ditanamkan dalam rahim istri dari mana sel
telur itu berasal. Hal ini menjawab pertanyaan tentang kemungkinan
dilakukannya pendonoran embrio. Jika mengacu pada UU No.23/1992
tentang Kesehatan, upaya pendonoran jelas tidak mungkin.
Ayat 1
Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya
terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan
Ayat 2
Ayat 3
Berer, M. (2004). National laws and unsafe abortion: The parameters of change.
Chang, William. 2009. Bioetika : Sebuah Pengantar . Yogyakarta :Kanisius. Hal 13-
16
Hanafiah, M.Jusuf, Amri Amir. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. Jakarta:EGC.
Moeloek F.A. Etika dan Hukum Teknik Reproduksi Buatan. Kuliah Umum Temu
The World Health Report 2005: Make Every Mother and Child Count.” World Health
Organization, 2005.