You are on page 1of 20

Makalah Keperawatan Kritis

Dosen : Rusna Tahir, S.Kep., Ns, M.Kep

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN


DENGAN BASIS CRANII

Oleh :
Kelompok II
Tingkat III.A

Ketrin P00320016023 Ani Lestari P00320016005


Jessicha P003200160 Ali Amrun P00320016036
Nur Rezky Hamzah P00320016027 Ical Harmawan P00320015031
Susanti P00320016008 Isakus Jonathan P00320015012
Efit Julianti P00320016022

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI

JURUSAN KEPERAWATAN

2018
KATA PENGANTAR

AssalamualaikumWr. Wb

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan
makalah kami yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan
Fraktur Basis Cranii” dengan tepat pada waktunya.

Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas Keperawatan Kritis. Kami


menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan, baik dari isi maupun pembahasan. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna menyempurnakan
makalah ini.

Tak lupa pula kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya


kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Walaikumsallam Wr. Wb

Kendari, 10 Oktober 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN

A. LatarBelakang .........................................................................................1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................2

C. Tujuan ......................................................................................................2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Fraktur Basis Cranii ...................................................................3


B. Etiologi ....................................................................................................4
C. Manifestasi Klinis ....................................................................................4
D. Patofisiologi .............................................................................................5
E. Pemeriksaan Penunjang ...........................................................................7
F. Penatalaksnaan.........................................................................................7

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................16

B. Saran ......................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. (smeltzer S.C & Bare B.G,2001) Fraktur adalah setiap retak atau patah
pada tulang yang utuh.
Fraktur tulang tengkorak dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis :
1. Complete fracture ( fraktur lengkap ), patah pada seluruh garis tengah
tulang,luas dan melintang. Biasanya disertai dengan perpindahan posisi
tulang.
2. Closed fracture (fraktur simple ), tidak menyebabkan robeknya kulit,
integritas kulit masih utuh.
3. Open fracture ( fraktur terbuka / komplikata/ kompleks), merupakan
fraktur dengan luka pada kulit ( integritas kulit rusak dan ujung tulang
menonjol sampai menembus kulit) atau membran mukosa sampai ke
patahan tulang.

Fraktur mempunyai makna pada pemeriksaan forensik. Bentuk dari fraktur


dapat menggambarkan benda penyebabnya (khususnya fraktur tulang
tengkorak), arah kekerasan. Fraktur yang terjadi pada tulang yang sedang
mengalami penyembuhan berbeda dengan fraktur biasanya. Jangka waktu
penyembuhan tulang berbeda-beda setiap orang. Dari penampang makros dapat
dibedakan menjadi fraktur yang baru, sedang dalam penyembuhan, sebagian
telah sembuh, dan telah sembuh sempurna. Secara radiologis dapat dibedakan
berdasarkan akumulasi kalsium pada kalus. Mikroskopis dapat dibedakan
daerah yang fraktur dan daerah penyembuhan. Penggabungan dari metode
diatas menjadikan akurasi yang cukup tinggi. Daerah fraktur yang sudah
sembuh tidaklah dapat menjadi seperti tulang aslinya.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud fraktur basis cranii?
2. Apa etiologi dari fraktur basis cranii?
3. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien dengan fraktur basis cranii?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dimaksud fraktur basis cranii
2. Untuk mengetahui Etiologi dari dimaksud fraktur basis cranii
3. Untuk mengetahui Bagaiman memberi Asuhan Keperawatan pada pasien
dengan fraktur basis cranii

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Fraktur basis crania adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar
tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada
durameter. Fraktur basis crania sering terjadi pada 2 lokasi anatomi tertentu
yaitu regio temporal dan region occipital condylar.
Fraktur basis crania dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fraktur fossa
anterior dan fraktur fossa posterior. Fraktur basis crania merupakan yang
paling serius terjadi karena melibatkan tulang-tulang dasar tengkorak dengan
komplikasi otorrhea cairan serebrospinal ( cerebrospinal fluid) dan
rhinorrhea.
Klasifikasi
Cedera kepala dapat dilasifikasikan sebagai berikut :
1. Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan
bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh,
maupun cedera akibat kekerasaan (pukulan).
b. Trauma Tembus
Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-benda
tajam/runcing.
2. Berdasarkan Beratnya Cidera
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada penilaian
Glasgow Scala Coma (GCS) dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Cedera kepala ringan
 GCS 13 – 15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari
30 menit.
 Tidak ada fraktur tengkorak, kontusio serebral dan hematoma

3
b. Cedera kepala sedang
 GCS 9 – 12
 Saturasi oksigen > 90 %
 Tekanan darah systole > 100 mmHg
 Lama kejadian < 8 jam
 Kehilangan kesedaran dan atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam
 Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Cedera kepala berat
 GCS 3 – 8
 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >24 jam
 Meliputi hematoma serebral, kontusio serebral
B. Etiologi
1. Menurut Hudak dan Gallo (1996 : 108) mendiskripsikan bahwa penyebab
cedera kepala adalah karena adanya trauma yang dibedakan menjadi 2
faktor yaitu :
a. Trauma primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi dan
deselerasi)
b. Trauma sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas,
hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.
2. Kecelakaan, kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan pada
saat olahraga.
3. Jatuh
4. Cedera akibat kekerasan.
C. Manifestasi Klinik
1. Hilangnya kesadaran
2. Kebingungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah

4
6. Pusing
7. Nyeri kepala hebat
8. Terdapat hematoma
9. Kecemasan
10. Sukar untuk dibangunkan
11. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
D. Patofisiologi
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan
terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan
menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood flow
(CBF) adalah 50 - 60 ml/menit/100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 %
dari cardiac output dan akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi
tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan
pembuluh darah arteriol akan berkontraksi
Trauma kepala terjadi karena cidera kepala, kulit kepala, tulang kepala,
jaringan otak. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu
berakibat terjadinya akselerasi, deselerasi dan pembentukan rongga. Trauma
langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya, kekuatan itu bisa
seketika/menyusul rusaknya otak dan kompresi, goresan/tekanan. Cidera
akselerasi terjadi bila kepala kena benturan dari obyek yang bergerak dan
menimbulkan gerakan. Akibat dari akselerasi, kikisan/konstusio pada lobus
oksipital dan frontal batang otak dan cerebellum dapat terjadi. Sedangkan
cidera deselerasi terjadi bila kepala membentur bahan padat yang tidak
bergerak dengan deselerasi yang cepat dari tulang tengkorak.
Pengaruh umum cidera kepala dari tengkorak ringan sampai tingkat berat
ialah edema otak, deficit sensorik dan motorik. Peningkatan TIK terjadi
dalam rongga tengkorak (TIK normal 4-15 mmHg). Kerusakan selanjutnya
timbul masa lesi, pergeseran otot.

5
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak
sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan
“menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk
menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari
kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral,
serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi,
pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan
kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu:
cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini
menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena
cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.
Sedangkan patofisiologi menurut Markum trauma pada kepala
menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi
tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan
yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia
aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak,
hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan menyebabkan
haematoma epidural, subdural, maupun intracranial, perdarahan tersebut juga
akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplay
oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan menyebabkan odema
cerebral.

6
Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak,
karena isi otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada
kenaikan T.I.K (Tekanan Intra Kranial) merangsang kelenjar pituitari dan
steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul
rasa mual dan muntah dan anaroksia sehingga masukan nutrisi kurang.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya
infark/iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
2. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4. EEG (Elektroencepalograf)
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. CSF, Lumbal Pungsi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan untuk
mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan cairan serebrospinal.
F. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala
adalah sebagai berikut:
a. Observasi 24 jam
b. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya
cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan lunak

7
c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
d. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring.
e. Terapi obat-obatan.
f. Pembedahan bila ada indikasi.

8
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Pengkajian subyektif.
Identitas klien dan keluarga ( penanngungjawab ) : nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat golongan darah,
penghasilan, hubungan klien dengan penanggungjawab
b. Riwayat kesehatan.
Tingkat kesadaran / GCS < 15, convulsi, muntah, takipnea, sakit kepala,
wajah simetris atau tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi
secret pada saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga
serta kejang
1. Primary Survey
Menurut Rab, Tabrani 2007, pengkajian primer dalam asuhan
kegawatdaruratan meliputi :
a. Airway
 Kaji ada tidaknya sumbatan pada jalan nafas pasien.
 Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela
iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran
 Dengar aliran udara pernafasan
 Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan pipi
perawat
b. Breathing
Kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya dispnea,
takipnea, bradipnea, ataupun sesak.Kaji juga apakah ada suara nafas
tambahan seperti snoring, gargling, rhonki atau wheezing.Selain itu kaji
juga kedalaman nafas pasien.
c. Circulation
Kaji ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan detak jantung
misalnya takikardi, bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan
capilarrefil.Kaji juga kondisi akral dan nadi pasien.

9
d. Disability
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks,
pupil anisokor dan nilai GCS.Menilai kesadaran dengan cepat, apakah sadar,
hanya respon terhadap nyeri atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak
dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara yang cukup jelas dan cepat dengan
metode AVPU.Namun sebelum melakukan pertolongan, pastikan terlebih
dahulu 3A yaitu aman penolong, aman korban dan aman lingkungan.

Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V

Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara


keras di telinga korban, pada tahap ini jangan sertakan
dengan menggoyang atau menyentuh pasien, jika tidak
merespon lanjut ke P.

Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling


mudah adalah menekan bagian putih dari kuku tangan (di
pangkal kuku), selain itu dapat juga dengan menekan
bagian tengah tulang dada (sternum) dan juga areal diatas
mata (supra orbital).

Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak


bereaksi maka pasien berada dalam keadaan unresponsive.

e. Exposure of extermitas

Mengkaji ada tidaknya peningkatan suhu pada pasien, adanya deformitas,


laserasi, contusio, bullae, atau abrasi.

10
2. Secondary Survey
Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang
dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary
survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian
tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik
a. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien.Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem.(Emergency Nursing Association, 2007).
Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari
pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi
pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga, orang
terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian.
Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan
gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a) Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera
wajah, maksilo-fasial, servikal, toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b) Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal
atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c) Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):

A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)


M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)

11
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)

b. Pemeriksaan fisik
1) Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa.Sering terjadi pada penderita yang datang
dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian
belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan
wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka
termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit
2) Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel.Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri.
Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata,
karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata
selanjutnya menjadi sulit. Reevaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
a. Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakahisokor
atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil
mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata
(macies visus dan acies campus), apakah konjungtivanya anemis atau
adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos,
subconjunctival perdarahan, serta diplopia
b. Hidung : periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi
akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
c. Telinga : periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, perdarahan,
penurunan atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai
keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum
d. Rahang atas :periksa stabilitas rahang atas

12
e. Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
f. Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur,
warna, kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna,
kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi
kemudian rasakan apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri,
inspeksi amati adanya tonsil meradang atau tidak (tonsillitis/amandel).
Palpasi adanya respon nyeri.
3) Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi,
edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan
menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam,
deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri,
deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada
leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi
servikal.Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi.Kontrol perdarahan, cegah
kerusakan otak sekunder.
4) Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosis,
bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi
dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks
bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung,

Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,


emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.

Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan

Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan
bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)

13
5) Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan
sendorik.Perubahan dalam status neurologis dapat dikenal dengan
pemakaian GCS.Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan
kolumna vertebralis atau saraf perifer.Imobilisasi penderita
dengan short atau long spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi
dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal.Kesalahan yang sering
dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan leher
saja, sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai
sumbu.Jelaslah bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi.Bila
ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis.Harus dipantau tingkat
kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra
cranial.Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus
diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC).Perlu adanya tindakan
bila ada perdarahan epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli
bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
B. Masalah Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
2. Risiko Ketidakefektifan jaringan perifer
C. Intervensi Keperawatan
1. Ketidakefektifan Bersihan jalan napas
a. NOC: mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi bersih dan
jelas
b. NIC : Manajemen Jalan Nafas
- Buka jalan nafas dengan tekhnik sebagaimana mestinya
- Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
- Identifikasi kebutuhan aktual/potensial pasien
- Masukan alat bantu nafas (NPA atau OPA) sebagaimana mestinya
- Lakukan fisioterapi dada sebagaimana mestinya
- Auskultasi suara nafas, ada suara nafas tambahan atau tidak

14
- Lakukan penyedotan melalui endotrakea atau nasotrakea,
sebagaimana mestinya
- Kelola pemberian bronkodilator, sebagaimana mestinya
- Ambil benda asing menggunakan forcep McGill, sebagaimana
mestinya
- Regulasi asupan cairan
- Posisikan untuk meringankan sesak nafas
- Monitor status pernafasan dan oksigenasi

15
BAB IV
PENUTUP
B. Kesimpulan
Fraktur basis crania adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar
tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada
durameter. Fraktur basis crania sering terjadi pada 2 lokasi anatomi tertentu
yaitu regio temporal dan region occipital condylar. Dengan manifestasi
klinis:
a. Hilangnya kesadaran
b. Kebingungan
c. Iritabel
d. Pucat
e. Mual dan muntah
f. Pusing
g. Nyeri kepala hebat
h. Terdapat hematoma
i. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari
hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang
temporal.
C. Saran
Diharapkan semua rekan mahasiswa dapat memahami dan mengerti tentang
masalah asuhan keperawatan pada pasien basis cranii sehingga tidak salah
dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien

16
DAFTAR PUSTAKA
Ainurrohim, Muhammad. 2013. http://rouhimmanis.blogspot.com/2013/06/askep-
fraktur-basis-cranii.html
Dev, Raam.2016. https://nurseemergencyd4.wordpress.com/2016/05/30/asuhan-
keperawatan-teoritis-fraktur-basis-cranii/
http://sakinahkreatif.blogspot.com/2016/06/askep-trauma-kepala.html
Julik.https://www.academia.edu/5253711/Asuhan_Keperawatan_Fraktur_Basis_C
ranial

17

You might also like