You are on page 1of 8

PCP (pneumonia pneumocystis)

a. Definisi
Pneumocystis pneumonia (PCP) adalah infeksi oportunistik yang disebabkan oleh
jamur Pneumocystis jirovecii. PCP merupakan koinfeksi yang sering ditemukan pada
penderita HIV dengan CD4 kurang dari 200 sel/mm3 (Carmona dan Limper, 2011).
b. Manifestasi Klinis
 Anamnesis
Gejala klinis dari PCP adalah sesak progesif, batuk yang tidak produktif dan
demam tidak tinggi. Namun gambaran klinis dapat bervariasi. Gejala PCP biasanya
ringan dan memberat dalam hitungan hari hingga minggu. Namun, sekitar 7% pasien
dengan PCP tidak bergejala. Pada pasien ini, baru diketahui HIV dengan keluhan
sesak progresif, batuk kering, dan demam yang tidak tinggi dirasakan sejak 3-4
minggu SMRS (Huang et al, 2011).
 Pemeriksaan Fisik
Selain gejala, pemeriksaan fisik untuk PCP juga tidak spesifik. Pasien dapat
menunjukan gejala distress pernapasan seperti takipneu, takikardia, dan sianosis.
Pada auskultasi paru biasanya tidak ditemukan kelainan. Pada kasus berat dapat
terjadi hipoksia. Kadang didapatkan ronki basah kasar di kedua lapang paru yang
masih menunjukkan kecurigaan ke arah PCP (Huang et al, 2011).
 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan darah, terjadi peningkatan LDH yang menunjukkan
adanya inflamasi paru. Pemeriksaan radiologi juga dapat mengarahkan penegakan
diagnosis PCP. Pemeriksaan foto toraks dapat menunjukan adanya pola interstisial
bilateral yang homogen serta difus dapat juga disertai dengan pneumotoraks spontan.
Namun, pada 1/3 kasus juga dapat ditemukan kondisi normal (Huang et al, 2011).
Gambar 1. Foto thorak dengan pola interstisial bilateral yang
homogen dan difus (Carmona dan Limper, 2011)

Pemeriksaan CT scan lebih sensitif dibandingkan rontgen toraks dalam


mendeteksi PCP. Pada pemeriksaan CT scan thoraks akan ditemukan gambaran
ground-glass appearance (crazy paving) dengan distribusi yang tidak merata.
Ground-glass appearance tersebut lebih dominan di daerah perihiler. Pada keadaan
yang lebih lanjut, akan ditemukan septal lines dengan atau tanpa intralobular lines
superimposed pada ground-glass appearance serta konsolidasi (Carmona dan
Limper, 2011).
Gambar 2. CT-scan dengan ground-glass appearance disertai penebalan
septal interlobular dan intralobular (Carmona dan Limper, 2011)

c. Diagnosis
Pneumocystis sulit didiagnosis karena gejala dan tanda yang tidak spesifik.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis. Bahan pemeriksaan antara lain
berasal dari sputum, bronchoalveolar lavage (BAL) dan jaringan paru. Pneumocystis
tidak dapat dikultur. Diagnosis definitif ditegakkan jika pada pemeriksaan mikroskopis
ditemukan kista Pneumocystis jirovecii (Huang et al, 2011).
Induksi sputum menggunakan larutan hypertonic saline menghasilkan diagnosis
50 sampai 90% dan merupakan prosedur diagnosis utama. Jika pemeriksaan tersebut
negatif, pemeriksaan dengan BAL dapat dilakukan. Pemeriksaan BAL memiliki
sensitivitas lebih dari 90%. Terdapat dua bentuk PCP, yaitu tropik dan kistik. Bentuk
tropik dapat dilihat dengan pewarnaan modifikasi Papaniculaou, Wright-Giemsa, atau
Gram-Weigert. Bentuk kista dilihat dengan pewarnaan Gomori methenamin silver, cresyl
each violet, toluidin blue O, atau calcofluor white (Huang et al, 2011).
Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi asam nukleat
pneumocystis memiliki sensitivitas serta spesifisitas tinggi (88% dan 85%) dari bahan
yang diambil dari induksi sputum dan BAL (Huang et al, 2011).
Sedangkan diagnosis presumtif PCP menurut CDC jika ditemukan sebagai berikut :
 Keluhan sesak napas saat aktif atau batuk non produktif dalam tiga bulan terakhir
 Gambaran foto toraks berupa infiltrate interstitial difus bilateral atau gambaran
penyakit paru difus bilateral
 Tekanan oksigen (O2) kurang dari 70 mmHg pada pemeriksaan analisis gas darah
atau kapasitas difusi rendah (kurang 80% prediksi) atau peningkatan AaDO2
 Tidak terbukti pneumonia bakterialis.
(Huang et al, 2011)
d. Terapi
Trimetroprim-sulfametoksazole (TMX-SMX) oral atau intravena selama 21 hari
merupakan obat pilihan untuk menatalaksana PCP dengan atau tanpa HIV. Pada PCP
derajat sedang-berat (PaO2<70 mmHg) direkomendasikan TMX-SMX intravena.
Sedangkan, TMX-SMX oral diberikan untuk PCP derajat ringan-sedang (PaO2≥70
mmHg) (Carmona dan Limper, 2011).
Rekomendasi dosis untuk terapi PCP adalah 15-20 mg/kg trimetroprim per hari
dan 75-100 mg/kg sulfametoksazole per hari yang terbagi menjadi tiga atau empat dosis.
Pada pasien PCP dengan HIV, respon terapi biasanya muncul lebih lama namun harus
terjadi dalam delapan hari pertama. Apabila hal tersebut tidak terjadi, maka perlu dicari
diagnosis alternatif atau regimen alternatif (Carmona dan Limper, 2011).
Pada PCP derajat berat direkomendasikan untuk memberikan kortikosteroid
sistemik dalam 72 jam pertama memulai terapi PCP. Kortikosteroid sistemik perlu
diberikan jika PaO2<70 mmHg atau gradien oksigen alveolar-arteri lebih dari 35 mmHg.
Dosis kortikosteroid yang diberikan adalah prednisolone 40 mg dua kali sehari per oral
pada hari ke 1-5 kemudian 40 mg satu kali sehari pada hari ke 6-10. Dilanjutkan dengan
prednisolone 20 mg satu kali sehari pada hari ke 11-21 (Carmona dan Limper, 2011).
Pada pasien yang sebelumnya telah mendapatkan profilaksis TMX-SMX atau
gagal terapi atau alergi dengan TMX-SMX, terdapat beberapa pilihan tatalaksana
alternatif. Untuk PCP berat, alternatifnya adalah dapat diberikan clindamisin 600mg
empat kali per hari, intravena atau oral dan primakuin 15mg satu kali per hari, oral atau
pentamidine 3-4mg/kg satu kali per hari, intravena untuk 21 hari. Sedangkan untuk PCP
ringan-sedang dapat diberikan TMX 20mg/kg/hari dalam dosis terbagi tiga atau empat,
oral dan dapsone 100 mg satu kali per hari, oral selama 21 hari atau atorvaquone cairan
suspensi 750 mg dua kali per hari, oral selama 21 hari (Carmona dan Limper, 2011).
Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS)
IRIS (Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome) merupakan perburukan kondisi
klinis sebagai akibat respons inflamasi berlebihan pada saat pemulihan respon imun setelah
pemberian terapi antiretroviral (ARV) dan manifestasi tersering pada umumnya berupa inflamasi
dari penyakit infeksi (French MA, 2009).
Terdapat dua tampilan klinis dari IRIS yaitu:
1. Unmasking IRIS
Pada keadaan ini kuman patogen ada dalam tubuh penderita akan tetapi tampilan
dalam bentuk laten atau subklinis. Skrining secara menyeluruh untuk mencari infeksi
oportunistik perlu dilakukan sebelum pemberian ARV.
2. Paradoxical worsening IRIS
Pada keadaan ini proses inflamasi terjadi setelah pemberian ARV walaupun
penyebab patogen IRIS telah selesai atau sedang dalam pengobatan. Secara umum
pada paradoxical penyebab patogen adalah jasad renik karena pada waktu
pemeriksaan kultur terhadap kuman penyebab akan didapat hasil “steril”
(Corbeau dan Reynes, 2011)
IRIS walau dari manifestasi klinis terlihat sebagai suatu perburukan, akan tetapi hal ini
sebenarnya merupakan tanda positif dari keberhasilan pengobatan. Hal ini terjadi karena jumlah
virus dalam darah berhasil ditekan jumlahnya dan membebaskan sistem imun penderita dari
tekanan jumlah virus yang tinggi. Sistem imun mampu melakukan fungsinya kembali dalam
mengenali antigen dan memberikan respon terhadap adanya antigen atau benda asing melalui
proses inflamasi (Corbeau dan Reynes, 2011; French MA, 2009).
IRIS timbul sebagai respon terhadap restorasi sistem imun setelah pemberian ARV. IRIS
lebih sering terjadi pada pasien yang belum mendapatkan pengobatan ARV sebelumnya dan
pasien dengan nilai CD4 < 200 sel/µL sebelum diberikan ARV. IRIS, secara rata- rata timbul
sekitar 15 hari dengan rentang waktu antara 15 – 60 hari tergantung jenis infeksi opportunisiknya
(French MA, 2009).
Respon imun setelah pemberian ARV terbagi dalam tiga fase yaitu :
1. Fase pertama, terjadi antara bulan 1 – 6 setelah dimulainya ARV dan mencapai
puncaknya sekitar minggu ke 10. Pada fase ini terjadi redistribusi dan restorasi dari
CD4 yang telah mempunyai memory yang terperangkap pada jaringan limfoid
sebanyak sekitar 20 – 30 sell/µL bulan. IRIS terjadi pada fase pertama
2. Fase kedua, terjadi peningkatan nilai CD4 naive sebanyak 5-10 sel/ µL bulan yang
terjadi hingga tahun kedua setelah pemberian ARV
3. Fase ketiga terjadi peningkatan nilai CD4 naive sebanyak 2 -5 sell/ µL bulan yang
dapat terjadi selama sekitar 7 tahun.
(Surendra dan Manish, 2011).
Kondisi diatas menerangkan mengapa peningkatan CD4 memerlukan waktu yang lama
jika ARV dimulai pada nilai CD4 yang sangat rendah ( <100 sel) dan CD4 bukan merupakan
gold standard untuk menetapkan keberhasilan pengobatan. Kerusakan sistem imun karena virus
HIV tidak hanya tentang jumlah dan kualitas sel, akan tetapi juga fungsi dari sel yang sangat
menurun. Kondisi ini perlu dikaitkan bahwa penderita HIV, walau sudah mendapat ARV
terutama jika nilai CD4 sangat rendah pada waktu diberikan ARV masih sangat rentan untuk
mendapatkan infeksi oportunistik (Surendra dan Manish, 2011).
Timbulnya IRIS tidak terkait dengan jenis ARV yang diberikan, IRIS sangat terkait
dengan nilai CD4 dan viral load pada saat memulai ARV. Semakin rendah nilai CD 4 pada
waktu mulai pemberian ARV, semakin besar kemungkinan pasien mendapatkan IRIS. Patologi
timbulnya IRIS hingga saat ini belum diketahui dengan jelas, beberapa hal yang terkait dengan
timbulnya IRIS adalah beredarnya kembali experienced atau activated sel T sebagai respon dari
turunnya jumlah virus HIV yang beredar dan menekan jumlah CD4 (Corbeau dan Reynes, 2011).
International Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI) membuat konsensus untuk
kriteria diagnosis IRIS, yaitu:
1. Menunjukkan respons terhadap terapi ARV dengan mendapat terapi ARV dan
penurunan viral load > 1 log kopi/ml (jika tersedia)
2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait dengan
inisiasi terapi ARV
3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh gejala klinis dari infeksi yang diketahui
sebelumnya yang telah berhasil disembuhkan, efek samping obat atau toksisitas,
kegagalan terapi, ketidakpatuhan menggunakan ARV
(Kumar et al, 2012).
Manifestasi klinis dan penyebab timbulnya IRIS tergantung dari antigen yang
memprovokasi dan organ yang terkena yang bisa merupakan penyakit infeksi maupun non
infeksi. Saat diagnosis IRIS ditegakkan, perlu disertai dengan antigen patogen yang menjadi
penyebabnya karena penyebab patogen juga perlu diobati selain penanganan IRIS itu sendiri
(Murdoch et al., 2007).
Pencegahan terbaik untuk timbulnya IRIS adalah dengan memberikan ARV seawal
mungkin pada waktu nilai CD4 yang masih tinggi yang artinya penemuan kasus HIV perlu
dilakukan sedini mungkin. Selain itu jika nilai CD4 pasien sudah rendah pada waktu pemberian
ARV, maka pemeriksaan fisik yang teliti untuk mencari infeksi oportunitik mutlak perlu
dilakukan agar dapat diobati awal dan untuk mencegah timbulnya IRIS (Murdoch et al., 2007).
Pada kondisi dimana pasien ditemukan pada stadium lanjut atau nilai CD4 yang terlalu
rendah, penundaan ARV untuk periode yang singkat pada waktu pengobatan infeksi oportunistik
dapat dipertimbangkan dengan catatan perlu diingat bahwa penundaan yang lama akan
menyebabkan pasien akan mendapatkan infeksi oportunistik yang lain dan tidak berkesudahan
yang pada akhirnya akan menyebabkan kematian (Murdoch et al., 2007).
Pengobatan IRIS tergantung pada tampilan klinis yang terjadi yaitu
1. Unmasking IRIS diobati dengan memberikan pengobatan penyebab patogen atau
infeksi oportunistik yang timbul disertai dengan pemberian NSAID atau metil
prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 1-2 minggu dan dilakukan tappering off
2. Paradoxical worsening ditangani dengan pemberian NSAID atau metil prednison 1-
2 mg/kgBB/hari selama 1-2 minggu dan dilakukan tappering off
(Murdoch et al., 2007)
Carmona, E. M., dan Limper, A. H. (2011). Update on the diagnosis and treatment of
Pneumocystis pneumonia. Therapeutic Advances in Respiratory Disease, 5(1),
41–59.
Huang L, Cattamanchi A, Davis J L, Boon S D, Kovacs J, Meshnick S, Miller R F et al
(2011). HIV-Associated Pneumocystis Pneumonia. Proceedings of the American
Thoracic Society, 8(3), 294–300.
French M A (2009) Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome:A Reappraisal. Clin
Infect Dis. 48(1):101-7
Corbeau P dan Reynes J. (2011) Immune reconstitution under antiretroviral therapy: the
new challenge in HIV-1 infection. J Acquir Immune Defic Syndr. 117(21):5582-
90
Murdoch DM, Venter WD, Van Rie A dan Feldman C. (2007) Immune reconstitution
inflammatory syndrome (IRIS): A review of common infectious manifestations
and treatment options. AIDS Res Ther. 25(3), 4-9
Surendra K S dan Manish S. (2011). HIV & immune reconstitution inflammatory
syndrome. Indian J Med Res 134, 866-877.
Kumar S R, Gopalan N, Patrawalla P, Menon P, Mayer K, dan Swaminathan S. (2012).
Immune Reconstitution Inflammatory syndrome in HIV-infected patients with
and without prior tuberculosis. International Journal of STD & AIDS, 23(6), 419–
423.

You might also like