Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2. Epidemiologi
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian,
terutama pada dewasa muda. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian
disebabkan karena trauma, dan setengah dari total kematian akibat trauma
berhubungan dengan otak. Kasus cedera kepala terjadi setiap 7 detik dan kematian
akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit. Cedera kepala dapat terjadi pada
semua kelompok usia, namun angka kejadian tertinggi adalah pada dewasa muda
berusia 15-24 tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3 hingga 4 kali lebih sering
dibandingkan wanita (Rowland et al, 2010).
Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu
lintas yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013
hanya untuk transportasi darat, tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9
persen menjadi 47,7 persen (RISKESDAS, 2013).
7
menyebabkan cedera pada permukaan kortikal dan struktur otak bagian dalam
(Youmans, 2011).
Percepatan sudut merupakan kombinasi dari percepatan translasi dan rotasi,
merupakan bentuk yang paling umum dari cedera inersia. Karena sifat biomekanis
kepala dan leher, cedera kepala sering mengakibatkan defleksi kepala dan leher
bagian tengah atau tulang belakang leher bagian bawah (sebagai pusat
pergerakan).
Test Skor
Eye Opening (E)
Spontaneous 4
Open to voice 3
Open to pain 2
None 1
Best Motor Response (M)
Follow commands 6
Localizing to painful stimuli 5
Flexion-withdraw to painful stimuli 4
Flexor / Decorticate posturing to painful stimuli 3
Extensor / Decerebrate posturing to painful stimuli 2
None 1
Best Verbal Response
Oriented conversation 5
Confused / disoriented conversation 4
Inappropriate words 3
Incomprehensible sound 2
None 1
Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-
13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-
15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Menurut Brain Injury Association of
Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari cedera kepala yaitu:
Secara morfologi cedera kepala data dibagi atas: (Pascual et al, 2008)
4. Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang pepala terjadi akibat benturan dengan
tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur
impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau
12
2.1.3.3.4. Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka
ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan
subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang
rusak.
2.1.3.3.5. Avulsi
13
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi
sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit
pada kranial terlepas setelah cedera (Mansjoer, 2010).
2.1.4. Patofisiologi
Cedera kepala didasarkan pada proses patofisiologi dibagi menjadi dua
yang didasarkan pada asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan
oleh kekuatan fisik yang lalu diikuti proses patologis yang terjadi segera dan
sebagian besar bersifat permanen. Dari tahapan itu, dikelompokkan cedera kepala
menjadi dua (Youmans, 2011):
cedera kepala primer dan berpengaruh pada outcome pasien (Czosnyka dkk,
1996).
Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat
proses metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika
intrakranial dan kompartement CSS yang dimulai segera setelah trauma
tetapi tidak tampak secara klinis segera setelah trauma. Cedera otak
sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain kerusakan sawar
darah otak, gangguan aliran darah otak (ADO), gangguan metabolisme dan
homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal, pengeluaran neurotransmitter
dan reactive oxygen species (ROS), infeksi dan asidosis. Kelainan utama ini
meliputi perdarahan intrakranial, edema otak, peningkatan tekanan
intrakranial dan kerusakan otak. Cedera kepala menyebabkan sebagian sel
yang terkena benturan mati atau rusak irreversible, proses ini disebut proses
primer dan sel otak disekelilingnya akan mengalami gangguan fungsional
tetapi belum mati dan bila keadaan menguntungkan sel akan sembuh dalam
beberapa menit, jam atau hari. Proses selanjutnya disebut proses patologi
sekunder. Proses biokimiawi dan struktur massa yang rusak akan
menyebabkan kerusakan seluler yang luas pada sel yang cedera maupun sel
yang tidak cedera. Secara garis besar cedera kepala sekunder pasca trauma
diakibatkan oleh beberapa proses dan faktor dibawah ini :
1. Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang terdiri atas :
a. Perdarahan intrakranial (hematom epidural/ subdural/
intraserebral).
b. Edema serebral.
2. Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh :
a. Penurunan tekanan perfusi serebral.
b. Hipotensi arterial, hipertensi intrakranial.
c. Hiperpireksia dan infeksi.
d. Hipokalsemia/ anemia dan hipotensi.
e. Vasospasme serebri dan kejang
23
2.1.5.2. Hipotensi
Hipotensi, yang bisa muncul kapan saja akibat trauma, telah dijadikan
prediktor utama terhadap outcome pada pasien cedera kepala. Hipotensi
merupakan faktor yang sering ditemukan diantara kelima faktor terkuat yang
mempengaruhi outcome pasien cedera kepala. Riwayat penderita dengan kondisi
hipotensi berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas
pasien cedera kepala (Chessnut, 2000; Demetriades, 2004). Terdapatnya cedera
sistemik ganda terutama yang berhubungan dengan hipoksia sistemik dan
hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg), memperburuk prognosis penyembuhan
(Bowers, 1980).
Miller (1978) menemukan 13% penderita dengan hipotensi dan 30% dengan
hipoksia pada saat tiba di unit gawat darurat. Diantara penderita cedera kepala,
hipotensi biasanya disebabkan kehilangan darah karena cedera sistemik; sebagian
kecil mungkin karena cedera langsung pada pusat refleks kardiovaskular di
medula oblongata. Newfield (1980) mendapatkan angka mortalitas 83% pada
penderita-penderita dengan hipotensi sistemik pada 24 jam setelah dirawat,
dibandingkan dengan angka mortalitas 45% dari penderita-penderita tanpa
hipotensi sistemik (Moulton, 2005).
26
2.1.5.3. Hipoksia
Katsurada dkk melaporkan bahwa diantara penderita cedera kepala berat
dalam keadaan koma, 43% mendapat hipoksia arterial dibawah 70 mmHg, 51%
mempunyai perbedaan oksigen alveolar-arterial lebih dari 30% ; 14% mendapat
hiperkarbia lebih dari 45 mmHg. Miller (1978) mendapatkan bahwa 30% dari
penderita ada awalnya sudah menderita hipoksia.
Hipoksia sistemik dapat terjadi karena apnea yang tiba tiba atau karena pola
pernafasan abnormal lainnya, hipoventilasi karena cedera sumsum tulang
belakang atau obstruksi jalan nafas karena cedera kepala atau cedera leher, juga
karena cedera lansung pada dinding dada atau paru, atau oleh emboli lemak di
sirkulasi pulmonal karena fraktur tulang panjang. Sangat sulit untuk menjelaskan
efek hipoksia sistemik pada manusia, tetapi tampaknya juga memegang peranan
didalam memperburuk prognosa (Sastrodiningrat, 2006).
Penelitian yang dilakukan Wagner (2010) pada sekelompok tikus
menjelaskan bahwa hipoksia disertai benturan menyebabkan peningkatan kejadian
edema otak bila dibandingkan dengan benturan saja, hal ini mungkin disebabkan
27
oleh karena gangguan pada sel yang cedera untuk mempertahankan hemostasis
ion.
No Lesions 32
Extracerebral Hematoma 15
Bilateral Swelling 12
kematian akibat kecelakaan. Dari 129 orang 56, 6% mengalami cedera kepala dan
54, 4% diantaranya hanya dapat bertahan hidup sampai 6 jam pertama.
kepala dapat diketahui adanya gambaran abnormal yang sering menyertai pasien
cedera kepala (French, 1992). Jika tidak ada CT scan kepala pemeriksaan
penunjang lainnya adalah X-0ray foto kepala untuk melihat adanya patah tulang
tengkorak atau wajah (Willmore, 2007).
Patah tulang kepala merupakan faktor klinis yang sering dikaitkan dengan
terjadinya lesi otak paska terjadinya trauma. Patah tulang menggambarkan
besarnya trauma yang terjadi pada kepala (Eisenberg, 1997). Patah tulang kepala
adalah faktor resiko yang bermakna terhadap terjadinya abnormalitas CT Scan
kepala dengan besar resiko mencapai 80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok yang normal. Sebagian besar peneliti setuju bahwa patah tulang kepala
memiliki hubungan yang bermakna terhadap terjadinya kelainan pada CT scan
kepala (Ibanez, 2004). Lebih dari 70 % penderita cedera kepala yang mengalami
patah tulang kepala terdapat lesi dibawahnya. Hal ini disebabkan karena impact
yang besar pada kepala sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya lesi
dibawah garis patahan (Willmore, 2007).
CT scan adalah suatu alat foto yang membuat foto suatu objek dalam sudut
360 derajat melalui bidang datar dalam jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto
akan direkonstruksi oleh komputer sehingga objek foto akan tampak secara
menyeluruh (luar dan dalam). Foto CT scan akan tampak sebagai penampang-
penampang melintang dari objeknya. Dengan CT scan isi kepala secara anatomi
akan tampak dengan jelas. Pada trauma kapitis, fraktur, perdarahan dan edema
akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya (Sastrodiningrat, 2009).
Indikasi pemeriksaan CT scan pada kasus trauma kepala adalah seperti berikut:
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan
otak.
35
PRIMARY INJURY
Extra axial injury
Epidural hematoma
Subdural hematoma
Subarachnoid hemorrhage
Intraventricular hemorrhage
Intra axial injury
Axonal injury
Cortical contusion
Intracerebral hematoma
Encephalomalacia
Vascular Injury
Dissection
Carotid cavernous fistula
Arteriovenous dura fistula
Pseudoaneurysm
SECONDARY INJURY
Acute
Diffuse cerebral swelling
Brain herniation
Infarction
Infection
Chronic
Hydrocephalus
Encephalomalacia
CSF leak
Leptomeningeal cyst
kepala yaitu dibedakan menjadi enam kategori, pembagiannya dapat dilihat pada
tabel 2.6. Sedangkan secara tradisional dapat dibedakan berdasarkan fokal lesi
yang didapatkan dari gambaran CT scan yang dilakukan, yaitu dengan dijumpai
adanya gambaran EDH, SDH, ICH maupun SAH (Andrews, 2016; Selladurai dan
Reilly, 2007).
Klasifikasi Kriteria
Sistem skor pada trauma dibagi menjadi tiga kategori yaitu berdasarkan
anatomi, fisiologi dan kombinasi anatomi dan fisiologi. Sedangkan berdasarkan
tujuannya, sistem skor trauma yang sering digunakan dapat dilihat pada tabel
dibawah (Chawda dkk, 2004).
Injury description (body region) Organ injury scaling I-IV and revision
(abdominal and pelvic organ)
Penetrating Abdominal Trauma Index
(PATI)
Wagner (lung contusion, CT based)
Systolic Blood
Glasgow Coma Pressure Respiratory Rate Coded
Scale (GCS) (mmHg) (x/minute) Value
13-15 >89 10-29 4
9-12 76-89 >29 3
6-8 50-75 6-9 2
4-5 1-49 1-5 1
3 0 0 0
Keuntungan utama dari RTS sangat spesifik untuk pasien yang mengalami
cedera kepala. RTS memiliki beberapa keterbatasan yang mempengaruhi
manfaatnya, dan sebagian besar dari keterbatasan ini berkaitan dengan GCS.
Awalnya, GCS dimaksudkan untuk mengukur status fungsional sistem saraf pusat.
Karena pentingnya cedera kepala dalam menentukan hasil trauma, GCS juga
digunakan oleh banyak orang sebagai komponen untuk menentukan tingkat
keparahan trauma. Permasalahan pada GCS dan RTS tidak secara akurat
menentukan skor pada pasien yang terintubasi dan yang mendapat ventilasi
mekanik yang seringkali dapat terjadi sebelum membuat keputusan di triase
(Chawda dkk, 2004). Selain itu juga dijumpai kesulitan menentukan skor pada
pasien lumpuh atau yang berada di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan
terlarang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dilakukan beberapa penelitian
yang menunjukkan bahwa penilaian motorik bisa menilai dan memprediksi GCS.
Bahkan baru-baru ini para peneliti telah mendapatkan bahwa respon terbaik
motorik dapat memprediksi kematian dan lebih baik untuk menentukan derajat
keparahan lainnya.
oleh AAAM, dan IISC, organisasi induk AIS memodifikasi AIS, terutama pada
tahun 2005. AIS menjadi dasar penilaian keparahan cedera. Dalam usaha
menyimpulkan keparahan suatu cedera yang dialami oleh pasien dengan trauma
multiple, sangatlah sulit. Sistem alternatif untuk trauma multipel telah dibuat,
akan tetapi masih ada beberapa masalah dan keterbatasan.
Pada tahun 1971 AIS pertama kali dipublikasikan sebagai metode numerik
sederhana untuk menentukan derajat dan membandingkan cedera dengan tingkat
keparahannya. Meskipun awalnya ditujukan untuk digunakan pada cedera karena
cedera kendaraan bermotor, ruang lingkup semakin diperluas untuk mencakup
cedera lainnya.
AIS memberikan deskripsi trauma organ berdasarkaan beratnya trauma pada
organ tersebut dan tidak memprediksi atau outcome. AIS merupakan dasar dari
ISS, berasal dari konsensus yang menentukan sistem anatomis berdasarkan tingkat
keparahan cedera pada skala ordinal mulai dari 1 (cedera kecil) sampai 6 (cedera
mematikan).
Deskripsi Skor
Tidak ada cedera 0
Cedera minor 1
Cedera sedang 2
Cedera serius, tidak mengancam nyawa 3
Cedera berat, survival expected 4
Cedera kritis, survival doubtful 5
Cedera fatal 6
Skala untuk semua area anatomi dan organ dapat ditemukan di American
Association for the Surgery of Trauma website. AIS manual dan CD (2005) yang
tersedia dari daftar AAAM.
44
Skor keparahan 50
cedera (ISS)
Penilaian AIS bersifat subjektif. Cedera sedang oleh satu pemeriksa dapat
dianggap serius oleh pemeriksa lain (Ozoilo KN, 2012). Turunan AIS, ISS
diperkenalkan oleh Susan Baker, dkk pada tahun 1984. ISS merangkum tingkat
keparahan kondisi pasien yang mempunyai beberapa cedera tubuh yang dibagi
menjadi enam area; kepala, leher, thoraks, abdomen termasuk organ pelvis, alat
gerak termasuk tulang pelvis, dan permukaan tubuh. AIS setiap cedera di catat,
dan cedera yang mempunyai nilai tertinggi di setiap area diutamakan.
terdapat lebih dari satu organ yang mengalami trauma. (Balogh dkk, 2000;
Chawda dkk, 2004)
sosial pasien pasca cedera kepala dikombinasikan dengan efek mental spesifik dan
defisit neurologis. Derajat skala ini mencerminkan suatu kerusakan otak secara
umum, dimana juga mampu menilai prognosis pasca koma traumatik ataupun
non-traumatik (Bullock, 2011; Narayan et al, 2007; Jennet, 2014).
Pada penderita sebanyak 150 orang yang bertahan hidup setelah cedera
kepala di Glasgow oleh spesialis saraf dan bedah saraf, diputuskan bahwa
penilaian ini sangat tepat pada 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan pasca trauma
(Jennet, 2014).
Skala penilaian prognosis Glasglow terdiri atas lima kategori: (Jennet, 2014)
5. Meninggal dunia (death) diberi nilai 1. Pada tahun 1981 Jennet menelaah
dan memodifikasi ulang skala GOS karena masalah sensitivitas statistik dan
penggunaan yang lebih praktis pada uji klinis obat neuroproteksi, yaitu
distribusi bimodal (dikotomisasi) antara hidup (GR, MD, SD) dan mati
(PVS, Death) dan penilaian ekstensi (GOS Extended).
GOS-E adalah suatu skala pengukuran outcome pada cedera kepala yang
dipakai untuk menyatakan prognosis, dinilai 3, 6, 12 dan 24 bulan setelah cedera
kepala, yang terdiri dari 8 kategori (Wilson et al, 1998).
1. Death: meninggal.
4. Upper severe disability: dapat ditinggal dirumah sendiri kurang lebih 8 jam
sehari, akan tetapi tidak dapat melakukan perjalanan jauh atau pergi
berbelanja tanpa ditemani orang lain.
8. Upper good recovery: dapat kembali pada kehidupan normal tanpa ada
masalah yang berhubungan dengan cedera kepala yang mempengaruhi
kehidupan sehari-hari.