You are on page 1of 44

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cedera Kepala


2.1.1. Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain
Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,
bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan
atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
dan dapat menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).

2.1.2. Epidemiologi
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian,
terutama pada dewasa muda. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian
disebabkan karena trauma, dan setengah dari total kematian akibat trauma
berhubungan dengan otak. Kasus cedera kepala terjadi setiap 7 detik dan kematian
akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit. Cedera kepala dapat terjadi pada
semua kelompok usia, namun angka kejadian tertinggi adalah pada dewasa muda
berusia 15-24 tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3 hingga 4 kali lebih sering
dibandingkan wanita (Rowland et al, 2010).
Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu
lintas yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013
hanya untuk transportasi darat, tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9
persen menjadi 47,7 persen (RISKESDAS, 2013).
7

2.1.3. Klasifikasi Cedera Kepala


Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014) cedera
kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.

2.1.3.1. Mekanisme Cedera Kepala


Percobaan biomekanika cedera kepala telah banyak dipelajari pada hewan
coba, kadaver manusia, dan model eksperimental tulang kepala dan otak. Pada
tahun 1943, Holbourn menunjukkan efek kekuatan rotasional dengan gel pada
tengkorak manusia, dan 3 tahun kemudian, (Pudenz and Shelden, 1947) merekam
fenomena ini pada tengkorak monyet yang digantikan dengan plastik transparan.
Perkembangan teknologi memungkinkan dengan Computed Tomography (CT
Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) mempelajari efek linier dan
angular akselerasi pada otak pasien percobaan (Bayly dkk, 2005).
Dengan mekanisme fisiologis pada cedera kepala akan dapat
memperkirakan dampak pada cedera kepala primer. Komponen utama diantaranya
kekuatan cedera (kontak atau gaya), jenis cedera (rotasional, translational, atau
angular), dan besar serta lamanya dampak tersebut berlangsung. Kekuatan kontak
terjadi ketika kepala bergerak setelah suatu gaya, sedangkan gaya inersia terjadi
pada percepatan atau perlambatan kepala, sehingga gerak diferensial otak relatif
terhadap tengkorak. Meskipun satu proses mungkin mendominasi, sebagian besar
pasien dengan cedera kepala mengalami kombinasi dari mekanisme ini.
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan cedera kepala (Goldsmith,
1966); benturan kepala dengan benda padat pada kecepatan yang cukup, beban
impulsif memproduksi gerak tiba-tiba kepala tanpa kontak fisik yang signifikan,
dan statis beban kompresi statis atau kuasi kepala dengan kekuatan bertahap.
Kekuatan kontak biasanya mengakibatkan cedera fokal seperti memar dan
patah tulang tengkorak. kekuatan inersia terutama translasi mengakibatkan cedera
fokal, seperti kontusio dan Subdural Hematoma (SDH), sedangkan cedera rotasi
akselerasi dan deselerasi lebih cenderung mengakibatkan cedera difus mulai dari
gegar otak hingga Diffuse Axonal Injury (DAI). Cedera rotasi secara khusus
8

menyebabkan cedera pada permukaan kortikal dan struktur otak bagian dalam
(Youmans, 2011).
Percepatan sudut merupakan kombinasi dari percepatan translasi dan rotasi,
merupakan bentuk yang paling umum dari cedera inersia. Karena sifat biomekanis
kepala dan leher, cedera kepala sering mengakibatkan defleksi kepala dan leher
bagian tengah atau tulang belakang leher bagian bawah (sebagai pusat
pergerakan).

Gambar 2.1. Diffuse Injury - Akselerasi dan Deselerasi (Bigler, 2000)

Cedera lainnya merupakan trauma penetrasi atau luka tembak yang


mengakibatkan perlukaan langsung organ intrakranial, yang pasti membutuhkan
intervensi pembedahan.

2.1.3.2. Beratnya Cedera Kepala


Terlepas dari mekanisme cedera kepala, pasien diklasifikasikan secara
klinis sesuai dengan tingkat kesadaran dan distribusi anatomi luka. Kondisi klinis
dan tingkat kesadaran setelah cedera kepala dinilai menggunakan Glasgow Coma
9

Scale (GCS), merupakan skala universal untuk mengelompokkan cedera kepala


dan faktor patologis yang menyebabkan penurunan kesadaran.
Glasgow Coma Scale (GCS) dikembangkan oleh Teasdale and Jennett pada
1974 dan saat ini digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita
cedera otak (Teasdale, 1974). Penderita yang mampu membuka kedua matanya
secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total
sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid
dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal
atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai
koma atau cedera otak berat.

Test Skor
Eye Opening (E)
Spontaneous 4
Open to voice 3
Open to pain 2
None 1
Best Motor Response (M)
Follow commands 6
Localizing to painful stimuli 5
Flexion-withdraw to painful stimuli 4
Flexor / Decorticate posturing to painful stimuli 3
Extensor / Decerebrate posturing to painful stimuli 2
None 1
Best Verbal Response
Oriented conversation 5
Confused / disoriented conversation 4
Inappropriate words 3
Incomprehensible sound 2
None 1

Tabel 2.1. Glasgow Coma Scale (Teasdale, 1974)


10

Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-
13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-
15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Menurut Brain Injury Association of
Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari cedera kepala yaitu:

Cedera Kepala Ringan


Kehilangan kesadaran < 20 menit

Amnesia post traumatic < 24 jam


GCS 13 -15
Cedera Kepala Sedang
Kehilangan kesadaran > 20 menit dan < 36 jam
Amnesia post traumatic > 24 jam dan < 7 hari
GCS 9-12
Cedera Keapala Berat
Kehilangan kesadaran > 36 jam
Amnesia post traumatic > 7 hari
GCS 3-8

Tabel 2.2. Klasifikasi Keparahan Cedera Kepala (Brain Injury Association


of Michigan (2005)

2.1.3.3. Morfologi Cedera Kepala


Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi atau area terjadinya
trauma (Sastrodiningrat, 2009). Cedera yang tampak pada kepala bagian luar
terdiri dari dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka.
Trauma kepala tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak
atau utuh pada kepala setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization
2009, mengatakan trauma kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat
pada kepala secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan
tengkorak. Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus
sampai kepada dura mater. (Anderson, Heitger, and Macleod, 2006).
11

Secara morfologi cedera kepala data dibagi atas: (Pascual et al, 2008)

2.1.3.3.1. Laserasi Kulit Kepala


Luka laserasi adalah luka robek yang disebabkan oleh benda tumpul atau
runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda tajam lukanya
akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh
tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Laserasi kulit kepala sering di dapatkan pada
pasien cedera kepala.
Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disingkat dengan akronim
SCALP yaitu skin, connective tissue, apponeurosis galea, loose connective tissue
dan percranium. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat
longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang
kepala sering terjadi robekan pada lapisan ini.
2.1.3.3.2. Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi:
1. Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal
atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh
ketebalan tulang kepala.
2. Fraktur Diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada
sutura tulang tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura
tulang kepala. Jenis fraktur ini terjadi pada bayi dan balita karena
sutura-sutura belum menyatu dengan erat.
3. Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang
memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.

4. Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang pepala terjadi akibat benturan dengan
tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur
impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau
12

laserasi pada duramater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap


bermakna terjadi jika tabula eksterna segmen tulang yang impresi
masuk hingga berada di bawah tabula interna segmen tulang yang
sehat.
5. Fraktur basis cranii
Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi
pada dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan
robekan pada duramater yang melekat erat pada dasar tengkorak.
pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan
racon eyes sign pada fraktur basis cranii fossa anterior, atau
ottorhea dan battle’s sign pada fraktur basis cranii fossa media.

2.1.3.3.3. Luka memar (kontusio)


Luka memar pada kulit terjadi apabila kerusakan jaringan subkutan
dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan
sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan.
Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan pembuluh darah kapiler
pecah. Biasanya terjadi pada tepi otak seperti pada frontal, temporal dan oksipital.
Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau MRI (Magnetic Resonance
Imaging). Pada kontusio dapat terlihat suatu daerah yang mengalami
pembengkakan yang disebut edema. Jika pembengkakan cukup besar dapat
menimbulkan penekanan hingga dapat mengubah tingkat kesadaran (Corrigan,
2004).

2.1.3.3.4. Abrasi

Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka
ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan
subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang
rusak.

2.1.3.3.5. Avulsi
13

Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi
sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit
pada kranial terlepas setelah cedera (Mansjoer, 2010).

2.1.4. Patofisiologi
Cedera kepala didasarkan pada proses patofisiologi dibagi menjadi dua
yang didasarkan pada asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan
oleh kekuatan fisik yang lalu diikuti proses patologis yang terjadi segera dan
sebagian besar bersifat permanen. Dari tahapan itu, dikelompokkan cedera kepala
menjadi dua (Youmans, 2011):

2.1.4.1. Cedera Otak Primer


Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik
yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan
perdarahan). Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan
seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau
deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang tengkorak, yang dapat memberi efek
pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan kerusakan
lokal, multifokal ataupun difus (Valadka, 1996).
Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan atau pembuluh darah.
Cedera parenkim berupa kontusio, laserasi atau Diffuse Axonal Injury (DAI),
sedangkan cedera pembuluh darah berupa perdarahan epidural, subdural,
subarachnoid dan intraserebral (Graham, 1995), yang dapat dilihat pada CT scan.
Cedera difus meliputi kontusio serebri, perdarahan subarachnoid traumatik dan
DAI. Sebagai tambahan sering terdapat perfusi iskemik baik fokal maupun global
(Valadka, 1996).
Kerusakan iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti
hipotensi, hipoksia, tekanan intrakranial /Intracranial Pressure (ICP) yang
meninggi, edema, kompresi jaringan fokal, kerusakan mikrovaskular pada fase
lanjut (late phase), terjadi vasospasme (Vazquez-Barquero,1992; Ingebrigtsen,
1998). Keadaan setelah cedera kepala dapat dibagi menjadi:
1. Fase awal (fase1, segera, dengan hipoperfusi),
14

2. Fase intermediate (fase2, hari1-3, tampak hiperemia)


3. Fase lanjut vasospastik (fase3, hari ke-4-15), dengan reduksi aliran
darah (Ingebrigtsen, et al. 1998).
Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional Cerebral
Blood Flow (CBF), dan reduksi aliran darah ke sekitar inti iskhemik (ischemic
core) yang tidak memberi respon terhadap bertambahnya Cerebral Perfusion
Pressure (CPP) (Andersson, 2003).
Secara anatomis cedera kepala primer dapat dikelompokkan menjadi
cedera fokal dan difus (Teasdale, 1995).
Focal Injuries Diffuse Injuries
Contusion Concusion
Fracture Diffuse axonal injury
Coup Moderate
Countercoup Severe
Herniation
Intermediate
Gliding
Hematoma
Epidural
Subdural
Intracerebral

Tabel 2.3. Klasifikasi Cedera Fokal dan Difus (Teasdale, 1995)

2.1.4.1.1. Cedera otak fokal


Cedera otak fokal secara tipikal menimbulkan kontusio serebri dan
traumatik Intrakranial hematoma (Winn, 2017).

1. Kontusio Serebri (memar otak)


Kontusio serebri merupakan cedera fokal berupa perdarahan dan
bengkak pada subpial, merupakan cedera yang paling sering terjadi.
Dilaporkan bahwa 89% mayat yang diperiksa postmortem mengalami
kontusio serebri (Cooper, 1982). Depreitere et al melaporkan bahwa
15

kasus kontusio serebri paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu


lintas, jatuh dari ketinggian dan cedera olahraga (Depreitere, 2004).
Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak yang
disebabkan oleh trauma tumpul maupun cedera akibat akselerasi dan
deselerasi yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim otak dan
perdarahan mikro di sekitar kapiler pembuluh darah otak. Pada kontusio
serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan
jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan
atau terputus. Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat berkembang
menjadi perdarahan serebral. Namun pada cedera berat, kontusio serebri
sering disertai dengan perdarahan subdural, perdaraham epidural,
perdarahan serebral ataupun perdarahan subaraknoid (Hardman, 2002).
Freytag dan Lindenberg (1968) mengemukakan bahwa pada
daerah kontusio serebri terdapat dua komponen, yaitu daerah inti yang
mengalami nekrosis dan daerah perifer yang mengalami pembengkakan
seluler yang diakibatkan oleh edema sitotoksik. Pembengkakan seluler
ini sering dikenal sebagai perikontusional zone yang dapat menyebabkan
keadaan lebih iskemik sehingga terjadi kematian sel yang lebih luas. Hal
ini disebabkan oleh kerusakan autoregulasi pembuluh darah di
pericontusional zone sehingga perfusi jaringan akan berkurang akibat
dari penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) atau peningkatan tekanan
intrakranial. Proses pembengkakan ini berlangsung antara 2 hingga 7
hari. Penderita yang mengalami kontusio ini memiliki risiko terjadi
kecacatan dan kejang di kemudian hari (Davis, 2006).
16

Gambar 2.2. Mekanisme Terjadinya Kontusio Serebri (Mesiano, 2010)

Penyebab penting terjadinya lesi kontusio adalah akselerasi kepala


yang juga menimbulkan pergeseran otak dengan tulang tengkorak serta
pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat akan
menyebabkan hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang
batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blokade reversibel
terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat hambatan itu, otak
tidak mendapat input aferen sehingga kesadaran hilang selama blokade
reversibel berlangsung (Liau et al, 2011).
Kontusio serebri dapat dibagi berdasarkan mekanisme, lokasi
anatomi, atau cedera yang berdekatan. Misalnya, fraktur kontusio akibat
dari cedera kontak langsung dan terjadi segera disebelahnya dengan
fraktur tulang tengkorak. Coup merujuk kepada trauma yang terjadi di
lokasi dampak dengan tidak adanya patah tulang, sedangkan contrecoup
adalah sisi yang berlawanan dengan titik dampak. Gliding adalah
perdarahan fokal melibatkan korteks dan white matter yang berdekatan
dari margin superior dari hemisfer serebri; terjadi karena mekanisme rotasi
daripada tenaga kontak. Intermediary adalah lesi yang mempengaruhi
struktur otak dalam, seperti korpus calosum, ganglia basal, hipotalamus,
dan batang otak. Herniasi dapat terjadi di daerah medial lobus temporal
pada tepi tentorial (yaitu, uncal herniasi) atau di mana tonsil serebelum
menghubungi foramen magnum (yaitu, tonsillar herniasi).
17

Gambar 2.3. Herniasi intrakranial (Hardman, 2002)

2. Traumatik Intrakranial Hematom


Intrakranial hematom tampak sebagai suatu massa yang merupakan
target terapi yang potensial dari intervensi bedah (sebagai lawan paling
memar). Lebih sering terjadi pada pasien dengan tengkorak fraktur. Tiga
jenis utama dari hematoma intrakranial dibedakan oleh lokasi relatif
terhadap meninges: epidural, subdural, dan intracerebral.
1. Epidural Hematoma (EDH).
EDH adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang
potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan duramater.
EDH dapat menimbulkan penurunan kesadaran, adanya lusid
interval selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit
neurologis berupa hemiparesis kontralateral dan dilatasi pupil
ipsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala,
muntah, kejang dan hemiparesis.

2. Subdural Hematoma (SDH).

Perdarahan subdural adalah perdarahan antara duramater dan


arachnoid, yang biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3
bagian yaitu:
18

a. Perdarahan subdural akut


SDH akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural
yang terjadi akut (0-2 hari). Perdarahan ini terjadi akibat
robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri.
Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk,
dan kebingungan, respon yang lambat, serta gelisah. Keadaan
kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral
pupil. Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan
cedera otak besar dan cedera batang otak.
b. Perdarahan subdural subakut
Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 2-14 hari
setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang
agak berat. Tekanan serebral yang terus-menerus
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
c. Perdarahan subdural kronis
Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil
memasuki ruang subdural. Beberapa minggu kemudian
menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara pelan-
pelan ia meluas, bisanya terjadi lebih dari 14 hari. Gejala
mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa
bulan. Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi
pupil dan motorik.

3. Intracerebral Hematoma (ICH).


Intracerebral Hematoma adalah area perdarahan yang
homogen dan konfluen yang terdapat di dalam parenkim otak. ICH
bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan
tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan
deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh
darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau
pembuluh darah kortikal dan subkortikal.
19

4. Subarahnoid Hematoma (SAH) Traumatik.


Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh
darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu
akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoid.

2.1.4.1.2. Cedera Otak Difus


Cedera otak difus merupakan efek yang paling sering dari cedera
kepala dan merupakan kelanjutan klinis cedera kepala, mulai dari gegar
otak ringan sampai koma menetap pasca cedera (Sadewa, 2011).
Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi
dan deselerasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya
parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam.
Vasospasme luas pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan
subarahnoid traumatika yang menyebabkan terhentinya sirkulasi di
parenkim otak dengan manifestasi iskemia yang luas, edema otak
disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi
sebagai cedera kepala difus. Dari gambaran morfologi pencitraan atau
radiologi, cedera kepala difus dikelompokkan menjadi:

1. Benturan (concussion) serebri


Benturan adalah bentuk paling ringan dari cedera difus dan
dianggap karena gaya rotasional akselerasi kepala dengan tidak
adanya kontak mekanik yang signifikan. Dalam bentuk klasik,
penderita benturan mengalami kehilangan kesadaran sementara dan
cepat kembali ke keadaan normal kewaspadaan. Meskipun, gegar
otak ini tidak berbahaya seperti yang diduga sebelumnya, tetapi
benturan berulang sering mengakibatkan gangguan neurologis
permanen.
Patofisiologi benturan kurang dipahami dan mungkin
karena gangguan kesadaran dari lesi batang otak dan diencephalon.
Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan benturan otak sering
memiliki keterlibatan cedera otak difus, dan lesi batang otak jauh
20

lebih jarang. Cedera otak difus menggambarkan keadaan odema


sitotoksik meskipun gambaran CT scan normal dan GCS 15.

2. Cedera akson difus (Difuse axonal injury)


Difus Axonal Injury (DAI) adalah keadaan dimana serabut
subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti
profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang
menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut
yang menghubungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer
(komisura) mengalami kerusakan.
DAI merupakan istilah yang kurang tepat, sebab ini bukan
merupakan cedera difus pada seluruh daerah otak. Cedera yang
terjadi lebih dominan pada area otak tertentu yang mengalami
percepatan yang tinggi dan cedera deselerasi dengan durasi yang
panjang. DAI merupakan ciri yang konsisten pada cedera kepala
akibat kecelakaan lalu lintas dan beberapa olahraga tertentu.
Gambaran patologi secara histologi dari DAI pada manusia adalah
terdapat kerusakan yang luas pada akson dari batang otak,
parasagittal white matter dari korteks serebri, korpus callosum dan
gray-white matter junction dari korteks serebri (Smith et al, 1999).
Pada DAI ringan dan sedang umumnya tidak terdapat
kelainan pada pemeriksaan radiologi baik CT-scan dan MRI.
Namun pada pemeriksaan mikroskopis akan dijumpai akson-akson
yang membengkak dan putus. Mekanisme utama terjadinya DAI
adalah akibat dari pergerakkan rotasional dari otak saat akselerasi
dan deselerasi. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan densitas dari
jaringan otak yaitu jaringan white matter lebih berat dibandingkan
grey matter. Pada saat otak mengalami rotasi akibat kejadian
akselerasi-deselerasi, jaringan dengan densitas lebih rendah
bergerak lebih cepat dibandingkan dengan jaringan dengan densitas
lebih besar. Perbedaan kecepatan inilah yang menyebabkan
21

robekan pada akson neuron yang menghubungkan grey matter dan


white matter (Smith et al, 1999).
Terdapat dua fase dari cedera aksonal pada DAI yaitu fase
pada cedera primer dan cedera sekunder atau fase lambat. Pada
cedera primer robekkan akson terjadi akibat regangan saat
kejadiaan. Sedangkan pada fase lambat terjadi perubahan biokimia
yang mengakibatkan pembengkakan dan putusnya akson-akson.
Perubahan biokimia yang terjadi yaitu peningkatan influks natrium
yang juga memicu influks kalsium. Peningkatan kadar kalsium ini
akan menyebabkan aktifnya calsium-mediated proteolysis.
Kerusakan akson menyebabkan kerusakan dari pengangkutan
sehingga terjadi penunmpukan di dalam akson yang membengkak.
Kerusakan akson yang luas akan menyebabkan atrofi otak dengan
ventrikulomegali yang dapat menyebabkan kejang, spastisitas,
penurunan fungsi intelektual dan yang paling berat adalah
vegetative state (Blumbergs, 2011).

2.1.4.2. Cedera Otak Sekunder


Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer
yang dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia, pengaruh
neurotransmitter, gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis dan inokulasi
++
bakteri. Melalui mekanisme Eksitotoksisitas, kadar Ca intrasellular

meningkat, terjadi generasi radikal bebas dan peroxidasi lipid.


Perburukan mekanis awal sebagai akibat cedera kepala berefek pada
perubahan jaringan yang mencederai neuron, glia, axon dan pembuluh
darah. Cedera ini akan di ikuti oleh fase lanjut, yang di mediasi jalur
biologis intraselular dan ekstraseluler yang dapat muncul dalam menit, jam,
maupun hari, bahkan minggu setelah cedera kepala primer (Cloots dkk,
2008). Selama fase ini, banyak pasien mengalami cedera kepala sekunder
yang dipengaruhi hipoksia, hipotensi, odema serebri, dan akibat peningkatan
Tekanan Intrakranial (TIK). Faktor sekunder inilah yang akan memperberat
22

cedera kepala primer dan berpengaruh pada outcome pasien (Czosnyka dkk,
1996).
Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat
proses metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika
intrakranial dan kompartement CSS yang dimulai segera setelah trauma
tetapi tidak tampak secara klinis segera setelah trauma. Cedera otak
sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain kerusakan sawar
darah otak, gangguan aliran darah otak (ADO), gangguan metabolisme dan
homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal, pengeluaran neurotransmitter
dan reactive oxygen species (ROS), infeksi dan asidosis. Kelainan utama ini
meliputi perdarahan intrakranial, edema otak, peningkatan tekanan
intrakranial dan kerusakan otak. Cedera kepala menyebabkan sebagian sel
yang terkena benturan mati atau rusak irreversible, proses ini disebut proses
primer dan sel otak disekelilingnya akan mengalami gangguan fungsional
tetapi belum mati dan bila keadaan menguntungkan sel akan sembuh dalam
beberapa menit, jam atau hari. Proses selanjutnya disebut proses patologi
sekunder. Proses biokimiawi dan struktur massa yang rusak akan
menyebabkan kerusakan seluler yang luas pada sel yang cedera maupun sel
yang tidak cedera. Secara garis besar cedera kepala sekunder pasca trauma
diakibatkan oleh beberapa proses dan faktor dibawah ini :
1. Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang terdiri atas :
a. Perdarahan intrakranial (hematom epidural/ subdural/
intraserebral).
b. Edema serebral.
2. Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh :
a. Penurunan tekanan perfusi serebral.
b. Hipotensi arterial, hipertensi intrakranial.
c. Hiperpireksia dan infeksi.
d. Hipokalsemia/ anemia dan hipotensi.
e. Vasospasme serebri dan kejang
23

Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan


aktivasi substansi mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah,
penurunan aliran darah, dan permeabilitas kapiler yang meningkat. Hal ini
menyebabkan akumulasi cairan (edema) dan leukosit pada daerah trauma.
Sel terbanyak yang berperan dalam respon inflamasi adalah sel fagosit,
terutama sel leukosit Polymorphonuclear (PMN), yang terakumulasi dalam
30 - 60 menit yang memfagosit jaringan mati. Bila penyebab respon
inflamasi berlangsung melebihi waktu ini, antara waktu 5-6 jam akan terjadi
infiltrasi sel leukosit mononuklear, makrofag, dan limfosit. Makrofag ini
membantu aktivitas sel PMN dalam proses fagositosis (Riahi, 2006).
Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma sangat
berperan dalam terjadinya cedera sekunder. Pada tahap awal proses
inflamasi, akan terjadi perlekatan netrofil pada endotelium dengan beberapa
molekul perekat Intra Cellular Adhesion Molecules-1 (ICAM-1). Proses
perlekatan ini mempunyai kecenderungan merusak/merugikan karena
mengurangi aliran dalam mikrosirkulasi. Selain itu, neutrofil juga
melepaskan senyawa toksik (radikal bebas), atau mediator lainnya
(prostaglandin, leukotrin) di mana senyawa-senyawa ini akan memacu
terjadinya cedera lebih lanjut. Makrofag juga mempunyai peranan penting
sebagai sel radang predominan pada cedera otak (Hergenroeder, 2008).
Sebaliknya faktor ekstrakranial (sistemik) yang dikenal dengan istilah
nine deadly H’s adalah hipoksemia (hipoksia, anemia), hipotensi
(hipovolemia, gangguan jantung, pneumotorak), hiperkapnia (depresi nafas),
hipokapnea (hiperventilasi), hipertermi (hipermetabolisme/respon stres),
hiperglikemia, hipoglikemia, hiponatremia, hipoproteinemia,dan hemostasis
(Cohadon, 1995). Beratnya cedera primer karena lokasinya memberi efek
terhadap beratnya mekanisme cedera sekunder (Li, 2004).
24

Gambar 2.4. Diagram Patofisiologi Cedera Otak Sekunder (COS)

2.1.5. Faktor Risiko Klinis Cedera Kepala


Faktor-faktor yang berhubungan dengan penurunan angka survival meliputi
nilai GCS rendah, usia lanjut, dijumpainya hematom intrakranial dan keadaan
sistemik lain yang memperberat keadaan cedera kepala. Penelitian lain
menunjukkan, 30-60 % pasien cedera kepala dengan Intracranial Pressure (ICP)
tidak terkontrol meninggal dan berbeda dengan penelitian besar lainnya dijumpai
hasil outcome yang lebih baik dengan cacat sedang (Moulton, 2005). Meski masih
dijumpai keraguan terhadap faktor-faktor tersebut berdasarkan penilaian klinis
terhadap prognosis pada cedera kepala, hubungan salah satu faktor terhadap faktor
lain dalam peranannya terhadap prognosis pasien cedera kepala juga masih
diperdebatkan. Hal ini yang masih menjadi acuan bahwa faktor-faktor prognosis
tidak bisa digunakan sebagai satu-satunya variabel dalam keberhasilan
25

menentukan keputusan pengobatan. Namun, tidak bisa tidak, faktor-faktor


tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap pengambilan keputusan penanganan
pasien (Bahloul, 2010; Kan, 2009).

2.1.5.1. Faktor Usia


Pada usia diatas 60 tahun yang mengalami cedera kepala memiliki risiko
terjadinya kelainan pada otak lebih besar dibandingkan usia muda (Munro, 2002).
Terdapat hubungan yang bermakna antara usia tua dan lesi otak, dan
kemungkinan bertahan hidup pada pasien dengan hematoma intrakranial menurun
sesuai dengan peningkatan usia (Amacher, 1987). Hal ini karena pada usia tua
berisiko terjadi lesi fokal karena atrofi otak dan mudah robeknya bridging vein
pada usia tua (Narayan, 2000).

2.1.5.2. Hipotensi
Hipotensi, yang bisa muncul kapan saja akibat trauma, telah dijadikan
prediktor utama terhadap outcome pada pasien cedera kepala. Hipotensi
merupakan faktor yang sering ditemukan diantara kelima faktor terkuat yang
mempengaruhi outcome pasien cedera kepala. Riwayat penderita dengan kondisi
hipotensi berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas
pasien cedera kepala (Chessnut, 2000; Demetriades, 2004). Terdapatnya cedera
sistemik ganda terutama yang berhubungan dengan hipoksia sistemik dan
hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg), memperburuk prognosis penyembuhan
(Bowers, 1980).
Miller (1978) menemukan 13% penderita dengan hipotensi dan 30% dengan
hipoksia pada saat tiba di unit gawat darurat. Diantara penderita cedera kepala,
hipotensi biasanya disebabkan kehilangan darah karena cedera sistemik; sebagian
kecil mungkin karena cedera langsung pada pusat refleks kardiovaskular di
medula oblongata. Newfield (1980) mendapatkan angka mortalitas 83% pada
penderita-penderita dengan hipotensi sistemik pada 24 jam setelah dirawat,
dibandingkan dengan angka mortalitas 45% dari penderita-penderita tanpa
hipotensi sistemik (Moulton, 2005).
26

Penambahan morbiditas dari hipotesi sistemik bisa sebagai akibat cedera


iskemik sekunder dari menurunnya perfusi serebral. Hipotensi yang ditemukan
mulai dari awal cedera sampai selama perawatan penderita merupakan faktor
utama yang menentukan outcome penderita cedera kepala, dan merupakan satu-
satunya faktor penentu yang dapat dikoreksi dengan medikamentosa. Adanya satu
episode hipotensi dapat menggandakan angka mortalitas dan meningkatkan
morbiditas, oleh karenanya koreksi terhadap hipotensi terbukti akan menurunkan
morbiditas dan mortalitas (Rovlias, 2004; Sastrodiningrat, 2006).
Pietropaoli dkk dalam penelitian retrospektifnya menemukan bahwa hipotensi
intra operatif juga memegang peranan penting, dengan peningkatan kematian tiga
kali lipat. Mekanisme yang pasti mengenai pengaruh hipotensi dengan
peningkatan derajat keparahan masih belom jelas, tetapi pada autopsi 90% pasien
cedera kepala ditemukan bukti adanya kerusakan otak akibat iskemik (Stieffel,
2005).

2.1.5.3. Hipoksia
Katsurada dkk melaporkan bahwa diantara penderita cedera kepala berat
dalam keadaan koma, 43% mendapat hipoksia arterial dibawah 70 mmHg, 51%
mempunyai perbedaan oksigen alveolar-arterial lebih dari 30% ; 14% mendapat
hiperkarbia lebih dari 45 mmHg. Miller (1978) mendapatkan bahwa 30% dari
penderita ada awalnya sudah menderita hipoksia.
Hipoksia sistemik dapat terjadi karena apnea yang tiba tiba atau karena pola
pernafasan abnormal lainnya, hipoventilasi karena cedera sumsum tulang
belakang atau obstruksi jalan nafas karena cedera kepala atau cedera leher, juga
karena cedera lansung pada dinding dada atau paru, atau oleh emboli lemak di
sirkulasi pulmonal karena fraktur tulang panjang. Sangat sulit untuk menjelaskan
efek hipoksia sistemik pada manusia, tetapi tampaknya juga memegang peranan
didalam memperburuk prognosa (Sastrodiningrat, 2006).
Penelitian yang dilakukan Wagner (2010) pada sekelompok tikus
menjelaskan bahwa hipoksia disertai benturan menyebabkan peningkatan kejadian
edema otak bila dibandingkan dengan benturan saja, hal ini mungkin disebabkan
27

oleh karena gangguan pada sel yang cedera untuk mempertahankan hemostasis
ion.

2.1.5.4. Skor Glasgow Coma Scale


Glasgow coma scale (GCS) diciptakan oleh Jennett dan Teasdale pada tahun
1974. Sejak itu GCS merupakan tolok ukur klinis yang digunakan untuk menilai
beratnya cedera pada cedera kepala. Glasgow Coma Scale seharusnya telah
diperiksa pada penderita saat awal cedera terutama sebelum mendapat obat-obat
paralitik dan sebelum intubasi; skor ini disebut skor awal GCS (Chessnut, 2000;
Sastrodiningrat, 2006). Derajat kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh yang
kuat terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan. GCS juga merupakan faktor
prediksi yang kuat dalam menentukan prognosis, suatu skor GCS yang rendah
pada awal cedera berhubungan dengan prognosis yang buruk (Davis dan
Cunningham, 1984).
Menurut Sastrodiningrat (2009) yang mengutip pendapat Jennet dkk,
melaporkan bahwa 82% dari penderita-penderita dengan skor GCS 11 atau lebih,
dalam waktu 24 jam setelah cedera mempunyai good outcome atau moderately
disabled dan hanya 12% yang meninggal atau mendapat severe disability.
Outcome secara progresif akan menurun kalau skor awal GCS menurun. Diantara
penderita-penderita dengan skor awal GCS 3 atau 4 dalam 24 jam pertama setelah
cedera hanya 7% yang mendapat good outcome atau moderate disability. Diantara
penderita-penderita dengan skor GCS 3 pada waktu masuk dirawat, 87% akan
meninggal.
Kehilangan kesadaran yang lama, dalam banyak hal tidak prediktif terhadap
outcome yang buruk. Menurut Sastrodiningrat (2009) yang bersumber dari hasil
penelitian Groswasser dan Sazbon, telah melakukan tinjauan penyembuhan
fungsional dari 134 penderita dengan gangguan kesadaran selama 30 hari. Hampir
separuhnya mempunyai ketergantungan total didalam aktifitas kehidupan sehari-
hari dan 20% yang lain mempunyai ketergantungan terbatas. Biasanya penderita
yang sembuh adalah pada usia dibawah 30 tahun dengan fungsi batang otak yang
baik, diameter pupil dan reaksi cahaya.
28

Reflek pupil terhadap cahaya merupakan pengukuran secara tidak langsung


terhadap adanya herniasi dan cedera batang otak. Secara umum, dilatasi dan
fiksasi dari satu sisi pupil menandakan adanya herniasi, dimana gambaran dilatasi
dan terfiksasinya kedua pupil dijumpai pada cedera batang otak yang irreversible.
Keterbatasan penilaian prognosis terjadi pada pupil yang mengalami dilatasi dan
terfiksasi akibat trauma langsung ke bola mata tanpa mencederai saraf ketiga
intrakranial atau disertai cedera batang otak (Chessnut, 2000). Penelitian klinis
untuk mengamati prognosis terhadap reflek cahaya pupil telah dilakukan dalam
berbagai metodologi. Sebagian penelitian tersebut meneliti ukuran dan reaksi
pupil terhadap cahaya. Sebagian penelitian tersebut hanya mencatat ada tidaknya
dilatasi tanpa memandang ukuran pupil (Pascual, 2008; Letarte, 2008).
Abnormalitas fungsi pupil, gangguan gerakan ekstraokular, pola-pola
respons motorik yang abnormal seperti postur fleksor dan postur ekstensor,
semuanya memprediksikan outcome yang buruk setelah cedera kepala (Andrews,
1989; Rovlias, 2004). Sastrodiningrat (2006) bersumber dari penelitian yang
dilakukan Sone dan Seelig menyatakan bahwa anisokor, refleks pupil yang tidak
teratur atau pupil yang tidak bereaksi terhadap rangsang cahaya biasanya
disebabkan karena kompresi terhadap saraf otak ketiga atau terdapat cedera pada
batang otak bagian atas, biasanya karena herniasi transtentorial. Dalam suatu
tinjauan terhadap 153 penderita dewasa dengan herniasi transtentorial, hanya 18%
yang mempunyai penyembuhan yang baik. Diantara penderita dengan anisokor
pada waktu masuk dirawat dengan batang otak yang tidak cedera, 27% mencapai
penyembuhan yang baik, akan tetapi bila ditemukan pupil yang tidak bergerak dan
berdilatasi bilateral, secara bermakna ditemukan hanya 3.5% yang sembuh.
Penderita cedera kepala dengan pupil yang anisokor yang mendapat
penyembuhan baik cenderung berumur lebih muda, dan refleks-refleks batang
otak bagian atas yang tidak terganggu. Sone dkk, melaporkan 10 dari 40 (25%)
penderita dengan satu pupil berdilatasi ipsilateral terhadap suatu Subdural
Hematoma (SDH) mencapai penyembuhan fungsional. Seelig dkk, melaporkan
hanya 6 dari 61 (10%) penderita dengan dilatasi pupil bilateral yang mencapai
penyembuhan fungsional. Dengan demikian, gangguan gerakan ekstraokular dan
29

refleks pupil yang negatif juga berhubungan dengan prognosis buruk


(Sastrodiningrat, 2009). Diameter pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya adalah
dua parameter yang banyak diselidiki dan dapat menentukan prognosis. Di dalam
mengevaluasi pupil, trauma orbita langsung harus disingkirkan dan hipotensi telah
diatasi sebelum mengevaluasi pupil, dan pemeriksaan ulang harus sering
dilakukan setelah evakuasi hematoma intraserebral (Pascual, 2008; Moulton,
2005; Volmerr, 1991).

2.1.5.5. Gambaran Awal CT Scan Kepala


Indikasi untuk melakukan CT scan adalah jika pasien mengeluh sakit kepala
akut yang diikuti dengan kelainan neurologis seperti mual, muntah atau dengan
GCS <14 (Mills, 2004). Lobato (1983), mengelompokkan hasil CT scan
berdasarkan bentuk anatomi menjadi delapan kelompok. Pengelompokan ini
memperlihatkan hasil prediksi yang lebih kuat tabel 2.4

Temuan CT scan Unfacourable Outcome (%)

No Lesions 32

Extracerebral Hematoma 15

Extracerebral Hematoma and 100


Swelling Bilateral Swelling

Bilateral Swelling 12

Single Brain Contusion 22

Multiple Unilateral Contusion 84

Multiple Bilateral Contusion 54

Diffuse Axonal Injury 86

Tabel 2.4. Klasifikasi lesi CT scan dan outcome (Lobato, 1983).

Terdapatnya hematoma intraserebral yang harus dioperasi berhubungan


dengan prognosis yang lebih buruk sama halnya bila sisterna basal tidak tampak
atau adanya kompresi terhadap sisterna basal. Lesi massa terutama hematoma
30

subdural dan hematoma intraserebral berhubungan dengan meningkatnya


mortalitas dan menurunnya kemungkinan penyembuhan fungsional. Dengan
adanya SAH angka mortalitas akan meningkat dua kali lipat. SAH di dalam
sisterna basal menyebabkan unfavorable outcome pada 70% dari penderita. SAH
adalah faktor independen yang bermakna didalam menentukan prognosis
(Sastrodiningrat, 2009).

2.1.5.6. Patah Tulang Kepala


Patah tulang kepala merupakan faktor klinis yang sering dikaitkan dengan
terjadinya lesi otak paska terjadinya trauma. Patah tulang menggambarkan
besarnya trauma yang terjadi pada kepala (Eisenberg, 1997). Patah tulang kepala
adalah faktor resiko yang bermakna terhadap terjadinya abnormalitas CT Scan
kepala dengan besar resiko mencapai 80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok yang normal. Sebagian besar peneliti setuju bahwa patah tulang kepala
memiliki hubungan yang bermakna terhadap terjadinya kelainan pada CT Scan
kepala (Ibanez, 2016).
Lebih dari 70 % penderita cedera kepala yang mengalami patah tulang
kepala terdapat lesi dibawahnya. Hal ini disebabkan karena impak yang besar
pada kepala sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya lesi dibawah garis
patahan (Willmore, 2007).

2.1.5.7. Waktu Kejadian Trauma Sampai Penanganan di Rumah Sakit


Waktu 6 jam setelah kedatangan merupakan masa untuk melakukan
tindakan awal di rumah sakit. Pada waktu ini, proses kerusakan jaringan otak dan
iskemik otak karena cedera primer maupun terdapatnya cedera tambahan yang
menimbulkan kegagalan kompensasi dapat terjadi, sehingga kematian paling
banyak terjadi dalam periode ini (Ratnaningsih, 2008). Penelitian yang dilakukan
oleh Boto (2010) mengungkapkan pasien dengan cedera kepala berat, 20%
meninggal dunia pada awal kedatangan. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian
yang dilakukan oleh Singh (2007) terhadap pejalan kaki yang mengalami
31

kematian akibat kecelakaan. Dari 129 orang 56, 6% mengalami cedera kepala dan
54, 4% diantaranya hanya dapat bertahan hidup sampai 6 jam pertama.

2.1.5.8. Faal hemostasis


Faal hemostasis merupaka pemeriksaan yang meliputi tes PT
(Prothrombin Time), tes aPTT (Activated Partial Thromboplastin Time) dan tes
TT (Thrombin Time). Ada beberapa sistem yang berperanan dalam sistem
hemostasis yaitu system vaskuler, trombosit, dan pembekuan darah. Koagulasi
adalah proses komplek pembentukan pembekuan darah. Koagulasi dimulai
dengan terdapatnya kerusakan pembuluh darah pada lapisan endothel. Trombosit
kemudian membentuk gumpalan untuk menutup daerah yang rusak disebut
hemostasis primer. Hemostasis sekunder terjadi secara simultan dengan adanya
protein dalam plasma disebut faktor koagulasi untuk membentuk benang-benang
fibrin yang memperkuat gumpalan dari trombosit (Baroto, 2007). Dalam
penelitian Baroto (2007) disebutkan juga bahwa koagulopati adalah proses
patologis yang menyebabkan kegagalan hemostasis atau mekanisme untuk
menghentikan dan mencegah perdarahan. Pasien dengan cedera kepala dapat
ditemukan koagulopati secara klinis dan laboratoris terutama pada kejadian cedera
jaringan otak langsung. Koagulopati yang terjadi pada penderita cedera kepala
karena pelepasan faktor jaringan (salah satunya tromboplastin yang kaya di
jaringan otak) dan koagulan lain dari parenkim otak yang rusak masuk ke
peredaran darah sistemik mempengaruhi proses pembekuan darah. Pemeriksaan
laboratorium yang akan didapatkan pada pasien cedera kepala disertai koagulopati
adalah penurunan jumlah trombosit darah tepi, pemanjangan masa plasma
protrombin, pemanjangan masa tromboplastin parsial teraktivasi, pemanjangan
masa trombin, serta penurunan kadar fibrinogen plasma. Pemanjangan PT, APTT,
dan TT merupakan akibat dari faktor jaringan yang keluar dari jaringan otak yang
mengalami trauma yang mengaktifkan jalur ekstrinsik dan intrinsik pembekuan
darah. Stein menyebutkan bahwa risiko terjadinya cedera sekunder pada trauma
kepala meningkat 85% jika tes koagulasi abnormal. Komplikasi ini sangat
signifikan korelasinya dengan pemanjangan PT.
32

2.2 Pencitraan Pada Cedera Kepala


Cedera kepala mengacu cedera pada struktur intrakranial berikut trauma
fisik pada kepala. Istilah Cedera kepala mengacu pada luka yang mencakup
struktur baik intrakranial dan ekstrakranial, termasuk kulit kepala dan tengkorak.
Kemajuan teknologi pencitraan medis telah mengakibatkan kemajuan beberapa
modalitas pencitraan baru untuk evaluasi cedera kepala. Sementara kemajuan
dalam pencitraan medis telah meningkatkan deteksi dini dan informasi prognostik
yang berguna. Pemilihan diagnostik yang tepat di antara berbagai teknik
pencitraan yang tersedia, diantaranya:

2.2.1. Konvensional radiografi (X-ray)


Patah tulang tengkorak, bahkan tanpa gejala klinis, merupakan penanda
risiko independent untuk lesi intrakranial (Adams, 2012). Namun, film tengkorak
terutama digunakan untuk identifikasi patah tulang tengkorak dan tidak untuk
evaluasi dari patologi intrakranial. Bahkan, radiografi konvensional adalah
prediktor yang buruk patologi intrakranial dan tidak boleh dilakukan untuk
mengevaluasi cedera kepala (Bell, 2011). Pada cedera kepala ringan, x-ray
tengkorak jarang menunjukkan temuan yang signifikan, sedangkan pada cedera
kepala berat tidak adanya kelainan pada x-ray tengkorak tidak menyingkirkan
cedera intrakranial utama.
X-ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada (State of Colorado
Department of Labor and Employment, 2006).
Indikasi pemeriksaan x-ray pada cedera kepala, diantaranya:
1. Kehilangan kesadaran, amnesia
2. Nyeri kepala menetap
3. Tanda neurologis fokal
4. Cedera SCALP
5. Dugaan cedera penetrating
6. Cairan serebrospinal dari darah ataupun telinga
7. Deformitas tengkorak tampak atau teraba
33

8. Kesulitan penilaian (dalam pengaruh alkohol, obat, epilepsi, atau


anak-anak)
9. GCS 12 dengan riwayat trauma multipel yang langsung dan keras.

Foto polos berguna untuk penilaian triase. Fraktur mempengaruhi tindakan:


1. Karena ada kemungkinan perdarahan, perlu CT.
2. Fraktur terbuka termasuk basis meninggikan risiko infeksi. Fraktur
depres meningkatkan kemungkinan kejang, terutama bila laserasi
duramater.
3. Fraktur menunjukkan sisi operasi pada pasien dengan perburukan
cepat karena perdarahan ekstradural.

2.2.2. Computed Tomography Scanner (CT Scan)


Penemuan awal CT Scan penting dalam memperkirakan prognosa cedera
kepala berat (Alberico dkk, 1990 dalam Sastrodiningrat, 2009). Suatu CT scan
yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala
berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan
fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang
mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita
dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin
terjadi peningkatan TIK dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita
(Roberson dkk, 1997 dalam Sastrodiningrat, 2009). Di samping itu pemeriksaan
CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang
cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini
sering berhubungan dengan outcome yang buruk (Sastrodiningrat, 2009).
Pemeriksaan CT scan kepala masih merupakan gold standard bagi setiap
pasien dengan cedera kepala, dan merupakan modalitas pilihan karena cepat,
digunakan secara luas, dan akurat dalam mendeteksi patah tulang tengkorak dan
lesi intrakranial. CT scan dapat memberikan gambaran cepat dan akurat lokasi
perdarahan, efek penekanan, dan komplikasi yang mengancam serta apabila
membutuhkan intervensi pembedahan segera. Berdasarkan gambaran CT scan
34

kepala dapat diketahui adanya gambaran abnormal yang sering menyertai pasien
cedera kepala (French, 1992). Jika tidak ada CT scan kepala pemeriksaan
penunjang lainnya adalah X-0ray foto kepala untuk melihat adanya patah tulang
tengkorak atau wajah (Willmore, 2007).
Patah tulang kepala merupakan faktor klinis yang sering dikaitkan dengan
terjadinya lesi otak paska terjadinya trauma. Patah tulang menggambarkan
besarnya trauma yang terjadi pada kepala (Eisenberg, 1997). Patah tulang kepala
adalah faktor resiko yang bermakna terhadap terjadinya abnormalitas CT Scan
kepala dengan besar resiko mencapai 80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok yang normal. Sebagian besar peneliti setuju bahwa patah tulang kepala
memiliki hubungan yang bermakna terhadap terjadinya kelainan pada CT scan
kepala (Ibanez, 2004). Lebih dari 70 % penderita cedera kepala yang mengalami
patah tulang kepala terdapat lesi dibawahnya. Hal ini disebabkan karena impact
yang besar pada kepala sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya lesi
dibawah garis patahan (Willmore, 2007).
CT scan adalah suatu alat foto yang membuat foto suatu objek dalam sudut
360 derajat melalui bidang datar dalam jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto
akan direkonstruksi oleh komputer sehingga objek foto akan tampak secara
menyeluruh (luar dan dalam). Foto CT scan akan tampak sebagai penampang-
penampang melintang dari objeknya. Dengan CT scan isi kepala secara anatomi
akan tampak dengan jelas. Pada trauma kapitis, fraktur, perdarahan dan edema
akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya (Sastrodiningrat, 2009).
Indikasi pemeriksaan CT scan pada kasus trauma kepala adalah seperti berikut:
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan
otak.
35

7. Mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral. Perdarahan


subaraknoid terbukti sebanyak 98% yang mengalami trauma.

PRIMARY INJURY
Extra axial injury
Epidural hematoma
Subdural hematoma
Subarachnoid hemorrhage
Intraventricular hemorrhage
Intra axial injury
Axonal injury
Cortical contusion
Intracerebral hematoma
Encephalomalacia
Vascular Injury
Dissection
Carotid cavernous fistula
Arteriovenous dura fistula
Pseudoaneurysm
SECONDARY INJURY
Acute
Diffuse cerebral swelling
Brain herniation
Infarction
Infection
Chronic
Hydrocephalus
Encephalomalacia
CSF leak
Leptomeningeal cyst

Tabel 2.5. Klasifikasi Cedera Kepala berdasarkan Pemeriksaan Radiologis


(Winn, 2011)

Hasil CT scan tersebut juga dapat dikelompokkan berdasarkan klasifikasi


Marshall maupun secara tradisional. Menurut Marshall klasifikasi dari cedera
36

kepala yaitu dibedakan menjadi enam kategori, pembagiannya dapat dilihat pada
tabel 2.6. Sedangkan secara tradisional dapat dibedakan berdasarkan fokal lesi
yang didapatkan dari gambaran CT scan yang dilakukan, yaitu dengan dijumpai
adanya gambaran EDH, SDH, ICH maupun SAH (Andrews, 2016; Selladurai dan
Reilly, 2007).

Klasifikasi Kriteria

Diffuse Injury I Tak ada kelainan pada CT scan

Diffuese Injury II Cisterna terbuka


Midline shift 0-5 mm
Tidak ada densitas lesi > 25 cc
Dapat termasuk fragmen tulang atau
benda asing

Diffuse Injury III Cisterna terkompresi atau hilang


Midline shift 0-5 mm
Tidak ada densitas lesi > 25 cc

Diffuse Injury IV Midline shift > 5 mm


Tidak ada densitas lesi > 25 cc

Evacuated Mass Lesion Adanya lesi yang indikasi untuk


dievakuasi
Non Evacuated Mass Lesion Lesi > 25 cc tapi tidak indikasi untuk
dievakuasi

Tabel 2.6. Klasifikasi Marshall berdasarkan CT Scan pada Cedera Kepala


(Winn, 2011)

Gambaran klinis klasik dengan prognosis signifikan pada pasien dengan


cedera kepala berat diantaranya usia, nilai Glasgow Coma Scale (GCS), respon
pupil, reflek batang otak, dan adanya hipotensi pasca trauma. Kebanyakan pasien
saat ini sampai di rumah sakit telah terintubasi, paralisis dan dengan ventilator.
Perkiraan akurat terhadap nilai GCS dan perubahannya pada waktu awal setelah
cedera kepala sulit untuk dinilai. Pada penelitian pasien cedera kepala berat dan
sedang, yang dilakukan oleh perkumpulan European Brain Injury, penggunaan
nilai GCS hanya teruji dari 56% pasien yang masuk ke bedah saraf (Murray et al,
37

2007). Gambaran prognostik berdasarkan pemeriksaan teknis sangatlah


dibutuhkan. CT scan secara rutin dikerjakan pada seluruh pasien cedera kepala
berat dan memberikan informasi implikasi terapi untuk intervensi operasi atau
indikasi untuk pemantauan tekanan intrakranial (TIK), dan memungkinkan
memberikan gambaran informasi terkait dengan prognostik pasien.
Perdarahan subaraknoid terbukti sebanyak 98% yang mengalami trauma
kepala jika dilakukan CT scan dalam waktu 48 jam paska trauma. Berdasarkan
hasil CT scan tersebut juga dapat dikelompokkan berdasarkan klasifikasi Marshall
maupun secara tradisional. Menurut Marshall klasifikasi dari cedera kepala yaitu
dibedakan menjadi enam kategori, pembagiannya dapat dilihat pada tabel.
Sedangkan secara tradisional dapat dibedakan berdasarkan fokal lesi yang
didapatkan dari gambaran CT Scan yang dilakukan, yaitu dengan dijumpai adanya
gambaran EDH, SDH, ICH maupun SAH (Andrews, 2003; Selladurai dan Reilly,
2007).
Terdapatnya hematoma intraserebral yang harus dioperasi berhubungan
dengan prognosis yang lebih buruk sama halnya bila sisterna basal tidak tampak
atau adanya kompresi terhadap sisterna basal. Lesi massa terutama hematoma
subdural dan hematoma intraserebral berhubungan dengan meningkatnya
mortalitas dan menurunnya kemungkinan penyembuhan fungsional. Dengan
adanya SAH angka mortalitas akan meningkat dua kali lipat. SAH di dalam
sisterna basal menyebabkan unfavorable outcome pada 70% dari penderita. SAH
adalah faktor independen yang bermakna didalam menentukan prognosis
(Sastrodiningrat, 2009).

2.2.3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai
prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang
sering luput pada pemeriksaan CT scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi
yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI,
mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil
pemeriksaan CT scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik
38

(Wilberger dkk., 2003 dalam Sastrodiningrat, 2009). Pemeriksaan Proton


Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan
telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson
Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana
halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS
ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang
nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus
ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan
berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera
kepala ringan (Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2009).

2.3. Penilaian Derajat Berat Trauma

Penilaian derajat keparahan cedera sangat penting dalam penanganan


trauma. Penilaian ini sudah dimulai sejak 50 tahun yang lalu. Penilaian derajat
keparahan didasarkan pada parameter-parameter anatomis ataupun fisiologis yang
dituangkan dalam bentuk skor atau skala. Skor pada trauma mengkonversi derajat
keparahan cedera menjadi hitungan angka sehingga membantu tenaga medis
untuk bertukar informasi secara universal (Chawda dkk, 2004). Skor juga
digunakan untuk meramalkan prognosis.
Beberapa sistem skor trauma dikembangkan dan digunakan di banyak
negara untuk memperkirakan beratnya trauma dan kerusakan jaringan. Sistem
skor pada trauma harus memiliki akurasi, reabilitas dan spesifisits yang baik.
Sistem skor ini memberikan keuntungan berupa:
1. Penilaian objektif untuk mendeteksi level trauma sehingga dapat
memperkirakan rencana perawatan yang dibutuhkan
2. Memberikan data fisiologi yang berhubungan dengan mortalitas pada fase
awal.
3. Menentukan transportasi pasien menuju rumah sakit yang tepat.
4. Pasien yang memiliki keuntungan yang besar terhadap terapi dapat dideteksi
lebih awal.
5. Menentukan sarana kesehatan yang dibutuhkan pada daerah tersebut.
39

6. Memberikan data-data epidemiologi trauma.


7. Menilai efektivitas penanganan trauma pada pusat kesehatan (Chawda dkk,
2004; Orhon dkk, 2014)

Sistem skor pada trauma dibagi menjadi tiga kategori yaitu berdasarkan
anatomi, fisiologi dan kombinasi anatomi dan fisiologi. Sedangkan berdasarkan
tujuannya, sistem skor trauma yang sering digunakan dapat dilihat pada tabel
dibawah (Chawda dkk, 2004).

Tipe skor sistem Nama skor

Fisiologis Prognostic index


Acute Trauma Index
Triage Index
Trauma Score (TS)
APACHE I
APACHE II
Revised Trauma Score (RTS)
APACHE III

Anatomi Abbreviated Injury Scale (AIS)


Injury Severity Score (ISS)
Anatomical Index
Anatomical Profile
New ISS (NISS)

Kombinasi anatomi Trauma Index


dan fisiologis Polytrauma-Schussel
Trauma and Injury Severity Score
(TRISS)
A Severity Characterisation of Trauma
(ASCOT)
International Classification of Disease-
based ISS (ICISS)
Harborview Assesment of Risk of
Mortality (HARM)

Tabel 2.7. Macam-macam Sistem Skor Trauma (Chawda dkk, 2004).


40

Skor yang biasa digunakan Skor

Injury description (whole body) AIS


Anatomical Index
Anatomical Profile
ISS

Injury description (body region) Organ injury scaling I-IV and revision
(abdominal and pelvic organ)
Penetrating Abdominal Trauma Index
(PATI)
Wagner (lung contusion, CT based)

Clinical course assesment APACHE I (historical)


APACHE II (most popular)
APACHE III (computational
complexities)

On scene and triage Triage Index


AIS
ISS
Prehospital Index (PHI)
Revised Trauma Score-uncoded (RTS)

In Hospital Revised Trauma Score-coded (RTSc)


Acute Trauma Index

Outcome (prediction mortality) ISS


Polytrauma-Schussel (PTS)
Trauma ISS (TRISS)
A Severity Characterisation of Trauma
(ASCOT)
International Classification of Disease-
based ISS (ICISS)
New ISS (NISS)
Harborview Assesment of Risk of
Mortality (HARM)

Tabel 2.8. Sistem Skor Trauma Berdasarkan Penggunaannya


(Chawda dkk, 2004)
41

2.3.1. Revised Trauma Score (RTS)


Revised Trauma Score (RTS) pertama kali dipublikasikan oleh Champion
pada tahun 1983. Skor ini adalah salah satu skor fisiologis yang lebih umum dan
sering digunakan, menggunakan 3 parameter fisiologi sebagai berikut: (1)
Glasgow Coma Scale (GCS), (2) Sistolic Blood Pressure (SBP) dan (3)
Respiration Rate (RR). Skor bernilai dari 0-4.
Penggunaan RTS ada 2 macam, yaitu penggunaan di triase dengan
menambahkan masing-masing nilai kode bersama-sama. Dengan demikian, nilai
RTS berkisar dari 0 hingga 12. Nilai ini menentukan prioritas penanganan pasien
cedera kepala. Salah satu interpretasi nilai RTS yang kurang dari 11 menunjukkan
perlunya penanganan di fasilitas trauma.

Systolic Blood
Glasgow Coma Pressure Respiratory Rate Coded
Scale (GCS) (mmHg) (x/minute) Value
13-15 >89 10-29 4
9-12 76-89 >29 3
6-8 50-75 6-9 2
4-5 1-49 1-5 1
3 0 0 0

Tabel 2.9. Revised Trauma Score (Chawda dkk, 2004)

Penggunaan lain dari RTS adalah untuk memprediksi kemungkinan


survival pada cedera kepala. Kode RTS dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:

RTSc = 0.9368 GCSc + 0.7326 SBPc + 0.2908 RRc

SBPc, RRc, dan GCSc mewakili nilai-nilai kode setiap variabel.


42

Gambar 2.5. Korelasi RTS dengan tingkat survival (Chawda, 2004)

Keuntungan utama dari RTS sangat spesifik untuk pasien yang mengalami
cedera kepala. RTS memiliki beberapa keterbatasan yang mempengaruhi
manfaatnya, dan sebagian besar dari keterbatasan ini berkaitan dengan GCS.
Awalnya, GCS dimaksudkan untuk mengukur status fungsional sistem saraf pusat.
Karena pentingnya cedera kepala dalam menentukan hasil trauma, GCS juga
digunakan oleh banyak orang sebagai komponen untuk menentukan tingkat
keparahan trauma. Permasalahan pada GCS dan RTS tidak secara akurat
menentukan skor pada pasien yang terintubasi dan yang mendapat ventilasi
mekanik yang seringkali dapat terjadi sebelum membuat keputusan di triase
(Chawda dkk, 2004). Selain itu juga dijumpai kesulitan menentukan skor pada
pasien lumpuh atau yang berada di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan
terlarang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dilakukan beberapa penelitian
yang menunjukkan bahwa penilaian motorik bisa menilai dan memprediksi GCS.
Bahkan baru-baru ini para peneliti telah mendapatkan bahwa respon terbaik
motorik dapat memprediksi kematian dan lebih baik untuk menentukan derajat
keparahan lainnya.

2.3.2. Abbreviated Injury Scale (AIS)


Pada tahun 1969, para peneliti mengembangkan Abbreviated Injury Scale
(AIS) untuk mengelompokkan cedera. Semenjak skala tersebut diperkenalkan
43

oleh AAAM, dan IISC, organisasi induk AIS memodifikasi AIS, terutama pada
tahun 2005. AIS menjadi dasar penilaian keparahan cedera. Dalam usaha
menyimpulkan keparahan suatu cedera yang dialami oleh pasien dengan trauma
multiple, sangatlah sulit. Sistem alternatif untuk trauma multipel telah dibuat,
akan tetapi masih ada beberapa masalah dan keterbatasan.
Pada tahun 1971 AIS pertama kali dipublikasikan sebagai metode numerik
sederhana untuk menentukan derajat dan membandingkan cedera dengan tingkat
keparahannya. Meskipun awalnya ditujukan untuk digunakan pada cedera karena
cedera kendaraan bermotor, ruang lingkup semakin diperluas untuk mencakup
cedera lainnya.
AIS memberikan deskripsi trauma organ berdasarkaan beratnya trauma pada
organ tersebut dan tidak memprediksi atau outcome. AIS merupakan dasar dari
ISS, berasal dari konsensus yang menentukan sistem anatomis berdasarkan tingkat
keparahan cedera pada skala ordinal mulai dari 1 (cedera kecil) sampai 6 (cedera
mematikan).
Deskripsi Skor
Tidak ada cedera 0
Cedera minor 1
Cedera sedang 2
Cedera serius, tidak mengancam nyawa 3
Cedera berat, survival expected 4
Cedera kritis, survival doubtful 5
Cedera fatal 6

Tabel 2.10. Sistem Penilaian Trauma AIS (Chawda, 2004)

Skala untuk semua area anatomi dan organ dapat ditemukan di American
Association for the Surgery of Trauma website. AIS manual dan CD (2005) yang
tersedia dari daftar AAAM.
44

Regio Cedera AIS AIS2

Kepala/leher Memar otak tunggal 3 9

Muka Tanpa cedera 0

Dada Flail chest 4 16

Abdoment 1.Laserasi Hepar 4 25

2. limpa yang hancur 5

Ekstremitas Fraktur femur 3

Tubuh luar Tanpa cedera 0

Skor keparahan 50
cedera (ISS)

Tabel 2.11. Kalkulasi ISS (Chawda, 2004)

Penilaian AIS bersifat subjektif. Cedera sedang oleh satu pemeriksa dapat
dianggap serius oleh pemeriksa lain (Ozoilo KN, 2012). Turunan AIS, ISS
diperkenalkan oleh Susan Baker, dkk pada tahun 1984. ISS merangkum tingkat
keparahan kondisi pasien yang mempunyai beberapa cedera tubuh yang dibagi
menjadi enam area; kepala, leher, thoraks, abdomen termasuk organ pelvis, alat
gerak termasuk tulang pelvis, dan permukaan tubuh. AIS setiap cedera di catat,
dan cedera yang mempunyai nilai tertinggi di setiap area diutamakan.

ISS memiliki beberapa keterbatasan, yaitu pengumpulan nilai terbatas serta


mengambil cedera paling serius di setiap bagian tubuh (Champion, 2002).
Keterbatasan yang paling jelas adalah ketidakmampuan untuk menjelaskan
beberapa luka pada daerah tubuh yang sama dan membatasi jumlah cedera hanya
tiga. Perhitungan skor berdasarkan 3 bagian tubuh yang mengalami trauma
terberat. Hal ini dapat menimbulkan underscoring jika pada satu bagian tubuh
45

terdapat lebih dari satu organ yang mengalami trauma. (Balogh dkk, 2000;
Chawda dkk, 2004)

Perkiraan ISS yang akurat membutuhkan pengumpulan informasi cedera


yang detail, sedangkan beberapa informasi ini hanya dapat diperoleh dengan
menggunakan alat penunjang seperti MRI atau angiografi, yang mungkin tidak
tersedia atau tidak tepat pada keadaan akut.

Meskipun penggunaan ISS adalah untuk memprediksi kematian pada


trauma, ISS juga telah digunakan untuk menilai prognosis kegagalan organ post
trauma. Beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan keparahan trauma
adalah : cedera pada jaringan, respon seluler, besarnya respon inflamasi terhadap
trauma, dan faktor host (misalnya usia, jenis kelamin, komorbiditas).

Perkembangan lainnya ISS adalah New Injury Severity Score (NISS)


diperkenalkan oleh Osler dkk pada tahun 1974 untuk mengatasi kelemahan ISS,
terutama kegagalan menilai cedera multiple di suatu regio. Penilaian NISS
berdasarkan 3 luka terparah terlepas dari region tubuh yang terkena. Modifikasi
ini sederhana tapi lebih signifikan dibandingkan ISS yang memiliki banyak
keterbatasan. Studi awal menunjukkan NISS adalah predictor yang lebih akurat
untuk menilai kemungkinan fatal (kematian) daripada ISS, khususnya pada
trauma tembus. Penelitian lain menunjukkan bahwa NISS lebih unggul dari ISS
untuk menilai luasnya cedera jaringan pasca trauma. Osler dkk
merekomendasikan NISS dapat menggantikan ISS sebagai standar untuk menilai
keparahan cedera.

2.3.3. Skor Kombinasi


Sistem penilaian kombinasi digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem
anatomis dan fisiologis. Nilai trauma dan nilai keparahan cedera digabung dalam
metodologi TRISS (Trauma Score-Injury Severity Score) yang dikembangkan
pada tahun 1987 oleh Champion, dkk. Kemampuan prediksi dari semua model
biasanya meningkat dengan memasukkan informasi tambahan yang relevan.
46

Percobaan ini menggabungkan pengukuran anatomis dan fisiologis dari keparahan


luka (ISS dan RTS) dan juga usia pasien dalam rangka untuk memperkirakan
keselamatan dari suatu trauma. Dengan mengenali perbedaan antara luka tumpul
dan luka tajam, para peneliti mengembangkan cara yang berbeda untuk setiap
mekanisme.
TRISS memiliki sensitivitas 95%, spesifisitas 96%, dan akurasi 95%.
Okasha yang membandingkan sistem penilaian RTS, ISS dan TRISS
menunjukkan bahwa TRISS memiliki sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi paling
tinggi yaitu masing-masing 95%, 96%, 95%, sementara ISS paling rendah yaitu
masing-masing 68%, 70%, 68% dan RTS mempunyai spesifisitas 94% dan
akurasi 92% (Okasha dkk, 2011)
TRISS dengan cepat menjadi metodologi standar untuk menilai outcome.
TRISS dapat digunakan untuk pasien dewasa dan anak-anak. Namun TRISS pun
mendapatkan kritik karena (1) TRISS hanya memprediksi keselamatan dengan
akurasi sedang; (2) terdapatnya masalah yang ditemukan pada ISS (seperti
inhomogenitas, ketidakmampuan dalam menilai luka multipel pada regio tubuh
yang sama); (3) tidak adanya informasi yang berhubungan dengan kondisi yang
sudah ada sebelumnya (seperti penyakit jantung, PPOK, sirosis); (4) mirip dengan
RTS, TRISS tidak dapat menilai pasien yang terintubasi dan menggunakan
ventilasi mekanik karena laju nafas dan respon verbal tidak bisa didapatkan; dan
(5) metode ini tidak memasukkan penilaian untuk pasien trauma multiple
sehingga membandingkan antara tiap trauma senter menjadi cukup sulit.

2.4 Penilaian Outcome Pada Cedera Kepala


Glasgow outcome scale (GOS) merupakan skala paling umum digunakan
untuk menilai hasil akhir pada cedera kepala. GOS dikelompokkan dalam lima
kategori, yaitu: mati, persistent vegetative state, ketidakmampuan yang berat,
ketidakmampuan sedang dan kesembuhan yang baik. Penilaian secara tepat
diperoleh pada 3, 6, dan 12 bulan setelah cedera kepala (Sorbo, 2009).
Skala pengukuran GOS ini pertama kali ditemukan oleh Jennet dan Bond
pada tahun 1975. Prognosis pasca cedera kepala yang didasarkan kapabilitas
47

sosial pasien pasca cedera kepala dikombinasikan dengan efek mental spesifik dan
defisit neurologis. Derajat skala ini mencerminkan suatu kerusakan otak secara
umum, dimana juga mampu menilai prognosis pasca koma traumatik ataupun
non-traumatik (Bullock, 2011; Narayan et al, 2007; Jennet, 2014).
Pada penderita sebanyak 150 orang yang bertahan hidup setelah cedera
kepala di Glasgow oleh spesialis saraf dan bedah saraf, diputuskan bahwa
penilaian ini sangat tepat pada 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan pasca trauma
(Jennet, 2014).
Skala penilaian prognosis Glasglow terdiri atas lima kategori: (Jennet, 2014)

1. Pemulihan baik (good recovery=GR) diberi nilai 5. Pasien dapat


berpartisipasi pada kehidupan sosial, kembali bekerja seperti biasa.
Pemeriksaan ini dapat disertai komplikasi neurologis ringan, seperti defisit
minor saraf kranial dan kelemahan ekstremitas atau sedikit gangguan pada
uji kognitif atau perubahan personal.

2. Ketidakmampuan sedang (Moderate disability=MD, independent but


disabled) diberi nilai 4. Kondisi pasien jelas berbeda sebelum cedera dan
mampu menggunakan transportasi umum, tetapi tidak dapat bekerja seperti
biasa. Pasien defisit memori, perubahan personal, hemiparesis, disfasia,
ataksia, epilepsi pasca traumatika, atau defisit mayor saraf kranial. Derajat
ketergantungan pasien pada orang lain lebih baik dibandingkan dengan
lansia dan kemampuan kebutuhan personal sehari-hari dapat dikerjakan
tetapi, mobilitas dan kapasitas berinteraksi tidak dapat dilakukan tanpa
asisten.

3. Ketidakmampuan berat (Severe disability=SD, conscious but dependent)


diberi nilai 3. Pasien mutlak bergantung pada orang lain setiap saat
(memakai baju, makan, dan lain-lain), paralisis spastik, disfasia, disatria,
defisit fisik dan mental yang mutlak memerlukan supervisi perawat ataupun
keluarga.
48

4. Persistent Vegetative State=PVS diberi nilai 4. Pasien hanya mampu


menuruti perintah ringan saja atau bicara sesaat. Pada perawatan sering
ditemukan grasping reflek, withdrawal sebagai pencerminan menuruti
perintah, mengerang, menangis, kadang mampu mengatakan tidak sebagai
bukti proses kembali berbicara.

5. Meninggal dunia (death) diberi nilai 1. Pada tahun 1981 Jennet menelaah
dan memodifikasi ulang skala GOS karena masalah sensitivitas statistik dan
penggunaan yang lebih praktis pada uji klinis obat neuroproteksi, yaitu
distribusi bimodal (dikotomisasi) antara hidup (GR, MD, SD) dan mati
(PVS, Death) dan penilaian ekstensi (GOS Extended).

GOS-E adalah suatu skala pengukuran outcome pada cedera kepala yang
dipakai untuk menyatakan prognosis, dinilai 3, 6, 12 dan 24 bulan setelah cedera
kepala, yang terdiri dari 8 kategori (Wilson et al, 1998).

1. Death: meninggal.

2. Persistent vegatative state: tidak ada respon terhadap rangsangan eksternal,


tidak bisa berkata-kata atau tidak mengikuti perintah, perilaku emosional,
spontan yang tidak berkaitan dengan peristiwa tertentu.

3. Lower severe disability: memerlukan pertolongan dari orang lain hampir


tiap saat sepanjang hari.

4. Upper severe disability: dapat ditinggal dirumah sendiri kurang lebih 8 jam
sehari, akan tetapi tidak dapat melakukan perjalanan jauh atau pergi
berbelanja tanpa ditemani orang lain.

5. Lower moderate disability: tidak mampu untuk bekerja.

6. Upper moderate disability: penurunan kapasitas bekerja.

7. Lower good recovery: dapat kembali pada kehidupan normal, tetapi


memiliki masalah kecil yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari.
49

8. Upper good recovery: dapat kembali pada kehidupan normal tanpa ada
masalah yang berhubungan dengan cedera kepala yang mempengaruhi
kehidupan sehari-hari.

You might also like