You are on page 1of 22

Lab/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa Refleksi Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman/RSJD Atma Husada Mahakam

SKIZOFRENIA

Oleh
Imas Qurrata A’yuni
NIM. 1810029023

Pembimbing
dr. Yenny, Sp.KJ

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2018

2
SKIZOFRENIA

Oleh
Imas Qurrata A’yuni
NIM. 1810029023

Dipresentasikan pada tanggal 16 November 2018

Mengetahui,

Pembimbing
dr. Yenny, Sp.KJ

3
BAB 1
ASSESMEN MEDIK KASUS

Identitas Pasien
Nama : Tn. EAP
Jenis Kelamin : Laki – laki
Usia : 38 tahun
Pendidikan : SMA
Alamat : Tanjung Selor Bulungan

Identitas Penanggung Jawab


Nama : Tn. D
Jenis Kelamin : Laki-laki
Hubungan dengan Pasien : Sepupu

Status Psikiatri
Resume Masuk (IGD)
Pasien datang ke IGD Atma Husada Mahakam Samarinda pada tanggal 8
November 2018 (pukul 05.00) dengan diantar oleh keluarganya karena mengamuk
di rumah.
Keluhan Utama : Mengamuk, memukul orang lain, dan berbicara sendiri

Riwayat Penyakit Sekarang


Autoanamnesis
Pasien mengatakan ingin rokok dan menyangkal dirinya sakit.
Heteroanamnesis
Pasien mengamuk di rumah sejak 3 hari yang lalu disertai dengan
berbicara sendiri. Pasien berperilaku normal selama kurang lebih 3 tahun, tetapi
apabila merasa sehat maka pasien berhenti konsumsi obat. Hubungan pasien
dengan istri dan anak baik-baik saja, tetapi sering memukul orang lain. Pada tahun
2014, pasien masuk rumah sakit jiwa di Malang dengan keluhan yang sama.
Pasien sering keluyuran dan banyak pikiran.

4
Riwayat Penyakit Dahulu
Keluar Rumah Sakit Jiwa Atma Husada pada tahun 2011
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada yang memiliki tanda-tanda atau gejala seperti yang dialami pasien.

Faktor Pencetus
Pasien tidak teratur minum oba

Genogram

Keterangan :

Perempuan
Laki
Pasien

Konsep Diri
a. Gambaran diri : Pasien menyukai semua anggota tubuhnya
b. Identitas : Pasien sebagai anak laki-laki tertua di keluarga
c. Peran : Kakak tertua yang bekerja untuk membiayai adiknya
d. Ideal diri : Ingin segera pulang agar dapat bekerja kembali

Hubungan Sosial
a. Orang berarti : Adik perempuannya
b. Peran serta dalam kegiatan masyarakat : Tidak tercantum
c. Hambatan dalam berhubungan orang lain : Tidak tercantum

5
Spiritual
a. Nilai dan keyakinan : Pasien mengatakan beragama islam
b. Kegiatan ibadah : Pasien jarang sholat karena malas
Masalah : Distres spiritual

Status Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak tidak rapi dan tidak kooperatif
Kesadaran : Komposmentis
Tanda Vital : TD : 120/80mmHg; Nadi : 88x/menit;
RR: 16x/menit; Suhu: 37˚C
Kepala dan Leher : Tidak ada ditemukan anemis dan ikterik pada mata
kanan kiri, serta tidak ditemukan pembesara
kelenjar getah bening
Sistem Kardiovaskular : S1 dan S2 tunggal reguler
Sistem Respiratorik : Suara jantung vesikuler
Sistem Gastrointestinal : Bising usus normal
Sistem Urogenital : Tidak ada kelainan
Kelainan Khusus : Tidak ada kelainan

Status Neurologikus
Panca Indera : Belum dievaluasi
Tanda Meningeal : Belum dievaluasi
Tekanan Intrakranial : Belum dievaluasi
Mata : Belum dievaluasi

Status Psikiatrik
Kesan Umum : Tampak tidak rapi dan tidak kooperatif
Kontak : Verbal (+), visual (+)
Kesadaran : Komposmentis
Emosi/Afek : Mood labil, afek tidak sesuai
Proses Berpikir : Asosiasi longgar, waham ide
Intelegensi : Cukup

6
Persepsi : Halusinasi ide
Psikomotor : Meningkat
Kemauan : ADL mandiri

Diagnosis Multiaksial
Axis I : F.20.3
Axis II :-
Axis III :-
Axis IV :-
Axis V : GAF scale 70 – 61

Rencana Terapi
 Injeksi lodomer : diazepam (1 : 1)
 Pasien rawat inap dengan indikasi gelisah

7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu skizo yang artinya retak atau pecah,
dan frenia yang artinya jiwa. Dengan demikian, seseorang yang menderita
skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakkan
kepribadian.
Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi
berbagai area fungsi individu, termasuk berfikir dan berkomunikasi, menerima
dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukan emosi serta
berperilaku dengan sikap yang tidak dapat diterima secara sosial.

Etiopatologi
1. Faktor Genetik
Studi pada keluarga telah menunjukkan bahwa semakin dekat relasi
seseorang dengan pasien skizofrenia, makin besar resikonya untuk mengalami
penyakit tersebut. Kembar monozigotik memiliki angka kesesuaian yang
tertinggi.
2. Ketidakseimbangan kimiawi otak
Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas
neurotransmitter dopamin yang berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau
dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamin. Beberapa
neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinefrin tampaknya juga
memainkan peranan.
3. Abnormalitas otak
Pasien skizofrenia mengalami pembesaran ventrikel yang berakibat
hilangnya sel-sel otak.
4. Tekanan psikologis
Meningkatnya tekanan hidup menyebabkan kemungkinan terjadi
kekambuhan. Pasien skizofrenia sangat reaktif terhadap tekanan di kehidupan

8
sehari-hari. Stress akan menurunkan suasana hati positif dan meningkatkan
suasana hati negatif.

Klasifikasi
DSM-IV-TR mengklasifikasi subtype skizofrenia sebagai paranoid,
hebefrenik, katatonik, tak terdiferensiasi, dan residual, terutama berdasarkan
presentasi klinisnya. Subtype tersebut tidak secara erat berhubungan dengan
prognosis yang berbeda; untuk diferensiasi semacam itu, lebih baik diperiksa
predictor prognosisnya yang spesifik. Sebaliknya, revisi kesepuluh International
Statistical Classification of Diseases and Related Health Problem (ICD-10)
menggunakan sembilan subtype : skizofrenia paranoid, hebefrenia, skizofrenia
katatonik, skizofrenia tak terdiferensiasi, depresi pascaskizofrenia, skizofrenia
residual, skizofrenia simpleks, skizofrenia lain, dan skizofrenia YTT, dengan
delapan kemungkinan untuk mengklasifikasi perjalanan gangguan tersebut,
berkisar dari kontinu hingga remisi sempurna.

Manfestasi Klinis berdasarkan KLASIFIKASI


Berdasarkan definisi dan krieria diagnostik, skizofrenia di dalam DSM-IV
dapat dikelompokkan menjadi beberapa subtipe, yaitu:
a. Skizofrenia paranoid
Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
 Preokupasi dengan satu atau lebih delusi atau halusinasi auditoris
yang menonjol secara berulang-ulang
 Tidak ada yang menonjol dari berbagai keadaan berikut :
Pembicaraan yang tidak terorganisasi, perilaku yang tidak
terorganisasi atau katatonik, atau afek yang datar atau tidak sesuai

b. Skizofrenia terdisorganisasi
Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
 Di bawah ini semuanya menonjol :
 Pembicaraan yang tidak terorganisasi
 Perilaku yang tidak terorganisasi

9
 Afek yang datar atau tidak sesuai
 Tidak memenuhi kriteria untuk tipe katatonik

c. Skizofrenia katatonik
Tipe skizofrenia dengan gambaran klinis yang didominasi oleh sekurang-
kurangnya dua hal beriku ini :
 Imobilitas motorik, seperti ditunjukkan adanya katalepsi (termasuk
fleksibilitas lilin) atau stupor.
 Aktivitas motorik uang berlebihan (tidak bertujuan dan tidak
dipengaruhi oleh stimulus eksternal)
 Negativisme yang berlebihan (sebuah resistensi yang tampak tidak
adanya motivasi terhadapa semua bentuk perintah atau
mempertahankan postur yang kaku dan menentang semua usaha
untuk menggerakkannya) atau mutism.
 Gerakan-gerakan sadar yang aneh, seperti yang ditujukan oleh
posturing (mengambil postur yang tidak lazim atau aneh secara
disengaja), gerakan stereotipik yang berulang-ulang, manerism
yang menonjol, atau bermuka menyeringai secara menonjol.
 Ekolalia atau ekopraksia (pembicaraan yang tidak bermakna)
d. Skizofrenia tidak terinci
Tipe skizofrenia yang mengalami delusi, halusinasi, gangguan pikiran, dan
kekacauan berat tetapi tidak memenuhi kriteria untuk tipe paranoid,
terorganisasi, dan katatonik.
e. Skizofrenia residual
Tipe skizofrenia yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
 Tidak adanya delusi, halusinasi, pembicaraan yang tidak
terorganisasi, dan perilaku yang tidak teroranisasi atau katatonik
yang menonjol.
 Terdapat terus tanda-tanda anguan, seperti adanya gejala negatif
walaupun ditemukan dalam benuk yang lemah (misalnya
keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim).

10
Tipe Residual. Menurut DSM-IV-TR, skizofrenia tipe residual ditandai
dengan bukti kontinu adanya gangguan skizofrenik tanpa serangkaian lengkap
gejala aktif atau gejala yang memadai untuk memenuhi diagnosis skizofrenia tipe
lain. Emosi menumpul, penarikan sosial, perilaku eksentrik, pemikiran tidak logis,
dan asosiasi longgar ringan, seringkali tampak pada tipe residual.Jika terjadi
waham atau halusinasi, biasanya tidak prominen atau tidak disertai afek yang
kuat.

Diagnosis banding
1. Gangguan Psikotik Sekunder
2. Berpura-pura (Malingering) dan Gangguan Bantuan
3. Gangguan Psikotik Lain
4. Gangguan Mood
5. Gangguan Kepribadian

Diagnosis
Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Skizofrenia
A. Gejala karakteristik: Dua (atau lebih) poin berikut, masing-masing terjadi
dalam porsi waktu yang signifikan selama periode 1 bulan (atau kurang bila
telah berhasil diobati):
1) waham.
2) halusinasi.
3) bicara kacau (Sering melantur atau inkohorensi).
4) perilaku yang sangat kacau atau katatonik
5) gejala negatif afektif mendatar, alogia, atau kehilangan minat
Catatan : Hanya dibutuhkan satu dari gejala kriteria A bila wahamnya bizar
atau halusinasinya terdiri atas suara yang terus-menerus memberi
komentar terhadap perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau lebih
suara yang saling bercakap-cakap.
B. Disfungsi sosial/okupasional: Selama suatu porsi waktu yang signifikan
sejak awitan gangguan, terdapat satu atau lebih area fungsi utama, seperti
pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri, yang berada jauh

11
dibawah tingkatan yang telah dicapai sebelum awitan (atau apabila
onset pada masa anak-anak atau remaja terdapat kegagalan pencapaian
tingkat interpersonal, akademik atau okupasi lainnya) seperti pekerjaan,
hubungan interpersonal atau perawatan diri.
C. Durasi: tanda-tanda gangguan terus berlanjut dan menetap sedikitnya 6 bulan.
Periode 6 bulan ini meliputi 1 bulan gejala-gejala fase aktif yang memenuhi
kriteria A (atau kurang bila berhasil diterapi) dan dapat juga mencakup fase
prodromal atau residual. Selama berlangsung. fase prodormal atau residual
ini, tanda-tanda gangguan dapat bermanifestasi hanya sebagai gejala-
gejala negatif saja atau lebih dari atau=2 dari gejala-gejala dalam kriteria A
dalam bentuk yang lebih ringan (seperti kepercayaan-kepercayaan ganjil,
pengalaman perseptual yang tidak biasa).
D. Penyingkiran skizofektif dan gangguan mood: Gangguan skizoafektif dan
mood dengan gambaran psikotik dikesampingkan karena : (1) tidak ada
episode depresi, mania atau campuran keduanya yang terjadi bersamaan
dengan gejala-gelala fase aktif, (2) jika episode mood terjadi intra fase aktif
maka perlangsungannya relatif singkat dibanding periode fase aktif dan
residual.
E. Penyingkiran kondisi medis dan zat: Gangguan ini bukan disebabkan oleh
efek fisiologis langsung dari suatu zat (seperti obat-obatan medikasi atau yang
disalah gunakan) atau oleh suatu kondisi medis umum.
F. Hubungan dengan suatu gangguan perkembangan pervasif: Jika terdapat
riwayat autistik atau gangguan pervasif lainnya maka tambahan diagnosa
skizofernia hanya dibuat bila juga terdapat delusi atau halusinasi yang
menonjol dalam waktu sedikitnya 1 bulan (atau kurang jika berhasil diterapi).

Klasifikasi berdasarkan perjalanannya longitudinal (dapat diterapkan hanya


setelah sekurangnya 1 tahun berlalu semenjak onset dari gejala-gejala fase aktif
pertama):
a. Episodik dengan gejala-gejala residual interepisode (episode ditandai dengan
keadaan kekambuhan dari gejala-gejala psikosis) juga tentukan jika disertai
gejala negatif yang prominen.

12
b. Episodik tanpa gejala-gejala residual interepisode.
c. Berkelanjutan (gejala-gejala psikosis jelas ada sepanjang periode observasi)
juga tentukan jika disertai gejala negatif yang prominen.
d. Episode tunggal remisi parsial; juga rinci apakah: dengan gejala negatif
prominen.
e. Episode tunggal remisi sempurna.
f. Pola lainnya atau yang tidak ditentukan

Tatalaksana
Terapi skizofrenia meliputi :
1. Rawat inap
Rawat inap diindikasikan untuk tujuan diagnostik, untuk stabilisasi
pengobatan, untuk keamanan pasien karena adanya ide bunuh diri atau
pembunuhan, serta untuk perilaku yang sangat kacau atau tidak pada
tempatnya, termasuk ketidakmampuan mengurus kebutuhan dasar seperti
pangan, sandang, dan papan.
2. Terapi Farmakoterapi
Penggunaan antipsikotik pada skizofrenia mengikuti perjalanan dari
gangguan skizofrenia, yang terdiri dari :
 Fase akut
Pada fase ini penggunaan obat antipsikotik perlu ditetapkan tujuannya,
seperti untuk mengurangi gejala positif, negatif, ide atau perilaku bunuh
diri, perilaku kekerasan atau agitasi. Sebelum pemberian antipsikotik
sebaiknya dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Obat yang biasa diberikan berupa injeksi, yang tersedia baik dari golongan
antipsikotik pertama atau kedua. Obat injeksi antipsikotik pertama yang
sering tersedia yaitu haloperidol dan chlorpromazine. Pemberian
antipsikotik golongan pertama sering digunakan untuk mengatasi agitasi
akut dengan kerja obat yang cepat. Namun penggunaan obat golongan
pertama sering timbul efek samping, misalnya dystonia akut dan
pemanjangan QTc.

13
Pada obat injeksi antipsikotik golongan kedua efek samping akut yang
mungkin timbul lebih ringan dibanding golongan pertama. Obat injeksi
antipsikotik kedua yang tersedia adalah sediaan olanzapine dan
aripriprazole. Pemberian injeksi yang dilakukan umumnya diberikan
secara intra muscular.
Untuk penggunaan obat antipsikotik oral dapat diberikan baik golongan
pertama maupun kedua. Pemberian dosis dimulai dengan dosis rendah
yang kemudian ditingkatkan untuk mendapat dosis terapetik yang sesuai.
Pemantauan efek samping obat juga perlu diperhatikan, evaluasi sekitar 2-
4 minggu, agar tidak menimbulkan efek tidak nyaman.
 Fase Stabilisasi
Pada fase ini bertujuan untuk mempertahankan remisi gejala,
meminimalisasi resiko atau konsekuensi kekambuhan dan
mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan (recovery). Pemberian
obat antipsikotik, baik golongan pertama atau kedua, diberikan dengan
dosis efektif minimal. Hal ini ditujukan untuk tetap dapat mengendalikan
gejala namun tidak menimbulkan efek samping sehingga kepatuhan pasien
untuk minum obat dapat dipertahankan.
Untuk kasus yang pertama konsensus menyatakan obat antipsikotik pada fase
stabilisasi sebaiknya diberikan selama 2 tahun. Sedangkan pada kasus yang
berulang diberikan hingga 5 tahun. Obat antipsikotik juga terdapat dalam sediaan
injeksi jangka panjang (long acting). Pemberian obat dalam sediaan ini membantu
untuk memastikan bahwa kepatuhan untuk berobat lebih dapat diawasi dibanding
dengan sediaan oral. Saat ini tersedia dari golongan pertama (fluphenazin dan
haloperidol) dan golongan kedua (risperidone dan paliperidone).

 Penggolongan
Antipsikosis Tipikal
Phenotiazine Chlorpromazine
Perphenazine
Trifluoperazine

14
Fluphenazine
Butyrophenone Haloperidol
Diphenyl-butyl-piperidine Pimozide
Antipsikosis Atipikal
Benzamide Supiride
Dibenzodiazepine Clozapine
Olanzapine
Quetiapine
Zotepine
Benzisoxazole Risperidone
Aripiprazole
 Mekanisme Kerja
- Antipsikotik Tipikal
Obat antipsikotik tipikal memberikan efek antipsikotik dengan
jalan menurunkan aktivitas dopamin. Haloperidol dan
klorpromazine dapat meningkatkan metabolisme dopamine pada
daerah yang kaya dopamine. Obat antipsikotik tipikal dikaitkan
dengan afinitasnya yang kuat terhadap dopamine D2 reseptor. Ia
bekerja efektif, bila 80% D2 di otak dapat dihambat. Bila hambatan
terhadap reseptor D2 lebih besar, extrapiramidal syndrome (EPS)
dapat terjadi tanpa adanya penambahan efektivitas antipsikotik
tipikal. Antipsikotika tipikal bersifat lebih sedasi sehingga lebih
efektif untuk pasien agitatif atau pasien dengan gejala positif.
- Antipsikotik Atipikal
Antipsikotik atipikal disamping berafinitas terhadap D2 dopamine
reseptor, juga terhadap serotonin 5 HT2, sehingga efektif juga
untuk gejala negatif. Clozapine memiliki afinitas terhadap D2 yang
rendah, sedangkan terhadap 5-HT2 tinggi. Hal ini yang
menyebabkan rendahnya efek ekstrapiramidal. Dengan PET
terlihat bahwa pemberian clozapine dosis efektif, D2 reseptor yang
ditempati hanya sekitar 40 – 50%, sedangkan 10 mg haloperidol
menempati D2 reseptor lebih dari 80%. Risperidone merupakan

15
antagonis kuat baik terhadap serotonin (terutama 5-HT2A) dan
reseptor D2. Risperidone juga memiliki afinitas kuat terhadap a1
dan a2 tetapi afinitas terhadap β-reseptor dan muskarinik rendah.
Walaupun dikatakan ia merupakan antagonis D2 kuat, kekuatannya
jauh lebih rendah dibanding dengan haloperidol. Aktivitas
melawan gejala negatif dikaitkan dengan aktivitasnya terhadap
5HT2 yang juga tinggi. Olanzapine secara spesifik memblok 5-
HT2A dan reseptor D2, bila dibandingkan dengan clozapine,
olanzapine memblok D2 lebih besar sehingga dosis tinggi dapat
meningkatkan kadar prolaktin dan efek samping ekstrapiramidal.

 Pemilihan Obat
- Pada dasarnya semua obat antipsikosis memiliki efek primer (efek
klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek
sekunder (efek samping : sedasi, otonomik, ekstrapiramidal).
- Pemilihan jenis obat antipsikosis mempertimbangkan gejala psikosis
yang dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan
dengan dosis ekivalen.
- Apabila obat anti-psikosis tertentu tidak memberikan respon dalam
dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat
diganti dengan antipsikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak
sama) dengan dosis ekivalennya, dimana profil efek samping belum
tentu sama.
- Apabila dalam riwayat penggunaan obat antipsikotik sebelumnya, jenis
obat antipsikosis tertentu sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan
baik efek sampingnya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian
sekarang.
- Apabila gejala negatif (afek tumpul penarikan diri, hipobulia, isi
pikiran miskin) lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi,
bicara kacau, perilaku tak terkendali) pada pasien skizofrenia, pilihan
obat antipsikosis atipikal perlu dipertimbangkan, khususnya pada
pasien yang tidak dapat mentolerir efek samping ekstrapiramidal.

16
 Pengaturan Dosis
Mulai dengan “dosis awal” sesuai dengan “dosis anjuran”, dinaikkan
setiap 2 – 3 hari sampai mencapai “dosis efektif” (mulai timbul peredaran
sindrom psikosis), dievaluasi setiap 2 minggu dan bila dinaikkan ke “dosis
optimal” lalu dipertahankan sekitar 8 – 12 minggu (stabilisasi), diturunkan
2 minggu ke “dosis maintenance” yang dipertahankan 6 bulan sampai 2
tahun (diselingi “drug holiday” 1 – 2 hari/minggu), lalu tappering off
(dosis diturunkan tiap 2 – 4 minggu), lalu obat dapat dihentikan.

Anti psikosis Mg. Eq Dosis Sedasi Otonomik Ekstra-


(mg/hari) piramidal
Chlorpromazine 100 150-1600 +++ +++ ++
Trifluoperazine 5 5-60 + + +++
Fluphenazine 5 5-60 ++ + +++
Haloperidol 2 2-100 + + ++++
Clozapine 25 25-200 ++++ + -
Risperidone 2 2-9 + + +
Olanzapine 10 10-20 + + +
Aripiprazole 10 10-20 + + +

3. Terapi psikososial
a. Pelatihan keterampilan sosial
Pelatihan keterampilan perilaku diarahkan ke perilaku ini melalui
penggunaan video tape berisi orang lain dan si pasien, bermain drama
dalam terapi, dan tugas pekerjaan rumah untuk keterampilan khusus
yang dipraktikkan.
b. Terapi berorientasi keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali
dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, keluraga dimana pasien
skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga
yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan
segera, topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah proses

17
pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. 25-50 % dan 5 - 10 %
dengan terapi keluarga.
c. Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok
mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika
atau tilikan, atau suportif.Terapi kelompok efektif dalam menurunkan
isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes
realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara
suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu
bagi pasien skizofrenia.
d. Terapi perilaku kognitif
Terapi perilaku kognitif digunakan untuk memperbaiki distorsi
kognitif, mengurangi distraktibilitas, serta mengoreksi kesalahan daya
nilai.
e. Psikoterapi individual
Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual
dalam pengobatan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi alah
membantu dan menambah efek terapi farmakologis.Suatu konsep
penting di dalam psikoterapi bagi pasien skizofrenia adalah
perkembangan suatu hubungan terapetik yang dialami pasien sebagai
aman. Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat dipercayanya ahli
terapi, jarak emosional antara ahli terapi dan pasien, dan keikhlasan ahli
terapi seperti yang diinterpretasikan oleh pasien.
4. Terapi kejuruan
Berbagai metode dan situasi digunakan untuk membantu pasien
memperoleh kembali keterampilan lamanya atau membentuk
keterampilan baru. Hal ini meliputi lokakarya terlindung, klub kerja, dan
program penempatan paruh waktu dan transisional.

18
BAB 3
PEMBAHASAN

Anamnesis dan Pemeriksaan Psikiatri


FAKTA TEORI
 Pasien mengamuk Pedoman Diagnostik Skizofrenia
 Pasien banyak bicara menurut PPDGJ-III, adalah sebagai
 Pasien sering berbicara dan berikut:
tertawa sendiri  Harus ada sedikitnya satu gejala
 Pasien sering memukul orang berikut ini yang amat jelas (dan
lain, selain istri dan anak biasanya dua gejala atau lebih bila

 Pasien sering keluyuran gejala gejala itu kurang tajam atau

 Pasien berhenti minum obat saat kurang jelas):

merasa sehat a. Thought echho; Thought

 Pasien menyangkal dirinya sakit insertion or withdrawal; Thought


broadcasting
 Pasien keluar Rumah Sakit Jiwa
b. Delusion of control; Delusion of
Atma Husada pada tahun 2011
influence; Delusion of passivity;
 Pasien masuk rumah sakit jiwa
Delusion of perception
di Malang pada tahun 2014
c. Halusinasi auditorik
d. Waham-waham menetap jenis
lainnya
 Atau paling sedikit dua gejala di
bawah ini yang harus selalu ada:
a. Halusinasi yang menetap dari
panca indera apa saja
b. Arus pikira yang terputus (break)
atau yang mengalami sisipan
(interpolation) berakibat
inkoherensi atau pembicaraan
tidak relevan
c. Perilaku katatonik

19
d. Gejala-gejala negatif harus jelas
bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau
medikasi neuroleptika
 Gejala berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak
berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal)
 Harus ada perubahan yang konsisten
dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek
perilaku pribadi, bermanifestasi
sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu,
sikap larut dalam diri sendiri, dan
penarikan diri secara sosial

20
Pedoman Skizofrenia Tak Terinci
FAKTA TEORI
 Pasien mengamuk Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III
 Pasien banyak bicara yaitu:
 Pasien sering berbicara dan  Memenuhi kriteria umum diagnosis
tertawa sendiri skizofrenia
 Pasien sering memukul orang  Tidak memenuhi kriteria untuk
lain, selain istri dan anak diagnosis skizofrenia paranoid,
 Pasien sering keluyuran hebefrenik, atau katatonik.

 Pasien berhenti minum obat saat  Tidak memenuhi kriteria untuk


merasa sehat skizofrenia residual atau depresi

 Pasien menyangkal dirinya sakit pasca skizofrenia.

 Pasien keluar Rumah Sakit Jiwa


Atma Husada pada tahun 2011
 Pasien masuk rumah sakit jiwa
di Malang pada tahun 2014

21
Penatalaksanaan
FAKTA TEORI
Injeksi lodomer : diazepam (1 : 1) Pemberian antipsikotik secara
intramuskular (misal: ziprasidone 10-20
mg, olanzapine 2,5-10 mg, atau
haloperidol 2-5 mg) dapat digunakan
untuk menurunkan agitasi pada
penderita. Namun, pendekatan ini tidak
memperbaiki respon terapi, waktu
penyembuhan atau lamanya tinggal di
rumah sakit.
Lorazepam intramuskular 2 mg, jika
diperlukan dikombinasi dengan
antipsikotik penjagaan dapat lebih
efektif dalam mengendalikan agitasi
daripada dilakukan peningkatan dosis
antipsikotik

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Dharmono, S. 2011. Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia.


Jakarta: Perhimpunan Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia.
2. Durand VM, Barlow DH. 2006. Psikologi Abnormal. Jogjakarta: Pustaka
Belajar
3. Maramis R. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa . Jakarta : PT Nuh
Jaya.
4. Maslim, Rusdi. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas
PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika
Atma Jaya.
5. Sadock BJ, Sadok VA. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis
Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

23

You might also like