Diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dari biasanya atau buang air besar lebih dari tiga kali sehari dengan konsistensi tinja yang lebih cair atau lebih lembek (Setiawan, 2009). Diare disebabkan oleh agen infeksius seperti virus, bakteri, parasit, protozoa, dan jamur. Diare pada anak dapat terjadi karena intoleransi pada laktosa, alergi pada susu sapi, dan sebagian besar karena infeksi. Penyebab terjadinya diare terbanyak di Indonesia menurut Departemen Kesehatan tahun 2000 adalah karena bakteri, yaitu Shigella, Salmonella, Campylobacter, E.Coli, dan Entamoba Hystolitica (Ishak, 2011). Diare merupakan penyakit endemis Indonesia yang berpotensi menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) dan sering menyebabkan kematian. Diare menempati urutan pertama penyebab kematian bayi pada tahun 2012 sebesar 31,4%, menempati urutan ke-4 penyebab kematian disemua umur dengan persentase sebesar 13,2% (Kementerian Kesehatan RI [Kemenkes RI], 2012; Kemenkes RI, 2013). Sepanjang tahun 2015 telah terjadi 18 kali KLB diare yang tersebar di 11 provinsi dan 18 kabupaten/kota, dengan jumlah penderita 1.213 orang dan jumlah kematian 30 orang (Kemenkes RI, 2015; Kemenkes RI, 2016). Di Kalimantan Timur jumlah penderita diare adalah sebesar 5,3% pada tahun 2012 (Kemenkes RI, 2012; Kemenkes RI, 2013). Tercatat ada 81.913 kasus diare yang terjadi di Kalimantan Timur pada tahun 2014 dengan jumlah kematian 46 kasus dan kasus terbanyak terdapat di daerah Kutai Kartanegara, yaitu sebesar 74,98% (Kaltim, 2015). Diare dapat disebabkan oleh lebih dari satu patomekanisme. Mekanisme diare terbagi menjadi non-infeksi dan infeksi, (Zein, Sagala, Ginting, 2004; Simadibrata & Daldiyono, 2009). Diare non infeksi ditandai dengan peningkatan volume usus, seperti pada diare osmotik, intoleransi laktosa, malabsorpsi dan gangguan motilitas Diare akibat infeksi disebabkan oleh bakteri yang mengeluarkan toksin dan menyebabkan inflamasi. Diare akibat bakteri juga menyebabkan peningkatan sekresi dan penurunan absorpsi pada usus yang menyebabkan spasme (Sutadi, 2003; Zein, et al., 2004; Simadibrata & Daldiyono, 2009). Spasme adalah peningkatan kontraksi involunter otot atau sekelompok otot yang mendadak dan keras yang disertai nyeri dan gangguan fungsi (Dorlan, 2012). Nyeri merupakan salah satu gejala klinis pada diare (Sutadi, 2003; Zein et al., 2004; Hay, Levin, Sondheimer, Deterding, 2005; Simadibrata&Daldiyono, 2009; Isselbacher et al., 2014). Peningkatan volume usus pada diare menyebabkan peregangan usus sehingga menimbulkan nyeri dan diare (Sherwood, 2002). Nyeri juga dapat terjadi karena adanya mediator inflamasi, salah satunya histamin dan peningkatan volume usus yang menyebabkan terjadinya hiperperistaltik (Katzung, 2004; Zein et al., 2004). Histamin dapat menyebabkan kontraksi otot polos dengan cara peningkatan kadar kalsium intrasel, histamin yang berlebihan dapat menyebabkan diare (Katzung, 2004). Pengobatan diare dilakukan dengan pengobatan simptomatik dan pengobatan kausatif (Ajizah, 2004; Isselbacher et al., 2014). Pengobatan simptomatik merupakan pengobatan yang dilakukan untuk mengurangi keluhan. Masyarakat cenderung menggunakan obat-obatan yang dijual bebas untuk mengurangi keluhan. Selain menggunakan obat-obatan yang dijual bebas, sebagian masyarakat menggunakan tumbuhan tertentu untuk mengurangi keluhan atau menyembuhkan diare. World Health Organization (WHO) mencatat, 80% penduduk dunia menggunakan obat-obatan tradisional seperti tumbuhan obat sebagai usaha pertama dalam mengobati masalah kesehatan seperti diare (Balakumbahan, Rajamani, Kumanan, 2010). Pengobatan kausatif dilakukan dengan menghilangkan penyebab diare (Ajizah, 2004). Potensi Acorus calamus L. sebagai obat diare telah banyak diteliti. Penelitian yang ada sampai saat ini, membuktikan potensi rimpang Acorus calamus L. dalam mengatasi diare dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri, seperti yang diungkapkan dalam penelitian Devi dan Gajewala (2009) Divya, Mythili, Sathiavelu (2011) dan Anisah, Khotimah, Yanti (2014). Potensi lainnya yang dimiliki rimpang Acorus calamus L. untuk menghilangkan nyeri dalam hal spasmolitik belum banyak diketahui, maka dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui potensi rimpang Acorus calamus L. sebagai spasmolitik. Organ yang digunakan untuk mengetahui potensi spasmolitik rimpang Acorus calamus L. adalah organ ileum marmut dengan perlakuan secara in vitro. Ileum marmut digunakan dalam penelitian ini karena relatif lebih tahan terhadap trauma dan kontraksinya lebih kuat daripada jejenum atau duodenum (Taranita, Permatasari, Sudiarto 2006). Ileum marmut juga sensitif terhadap histamin melalui reseptor H1 yang menyebabkan ileum marmut berkontraksi sama seperti kontraksi pada usus manusia. Peningkatan histamin berlebih menyebabkan diare melalui peningkatan kadar kalsium intrasel. (Katzung, 2004).