You are on page 1of 2

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dari biasanya atau buang air
besar lebih dari tiga kali sehari dengan konsistensi tinja yang lebih cair atau lebih lembek
(Setiawan, 2009). Diare disebabkan oleh agen infeksius seperti virus, bakteri, parasit, protozoa,
dan jamur. Diare pada anak dapat terjadi karena intoleransi pada laktosa, alergi pada susu sapi,
dan sebagian besar karena infeksi. Penyebab terjadinya diare terbanyak di Indonesia menurut
Departemen Kesehatan tahun 2000 adalah karena bakteri, yaitu Shigella, Salmonella,
Campylobacter, E.Coli, dan Entamoba Hystolitica (Ishak, 2011).
Diare merupakan penyakit endemis Indonesia yang berpotensi menjadi Kejadian Luar
Biasa (KLB) dan sering menyebabkan kematian. Diare menempati urutan pertama penyebab
kematian bayi pada tahun 2012 sebesar 31,4%, menempati urutan ke-4 penyebab kematian
disemua umur dengan persentase sebesar 13,2% (Kementerian Kesehatan RI [Kemenkes RI],
2012; Kemenkes RI, 2013). Sepanjang tahun 2015 telah terjadi 18 kali KLB diare yang
tersebar di 11 provinsi dan 18 kabupaten/kota, dengan jumlah penderita 1.213 orang dan
jumlah kematian 30 orang (Kemenkes RI, 2015; Kemenkes RI, 2016). Di Kalimantan Timur
jumlah penderita diare adalah sebesar 5,3% pada tahun 2012 (Kemenkes RI, 2012; Kemenkes
RI, 2013). Tercatat ada 81.913 kasus diare yang terjadi di Kalimantan Timur pada tahun 2014
dengan jumlah kematian 46 kasus dan kasus terbanyak terdapat di daerah Kutai Kartanegara,
yaitu sebesar 74,98% (Kaltim, 2015).
Diare dapat disebabkan oleh lebih dari satu patomekanisme. Mekanisme diare terbagi
menjadi non-infeksi dan infeksi, (Zein, Sagala, Ginting, 2004; Simadibrata & Daldiyono,
2009). Diare non infeksi ditandai dengan peningkatan volume usus, seperti pada diare
osmotik, intoleransi laktosa, malabsorpsi dan gangguan motilitas Diare akibat infeksi
disebabkan oleh bakteri yang mengeluarkan toksin dan menyebabkan inflamasi. Diare akibat
bakteri juga menyebabkan peningkatan sekresi dan penurunan absorpsi pada usus yang
menyebabkan spasme (Sutadi, 2003; Zein, et al., 2004; Simadibrata & Daldiyono, 2009).
Spasme adalah peningkatan kontraksi involunter otot atau sekelompok otot yang mendadak
dan keras yang disertai nyeri dan gangguan fungsi (Dorlan, 2012).
Nyeri merupakan salah satu gejala klinis pada diare (Sutadi, 2003; Zein et al., 2004;
Hay, Levin, Sondheimer, Deterding, 2005; Simadibrata&Daldiyono, 2009; Isselbacher et al.,
2014). Peningkatan volume usus pada diare menyebabkan peregangan usus sehingga
menimbulkan nyeri dan diare (Sherwood, 2002). Nyeri juga dapat terjadi karena adanya
mediator inflamasi, salah satunya histamin dan peningkatan volume usus yang menyebabkan
terjadinya hiperperistaltik (Katzung, 2004; Zein et al., 2004). Histamin dapat menyebabkan
kontraksi otot polos dengan cara peningkatan kadar kalsium intrasel, histamin yang berlebihan
dapat menyebabkan diare (Katzung, 2004).
Pengobatan diare dilakukan dengan pengobatan simptomatik dan pengobatan kausatif
(Ajizah, 2004; Isselbacher et al., 2014). Pengobatan simptomatik merupakan pengobatan yang
dilakukan untuk mengurangi keluhan. Masyarakat cenderung menggunakan obat-obatan yang
dijual bebas untuk mengurangi keluhan. Selain menggunakan obat-obatan yang dijual bebas,
sebagian masyarakat menggunakan tumbuhan tertentu untuk mengurangi keluhan atau
menyembuhkan diare. World Health Organization (WHO) mencatat, 80% penduduk dunia
menggunakan obat-obatan tradisional seperti tumbuhan obat sebagai usaha pertama dalam
mengobati masalah kesehatan seperti diare (Balakumbahan, Rajamani, Kumanan, 2010).
Pengobatan kausatif dilakukan dengan menghilangkan penyebab diare (Ajizah, 2004).
Potensi Acorus calamus L. sebagai obat diare telah banyak diteliti. Penelitian yang ada sampai
saat ini, membuktikan potensi rimpang Acorus calamus L. dalam mengatasi diare dengan cara
menghambat pertumbuhan bakteri, seperti yang diungkapkan dalam penelitian Devi dan
Gajewala (2009) Divya, Mythili, Sathiavelu (2011) dan Anisah, Khotimah, Yanti (2014).
Potensi lainnya yang dimiliki rimpang Acorus calamus L. untuk menghilangkan nyeri
dalam hal spasmolitik belum banyak diketahui, maka dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui potensi rimpang Acorus calamus L. sebagai spasmolitik.
Organ yang digunakan untuk mengetahui potensi spasmolitik rimpang Acorus calamus
L. adalah organ ileum marmut dengan perlakuan secara in vitro. Ileum marmut digunakan
dalam penelitian ini karena relatif lebih tahan terhadap trauma dan kontraksinya lebih kuat
daripada jejenum atau duodenum (Taranita, Permatasari, Sudiarto 2006). Ileum marmut juga
sensitif terhadap histamin melalui reseptor H1 yang menyebabkan ileum marmut berkontraksi
sama seperti kontraksi pada usus manusia. Peningkatan histamin berlebih menyebabkan diare
melalui peningkatan kadar kalsium intrasel. (Katzung, 2004).

You might also like