You are on page 1of 45

Praktikum

perundang-undangan
Tenaga Nuklir

ZAENAL ABIDIN
Tata perundang-undangan diatur dalam :
1. Tap MPRS NO. XX/MPRS/1996 tentang Memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum
Republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia.
Urutannya yaitu :
1) UUD 1945;
2) Ketetapan MPR;
3) UU;
4) Peraturan Pemerintah;
5) Keputusan Presiden;
6) Peraturan Pelaksana yang terdiri dari : Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.
Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.
2 Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Undang-Undang.
. Berdasarkan ketetapan MPR tersebut, tata urutan peraturan perundang-undangan RI yaitu
R :
1) UUD 1945;
2) Ketetapan MPR;
3) UU;
4) Peraturan Pemerintah; Pengganti UU
5) PP;
6) Keputusan Presiden;
7) Peraturan Daerah
(Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku)
HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
MENU RUT UU NO. 10 TAHUN 2004

1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun1945


2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UU
3) Peraturan Pemerintah
4) Keputusan Presiden
5) Peraturan daerah
1. Perda Provinsi
2. Perda Kabupaten/Kota
3. Perdes/Peraturan yang Setingkat
HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
MENURUT UU NO. 12 TAHUN 2011

1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun1945


2) Tap MPR
3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
UU
4) Peraturan Pemerintah
5) Keputusan Presiden
6) Peraturan daerah
1. Perda Provinsi
2. Perda Kabupaten/Kota
3. Perdes/Peraturan yang Setingkat
Program
legalisasi
nasional

Proses Penyiapan RUU Berdasarkan Perpres 68 Tahun 2005


PROSES PENGUNDANGAN DALAM LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAN TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
PROSES PENGUNDANGAN DALAM BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA DAN TAMBAHAN BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
PIDANA menurut Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
pokok dan tambahan
a. pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.
b. pidana tambahan
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.

Baik pidana kurungan maupun pidana penjara adalah


merupakan pidana pokok dalam hukum pidana. Mengenai
pembedaan pidana penjara dan pidana kurungan, pada
dasarnya merupakan sama-sama bentuk pidana
perampasan kemerdekaan sebagaimana dipaparkan oleh
S.R Sianturi dalam bukunya berjudul “Asas-asas Hukum
Pidana di Indonesia dan Penerapannya” (2002: 471)
“Pidana kurungan adalah juga merupakan salah satu bentuk pidana perampasan
kemerdekaan, akan tetapi dalam berbagai hal ditentukan lebih ringan dari
pada yang ditentukan kepada pidana penjara.”

“Ketentuan tersebut ialah :


a. Para terpidana kurungan mempunyai hak pistole, yang artinya mempunyai
hak atau kesempatan untuk mengurusi makanan dan alat tidur sendiri atas
biaya sendiri (Pasal 23 KUHP).
b. Para terpidana mengerjakan pekerjaan-pekerjaan wajib yang lebih ringan
dibandingkan dengan para terpidana penjara (Pasal 19 KUHP).
c. Maksimum ancaman pidana kurungan adalah 1 (satu) tahun, maksimum
sampai 1 tahun 4 bulan dalam hal terjadi pemberatan pidana, karena
perbarengan, pengulangan atau karena ketentuan Pasal 52 atau 52a (Pasal 18
KUHP).
d. Apabila para terpidana penjara dan terpidana kurungan menjalani pidana
masing-masing dalam satu tempat pemasyarakatan, maka para terpidana
kurungan harus terpisah tempatnya (Pasal 28 KUHP).
e. Pidana kurungan dilaksanakan dalam daerah terpidana sendiri (Biasanya
tidak di luar daerah Kabupaten yang bersangkutan) (Pasal 21 KUHP)”
Jan Remmelink dalam bukunya berjudul “Hukum
Pidana” (2003: 476) menyebutkan bahwa:

“Terhadap tindak pidana pelanggaran, maka


pidana kurungan merupakan satu-satunya
bentuk pidana badan yang dimungkinkan.
Namun demikian, pidana kurungan tidak
terbatas pada pelanggaran saja tetapi juga
terhadap beberapa bentuk kejahatan, yaitu
yang dilakukan tanpa kesengajaan (Pasal 114,
188, 191ter, 193, 195, 197, 199, 201, 359, 360,
481 KUHP), semua diancamkan pidana
penjara maupun pidana kurungan.”
Perbedaan Pidana Penjara Pidana Kurungan
Tindak pidana Kejahatan Pelanggaran dan Kejahatan

(yang diatur (tertentu) Pasal 114, 188, 191ter,


193, 195, 197, 199, 201, 359, 360,
dalam KUHP)
481

Maksimum Seumur hidup - Paling lama 1 tahun.

Lamanya - Jika ada pemberatan pidana


paling lama 1 tahun 4 bulan.
pemidanaan
Lokasi Di mana saja Dalam daerah di mana terpidana

pemidanaan berdiam ketika putusan hakim


dijalankan
Perbedaan lain a. Tidak memiliki hak pistole; a. Memiliki hak pistole;

b. Wajib menjalankan segala b. Pekerjaan yang diwajibkan


lebih ringan.
pekerjaan yang dibebankan
kepadanya.
Beda antara pidana penjara dan pidana kurungan
misal 10 tahun pidana penjara dan 10 tahun
pidana kurungan, maka dapat disimpulkan bahwa
pemisalan perbandingan tsb kurang tepat. Karena
merujuk pada uraian di atas dapat diketahui
bahwa untuk pidana kurungan hanya dapat
dijatuhkan paling lama 1 tahun dan dengan
pemberatan menjadi 1 tahun 4 bulan. Jadi, tidak
mungkin pidana kurungan diberikan sampai 10
tahun lamanya.
Pidana Seumur Hidup bahwa yang dimaksud
dengan pidana penjara seumur hidup adalah
satu dari dua variasi hukuman penjara yang
diatur dalam pasal 12 ayat (1) KUHP.
Selengkapnya, pasal 12 ayat (1) KUHP berbunyi,
pidana penjara ialah seumur hidup atau selama
waktu tertentu. Dalam pasal 12 ayat (4) KUHP
dinyatakan, pidana penjara selama waktu
tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua
puluh tahun.
Dari bunyi pasal 12 ayat (1) KUHP tersebut di
atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan pidana penjara seumur hidup adalah
penjara selama terpidana masih hidup hingga
meninggal. Ketentuan tersebut sekaligus
menolak pendapat bahwa hukuman penjara
seumur hidup diartikan hukuman penjara
yang dijalani adalah selama usia terpidana
pada saat vonis dijatuhkan.
Dari bunyi pasal 12 ayat (1) KUHP tersebut di
atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan pidana penjara seumur hidup adalah
penjara selama terpidana masih hidup hingga
meninggal. Ketentuan tersebut sekaligus
menolak pendapat bahwa hukuman penjara
seumur hidup diartikan hukuman penjara
yang dijalani adalah selama usia terpidana
pada saat vonis dijatuhkan.
Apabila pidana penjara seumur hidup diartikan
hukuman penjara yang dijalani adalah selama
usia terpidana pada saat vonis dijatuhkan, maka
yang demikian menjadi pidana penjara selama
waktu tertentu. Contohnya, jika seseorang
dipidana penjara seumur hidup ketika dia berusia
21 tahun, maka yang bersangkutan hanya akan
menjalani hukuman penjara selama 21 tahun. Hal
itu tentu melanggar ketentuan Pasal 12 ayat (4)
KUHP, di mana lamanya hukuman yang dijalani
oleh terpidana - yaitu 21 tahun - melebihi
batasan maksimal 20 tahun.
Jadi, yang dimaksud dengan pidana penjara seumur hidup
adalah pidana penjara yang dijalankan sampai berakhirnya
usia/meninggalnya terpidana yang bersangkutan.
• Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No
73)
Sanksi Hukum (Pidana, Perdata, dan
Administratif)
Menurut “Black's Law Dictionary Seventh Edition”, sanksi
(sanction) adalah:“A penalty or coercive measure that
results from failure to comply with a law, rule, or order (a
sanction for discovery abuse)”

Di Indonesia, secara umum, dikenal sekurang-kurangnya


tiga jenis sanksi hukum yaitu:

sanksi hukum pidana


sanksi hukum perdata
sanksi administrasi/administratif
Dalam hukum pidana, sanksi hukum disebut
hukuman. Menurut R. Soesilo, hukuman
adalah:

“Suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang


dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada
orang yang telah melanggar undang-undang
hukum pidana”
Dalam hukum perdata, putusan yang dijatuhkan
oleh hakim dapat berupa:
1. putusan condemnatoir yakni putusan yang bersifat menghukum
pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi (kewajibannya).
Contoh: salah satu pihak dihukum untuk membayar kerugian,
pihak yang kalah dihukum untuk membayar biaya perkara
2. putusan declaratoir yakni putusan yang amarnya menciptakan
suatu keadaan yang sah menurut hukum. Putusan ini hanya
bersifat menerangkan dan menegaskan suatu keadaan hukum
semata-mata. Contoh: putusan yang menyatakan bahwa
penggugat sebagai pemilik yang sah atas tanah sengketa
3. putusan constitutif yakni putusan yang menghilangkan suatu
keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Contoh:
putusan yang memutuskan suatu ikatan perkawinan.
dalam hukum perdata, bentuk sanksi hukumnya
dapat berupa:
• kewajiban untuk memenuhi prestasi (kewajiban)
• hilangnya suatu keadaan hukum, yang diikuti
dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru

Sedangkan untuk sanksi


administrasi/administratif, adalah sanksi yang
dikenakan terhadap pelanggaran administrasi atau
ketentuan undang-undang yang bersifat
administratif. Pada umumnya sanksi
administrasi/administratif berupa;
- denda (misalnya yang diatur dalam PP No. 28 Tahun
2008),
- pembekuan hingga pencabutan sertifikat dan/atau
izin (misalnya yang diatur dalam Permenhub No. KM 26
Tahun 2009),
- penghentian sementara pelayanan administrasi hingga
pengurangan jatah produksi (misalnya yang diatur dalam
Permenhut No. P.39/MENHUT-II/2008 Tahun 2008),
- tindakan administratif (misalnya yang diatur dalam
Keputusan KPPU No. 252/KPPU/KEP/VII/2008 Tahun
2008)
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2008 tentang
Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda
3. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.39/MENHUT-II/2008
Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif
Terhadap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan
4. Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No.
252/KPPU/KEP/VII/2008 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pelaksanaan Ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
5. Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 26 Tahun 2009
tentang Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Peraturan
Perundang-Undangan Di Bidang Keselamatan Penerbangan
Perbedaan antara Keputusan
Presiden dengan Peraturan
Presiden
suatu keputusan (beschikking) selalu
bersifat individual, kongkret dan
berlaku sekali selesai (enmahlig).
Sedangkan, suatu peraturan (regels)
selalu bersifat umum, abstrak dan
berlaku secara terus menerus
(dauerhaftig).
Dengan demikian, Keputusan Presiden (Keppres)
berbeda dengan Peraturan Presiden (Perpres).
Keputusan Presiden adalah norma hukum yang
bersifat konkret, individual, dan sekali selesai
(contoh: Keputusan Presiden No. 71 / 2001
tentang Pendirian Sekolah Tinggi Teknologi
Nuklir. Sedangkan Peraturan Presiden adalah
norma hukum yang bersifat abstrak, umum, dan
terus-menerus (contoh: Perpres No. 64 Tahun
2012 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan
Penetapan Harga Bahan Bakar Gas Untuk
Transportasi Jalan).
Kecuali untuk Keputusan Presiden yang sampai
saat ini masih berlaku dan mengatur hal yang
umum contohnya Keppres No. 63 Tahun 2004
tentang Pengamanan Objek Vital Nasional,
maka berdasarkan Pasal 100 UU No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (“UU 12/2011”), Keppres
tersebut harus dimaknai sebagai peraturan.
Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri,
Keputusan Gubernur, Keputusan
Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada
sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus
dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini.
menurut UU 12/2011 keputusan-keputusan
yang sifatnya mengatur yang sudah ada sebelum
berlakunya undang-undang tersebut, harus
dimaknai sebagai peraturan. Ketentuan seperti
ini juga diatur dalam Pasal 56 UU No. 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (“UU 10/2004”) yang
telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh
UU 12/2011.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4
ccae165e39e9/pidana-atau-perdata?
Pidana atau Perdata?
Ini permasalahan yang saya alami sendiri. Saya memiliki toko yang menjual bahan
bangunan, ada salah seorang konsumen yang sering berbelanja di toko saya. Awalnya
semuanya lancar, tetapi belakangan orang tersebut berbelanja di toko saya dan
berhutang 45 juta dan akan berjanji akan membayarnya kalau usahanya lancar.
Setelah barang saya berikan tetapi hingga sekarang orang tersebut tidak mau
membayarnya padahal usahanya berjalan lancar. Saat orang tersebut datang ke toko
saya tersebut hanya ada saya dan salah seorang karyawan saya saja. Pertanyaan saya,
upaya hukum apa yang mesti saya lakukan, perkara perdata kah atau pidanakah
masalah tersebut? Mohon penjelasannya, atas bantuannya saya ucapkan terima kasih.
Permasalahan Anda berawal dari jual beli, oleh karena itu sengketa ini masuk pada ranah
hukum perdata. Dalam permasalahan Anda, konsumen Anda melakukan wanprestasi (ingkar
janji).

Untuk wanprestasi, upaya yang dapat Anda lakukan adalah mengajukan gugatan atas dasar
wanprestasi. Namun sebelumnya, Anda perlu memberikan somasi pada konsumen Anda
tersebut. Somasi diberikan sebagai peringatan bahwa konsumen Anda lalai melakukan
prestasi/kewajibannya membayar barang yang sudah diambilnya, dan untuk itu mengingatkan
pada konsumen untuk segera melakukan prestasi/kewajibannya.

Apabila setelah diberikan somasi, konsumen Anda tetap tidak memenuhi kewajibannya, maka
Anda bisa mengajukan gugatan pada pada Pengadilan Negeri yang wilayahnya meliputi
tempat tinggal konsumen Anda. Menurut Pasal 1267 KUHPerdata, ada beberapa hal yang
dapat Anda gugat atau tuntut dari pihak yang wanprestasi, yaitu:
1. Pemenuhan perikatan, artinya Anda bisa menuntut agar konsumen Anda untuk membayar
utangnya terhadap anda;
2. Pemenuhan perikatan dengan ganti kerugian;
3. Ganti kerugian. Ganti kerugian terdiri dari tiga unsur, yaitu biaya, rugi, dan bunga. Biaya
adalah segala pengeluaran yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Rugi adalah
kerugian karena kerusakan barang-barang milik kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian
debitur. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan
atau dihitung oleh kreditur;
4. Pembatalan perjanjian. Dengan pembatalan perjanjian, kedua belah pihak kembali pada
keadaan semula sebelum perjanjian diadakan. Apabila suatu pihak sudah menerima sesuatu
dari pihak yang lain, baik itu uang atau barang, harus dikembalikan;
5. Pembatalan perjanjian dengan ganti kerugian.

Demikian penjelasan kami, semoga dapat dipahami.

Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad
1847 No. 23)
Cara Menghitung Pesangon
Berdasarkan Alasan PHK
• Secara konsep, ada dua jenis PHK, yaitu PHK
secara sukarela dan PHK dengan tidak
sukarela. Dalam artikel Berkembangnya
Alasan-Alasan PHK dalam Praktik dijelaskan
ada beberapa alasan penyebab pemutusan
hubungan kerja (“PHK”) yang terdapat dalam
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).
• PHK sukarela misalnya, yang diartikan sebagai
pengunduran diri buruh tanpa paksaan dan
tekanan. Begitu pula karena habisnya masa
kontrak, tidak lulus masa percobaan
(probation), memasuki usia pensiun dan
buruh meninggal dunia. PHK tidak sukarela
dapat terjadi karena adanya pelanggaran, baik
yang dilakukan buruh maupun
pengusaha/perusahaan.
Alasan PHK Kompensasi Pengaturan di UU
Ketenagakerjaan
Mengundurkan diri tanpa tekanan Berhak atas UPH Pasal 162 Ayat (1)

Tidak lulus masa percobaan Tidak berhak kompensasi Pasal 154

Selesainya PKWT Tidak Berhak atas Pasal 154 huruf b


Kompensasi
Pekerja melakukan Pelanggaran 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan Pasal 161 Ayat (3)
Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja UPH
Bersama, atau Peraturan Perusahaan

Pekerja mengajukan PHK karena 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan Pasal 169 Ayat (1)
pelanggaran pengusaha UPH

Pernikahan antar pekerja (jika diatur 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan Pasal 153
oleh perusahaan) UPH

UP = Uang Pesangon; UPMK = Uang Penghargaan Masa Kerja; UPH = Uang Penggantian
Hak
Alasan PHK Kompensasi Pengaturan di UU
Ketenagakerjaan
PHK Massal karena perusahaan rugi atau 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH Pasal 164 (1)
force majeure
PHK Massal karena Perusahaan 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH Pasal 164 (3)
melakukan efisiensi.
Peleburan, Penggabungan, perubahan 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH Pasal 163 Ayat (1)
status dan Pekerja tidak mau
melanjutkan hubungan kerja
Peleburan, Penggabungan, perubahan 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH Pasal 163 Ayat (2)
status dan Pengusaha tidak mau
melanjutkan hubungan kerja
Perusahaan pailit 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH Pasal 165
Pekerja meninggal dunia 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH Pasal 166
Pekerja mangkir 5 hari atau lebih dan UPH dan Uang pisah Pasal 168 Ayat (1)
telah dipanggil 2 kali secara patut
Pekerja sakit berkepanjangan atau karena 2 kali UP, 2 kali UPMK, dan UPH Pasal 172
kecelakaan kerja (setelah 12 bulan)
Pekerja memasuki usia pensiun opsional Sesuai Pasal 167
Pekerja ditahan dan tidak dapat 1 kali UPMK dan UPH Pasal 160 Ayat (7)
melakukan pekerjaan (setelah 6 bulan)
Pekerja ditahan dan diputuskan bersalah 1 kali UPMK dan UPH Pasal 160 Ayat (7)
Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang
berbunyi:

“Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,


pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon
dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima.”
Masa Kerja Uang Pesangon yang Didapat

kurang dari 1 (satu) tahun 1 (satu) bulan upah


1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 2 (dua) bulan upah
(dua) tahun
2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) 3 (tiga) bulan upah
tahun
3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 4 (empat) bulan upah
(empat) tahun
4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 5 (lima) bulan upah
(lima) tahun

5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 6 (enam) bulan upah
(enam) tahun
6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 7 (tujuh) bulan upah
(tujuh) tahun
7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 8 (delapan) bulan upah
(delapan) tahun,
8 (delapan) tahun atau lebih 9 (sembilan) bulan upah
UPH terdiri dari:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan
keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima
bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan
perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari
uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja
bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
• Dari uraian di atas diketahui bahwa pekerja
yang mengundurkan diri secara sukarela tidak
berhak mendapatkan uang pesangon dan
uang penghargaan masa kerja. Ia hanya
berhak mendapatkan uang penggantian hak.
• Di samping itu, menurut Umar Kasim dalam artikel Apakah Pekerja
yang Mengundurkan Diri Akan Mendapat Pesangon?, khusus bagi
karyawan yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan
pengusaha secara langsung, maksudnya non-management
committee, berdasarkan Pasal 162 ayat (2) UUK juga berhak
diberikan Uang Pisah yang nilainya dan pelaksanaan pemberiannya,
merupakan kewenangan (domain) para pihak untuk
memperjanjikannya dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan/perjanjian kerja bersama. Penjelasan lebih lanjut
mengenai UPH bagi pekerja yang resign atau dapat Anda simak
dalam artikel tersebut.

• Sementara untuk pekerja yang mengalami pemutusan hubungan
kerja berhak mendapat kompensasi sesuai alasannya masing-
masing sebagaimana sudah diuraikan di tabel di atas.
Tugas
• Sebutkan perundang-undangan ketenaga
nukliran ( masih berlaku no ganjil
yang sudah tidak berlaku di Indonesia no genap
nomor absen
• Kirim ke zaenala6@gmail.com

You might also like