You are on page 1of 51

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN STROKE DI


RUANG CATLEYA RUMAH SAKIT DAERAH
dr. SOEBANDI JEMBER

OLEH:
Dewi Wulan Pratiwi, S.Kep.
NIM 182311101090

PPROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
OKTOBER, 2018

48
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
LAPORAN PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Anatomi Fisiologi Sistem Saraf ........................................................... 1
B. Definisi ................................................................................................. 9
C. Klasifikasi ............................................................................................
D. Epidemiologi ........................................................................................ 11
E. Etiologi ................................................................................................. 11
F. Patofisiologi ......................................................................................... 13
G. Manifestasi Klinis ................................................................................ 13
H. Pemeriksaan Penunjang ....................................................................... 17
I. Penatalaksanaan ................................................................................... 20
J. Clinical Pathway .................................................................................. 23
K. Konsep Asuhan Keperawatan .............................................................. 24
a. Pengkajian/Assesment .................................................................... 24
b. Diagnosa Keperawatan .................................................................. 32
c. Intervensi Keperawatan.................................................................. 34
d. Evaluasi Keperawatan .................................................................... 48
e. Discharge Planning ....................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 50

iii
LAPORAN PENDAHULUAN
PASIEN DENGAN STROKE HEMORAGIK (INTRACEREBAL
HEMORAGIK
Oleh : Dewi Wulan Pratiwi, S.Kep

A. Konsep Teori tentang Penyakit


1. Anatomi Fisiologi Sistem Saraf
a. Otak
Menurut Sloane (2003), otak manusia terdiri dari 2% dari keseluruhan
berat tubuh, 25% oksigen, dan 1,5% curah jantung. Otak adalah organ vital yang
terdiri dari 100-200 milyar sel aktif yang saling berhubungan dan bertanggung
jawab atas fungsi mental dan intelektual. Otak melaksanakan semua fungsi yang
disadari dan bertanggung jawab terhadap pengalaman-pengalaman berbagai
macam sensasi atau rangsangan terhadap kemampua manusia untuk melakukan
gerakan-gerakan yang disadari dan kemampuan untuk melaksanakan berbagai
macam proses mental seperti ingatan atau memori, perasaan emosional,
intelegensia, berkomunikasi, sifat atau kepribadian. Menurut (Satyanegara, 2010)
berat otak menusia sekitar 1.400 gram, tersusun oleh sekitar 100 triliun neuron.
Masing-masing neuron memiliki 1.000-10.000 koneksi sinaps dengan sel saraf
lainnya. Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal dan terletak di
dalam ruanganyang tertutup oleh tulang yaitu kranium (tengkorak). Kranium
secara absolut tidak dapat bertambah volumenya terutama pada orang dewasa.
Jaringan otak dilindungi oleh beberapa pelindung yaitu rambut, kulit kepala,
tengkorak, selaput otak (meningens), dan cairan otak (liquor cerebro spinalis).
Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disebut SCALP yaitu (1) skin atau kulit,
(2) connective tissue atau jaringan penyambung (3) aponeurosis atau galea
aponeurotika, (4) loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar, dan (5)
perkranium.

48
Gambar 1. SCALP
Selaput otak (meningens) terdiri dari 3 lapisan yaitu:
1) Durameter adalah meningens terluar yang merupakan gabungan dari 2 lapisan
selaput yaitu lapisan bagian dalam (yang berlanjut ke durameter spinal) dan
lapisan bagian luar (yang sebetulnya merupakan lapisan periosteum
tengkorak). Lapisan bagian dalam akan melebar serta melekuk membentuk
sekat-sekat otak (falks, tentorium). Lapisan bagian luar merupakan jaringan
fibrosa yang lebih padat dan mengandung vena serta arteri untuk memberi
makan tulang. Gabungan kedua lapisan ini melekat erat dengan permukaan
dalam tulang sehingga tidak ada celah di antaranya. Kedua lapisan durameter
ini pada lokasi-lokasi tertentu akan terpisah dan membentuk rongga (sinus
durameter) berisi darah vena serta berfungsi untuk drainase otak. Di bawah
durameter terdapat rongga subdural yang tidak berisi liquor cerebro spinalis.
2) Arakhnoid merupakan lapisan tengah antara durameter dan piameter. Di bawah
lapisan ini adalah rongga subarakhnoid yang mengandung trabekula dan dialiri
liquor cerebro spinalis. Lapisan arakhnoid tidak memiliki pembuluh darah,
tetapi pada rongga subarakhnoid terdapat pembuluh darah.
3) Piameter merupakan lapisan selaput otak yang paling dalam yang langsung
berhubungan dengan permukaan jaringan otak serta mengikuti konvulsinya
(Satyanegara, 2010).

2
Secara anatomis otrak terdiri 4 bagian yaitu cerebrum (otak besar),
cerebellum (otak kecil), brainstem (batang otak) dan disenfalon. Otak merupakan
bagian utama dari sistem saraf dengan komponen bagian-bagiannya (Pearce,
2009) sebagai berikut:
1) Cerebrum
Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar terdiri dari sepasang hemisfer
kanan dan kiri dan tersusun dari korteks (permukaan otak), ganglia basalis,
dan sistem limbic. Kedua hemisfer kiri dan kanan dihubungkan oleh serabut
padat yang disebut dengan corpus calosum. Otak besar memiliki fungsi untuk
mengatur semua aktivitas mental yang berkaitan dengan kepandaian
(intelegensia), ingatan (memori), kesadaran dan pertimbangan.

Gambar 2. Otak Bagian Cerebrum


Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus yaitu:
a) Lobus Frontalis
Lobus ini terletak di fosa anterior. Lobus ini terlibat dalam 2 fungsi
serebral utama yaitu (1) kontrol motorik gerakan volunter termasuk fungsi
bicara dan (2) kontrol berbagai ekspresi emosi, moral, dan tingkah laku
etika (Satyanegara, 2010). Pada lobus ini terdapat daerah broca yang
mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan sadar, perilaku
sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif.

3
b) Lobus Temporalis
Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan
kebawah dari fisura lateralis dan sebelah posterior dari fisura parieto-
oksipitalis (White, 2008). Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat
verbal, visual, keseimbangan, pendengaran dan berperan dalam
pembentukan dan perkembangan emosi (Satyanegara, 2010).
c) Lobus Parietalis
Lobus parietalis merupakan pusat kesadaran sensorik di gyrus
postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran
(White, 2008).
d) Lobus Okspitalis
Lobus ini berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi penglihatan
yaitu untuk menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan dari
nervus optikus dan mengasosiasikan rangsangan dengan informasi saraf
lain dan memori (White, 2008).
e) Lobus Limbik
Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi, memori emosi, dan
bersama hypothalamus menimbulkan perubahan melalui pengendalian
atas susunan endokrin dan susunan otonom (Satyanegara, 2010).

Gambar 3. Lobus Limbik

4
Gambar 4. Bagian-Bagian Cerebrum

2) Cerebelum
Cerebelum atau otak kecil berfungsi untuk koordinasi terhadap otot dan tonus
otot, keseimbangan dan posisi tubuh, serta untu berfungsi mengkoordinasi
gerakan yang halus dan luwes. Cerebelum berada pada bagian bawah dan
belakang tengkorak yang melekat pada otak tengah. Pada otak kecil terdapat
tiga pengelompokkan bagian-bagian otak kecil (Pearce, 2009) yaitu:
a) Berdasarkan lobus pada otak kecil dibagi menjadi tiga yaitu lobus anterior
(depan), lobus posterior (belakang) dan lobus frocculonadular.

Gambar 5. Lobus Otak Kecil


b) Berdasarkan zonanya cerebellum dibagi menjadi tiga bagian yaitu vermis
yang memisahkan otak kecil menjadi dua hemisfer kiri dan kanan, zona
intermediate, dan lateral hemisfer
c) Berdasarkan fungsinya, terdiri dari cerebrocerebellum yang merupakan
bagian terbesar dari otak keci dengan fungsi utama untuk mengatur
pergerakan mortik dan evaluasi terhadap informasi sensoris agar dapat

5
melakukan gerakan yang tepat; Spinocerebellum berfungsi untuk mengatur
pergerakan tubuh melalui sistem propriosepsi yaitu sensasi yang didapatkan
tubuh melalu stimulasi dan aktivitas otot; Vestibulocerebelum berfungsi
untuk mengatur keseimbangan tubuh daris sistem vestibular dari
semicircular kanal di telinga dan gerakan bola mata yang menerima
informasi dari kortek visual.
3) Brainstem
Brainstem adalah batang otak yang berfungsi untuk mengatur seluruh proses
kehidupan. Batang otak terdiri dari diensefalon (otak depan) yang terdiri atas
dua bagian yaitu thalamus yang berfungsi menerima semua rangsang dari
reseptor kecuali bau dan hypothalamus yang berfungsi dalam pengaturan suhu,
pengaturan nutrient, penjagaan agar tetap bangun dan penumbuhan sikap
agresif; mesencephalon (otak tengah) terletak dibagian depan otak kecil dan
jembatan varol berfungsi untuk reflex mata, tonus otot serta fungsi posisi atau
kedudukan tubuh; pons varoli (jembatan varol) yang merupakan serabut saraf
pengubung otak kecil bagian kirir dan kanan, selain itu menghubungkan otak
besar dan sumsum tulang belakang; medulla oblongata yaitu bagian dari batang
otak yang paling bawah dan menghubungkan antara pons varoli dengan
medulla spinalis (Pearce, 2009).
4) Diesenfalon
Diensefalon berarti “di antara otak” terletak di antaa serebrul dan otak tengah
serta tersembunyi dibalik hemisfer serebral, kecuali pada sisi basal (Sloane,
2003). Diensefalon merupakan bagian dalam dari serebrum yang
menghubungankan otak tengah dengan hemisfer serebrum, dan tersusun oleh
talamus, hipotalamus, epitalamus, dan subtalamus (Satyanegara, 2010).
a) Talamus
Talamus sering disebut sebagai “gerbang kesadaran” karena memiliki fungsi
sebagai stasiun penyampaian semua impuls yang masuk sebelum mencapai
korteks serebri (kecuali impuls olfaktorius). Talamus juga berperan
melakukan koordinasi, integrasi, dan pewarnaan afek terhadap implus-
impuls.

6
b) Hipotalamus
Hipotalamus memiliki fungsi sebagai pusat integrasi susunan saraf otonom,
regulasi temperatur, keseimbangan cairan dan elektrolit, integrasi sirkuit
siklus bangung0tidur, mengontrok intake makanan, respon tingkah laku
terhadap emosi, pengaturan/pengontrolan endokrin, dan respon seksual.
c) Epitalamus
Epitalamus memiliki korpus pineal atau kelenjar epifise yang menghasilkan
hormon melatonin yang mempengaruhi modulasi pola bangun-tidur.
d) Subtalamus
Subtalamus berperan dalam meregulasi pergerakan yang dilakukan oleh otot
rangka.

b. Sistem Saraf Tepi


Sistem saraf tepi terdiri dari 12 saraf kranial dan 31 saraf spinal. Saraf
kranial langsung berasal dari otak dan keluar meninggalkan tengkorak melalui
lubang-lubang pada tulang yang disebut foramina (tunggal, foramen). Terdapat 12
pasang saraf kranial yang dinyatakan dengan nama atau dengan angka romawi.
Saraf-saraf tersebut adalah olfaktorius (I), optikus (II), okulomotorius (III),
troklearis (IV), trigeminus (V), abducens (VI), fasialis (VII), vestibulokoklearis
(VIII), glossofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), dan hipoglosus (XII).
Tabel 1. Ringkasan fungsi saraf kranial
Saraf Kranial Komponen Fungsi
I Olfaktorius Sensorik Penciuman
II Optikus Sensorik Penglihatan
III Okulomotorius Motorik Mengangkat kelopak mata atas, konstriksi
pupil, sebagian besar gerakan ekstraokular
IV Troklearis Motorik Gerakan mata ke bawah dan ke dalam
V Trigeminus Motorik Otot temporalis dan maseter (menutup
rahang dan mengunyah) gerakan rahang
ke lateral
Sensorik 1. Kulit wajah, 2/3 depan kulit kepala,
mukosa mata, mukosa hidung dan
rongga mulut, lidah dan gigi
2. Refleks kornea atau refleks mengedip,
komponen sensorik dibawa oleh saraf
kranial V, respons motorik melalui
saraf kranial VI

7
VI Abdusens Motorik Deviasi mata ke lateral
VII Fasialis Motorik Otot-otot ekspresi wajah termasuk otot
dahi, sekeliling mata serta mulut,
lakrimasi dan salivasi
Sensorik Pengecapan 2/3 depan lidah (rasa, manis,
asam, dan asin)
VIII Sensorik Keseimbangan
Cabang Vestibularis

Cabang koklearis Sensorik Pendengaran


IX Glossofaringeus Motorik Faring: menelan, refleks muntah
Parotis: salivasi
Sensorik Faring, lidah posterior, termasuk rasa pahit
X Vagus Motorik Faring: menelan, refleks muntah, fonasi;
visera abdomen
Sensorik Faring, laring: refleks muntah, visera
leher, thoraks dan abdomen
XI Asesorius Motorik Otot sternokleidomastoideus dan bagian
atas dari otot trapezius: pergerakan kepala
dan bahu
XII Hipoglosus Motorik Pergerakan lidah
Sumber: Muttaqin, 2008

Gambar 6. Saraf Kranial

8
B. Definisi Stroke
Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh
terhentinya suplai darah kebagian otak (Smeltzer dan Bare, 2007). Menurut
Soeharto (2004) dalam Riyanto (2017), stroke adalah suatu serangan pada otak
akibat gangguan pembuluh darah dalam mensuplai darah yang membawa oksigen
dan glukosa untuk metabolisme sel-sel otak agar dapat tetap melaksanakan
fungsinya. Serangan ini bersifat mendadak dan menimbulkan gejala sesuai dengan
bagian otak yang tidak mendapat suplai darah. Gangguan fungsi saraf pada stroke
disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik (RISKESDAS,
2013).
Stroke merupakan penyakit neurologis yang sering dijumpai dan harus
ditangani secara cepat dan tepat. Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang
timbul mendadak yang disebabkan karena terjadinya gangguan peredaran darah
otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja (Muttaqin, 2008). Menurut
WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat
gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung
selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab
lain yang jelas selain vaskuler. Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan
obstruksi aliran darah otak (Corwin, 2009). Stroke atau cedera cerebrovaskuler
adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke
bagian otak sering ini adalah kulminasi penyakit serebrovaskuler selama beberapa
tahun (Smeltzer et al, 2002).

C. Klasifikasi
1. Stroke dapat diklasifikasikan menurut patologi dan gejala kliniknya, yaitu:
(Muttaqin, 2008)
a. Stroke Hemoragi,
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subarachnoid.
Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu.
Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga
terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun. Perdarahan otak

9
dibagi dua, yaitu:
1) Perdarahan intraserebra
Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama karena hipertensi
mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa
yang menekan jaringan otak, dan menimbulkan edema otak.
Peningkatan TIK yang terjadi cepat, dapat mengakibatkan kematian
mendadak karena herniasi otak. Perdarahan intraserebral yang
disebabkan karena hipertensi sering dijumpai di daerah putamen,
thalamus, pons dan serebelum.
2) Perdarahan subaraknoid
Pedarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry atau AVM.
Aneurisma yang pecah ini berasal dari pembuluh darah sirkulasi willisi
dan cabang-cabangnya yang terdapat diluar parenkim otak.Pecahnya
arteri dan keluarnya keruang subaraknoid menyebabkan TIK meningkat
mendadak, meregangnya struktur peka nyeri, dan vasospasme
pembuluh darah serebral yang berakibat disfungsi otak global (sakit
kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparase, gangguan
hemisensorik, dll)
b. Stroke Non Hemoragi
Dapat berupa iskemia atau emboli dan thrombosis serebral, biasanya
terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari. Tidak
terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan
selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Kesadaran umumnya baik.
2. Menurut perjalanan penyakit atau stadiumnya, yaitu:
a. TIA (Trans Iskemik Attack) gangguan neurologis setempat yang terjadi
selama beberapa menit sampai beberapa jam saja. Gejala yang timbul akan
hilang dengan spontan dan sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
b. Stroke involusi: stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana
gangguan neurologis terlihat semakin berat dan bertambah buruk. Proses
dapat berjalan 24 jam atau beberapa hari.
c. Stroke komplit: dimana gangguan neurologi yang timbul sudah menetap atau

10
permanen . Sesuai dengan istilahnya stroke komplit dapat diawali oleh
serangan TIA berulang.

E. Epidemiologi
Berdasarkan hasil dari Riset kesehatan dasar (2013), Prevalensi stroke di
Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 12%. Prevalensi Stroke
tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9‰), DI Yogyakarta (16,9‰), Sulawesi
Tengah (16,6‰), diikuti Jawa Timur sebesar 16‰. Prevalensi penyakit stroke
meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur ≥75 tahun
(67,0%). Prevalensi stroke sama tinggi pada laki-laki dan perempuan. Prevalensi
stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah baik
(32,8%). Prevalensi stroke di kota lebih tinggi dari di desa, baik berdasarkan
(12,7%). Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat yang tidak bekerja baik yang
(18%) (RISKESDAS, 2013). Kejadian stroke ini meningkat seiring pertambahan
usia (Dewanto et al., 2009 dan Muttaqin, 2008).

F. Etiologi
Stroke biasanya diakibatkan oleh empat kejadian, yaitu (1) trombosis
(bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher), (2) embolisme serebral
(bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian tubuh yang
lain), (3) iskemia (penurunan aliran darah ke otak), dan (4) hemoragik serebral
(pecahnya pembuluh darah serebral sehingga perdarahan ke dalam jaringan otak
atau ruang sekitar otak) (Smeltzer dan Bare, 2002).
Penyebab stroke menurut Arif Muttaqin (2008):
1. Thrombosis Cerebral
Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga
menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan
kongesti di sekitarnya. Thrombosis biasanya terjadi pada orang tua yang
sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas
simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi
serebral. Tanda dan gejala neurologis memburuk pada 48 jam setelah

11
trombosis. Beberapa keadaan di bawah ini dapat menyebabkan thrombosis
otak:
a. Aterosklerosi
Aterosklerosis merupakan suatu proses dimana terdapat suatu penebalan
dan pengerasan arteri besar dan menengah seperti koronaria, basilar,
aorta dan arteri iliaka (Ruhyanudin, 2007). Aterosklerosis adalah
mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya kelenturan atau
elastisitas dinding pembuluh darah. Manifestasi klinis atherosklerosis
bermacam-macam. Kerusakan dapat terjadi melalui mekanisme berikut:
1) Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran
darah.
2) Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi trombosis.
3) Merupakan tempat terbentuknya thrombus, kemudian melepaskan
kepingan thrombus (embolus).
4) Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian robek
dan terjadi perdarahan.
b. Hyperkoagulasi pada polysitemia
Darah bertambah kental, peningkatan viskositas/ hematokrit meningkat
dapat melambatkan aliran darah serebral.
c. Arteritis (radang pada arteri)
d. Emboli
Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh
bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari
thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral.
Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30
detik. Beberapa keadaan dibawah ini dapat menimbulkan emboli:
1) Katup-katup jantung yang rusak akibat Rheumatik Heart Desease
(RHD).
2) Myokard infark
3) Fibrilasi. Keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk
pengosongan ventrikel sehingga darah terbentuk gumpalan kecil dan

12
sewaktu-waktu kosong sama sekali dengan mengeluarkan embolus-
embolus kecil.
4) Endokarditis oleh bakteri dan non bakteri, menyebabkan terbentuknya
gumpalan-gumpalan pada endocardium.
2. Haemorhagi
Perdarahan intrakranial atau intraserebral termasuk perdarahan dalam ruang
subarachnoid atau kedalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini dapat terjadi
karena atherosklerosis dan hypertensi. Akibat pecahnya pembuluh darah otak
menyebabkan perembesan darah kedalam parenkim otak yang dapat
mengakibatkan penekanan, pergeseran dan pemisahan jaringan otak yang
berdekatan, sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan, sehingga
terjadi infark otak, oedema, dan mungkin herniasi otak.
3. Hipoksia Umum
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia umum adalah:
a. Hipertensi yang parah
b. Cardiac Pulmonary Arrest
c. Cardiac output turun akibat aritmia
4. Hipoksia Setempat
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia setempat adalah:
a. Spasme arteri serebral, yang disertai perdarahan subarachnoid.
b. Vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migrain.

Gambar 7. Vasokontrikisi arteri otak

13
G. Patofisiologi
Infark serbral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.
Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya
pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai
oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin
lmbat atau cepat) pada gangguan lokal (thrombus, emboli, perdarahan dan spasme
vaskuler) atau oleh karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan
jantung). Atherosklerotik sering/ cenderung sebagai faktor penting terhadap otak,
thrombus dapat berasal dari flak arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area
yang stenosis, dimana aliran darah akan lambat atau terjadi turbulensi.
Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli
dalam aliran darah. Thrombus mengakibatkan; iskemia jaringan otak yang
disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti
disekitar area. Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada
area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-
kadang sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema pasien mulai
menunjukan perbaikan. Oleh karena thrombosis biasanya tidak fatal, jika tidak
terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus
menyebabkan edema dan nekrosis diikuti thrombosis. Jika terjadi septik infeksi
akan meluas pada dinding pembukluh darah maka akan terjadi abses atau
ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat
menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan
perdarahan cerebral, jika aneurisma pecah atau ruptur. Perdarahan pada otak lebih
disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik dan hipertensi pembuluh darah.
Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan menyebabkan kematian
dibandingkan dari keseluruhan penyakit cerebro vaskuler, karena perdarahan yang
luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intracranial dan yang lebih
berat dapat menyebabkan herniasi otak.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan
perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak.
Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak

14
di nukleus kaudatus, talamus dan pons. Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat
berkembang anoksia cerebral. Perubahan disebabkan oleh anoksia serebral dapat
reversibel untuk jangka waktu 4-6 menit. Perubahan irreversibel bila anoksia lebih
dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang
bervariasi salah satunya henti jantung. Selain kerusakan parenkim otak, akibat
volume perdarahan yang relatif banyak akan mengakibatkan peningian tekanan
intrakranial dan mentebabkan menurunnya tekanan perfusi otak serta
terganggunya drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta
kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-
neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi. Jumlah darah
yang keluar menentukan prognosis. Apabila volume darah lebih dari 60 cc maka
resiko kematian sebesar 93 % pada perdarahan dalam dan 71 % pada perdarahan
lobar. Sedangkan bila terjadi perdarahan serebelar dengan volume antara 30-60 cc
diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75 % tetapi volume darah 5 cc dan
terdapat di pons sudah berakibat fatal (Muttaqin 2008).

H. Manifestasi Klinis
Menurut Aminudin (dalam Hernawati, 2009), manifestasi klinis utama yang
dapat dikaitkan dengan pembuluh darah otak yang pecah yaitu:
Tabel 2. Manifestasi klinis pembuluh darah otak pecah
Penyebab Akibat
Kerusakan pada vertebra basilaris Kelemahan pada satu atau keempat anggota gerak,
(sirkulasi posterior) peningkatan reflek tendon, ataksia, tanda babinsky
bilateral, disfagia, disartria, koma, gangguan daya
ingat, gangguan penglihatan dan muka baal
Kerusakan pada arteri karotis interna Anggota gerak atas terasa lemah dan baal, bila
(sirkulasi anterior) hemisfer dominan maka dapat terjadi afasia ekspresif.
Kerusakan pada arteri cerebri anterior Perasaan kacau, kelemahan kontralateral terutama
pada tungkai, lengan bagian proksimal mungkin
terkena, gerak voluntair tungkai terganggu, gangguan
sensorik kontralateral, dimensia, muncul reflek

15
patologis
Kerusakan pada arteri cerebri posterior Koma, hemiparesis kontralateral, afasia visual,
hemianopsia
Kerusakan pada arteri cerebri Monoparesis atau hemiparesis kontralateral kadang-
kadang ada hemianopsia kontralateral, afasia global
bila hemisfer domain terkena gangguan pada semua
fungsi yang berkaitan dengan percakapan dan
komunikasi, disfagia.

Adapun untuk membedakan manifestasi klinis intracerebral hemoragik


(perdarahan intraserebral), intracerebral subarachnoid, dan stroke non hemoragik
(Dewanto et al., 2009) adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Perbedaan manifestasi klinis PIS, PSA, dan SNH
No Gejala klinis Perdarahan Perdarahan Stroke non
intraserebral subarakhnoid hemoragik
(PIS) (PSA) (SNH)
1. Gejala defisit lokal Berat Ringan Berat/ringan
2. Awitan (onset) Menit/jam 1-2 menit Pelan (jam/hari)
3. Nyeri kepala Hebat Sangat hebat Ringan/tidak ada
4. Muntah pada Sering Sering Tidak, kecuali
awalnya lesi di batang
otak
5. Hipertensi Hampir selalu Biasanya tidak sering
6. Kaku kuduk Jarang Biasa ada Tidak ada
7. Kesadaran Biasa hilang Bisa hilang Dapat hilang
sebentar
8. Hemiparesis Sering sejak awal Awal tidak ada Sering sejak awal
9. Deviasi mata Bisa ada Jarang Mungkin ada
10. Likuor Sering berdarah Berdarah Jernih
Penentuan pasien mengalami stroke hemoragik atau stroke non hemoragik
dapat dilakukan perhitungan nilai melalui sirijaj stroke score dan algoritma gajah
mada.

16
1. Sirijaj stroke score
Tabel 4. Skor Sirijaj
Variabel Gejala klinis Skor
Derajat kesadaran Sadar 0
Apatis 1
Koma 2
Muntah Iya 1
Tidak 0
Sakit kepala Iya 1
Tidak 0
Tanda-tanda atheroma
1. Angina Pectoris Iya 1
Tidak 0
2. Laudicatio Intermitten Iya 1
Tidak 0
3. Diabetes Mellitus Iya 1
Tidak 0

Siriraj Stroke Score = (2,5 x Derajat Kesadaran) + (2 x muntah) + (2 X


sakit kepala) + (0,1 X tekanan darah diastol) – (3 X ateroma) – 12.
Keterangan:
Skor < 1 maka diagnosisnya stroke non perdarahan
Skor ≥ 1 maka diagnosisnya stroke perdarahan.

17
2. Algoritma Gajah Mada

Gambar 8. Alogaritma Gajah Mada

I. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk pasien dengan stroke yaitu skala
ROSIER yaitu dengan melakukan scoring pada tanda dan gejala stroke dengan
menilai tanda klinik secara cepat. Skala ROSIER memiliki sensitifitas 92%,
spesifitas 86% menurut Bazak (2013).
Komponen Poin
Kelemahan otot wajah dan asimetris 1
Lengan yang lemah dan asimetris 1
Kaki yang lemah dan asimetris 1
Gangguan berbicara 1
Kerusakan lapang pandang 1
Kejang -1
Penurunan kesadaran -1

18
Keterangan skala ROSIES jika terdapat pasien dengan point lebih dari 0
maka pasien tersebut 90% dipastikan mengalami stroke. Pemeriksaan penunjang
yang perlu dilakukan pada pasien stroke yaitu: Angiografi serebral: membantu
menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan, obstruksi arteri
atau adanya titik oklusi/ ruptur.
a. CT-scan: memperhatikan adanya hematoma

Gambar 9. Gambaran CT Scan Stroke Hemoragik (intracerebral hemorrhage)


b. Pungsi lumbal: menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada
thrombosis, emboli serebral, dan TIA (Transient Ischaemia Attack) atau
serangan iskemia otak sepintas. Tekanan meningkat dan cairan yang
mengandung darah menunjukkan adanya hemoragik subarakhnoid atau
perdarahan intrakranial. Kadar protein total meningkat pada kasus thrombosis
sehubungan dengan adanya proses inflamasi.
c. MRI (Magnetic Resonance Imaging): menunjukkan daerah yang mengalami
infark, hemoragik, dan malformasi arteriovena.
d. EEG (Electroencephalography): mengidentifikasi penyakit didasarkan pada
gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
e. Sinar X: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang
berlawanan dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada
thrombosis serebral.

19
Pemeriksaan penunjang menurut Marlene (2015) yaitu pemindaian CT
atau ultrasonografi untuk menunjukkan tampilan hati yang tidak normal. Jika
isotop radioaktif digunakan, pemindaian dapat menunjukkan kadar fungsi hati.
a. Pemeriksaan laboratorium-bilirubin, albumin, alanin transaminasi (ALT),
aspartat transaminase (AST), masa protrombin, dan amonia serum-untuk
memeriksa peningkatan nilai,yang mengidikasikan kerusakan sel hepatik. Ini
merupakan peningkatan nilai laboraturium yang umum pada hampir semua
jenis penyakit hati.
b. Biopsi hati untuk memastikan diagnosis secara mikroskopis.
c. Esofagoskopi menentukan adanya varises esofagus. Tetap puasakan pasien
hingga refleks gag kembali.
d. Parasentesis untuk memeriksa jumlah sel, protein, dan bakteri cairan asetik.
e. Memantau terjadinya hipovolemia dan ketidakseimbangan elektrolit klien.
f. Skor stroke: skor stroke siriraj, skor gadjah Mada

Gambar 10. Skor stroke siriraj dan Gadjah Mada

20
J. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Farmakologis
Penangananan stroke menurut Batticaca (2008) dengan tujuan intervensi
adalah berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan melakukan tindakan
sebagai berikut:
1. Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan pengisapan
lendiryang sering, oksigenasi, kalau perlu lakukan trakeostomi, membantu
pernafasan.
2. Mengendalikan tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk untuk
usaha memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
3. Berusaha menentukan dan memperbaiki aritmia jantung.
4. Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat
mungkin pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-latihan
gerak pasif.
5. Mengendalikan hipertensi dan menurunkan TIK
Dengan meninggikan kepala 15-30 menghindari flexi dan rotasi kepala yang
berlebihan,
Pengobatan Konservatif
1. Vasodilator meningkatkan aliran darah serebral (ADS) secara percobaan,
tetapi maknanya: pada tubuh manusia belum dapat dibuktikan.
2. Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intra
arterial.
3. Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat
reaksi pelepasan agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.
4. Anti koagulan dapat diresepkan untuk mencegah terjadinya/ memberatnya
trombosis atau emboli di tempat lain di sistem kardiovaskuler.
Pengobatan Pembedahan yang bertujuan utama adalah memperbaiki aliran darah
serebral :
1. Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan
membuka arteri karotis di leher.
2. Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan manfaatnya

21
paling dirasakan oleh pasien TIA.
3. Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut
4. Ugasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma.
b. Penatalaksanaan Non Farmakologis
Menurut Batticaca (2008) perawatan umum untuk pasien stroke sebagai
berikut:

Gambar 11. Perawatan umum untuk pasien stroke

22
J. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian/Assesment
1) Identitas
Umur : Stroke dapat menyerang semua umur, tetapi lebih sering dijumpai
pada populasi usia tua. Setelah berumur 55 tahun, Risikonya berlipat ganda
setiap kurun waktu sepuluh tahun (Wiratmoko, 2008). Stroke hemoragik
termasuk perdarahan intraserebral sering terjadi pada usia 20-60 tahun dan
biasanya timbul setelah beraktivitas fisik atau karena psikologis (Batticaca,
2008).
Jenis kelamin : American Heart Association mengungkapkan bahwa
serangan stroke lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan
dibuktikan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa prevalensi
kejadian stroke lebih banyak pada laki-laki (Goldstein et al., 2006). Hasil
penelitian Pradesta et al. (2017) menyatakan bahwa laki-laki lebih banyak
dibandingkan perempuan mengalami stroke hemoragik dengan perdarahan
intraserebral yaitu sebanyak 53% dari 32 orang.
2) Keluhan Utama
Keluhan umum pada penderita stroke keluhan utama yang muncul yaitu
kelemahan separuh badan, sulit bicara, mulut mencong atau tidak simetris,
penurunan kesadaran.
3) Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke seringkali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien
sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah
bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan setengah
badan atau gangguan fungsi otak yang lain (Rochani, 2000).
4) Riwayat penyakit dahulu
Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu dengan riwayat hipertensi,
diabetes, hiperlipidemik mempunyai hubungan yang signifikan dengan
kejadian stroke, trauma.
5) Riwayat penyakit keluarga

23
Keluarga memiliki riwayat stroke, jika kedua orang tua pernah mengalami
stroke, maka kemungkinan keturunan terkena stroke akan semakin besar
dengan berbagai faktor penyebab seperti predisposisi genetik aterosklerosis,
DM, dan hipertensi (Hendro, 2000).
6) Riwayat psikososial
Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk pemeriksaan,
pengobatan dan perawatan dapat menghabiskan keuangan keluarga sehingga
faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan
keluarga.
7) Pola-pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Biasanya ada riwayat
perokok, penggunaan alkohol, penggunaan obat kontrasepsi oral.
b) Pola nutrisi dan metabolisme, adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu
makan menurun, mual muntah pada fase akut.
c) Pola eliminasi: Biasanya terjadi inkontinensia urine dan pada pola
defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
d) Pola aktivitas dan latihan, adanya kesukaran untuk beraktivitas karena
kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, mudah lelah,
e) Pola tidur dan istirahat biasanya klien mengalami kesukaran untuk
istirahat karena kejang otot/nyeri otot.
f) Pola hubungan dan peran: Adanya perubahan hubungan dan peran
karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat
gangguan bicara.
g) Pola persepsi dan konsep diri: Klien merasa tidak berdaya, tidak ada
harapan, mudah marah, tidak kooperatif.
h) Pola sensori dan kognitif: Pada pola sensori klien mengalami gangguan
penglihatan/ kekaburan pandangan, perabaan/ sentuhan menurun pada
muka dan ekstremitas yang sakit. Pada pola kognitif biasanya terjadi
penurunan memori dan proses berpikir.

24
i) Pola reproduksi seksual: Biasanya terjadi penurunan gairah seksual
akibat dari beberapa pengobatan stroke, seperti obat anti kejang, anti
hipertensi, antagonis histamin.
j) Pola penanggulangan stress: Klien biasanya mengalami kesulitan untuk
memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan kesulitan
berkomunikasi.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan: Klien biasanya jarang melakukan ibadah
karena tingkah laku yang tidak stabil, kelemahan/kelumpuhan pada salah
satu sisi tubuh.
8) Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum: suara bicara kadang mengalami gangguan yaitu sukar
dimengerti, kadang tidak bisa bicara/afasia; Tanda-tanda vital: TD
meningkat, nadi bervariasi; mengalami penurunan kesadaran.
Tabel 5. Penilaian GCS
Membuka Mata (Eye)
Nilai
4 Spontan
3 Rangsang suara (pasien disuruh membuka mata)
2 Rangsang nyeri
1 Tidak membuka mata
Respon Bicara (Verbal)
5 Baik dan tidak terdapat disorientasi
4 Kacau (terdapat disorientasi tempat dan waktu)
3 Tidak tepat (mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk
kalimat dan kata-kata tidak tepat)
2 Mengerang (tanpa mengucapkan kata-kata)
1 Tidak terdapat jawaban
Respon Gerakan (Motorik)
6 Menuruti perintah
5 Mengetahui lokasi nyeri
4 Refleks menghindari nyeri
3 Refleks fleksi
2 Refleks ekstensi
1 Tidak terdapat refleks

25
Tingkat kesadaran dapat dibedakan kedalam beberapa tingkatan, yaitu:
 Composmentis (nilai GCS 15-14), yaitu kondisi seseorang yang sadar
sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya dan
dapat menjawab pertanyaan yang ditanyakan pemeriksa dengan baik.
 Apatis (nilai GCS 13-11), yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan
acuh tak acuh terhadap lingkungannya.
 Delirium (nilai GCS (11-10), yaitu kondisi seseorang yang mengalami
kekacauan gerakan, siklus tidur bangun yang terganggu dan tampak gaduh
gelisah, kacau, disorientasi serta meronta-ronta.
 Somnolen (nilai GCS 9-7) yaitu kondisi seseorang yang mengantuk namun
masih dapat sadar bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti akan
tertidur kembali.
 Sopor/stupor (nilai GCS 6-5), yaitu kondisi seseorang yang mengantuk
yang dalam, namun masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat,
misalnya rangsang nyeri, tetapi tidak terbangun sempurna dan tidak dapat
menjawab pertanyaan dengan baik.
 Semi-coma (nilai GCS 4) yaitu penurunan kesadaran yang tidak
memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak dapat dibangunkan sama
sekali, respons terhadap rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi refleks kornea
dan pupil masih baik.
 Koma (nilai GCS 3), yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam,
memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak ada gerakan, dan tidak ada
respons terhadap rangsang nyeri.
b) Pemeriksaan Head to Toe:
 Kepala: bentuk normocephalik
 Wajah: umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi.
 Leher: kaku kuduk jarang terjadi.
 Pemeriksaan dada: Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas
terdengar ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan, pernafasan
tidak teratur akibat penurunan refleks batuk dan menelan.

26
 Pemeriksaan abdomen: Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat
bed rest yang lama, dan kadang terdapat kembung.
 Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus: Kadang terdapat incontinensia
atau retensio urine.
 Pemeriksaan ekstremitas: Sering didapatkan kelumpuhan pada salah
satu sisi tubuh.
 Pemeriksaan integument:
 Kulit: jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit kan jelek. Di samping itu perlu
juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang
menonjol karena klien CVA Bleeding harus bed rest 2-3 minggu.
 Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, sianosis.
 Rambut : umumnya tidak ada kelainan.
9) Pemeriksaan neurologi:
 Pemeriksaan nervus cranialis: Umumnya terdapat gangguan nervus
cranialis VII dan XII central. Gangguan nervus cranial yang biasanya
terjadi pada pasien dengan stroke hemoragik adalah:
Tabel 6. Pemeriksaan Neurologis Nervus Kranial
Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan lesi
I: Olfaktorius Penciuman Mata pasien terpejam dan
letakkan bahan-bahan aromatic
dekat hidung untuk
diidentifikasi.
II: Optikus Penglihatan Akuitas visual kasar dinilai
dengan menyuruh pasien
membaca tulisan cetak.
Kebutuhan akan kacamata
sebelum pasien sakit harus
diperhatikan.
III:Okulomotori Gerak mata; hilangnya akomodasi, pupil
us kontriksi pupil; mengecil
akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata Terbatas
V: Trigeminus Sensasi umum Saraf trigeminal mempunyai 3
wajah, kulit kepala, bagian: optalmikus, maksilaris,
dan gigi; gerak dan madibularis. Bagian sensori

27
mengunyah dari saraf ini mengontrol sensori
pada wajah dan kornea. Bagian
motorik mengontrol otot
mengunyah. Saraf ini secara
parsial dinilai dengan menilai
reflak kornea; jika itu baik
pasien akan berkedip ketika
kornea diusap kapas secara
halus. Kemampuan untuk
mengunyah dan mengatup
rahang harus diamati.
VI: Abdusen Gerak mata Terbatas
VII: Fasialis Pengecapan; sensasi Bagian sensori saraf ini
umum pada platum berkenaan dengan pengecapan
dan telinga luar; pada dua pertiga anterior lidah.
sekresi kelenjar Bagian motorik dari saraf ini
lakrimalis, mengontrol otot ekspresi wajah.
submandibula dan Tipe yang paling umum dari
sublingual; ekspresi paralisis fasial perifer adalah
wajah bell’s palsi.
VIII: Pendengaran; Tuli; tinnitus (berdenging terus
Vestibulokoklea keseimbangan menerus); vertigo; nitagmus
ris (gerakan bola mata yg cepat di
luar kemampuan)
IX: Pengecapan; sensasi Hilangnya daya pengecapan
Glosofaringeus umum pada faring pada sepertiga posterior lidah;
dan telinga; anestesi pada farings; mulut
mengangkat kering sebagian
palatum; sekresi
kelenjar parotis
X: Vagus Pengecapan; sensasi Disfagia (gangguan menelan)
umum pada farings, suara parau; Ketidak mampuan
laring dan telinga; untuk batuk yang kuat, kesulitan
menelan; fonasi; menelan dan suara serak dapat
parasimpatis untuk merupakan pertanda adanya
jantung dan visera kerusakan saraf ini.
abdomen
XI: Asesorius Fonasi; gerakan Suara parau; kelemahan otot
Spinal kepala; leher dan kepala, leher dan bahu
bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan lidah
 Pemeriksaan motorik: Hampir selalu terjadi kelumpuhan/ kelemahan
pada salah satu sisi tubuh.
 Pemeriksaan sensorik: Dapat terjadi hemihipestesi.

28
 Pemeriksaan refleks: Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh
akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul
kembali didahuli dengan refleks patologis.
Pemeriksaan Tanda Rangsangan Meningeal
a) Kaku kuduk:
Cara: Pasien tidur telentang tanpa
bantal. Tangan pemeriksa ditempatkan
dibawah kepala pasien yang sedang
berbaring, kemudian kepala ditekukan
(fleksi) dan diusahakan agar dagu
mencapai dada. Selama penekukan
diperhatikan adanya tahanan. Bila
terdapat kaku kuduk kita dapatkan
tahanan dan dagu tidak dapat mencapai
dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat.
Hasil pemerikasaan: Leher dapat bergerak dengan mudah, dagu dapat
menyentuh sternum, atau fleksi leher  normal. Adanya rigiditas leher
dan keterbatasan gerakan fleksi leher  kaku kuduk
b) Brudzinski I
Cara: Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang
ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan
pemeriksa yang satu lagi sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk
mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan
sehingga dagu menyentuh dada.
Hasil Pemeriksaan: Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala
disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai
secara reflektorik.

29
c) Laseque

Pada pemeriksaan ini, pasien berbaring lurus, lalu dilakukan ekstensi


pada kedua tungkai. Kemudian salah satu tungkai diangkat lurus, di
fleksikan pada sendi panggul, tungkai yang satu lagi harus berada dalam
keadaan ekstensi/lurus. Normal jika dapat mencapai sudut 70 derajat
sebelum timbul rasa sakit atau tahanan. Tidak normal jika timbul rasa sakit
atau tahanan sebelum mencapai 70 derajat.
d) Kernig :
Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring difleksikan
pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat.
Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai
membentuk sudut lebih dari 135 derajat terhadap paha. Bila teradapat
tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135 derajat, maka
dikatakan kernig sign positif.

30
e) Brudzinski II
Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang
difleksikan pada sendi lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada
sendi panggul.
Hasil Pemeriksaan: Bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi
tungkai kontralateral pada sendi lutut dan panggul ini menandakan test ini
postif (Pearce, 2009).
Pengukuran kekuatan otot
Penilain kekuatan otot bernilai 0-5 yang digunakan untuk mengetahui
seberapa besar otot mampu menahan tekanan gravitasi yang diberikan oleh
perawat pada pasiennya.
Derajat 5 Kekuatan otot normal dimana seluruh gerakan dapat dilakukan
otot dengan tahanan maksimal dari proses yang dilakukan
berulang-ulang tanpa menimbulkan kelelahan
Derajat 4 Dapat melakukan Range of Motion (ROM) secara penuh dan
dapat melawan tahanan ringan
Derajat 3 Dapat melakukan ROM secara penuh dengan melawan gaya
berat (gravitasi) tetapi tidak dapat melawan tahanan
Derajat 2 Dengan bantuan atau dengan menyangga sendi dapat melakukan
ROM secara penuh
Derajat 1 Kontraksi otot minimal terasa/teraba pada otot bersangkutan

31
tanpa menimbulkan gerakan
Derajat 1 Tidak ada kontraksi otot sama sekali

b. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan suplai
darah ke otak menurun
2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan pkurang asupan makan
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular
6. Gangguan menelan berhubungan dengan ganggaun saraf kranial
7. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan fisiologis
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama
9. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan
10. Resiko jatuh berhubungan dengan neuropati
11. Resiko dekubitus berhubungan dengan penurunan mobilitas

32
c. Intervensi Keperawatan
No. Masalah Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
1. Risiko ketidakefektifan NOC : NIC
Perfusi Jaringan otak Status Neurologi (0909) Monitor Neurologi (2620)
(00201) Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor tingkat kesadaran
selama 3 x 24 jam perfusi jaringan otak 2. Monitor tanda-tanda vital : suhu, tekanan darah,
membaik dengan kriteria hasil: denyut nadi, dan respirasi
1. Kesadaran membaik 3. Monitor kesimetrisan wajah
2. Mampu mengontrol motorik sentral 4. Monitor karakteristik berbicara : kelancaran,
3. mampu melakukan fungsi sensorik adaya aphasia, atau kesulitan menemukan kata
dan motorik kranial 5. Monitor respon terhadap stimulasi : verbal, taktil,
4. Komunkasi yang tepat dengan dan (respon) bahaya
situasi 6. Monitor paresthesia : mati rasa dan kesemutan
Manajemen Edema Serebral (2540)
7. Monitor TIK dan CPP
8. Kurangi stimulus dalam lingkungan pasien
9. Hindari fleksi leher atau fleksi ekstrem pada
lutut/panggul
10. Posisikan tinggi kepala tempat tidur 30 deraat
atau lebih
11. Lakukan latihan ROM pasif
12. Batasi cairan
13. Berikan anti kejang sesuai kebutuhan
14. Berikan sedasi sesuai kebutuhan

48
2. Ketidakefektifan pola NOC NIC
nafas (00032) Status pernafasan (0415) Monitor pernafasan (3350)
Status pernafasan: ventilasi (0403) 1. Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan
Status pernafasan (kepatenan jalan kesulitan bernafas
nafas) (0410) 2. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, dan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan penggunaan otot bantu nafas
selama 3x24 jam, pola nafas pasien 3. Monitor suara nafas
kembali efektif dengan kriteria hasil: 4. Monitor pola nafas (bradipneu, takipneu,
1. Frekuensi nafas normal (16-20 hiperventilasi, kusmaul)
x/menit) 5. Monitor saturasi oksigen
2. Irama pernafasan reguler Monitor tanda-tanda vital (6680)
3. Tidak menggunakan otot bantu 6. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status
pernafasan pernafasan dengan tepat
4. Retraksi dinding dada Manajemen jalan nafas (3140)
5. Tidak terdapat pernafasan bibir 7. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
6. Tidak terdapat sianosis 8. Monitor status pernafasan dan oksigensi
7. Tidak terdapat suara nafas tambahan 9. Motivasi pasien untuk bernafas pelan
10. Kelola pemberian bronkodillator sebagaimana
mestinya
11. Kelola pengobatan aerosol sebagaimana mestinya
12. Kelola nebulizer ultrasonik sebagaimana mestinya
3. Nyeri akut (00132) NOC NIC
Kontrol nyeri (1605) Manajemen nyeri (1400)

36
Tingkat nyeri (2102) 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Kepuasan klien: manajemen nyeri (lokasi, karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri)
(3016) 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3. Pastikan analgesik dipantau dengan ketat
selama 3x24 jam, nyeri akut pasien 4. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan
kembali normal dengan kriteria hasil: Terapi relaksasi (6040)
1. Pasien dapat mengenali kapan nyeri 5. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti
terjadi nafas dalam dan musik
2. Pasien mampu menyampaikan faktor 6. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
penyebab nyeri Pemberian analgesik (2210)
3. Mampu menyampaikan tanda dan 7. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
gejala nyeri keparahan nyeri sebelum mengobati pasien
4. Penurunan skala nyeri 8. Cek adanya riwayat alergi obat
5. Ekspresi wajah tidak mengerang dan 9. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan
meringis kesakitan frekuensi obat analgesik yang diresepkan
6. Nyeri terkontrol
4. Ketidakseimbangan nutrisi NOC NIC
kurang dari kebutuhan Status nutrisi (1004) Monitor nutrisi (1160)
tubuh (00002) Status nutrisi: asupan nutrisi (1009) 1. Timbang berat badan pasien
Nafsu makan (1014) 2. Monitor turgor kulit dan mobilitas
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3. Monitor adanya mual dan muntah
selama 3x24 jam, intake nutrisi pasien Manajemen nutrisi (1100)
adekuat dengan kriteria hasil: 4. Monitor intake makanan dan cairan pasien
1. Asupan makanan secara oral 5. Ciptakan lingkungan yang optimal saat

37
meningkat (porsi makan habis) mengonsumsi makanan (bersih dan bebas dari bau
2. Asupan cairan secara oral meningkat yang menyengat)
3. Nafsu makan meningkat 6. Anjurkan keluarga untuk membawa makanan
4. Ekspresi wajah tidak meringis favorit pasien (yang tidak berbahaya bagi
kesehatan pasien)
7. Anjurkan pasien makan sedikit tapi sering
8. Beri dukungan (kesempatan untuk membicarakan
perasaan) untuk meningkatkan peningkatan
makan
9. Anjurkan pasien menjaga kebersihan mulut
10. Kolaborasi pemberian obat
5. Hambatan mobilitas fisik NOC NIC
(00085) Koordinasi pergerakan (0212) Manajemen Energi (0180)
setelah dilakukan perwatan selama 3 x 1. Kaji status fisiologis pasien yang menyebabkan
24 jam mobilitas fisik pasien membanik keletihan seseuai dengan konteks usia dan
dengan kriteria hasil: perkembangan
1. Dapat mengontrol kontraksi 2. Monitor intake/asupan nutrisi untuk mengetahui
pergerakkan sumber energi yang adekuat
2. Dapat melakukan kemantapan 3. Monitor lokasi dan sumber
pergerakkan ketidaknyamanan/nyeri yang dialami pasien
3. Dapat menahan keseimbangan selama aktivitas
pergerakkan Peningkatan Mekanika Tubuh (0140)
4. Bantu pasien latihan fleksi untuk memfasilitasi
mobilisasi sesuai indikasi

38
5. Berikan informasi tentang kemungkinan posisi
penyebab nyeri otot atau sendi
6. Kolaborasi dengan fisioterapis dalam
mengembangkan peningkatan mekanika tubuh
sesuai indiksi
Terapi Latihan : Mobilitas Sendi (0224)
7. Tentukan batas pergerakan sendi dan efeknya
terhadap fungsi sendi
8. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam
mengembangkan dan menerapan sebuah
program latihan
9. Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal yang
teraktur dan terencana
10. Instruksikan pasien atau keluarga cara
melakukan latihan ROM pasif, dan aktif
11. Bantu pasien ntuk membuat jadwal ROM
12. Sediakan petujuk tertulis untuk melakukan
latihan
Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan (0201)
13. Sediakan informasi mengenai fungi otot, latihan
fisiologis, dan konsekuensi dari
penyalahgunaannya
14. Bantu mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk terlibat dalam latihan otot progresif

39
15. Spesifikkan tingkat resistensi, jumlah
pengulangan, jumlah set, dan frekuensi dari sesi
latihan menurut lefel kebugaran dan ada atau
tidaknya faktor resiko
16. Instruksikan untuk beristirahat sejenak setiap
selesai satu set jika dipelukan
17. Bantu klien untuk menyampaikan atau
mempraktekan pola gerakan yan dianjurkan
tanpa beban terlebih dahulu sampai gerakan
yang benar sudah di pelajari
6. Gangguan menelan NOC NIC
(00103) Status menelan (1010) Pencegahan aspirasi (3200)
Pencegahan aspirasi (1918) 1. Monitor kesadaran, reflek batuk, dan kemampuan
Setelah dilakukan perawatan selama menelan
3x24 jam fungsi menelan pasien 2. Skrining adanya disfagia
membaik dengan kriteria hasil: 3. Monitor status pernafasan
1. Tidak terdapat sisa makanan di 4. Potong makanan menjadi potogan-potongan kecil
mulut Terapi menelan (1860)
2. Kemampuan mengunyah 5. Ajari pasien mengucapkan kata “ash” untuk
3. Reflek menelan sesuai dengan meningkatkan elevasi langit-langit halus
waktunya 6. Instruksikan pasien tidak bicara saat makan
4. Penerimaan makanan 7. Sediakan permen tusuk atau loli untuk dihisap
5. Mempertahankan kebersihan mulut pasien dengan tujuan meningkatkan kekuatan
6. Memilih makanan sesuai dengan lidah

40
kemampuan menelan 8. Monitor tanda dan gejala aspirasi
7. Memilih makanan dan cairan dengan Pemberian makan dengan tabung enteral (1056)
konsistensi yang tepat 9. Jelaskan prosedur kepada pasien
10. Monitor penempatan selang yang tepat dengan
memeriksa rongga mulut, memeriksa residu
lambung, atau mendengarkan suara saat udara
dimasukkan dan ditarik sesuai prosedur
11. Konsultasikan dengan anggota tim perawatan
kesehatan lainnnya dalam memilih jenis dan
presentase makan
12. Tinggikan kepala tempat tidur 30 hingga 45
derajat selama pemberian makanan
7. Hambatan Komunikasi NOC NIC
Verbal (00051) Status Neurologi : Peningkatan Komunikasi: kurang bicara (4976)
Sensorikranial/Fungsi Motoric (0913) 1. Monitor proses kognitif, anatomis, dan fisiologi
Setelah dilakukan perawatan selama terkait dengan kemampuan berbicara (misalnya
3x24 jam, klien menunjukkan memori, pendengaran, dan bahasa)
melakukan komunikasi dengan baik 2. Monitor pasien terkait dengan perasaan frustasi,
dengan kriteria hasil: kemarahan, depresi, atau respon-rspon lain
1. Dapat berbicara disebabkan karena adanya gangguan kemampuan
2. Dapat menggerakkan otot wajah berbicara
3. Terlihat wajaah simetris 3. Kenali emosi dan perilaku fisik (pasien) sebagai
bentuk komunikasi
4. Sediakan metode alternatif untuk berkomunikasi

41
dengan berbicara (misalnya menulis di meja,
menggunakan kartu, kedipan mata, papan
komunikasi dengan gambar dan huruf, tanda
dengan tangan atau postur, dan menggunakan
computer)
5. Ulangi apa yang disampaikan pasien untuk
menjamin akulturasi
6. Sediakan metode alternatif menulis atau membaca
dengan cara yang tepat
7. Modifikasi lingkungan untuk bisa meminimalkan
kebisingan yang berlebihan dan menurunkan
distres emosi (misalnya pembatasan kunjungan
dan membatasi suara dari alat yang berlebihan)
8. Kolaborasi bersama keluarga dan ahli/terapis
bahasa patologis untuk mengembangkan rencana
agar bisa berkomunikasi secara efektif
8. Kerusakan integritas kulit NOC NIC
(00046) Intregitas jaringan: kulit dan membran Pengecekan kulit (3590)
mukosa (1101) 1. Periksa kulit dan selaput lendir terkait dengan
Setelah dilakukan tindakan adanya kemerahan
keperawatan selama 2 x 24 jam 2. Amati warna, bengkak, pulsasi, tekstur, edema,
diharapkan integritas kulit tetap dan ulserasi pada ekstremitas
terjaga dengan kriteria hasil: 3. Monitor warna dan suhu kulit
1. Integritas kulit yang baik bisa 4. Monitor kulit untuk adanya ruam dan lecet

42
dipertahankan (sensasi, elastisitas, 5. Monitor infeksi terutama daerah edema
temperatur, hidrasi, pigmentasi) 6. Ajarkan anggota keluarga/pemberi asuhan
2. Tidak ada luka/lesi pada kulit mengenai tanda-tanda kerusakan kulit, dengan
3. Perfusi jaringan baik tepat
4. Menunjukkan pemahaman dalam Perawatan Luka Tekan (3520)
proses perbaikan kulit dan 7. Ajarkan pasien dan keluarga akan adanya tanda
mencegah terjadinya cedera kulit pecah-pecah
berulang 8. Hindari kerutan pada tempat tidur
9. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan
kering
10. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua
jam sekali
11. Monitor kulit akan adanya kemerahan
12. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada daerah
yang tertekan
13. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
14. Monitor status nutrisi pasien
15. Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
16. Pastikan bahwa pasien mendapat diit tinggi
kalori tinggi protein
17. Fasilitasi pasien agar dapat berkonsultasi dengan
perawat ahli luka jika dibutuhkan
9. Defisit perawatan diri NOC NIC
(00108) Perawatan diri: mandi (0305) Bantuan perawatan diri: mandi/kebersihan (1801)

43
Perawatan diri: kebersihan (0301) 1. Fasilitasi pasien untuk menggosok gigi dengan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan tepat
selama 2x24 jam diharapkan perawatan 2. Fasilitasi pasien untuk seka dengan tepat
diri pasien: mandi tidak mengalami 3. Monitor kebersihan kuku
gangguan dengan kriteria hasil: 4. Monitor integritas kulit
1. Keluarga mampu melakukan 5. Jaga kebersihan secara berkala
2. Mencuci tangan pasien 6. Dukung keluarga berpartisipasi dalam
3. Membersihkan telinga mempertahankan kebersihan dengan tepat
4. Menjaga kebersihan untukTerapi Latihan: Kontrol Otot (0226)
kemudahan bernafas 7. Berikan petunjuk langkah demi langkah untuk
5. Mempertahankan kebersihan mulut setiap aktivitas motorik selama aktivitas atau
6. Memperhatikan kuku jari tangan ADL
7. Memperhatikan kuku jari kaki 8. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik,
Mempertahankan kebersihan tubuh okupasional dan rekreasional dalam
mengembangkan dan menerapkan program
latihan sesuai kebutuhan
9. Konsultasikan dengan ahli terapi fisik untuk
menentukan posisi optimal bagi pasien selama
latihan dan jumlah pengulangan untuk setiap pola
pergerakan
10. Resiko Jatuh (00155) NOC NIC
Resiko Trauma Pencegahan Jatuh (6490)
Resiko Terluka 1. Mengidentifikasi deficit kognitif atau fisik pasien
Setelah dilakukan tindakan keperawatan yang dapat meningkatkan potensi jatuh dalam

44
selama 2 x 24 jam tidak terjadi jatuh lingkungan tertentu
pada pasien dengan kriteria hasil : 2. Mengidentifikasi perilaku dan faktor yang
1. Kemampuan untuk mempertahankan mempengaruhi risiko jatuh
ekuilibrium 3. Sarankan perubahan dalam gaya berjalan kepada
2. Otot mampu melakukan gerakan pasien
yang bertujuan 4. Mendorong pasien untuk menggunkan tongkat
3. Tidak ada kejadian jatuh atau alat pembantu berjalan
5. Ajarkan pasien bagaimana jatuh untuk
meminimalkan cedera
6. Kunci roda dari kursi roda,tempat tidur, atau
brankar selama transfer pasien
7. Menandai ambang pintu dan tepi langkah sesuai
kebutuhan
8. Membantu ke toilet seringkali, interval
dijadwalkan
9. Kolaborasi dengan anggota tim kesehatan lain
untuk meminimalkan efek samping dari
pengobatan yang berkonstribusi pada kejadian
jatuh (misalnya hipotensi ortostatisk dan cara
berjalan (terutama kecepatan) yang tidak
mantap/seimbang
11 Resiko dekubitus (00249) NOC NIC
Integritas Jaringan: Kulit & Membran Pengecekan kulit (3590)
Mukosa (1101) 1. Periksa kulit adanya kemerahan, kehangatan

45
Setelah dilakukan tindakan keperawatan ekstrim, edema, dan drainase
selama 2x24 jam diharapkan pasien 2. Gunakan alat pengkajian untuk mengidentifikasi
tidak mengalami dekubitus dengan pasien yang berisiko mengalami kerusakan kulit
kriteria hasil: (missal Skala Braden)
8. Suhu Kulit 3. Monitor sumber tekanan dan gesekan
9. Sensasi 4. Dokumentasikan perubahan membran mukosa
10. Hidrasi 5. Lakukan langkah-langkah untuk mencegah
11. Keringat kerusakan lebih lanjut (misalnya, melapisi Kasur,
12. Perfusi jaringan menjadwalkan reposisi
13. Integritas kulit 6. Ajarkan anggota keluarga mengenai tanda-tanda
kerusakan kulit
Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan (0201)
7. Sediakan informasi mengenai fungi otot, latihan
fisiologis, dan konsekuensi dari
penyalahgunaannya
8. Bantu mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk terlibat dalam latihan otot progresif
9. Spesifikkan tingkat resistensi, jumlah
pengulangan, jumlah set, dan frekuensi dari sesi
latihan menurut lefel kebugaran dan ada atau
tidaknya faktor resiko
10. Instruksikan untuk beristirahat sejenak setiap
selesai satu set jika dipelukan
11. Bantu klien untuk menyampaikan atau

46
mempraktekan pola gerakan yan dianjurkan
tanpa beban terlebih dahulu sampai gerakan
yang benar sudah di pelajari
Terapi Latihan: Kontrol Otot (0226)
12. Berikan petunjuk langkah demi langkah untuk
setiap aktivitas motorik selama aktivitas atau
ADL
13. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik,
okupasional dan rekreasional dalam
mengembangkan dan menerapkan program
latihan sesuai kebutuhan
14. Konsultasikan dengan ahli terapi fisik untuk
menentukan posisi optimal bagi pasien selama
latihan dan jumlah pengulangan untuk setiap
pola pergerakan

47
d. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah
pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan.
Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP, yaitu:
1. S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
3. A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
4. P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi

D. Discharge Planning
Menurut Batticaca (2008) discharge planning yang dapat dilakukan pada
pasien dengan stroke yaitu:
1. Berobat secara teratur ke dokter
2. Jangan menghentikan atau mengubah dan menambah dosis obat tanpa
petunjuk dokter
3. Minta bantuan petugas kesehatan atau fisioterapi untuk memulihkan kondisi
tubuh yang lemah atau lumpuh
4. Perbaiki kondisi fisik dengan latihan teratur di rumah
5. Bantu kebutuha klien
6. Motivasi klien agar tetap bersemangat dalam latiha fisik
7. Periksa tekanan darah secara teratur
8. Segera bawa klien ke dokter atau rumah sakit jika timbul tanda dan gejala
stroke.
Berdasarkan Nurafif dan Kusuma (2015) discharge planning yang dapat
dilakukan pada pasien dengan stroke yaitu:
1. Mencegah terjadinya luka dikulit akibat tekanan
2. Mencegah terjadinya kekakuan otot dan sendi

48
3. Memulai latihan dengan mngaktifkan batang tubuh atau torso
4. Mengontrol faktor risiko stroke
5. Diet rendah lemak, garam, berhenti merokok
6. Kelola stres dengan baik
7. Mengetahui tanda dan gejala stroke

49
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. 2010. Heart disease & stroke statistics – 2010
Update. Dallar, Texas: American Heart Association.
Batticaca, F. B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Bazak. 2013. Intracerebral Hemorrhage: Pathophisiology, Diagnosis, and
Management. Cinical Review MUMJ
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing
Interventions Classification (NIC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing
Outcomes Classification (NOC). Edisi 6. Jakarta: EGC.
Carpenito, L.J. 2003. Rencana Asuhan & Dokumentasi
Keperawatan. Jakarta: EGC
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
Dewanto, G., Suwono, W.J., Riyanto, B., Turana, Y. 2009. Panduan Praktis dan
Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC
Goldstein, L.B., Cheryl, D.B., Robert, J.A., Lawrence, J.A., Lynne, T.B.,
Seemant, C., dkk. 2011, Guidelines for the Primary Prevention of Stroke: A
Guideline for Healthcare Professional From the American Heart
Association/American Stroke Association’. Stroke. 42;517.
Hendro, D. dan K. Yeni. 2000. Ilmu Alamih Dasar (Edisi Revisi). Jakarta :
Universitas Terbuka.
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid Kedua. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan.
Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika.
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River

50
Nanda Internasional 2015. Diagnosis Keperawatan 2015-2017. Oxford: Willey
Backwell.
Nurarif, A.H dan H. Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: MediAction
Publishing.
Pearce, E. 2009. Anatomi and Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Pradesta, R.R., Sukmaningtyas, H., dan Pudjonarko, D. 2017. Korelasi Lokasi
Perdarahan Intraserebral dengan Outcome Pasien Stroke Hemoragik.
Jurnal Kedokteran Diponegoro. 6(2): 1178-1185.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian RI tahun 2013
Rochani, S. 2000, Simposium Nasional Keperawatan Perhimpunan Perawat
Bedah Saraf Indonesia. Surabaya.
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.
Jakarta: Prima Medika
Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf. Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Smeltzer dan Bare. 2007. Buku AjarKeperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth Vol 2. Jakarta : EGC
Smeltzer, S. C. dan B. G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.
Tim SAK Ruang Rawat Inap RSUD Wates. 2006. Standard Asuhan Keperawatan
Penyakit Saraf. Yogyakarta: RSUD Wates Kabupaten Kulonprogo

Wiratmoko, H, 2008, Deteksi Dini Serangan dan Penanganan Stroke di Rumah,


Jurnal Infokes STIKES Insan Unggul, hal. 37-44. http://isjd.pdii.lipi.
go.id/admin/jurnal/22103844_2085-028X.pdf\ (Diakses tanggal 27 Juni
2015).

51

You might also like